Powered By Blogger

Desember 30, 2009

Catatan sore : sedikit harapan di 2010

Sisip rasa dalam nuansa bening senja.
Mengayun langkah kecil, mengakhiri hari
Menyapa sejenak hati yang lelah, segera rehat dalam selimut

Saya baru menyadari saat status single saya menjadi perhatian dari seorang rekan kerja dan segelintir kawan. Itu terlihat pada up date status FB saya yang terpampang dengan agak sungkan : ” Waduh, apa mesti telor ceplok lagi malam ini ”
Status yang saya ketik sekedar menampilkan keberadaan saya yang ’ hidup ’. Ini juga karena ada message dari seorang kawan yang merasa add nya kok sudah 4 hari gak terconfirm oleh saya. Jadilah saya aktif di FB dengan rasa malas. Saya confirm dan menyempatkan ignore beberapa invite untuk bermain, untuk memanfaatkan fitur – fitur lainnya dan semacamnya, saya tuliskanlah status itu.

Biasa saja. Lantas saya log out, dan memulai rutinitas. Rutinitas untuk membenahi rumah setelah kepulangan kerja. Dan menyiapkan lauk makan malam untuk diri saya sendiri. Benar saja, saya memang tidak ada pilihan lain saat itu, selain telor. Sosis sudah lama habis dan menikmatinya kembali - perlu waktu untuk seorang kawan mengirimkan lauk istimewa itu ke kebun dari Samarinda. Sarden kosong, Kornet ada, tapi tinggal kalengnya yang tersimpan dalam kulkas.
Semuanya berjalan. Normal seperti hari – hari terlewati.

Dan besoknya, saya mendapati sesuatu yang wah di FB saya - post comment untuk up date status saya ( via email dari FB adminstration di email client saya ) panen tanggapan. Mulai dari kawan di jalur pendidikan dulu, rekan kerja, dan sosial saya di jejaring sosial ini. Banyak comment - sekedar saran, sekedar mengejek : “ Begitulah nasib bujang yang terhimpit di medan juang “, “ Nasib kau, apa gak ngiri tuch ama tetangga yang udah keluarga semua ? “, nasehat, dan kalimat lainnya. Ini menjadi surprise tersendiri, mengingat begitu banyaknya comment yang muncul. Bahkan lebih banyak saat saya menuliskan : up date status – MASIH HIDUP dulu.

Terkejut, hingga membuat saya sedikit membuang waktu di awal kerja saya. Membuang waktu untuk mengingat kapan terakhir saya berpikir bahwa solusi saya untuk rutinitas makan yang gak sehat, rutinitas kerapian diri yang hampir tak tertata adalah kebutuhan saya akan sosok seorang pendamping hidup, dan solusi untuk saya berhenti mengeluh pada Mama saya.

Bila ini saya ceritakan pada Mama, tentu beliau akan kembali menawarkan seseorang pada saya seperti beberapa waktu lalu. Tawaran seorang perempuan yang beliau yakini siap untuk mendampingi saya. Oleh karena itu, ini tak saya masukkan dalam laporan kabar – kabari saya pada Mama. Secara umum saja : ” masih sibuk dan sedikit agak bertambah gemuk sekarang ini ”. Terkirim dengan sempurna dan berbalas dengan do’a – do’a dan nasehat jaga kesehatan.

Akhirnya dengan berbagai petimbangan status itu saya delete, dan begitu pula commentnya tak menjadi bagian dari FB saya. Biar saya ingat dalam hati saja, meskipun bila ada beberapa kawan yang jeli dan tersinggung, itu adalah perkara beda. Toch saya juga punya argumentasi yang cukup hebat. Saya masih fokus pada kerja dan hal ini sudah cukup mengganggu saya.

Tapi satu yang saya sadari : Saya belum siap menjadi suami yang baik saat ini.

...............................

Catatan lama yang sengaja saya jadikan ' catatan kecil ' dengan penuh pengharapan pada target pencapaian akan sebuah keluarga yang terbentuk di 2010.
Insya Allah, amin.

Desember 29, 2009

Kau kembali tak bercerita.....

Sedikit matamu mengerling dan kulihat ada basah di sana. Tapi kau cukup menghiburku dengan senyum dipaksa dan ucap kecil; ‘ saya tak mengapa, hanya debu kecil yang tertanam dalam mata ‘

Dan waktu berlalu sesaat dengan hening, kau berdiam diri - begitupun aku. Tak sedikit kau beranjak dari kaku, aku pun selayak arca lingga dalam pertapaan abadi.

Hingga hujan menyemai rintik, dalam suasana kesunyian. Aku gelisah, kau tak berubah.

“ Pergilah, biarkan saya “

Tapi kau mulai basah, tetes air menghujanimu. Kita tak terteduh oleh dedaunan, perlu waktu untuk melangkah pulang. Sebelum kuyup menyentuh seluruh tubuh.

Kau ( kembali ) mengisyaratkan untuk aku pergi, tapi kali ini kau mendongak dengan mata yang benar – benar basah. Tidak karena gerimis ini. Tapi karena sesuatu yang tak kau ucap, yang aku tak mengerti. Sesuatu yang tak kau ucap sedari tadi.

Kau menangis
Kau basah
Kau kembali tak bercerita

Desember 28, 2009

Early Morning Blue - Penyihir Pemalu

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Sebait puisi Pada Suatu Pagi - Sapardi Joko Damono)

Sedikit kebimbangan mengena pada saya pagi ini, dan itu sesuatu yang tak terjabarkan dengan baik oleh membran selaput otak saya. Dalam artian saya tak tau mengapa ?
Tiba – tiba saya jengah, tiba saya berada dalam situasi dramatisasi. Apakah ini mungkin karena Do you know where you’re going - MC ato sesuatu hal yang lain. Saya masih mencari. Penting untuk diidentifikasi rasa seperti ini. Meskipun belajar dari beberapa kali, saya tak pernah berhasil menjawabnya hingga rasa itu berlalu tanpa akhir yang terekam.

Early Morning Blue;
perasaan malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa alasan yang jelas, semacam hipokondria oleh Andrea Hirata dalam Laskar Pelanginya. Tapi saya lebih senang merasainya dengan sebutan seorang penyihir pemalu yang tidak ingin dikenal. Pun oleh saya, ia tak juga memperkenalkan diri. Tak mengapa - bila ia tak meninggalkan sesuatu yang aneh pada diri saya, tapi setiap langkahnya menjadi kerisauan, menjadi kebimbangan tanpa alasan, menjadi sesuatu yang tertolak oleh kelaki-lakian saya - bersedih. Dan itu cukup membuat saya agak sedikit marah, lantas saya menulis. Tentang Early Morning Blue – penyihir pemalu yang seperti biasa ( akhirnya ) pergi tanpa permisi.

Desember 27, 2009

Catatan pagi - pelajaran dari seorang kawan


Bertahan dari kehidupan.


Beberapa hari lalu saya menerima kunjungan dari seorang kawan - Office Administrator Bulking Installation yang berposisi di Tepian Sungai Mahakam Kabupaten Kutai Kertanegara. Ia datang untuk mengikuti meeting Operational Plan Procurement 2010 yang diadakan di Kebun. Saya menyambut kedatangan dia yang memang sudah saya anggap layaknya saudara sendiri. Maklum, saya adalah orang Banjarmasin dan dia sendiri adalah seseorang yang masih berketurunan Banjar dengan campuran seorang Bugis dari Ibu. Dan ia adalah senior saya dulunya.

Tentu ada yang bisa diambil dalam pertemuan kami, terjadi saat pembicaraan ringan di rumah saya. Saat saya menculiknya dari Mess Club tempat ia diinapkan. Kita berbicara banyak. Tentang perkembangan kerja, keluhan, canda dan lainnya.

Tapi satu yang akhirnya bisa saya katakan bahwa inilah hikmahnya. Ia hanya mengatakan pada saya bahwa semua orang sudah tentu mempunyai posisi masing – masing untuk di pertanggungjawabkan. Saya yang berurusan dalam segala operational Dispatch ( Dispatch Land, Dispatch River, and Internal Dispatch ), operational Sirtu Project, dan lainnya yang menjadi bagian job saya yang seorang administrasi di Engineering, Logistic, And Transportation Department. Dia yang mempunyai taggung jawab administrasi di Bulking Installation, ada juga rekan bernama Wali ( seorang kawan yang berposisi sebagai Staff Finance ), Dina yang Legal, Edi yang Accounting, dan banyak rekan yang lain yang kadang merasa bahwa mereka layak untuk mendapatkan fasilitas dan perhatian yang lebih baik.

Saya tentu boleh bangga, saya tentu boleh sombong, saya tentu boleh mengeluh dengan apa yang saya dapatkan sekarang. Mereka pun mungkin seperti itu. Pilihan.
Benar, semuanya adalah sebuah pilihan. Bahkan untuk sekedar mengeluh. Entah ia merasa bosan dengan keluhan saya, entah ia merasa saya salah dalam menyikapi hidup. Ia lantas mengajak saya jalan – jalan ke Lahan. Visit ke areal yang kebetulan masih ada aktivitas panen, weeding, manuring, dan semprot. Setelah itu terlihatlah hamparan puluhan pekerja lahan yang bekerja. Untuk lembaran rupiah per hari yang ditetapkan oleh perusahaan. Ia tidak berkata – kata apapun pada saya. Aktivitasnya lebih sering menyapa pada para – para pekerja itu, berbicara ringan, santai bersama sekedar melepas pergi tetesan keringat sesaat. Sesuatu hal yang hampir tidak pernah saya lakukan – padahal penempatan saya ada di sekitar kehidupan mereka.

Kepulangannya tidak terlalu banyak kata, hanya menepuk bahu kiri saya dan salam perpisahan yang biasa. Namun, cukuplah itu sebagai pengingat, bahwa ada kehidupan lain yang harus saya lihat sebelum saya mengatakan bahwa hidup saya sulit, pekerjaan saya sangat berat, stress saya sudah mencapai klimaks, dan lain halnya.

 

 Mereka ada, dan tak jauh dari saya.


Pada saat diri melihat mobilitas kaum pekerja
, dan rinai basah embun menghampiri sunyi


Pagi ini,

Desember 25, 2009

Rasa dalam goresan pena


Rasa dalam goresan pena.


Kabut ini pagi, dan ia menatapnya dengan bening mata. Semerbak harum dedaunan yang terbangun dari lelapnya, menemaninya di kesunyian hamparan perkebunan. Ia tak rupa akan perihal hidup yang pernah ia lewati. Dan ia tak juga mampu menceritakan siapa dirinya di sosial hamparan tanah para pekerja ini.
Saat pertama, ia menawarkan diri untuk datang dan sekejap saja tanah baru merubahnya menjadi seorang yang berarti. Jauh lebih baik

Desember 23, 2009

Saya Marah, saya menulis, dan.......

Saya tidak melihat ada yang salah dengan diri saya saat saya dimarah besar oleh seorang Direksi dalam kesempatan meeting Koordinasi Budget 2010 pagi ini. Terlebih tema kemarahan beliau yang tak relevan dengan apa yang dibahas. Kesalahan saya mungkin adalah saya tidak berada dalam situasi yang baik, beliau lagi stress – mungkin ? beliau lagi ada masalah keluarga, sehingga perlu membenamkan amarahnya pada orang lain dan kebetulan saya orang yang paling available untuk itu – mungkin ? Atau beliau lagi kehilangan uang sepuluh ribu rupiah dan kebetulan hanya uang itu yang beliau miliki di bulan tua ini ? Akh, terakhir inipun mungkin saja, meskipun persentasinya adalah mendekati nol persen.
Siluet kemungkinan – kemungkinan itu saya hadirkan untuk sekedar membela diri. Bahwa saya dimarah dan saya tidak salah.

Saya berada dalam situasi yang...., entah saja – apakah saya berhasil menciptakan peluang dan kesempatan beliau marah besar pada saya ? Kesempatan untuk beliau menumpahkan segala bentuk macam ketidakberdayaan diri, keluhan, ketidakmampuan menerima sesuatu yang menimpa beliau, atau....akh, saya tentu tak tahu.

Mungkin bisa pula itu benar, saya pun kerap kali melakukan hal yang sama, MARAH. Hanya saja saya tidak terlalu lihai mengaplikasikannya dalam bahasa verbal. Saya tuliskan saja, dan tidak saya apa – apakan setelah itu. Sudah terlampau banyak uraian pendek di catatan sampah saya, yang saya simpan rapi dalam notebook dan kadang bila saatnya untuk membuka kembali, saya – ya, sejujurnya mendapati diri yang lemah.

Bila benar apa yang saya duga pada Bos Besar saya, maka betapa setiap kita sebenarnya memerlukan tempat untuk mengekpresikan emosi. Dan setiap kita tentu mempunyai pilihan untuk semua itu, Bos saya dan mungkin sebagian orang memilih untuk langsung menguapkannya dalam bentuk kata – kata yang bertegangan tinggi, meluncur seperti kilat dan memuntahkan berkeping – keping larva panas dari sebuah mulut - lepas apakah dengan begitu mereka akan bisa lapang akhirnya, sikap yang justru berbeda yang saya tunjukkan yakni dengan menulis.

Mengapa saya menulis ?
Saya tentu menyadari keberadaan manusiawi saya yang memiliki emosi diri yang salah satunya bernama marah. Dan kemanusiaan saya juga menyadari bahwa saya mengalami kesulitan untuk membahasakannya dalam bentuk ucap. Mudah bagi saya dengan menulis, dan memang itulah pilihan saya. Bersikap saya terhadap jiwa yang marah.

‘ Marah ? marah itu baik kok, kita bisa jujur di sana. Emosi yang kerap merubah kita ( tiba – tiba ) menjadi manusia yang berterus terang akan ketidaksukaan, kejengkelan. Situasi untuk kita bisa bertahan dari aniaya diri sendiri.....’
Bagian dari email seorang kawan, saat berdiskusi panjang soal emosi jiwa.

Lalu seberapa efektifkah bila marah itu kita ekspresikan dengan menulis ?
Sangatlah berat. Bila situasinya adalah suatu permasalahan yang melibatkan satu atau banyak individu lainnya, maka pilihan untuk melampiaskannya dalam bentuk keluh buku diary tentu bukan cara yang cerdas bila tidak ditindaklanjuti penyelesaian secara riil.

Bagaimanapun ini adalah habluminnanas kita sebagai seorang manusia, tak elok bila kita menyimpannya terus menerus, dan sudah menganggap semuanya berakhir dalam sekian kalimat keluh, ketidakpuasan, atau apapun ragam bahasa yang kita torehkan dalam lembar atau sekian halaman file di komputer.

Tapi entah mengapa dengan menulis, saya merasa....sepertinya tiap kali jemari saya menjelajahi nuts keyboard setiap itu pula saya merasa ada luruh rasa untuk saya bertenang diri. Saya merasa bebas. Dan lebih manjur, saat pergi membasuh muka dan berkesempatan membacakan catatan – yang karena menciptakan dengan konsent dan penjiwaan, saya lantas hapal sekian kalimat itu – kepada Tuhan di bagian laku ibadah saya. Tuhan tentu Maha Mengetahui, oleh karenanya saya sering hanya berucap : Kau Maha mengetahui apa yang di jiwa hamba – Mu ini, oleh karenanya hamba bermohon ridha-Mu untuk saya bisa mengakhirinya dengan kebaikan bagi jiwa ini.

Setelah itu ?
Saya kembali menjalani aktivitas saya dengan kesadaran bahwa saya baru saja membungkam salah satu emosi saya, dan bertemu dunia nyata dengan sikap yang mudah untuk dimengerti oleh mereka yang sempat ‘ konfrontasi ‘ dengan saya :
‘ Baik, saya baru saja membuang marah saya ditempat yang benar. Kalian juga tentu begitu setelah beberapa saat ini kan ?
Sekarang, mari...kita harus bercakap tentang apa lagi ‘

Desember 15, 2009

( fictitious ) dari sebuah cerita

Vina namanya. Usianya masih di bawah saya, tapi ia sudah sangat dewasa di atas saya. Ia saat ini survive bersama Zahra Ayu Kemuning, anaknya. Gadis cilik yang hampir beberapa hari lagi menginjak usia 4 tahun, setidaknya begitu penuturan sang Ibu kepada kakak saya. Saat saya berkesempatan menemani kakak berkunjung ke rumah kontrakannya yang mungil. Bertamu untuk sedikit berkonsultasi mengenai penataan interior rumah. Maklumlah, kakak saya sedikit perlu nasehat mengenai penataan segala furniture dalam rumah, karena menurutnya ia baru saja mendapat teguran dari Mas Duan suaminya. Dan kakak saya tentu tak salah pilih, rumah mungil Vina sangat tertata dengan design interior yang bisa saya katakan sudah merupakan penataan seorang profesional ( Meskipun di lantai terlihat betapa berantakannya segala tetek bengek mainan dari anaknya ). Perihal Ayu anaknya– begitu biasa ia sering dipanggil, dan melihat perangainya, saya lantas jadi teringat dengan keponakan saya sendiri. Ia lincah, meskipun sedikit agak penyendiri ( bahasa saya karena ia selalu menjauh dari saya setelah sebentar mendekat hanya untuk mengambil beberapa biji permen di tangan saya ). Tingkahnya menarik hati sebagai anak kecil, terutama kepada orang – orang dewasa. Tapi lebih daripada itu, ia adalah gadis mungil yang sangat indah dipandang untuk mengagumi kekanakannya.

Bagaimana dengan Vina ? Ibu dari si kecil Zahra Ayu Kemuning. Untuk ini kakak saya punya cerita di dalam perjalanan pulang kami.
Umur Vina hanya berpaut satu tahun di bawah saya, dan ia sudah menjadi single parent, meskipun ia belum pernah menikah.
Bagaimana bisa ?
Begitulah, pergaulan bebas. Itu terjadi ketika ia masih menginjak kuliah tahun kedua di perguruan tinggi swasta terkenal di Jakarta. Perguruan Tinggi yang sudah saya maklumi ketika mendengarnya. Tapi ada bagian yang sangat menyentuh oleh saya tentang Vina. Awalnya ia beragama non muslim, dengan separo keturunan tionghoa dari Sang Mama. Mendengar kejadian yang menimpanya, keluarga tentulah marah besar. Terlebih saat ia memutuskan untuk beralih keyakinan menjadi seorang muslimah, sebagai prasyarat oleh sang kekasih yang seorang muslim.
Ia lantas terusir dari keluarga, dan entah mengapa sang pacar meninggalkannya begitu tiba – tiba. Ia patah semangat saat usahanya menuntut janji dari laki – laki yang sempat dicintainya menjadi pertorehan luka yang sangat menyayat. Usia kandungan 6 bulan ia menyadari diri yang sendirian. Jakarta tidak lagi ramah untuk perempuan hamil yang sendiri. Sempat beberapa kali berpindah tempat tinggal dan beberapa kali bertumpang inap di kos – kos kawan yang bersimpati, akhirnya ia memutuskan pergi meninggalkan Jakarta dan berlabuh di Kota kami.
Dengan berbekal tabungan sisa, ia berusaha bertahan. Hingga si kecil Ayu terlahir, dan ia sendiri sudah dalam adaptasi bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang distributor salah satu merk dagang di Indonesia.
Bagaimana dengan keislamannya ? Disitulah letak pengenalannya dengan Kakak saya. Kedatangannya di Kota kami mendapatkan simpati langsung dari para tetangga yang sosial-nya masih bisa dibanggakan. Pengajian, dan kakak saya adalah salah satu anggotanya.
Saat ini kakak saya dan Vina sudah sepakat angkat saudara. Kakak saya beralasan sangat sulit untuk share dengan saya, adik saya dan suaminya tentang masalah – masalah perempuan. Maklum kami adalah laki – laki. Intinya, kakak saya membutuhkan kehadiran sosok saudara perempuan untuk bisa berbagi tentang ’ perempuan ’ itu sendiri.
Oh, ya. Kakak saya dengan bangga mengatakan bahwa saat ini ia sudah mulai berhasil membujuk Vina untuk berjilbab, dan dengan bangganya pula ia mengatakan bahwa ialah yang megusulkan nama untuk anaknya Vina saat kelahirannya. Zahra Ayu Kemuning, Zahra berarti bunga dan Kemuning sendiri adalah tokoh central dalam cerita Kelopak Cinta Kemuning karangan Wijiasih P – cerita yang sangat disukai oleh Kakak saya.

Begitulah, Vina namanya - yang semenjak pengenalannya dengan kakak saya beserta komunitas pengajiannya sudah berganti nama menjadi Ayesha Rasiyah. Setelah coba saya search di internet, ia berarti wanita yang tegar, yang kuat.
Mengagumkan.

Saya tersenyum saja saat kakak saya mengakhiri ceritanya. Vina sudah berhasil menunjukkan kehebatannya sebagai seorang perempuan. Meskipun bila melihat ke belakang, tentu sangat sulit membayangkan bagaimana ia bisa bertahan. Namun satu hal yang pasti, demi melihat tumbuhnya Kemuning kecil, saya menyadari ada sesuatu yang akan mejadi tugas seorang Vina. Yang saya tidak tau bahasa seperti apa yang akan ia suarakan nanti pada anaknya itu.

Desember 14, 2009

Jujur : Saya nyata di Dunia Maya

Sejauh ini sangat menyenangkan untuk saya bisa memanfaatkan fasilitas internet. Ada dunia yang terbentuk karena koneksi saya di internet ini. Dan itu membuat saya menjadi merasa dua makhluk hidup yang dimana salah satunya adalah reflika dari diri yang lebih baik.
Percaya tidak ? Ehm, bagaimana ya menjelaskannya ?

Secara psikologi, - sedikit yang saya tau, setiap kita seringkali membentuk penjabaran ’ sebuah diri ’ yang diharapkan ia menjadi. Maksud saya, terkadang pikiran – pikiran kita membentuk pikiran bagaimana diri kita seharusnya. Meskipun seringkali realita kita membentur keinginan tersebut. Kenyataan tampak membatasi kita untuk bersikap tidak realistis. Pengkhayal. Sederhananya, saya ingin menjadi diri yang lain yang saya bayangkan, yang dimana dengan begitu saya berharap akan banyak mempunyai arti. Seperti menjadi seorang yang sempurna atau lepas dari ketidaksempurnaan yang disadari.

Maaf, saya tak bermaksud membuat bingung dengan kalimat – kalimat di atas. Saya membayangkan saja, dulu di masih kecil, saat film – film video disk ramai menjadi tontonan. Sariban, Gaban, Megaloman, hingga berlanjut Ksatria Baja Hitam. Apa yang terjadi dimasa itu, saya menjadi Sariban hari ini, kemaren saya menjadi Megaloman, dan sehari sebelumnya saya menjadi Gaban. Besok mungkin saya akan menjadi Ksatria Baja Hitam, karena sudah ada janji pemutarannya oleh Tante Ina saat itu yang punya video disk satu – satunya di RT kami. Dan benar saja, setelah film itu sudah selesai diputar, maka tiba – tiba saya memproklamirkan diri sebagai Ksatria Baja Hitam. Saya merasa berhasil saat memproyeksikan diri dalam tokoh superhero kebanggaan saya tersebut. Topeng kertas, pakaian yang baru dibelikan oleh Mama ( Saya ingat sekali bagaimana menangisnya saya untuk dibelikan baju – baju jagoan kesayangan saya tersebut, yang terkadang lengkap dengan sehelai kain di belakang punggung ) dan dengan pedang kecil buatan Om Yani, adik mama. Pedang dari batang daun pisang. Berlarilah saya di sekeliling kampung, mengejar musuh – musuh saya. Siapa musuh saya ? tidak ada secara nyata. Saya membayangkan saja saya adalah seorang Ksatria dengan musuh yang hanya saya bisa melihatnya.

Tapi itu adalah masa kecil, sekarang apa hubungan cerita masa lalu itu dengan bahasan saya saat ini. Jujur saja, saya sebenarnya merasa masih banyak diri di sini ( dunia maya ) adalah seseorang yang nampak memaksakan sebuah kesempurnaan pada dirinya. Mudah melakukan untuk itu, dengan menulis.

Contohnya; saya bisa saja menuliskan bahwa saya adalah seorang keturunan Jepang ?, Saya saat ini sedang dalam study di Yekaterinburg, Rusia – yang sekarang sudah musim dingin dengan salju menyelimut kota ?, Saya yang saat ini adalah seorang employee dengan position yang sangat mapan di sebuah perusahaan tambang – dengan tiap tengah dan akhir bulannya saya bisa kembali ke Jakarta sekedar weekend ?, Saat ini saya yang adalah....( bla..bla..bla ) ???

Dan kedua, dengan saya berusaha mempostingkan sesuatu yang saya mungkin bisa dianggap sebagai seorang yang bijaksana dengan petuah – petuah yang copy - paste, saya seorang yang alim dengan selalu menyertakan ayat – ayat Al Qur’an dan Hadist dalam setiap tulisan saya lengkap dengan penjelasan – penjelasan secara syar’i tetapi jauh dari realigi saya sehari - hari, saya seorang yang perhatian dengan reply tulisan kawan, sekedar menyapa prihatin, mendo’akan, turut memberi semangat, and something like that – sesuatu yang hampir saya tidak mampu menyempatkan diri melakukan itu pada sosial saya di dunia nyata.
Intinya : Di dunia maya, saya ( memperlihatkan ) yang seorang lebih baik....

Bagaimana bisa, ( sekali lagi ) tentu saja mudah. Menulis. Menulis. Dan menulis.
Pencitraan diri akan terbentuk dari apa yang kita tulis, entah sadar atau tidak, kita akan memperkenalkan diri kita kepada siapapun tentang kita dari apa yang kita tulis. Mengenai apapun. Tak perlu bicara dan menunjukkan tingkah. Dunia maya tidak ada tempat untuk memperlihatkan itu.
Tapi itu akan menjadi lain bila kita ternyata tidak tulus dari diri mempersembahkan tulisan kita. Semacam ada keinginan terselubung untuk dilihat. Untuk diakui sebagai diri yang lebih sempurna dari diri yang nyata. Masquerade. Sombong. Untuk yang ini saya hanya berserah saja, berserah pada Gusti Allah – karena Dia yang Maha Mengetahui seperti yang Dia wahyukan di An Nuur ayat 64

Mengapa saya menuliskan ini ?
Jawab saya ada di sebuah blog yang di awalnya kawan ( semoga ia masih menganggap saya kawan setelah ini,....amin ) tersebut menuliskan

Tentangku:
Saya adalah seorang yang bermasalah dengan pendengaran di usia 10 th. Dimana Pendengaran saya mengalami gangguan dengar sebesar 93 dB (Decibel) di kanan-kiri (masuk kategori sangat berat siih hiks..payah..). Jadi hanya suara-suara keraslah yang masih bisa kudengar.

Untuk komunikasi mesti dibantu dengan Alat Bantu Dengar (ABD)/Hearing Aid. Walaupun pendengaranku terganggu, namun aku sama dengan kalian yang "Normal". Aku masih bisa mendengar dengan Alat Bantu Dengar dan tentunya akupun punya hati untuk merasakan.

Melalui Blog ini saya mencoba berbagi dan menuliskan pengalaman bagaimana saya menjalani hari - hari saya dengan pendengaran yang bermasalah.
Dalam keseharian saya ini orang senang bercanda karena saya tak mau orang-orang yang kenal dengan saya ikut bersedih ^_^

Mudah-mudahan dengan blog ini saya bisa berbagi dan bisa lebih banyak mengenal dengan orang-orang yang senasib dengan saya, dan tentu saja blog ini tempat saya bercerita tentang apapun di sekitar saya melalui sudut pandang saya sebagai orang yang mengalami gangguan dengar.....

Dia jujur, dan itu mengapa tulisan – tulisannya begitu hebat menurut saya.

Terakhir,
Ini hanya sekedar tulisan - jauh dari idealis, tapi karena keinginan untuk bisa lebih percaya pada diri sendiri - nyatanya saya. Seperti kawan tersebut, yang berani menuliskan ’ tentangku ’-nya itu.

Haitami


( cerita ) ..........Ambilkan bulan Bu

Ambilkan bulan bu
Ambilkan bulan bu
Untuk menerangi, kamarku ini.

Si kecil memang tidak sedang bernyanyi. Tapi perempuan itu seperti mendengar dengung kemerduan di wajah mungil yang menjadi pelita hatinya hampir selama 4 tahun ini. Kelelahan sang gadis cilik akan aktivitasnya tadi siang membuatnya terbaring pada tidur yang nyenyak.

” Ma, mo beli bona....”
Perempuan itu tersenyum mengingat ucap gadisnya beberapa hari yang lalu. Saat akhir pekan ia sempatkan membawa si kecil ke Mall terdekat untuk sekedar bermain – main di Gamezone dan toko penjualan buku ’ Banjar Agung ’. Siapa si Bona ? Ia adalah seekor Gajah berbelalai panjang. Dengan warna merah jambu, dan akan selalu bersemu merah pipinya bila ia malu. Dan ia tentu saja menunjukkan sosok si Bona berbelalai panjang pada anaknya di gambaran majalah Bobo.

Ambilkan bulan bu

Gadis kecilnya semakin tumbuh, dan ia hanyalah orang tua tunggal dengan pekerjaan yang mengharuskan ia hanya bisa melabuhkan kerinduan ditiap malam, beberapa waktu sebelum si kecil bermimpi. Kadang sangat besar rasa bersalahnya, dan cukup membuat ia terombang – ambing dalam menghadapi situasi kerja. Beberapa kali ia mendapat teguran dari kantor karena bolos, karena si kecil menangis bila berpisah, karena si kecil masih tidur dan membuat ia tak tega untuk membangunkannya. Kadang begitu pengasuhnya datang menawarkan diri untuk menjemput si kecil, entah mengapa ia tolak begitu saja. Ia hanya merasa gadisnya masih perlu kehadirannya, masih perlu belaian lembutnya, masih perlu ia untuk membenahi selimut, masih perlu ia untuk sekedar mengecup kening gadis cilik itu.

' Akh, gadisku '. Entah tiba – tiba ia begitu terbuai akan perasaan. Perasaan bahagia, perasaan bangga, sekaligus perasaan haru akan lika – liku hidup yang saat ini ia jalani. Si kecil adalah tanda eksisnya untuk tetap bertahan. Lebih daripada itu, si kecillah yang membuatnya tetap bertahan. Ia menjadi pelita sekaligus prasasti abadi akan tangis, tawa, duka, dan bahagia dirinya.

Untuk menerangi kamarku ini

Perempuan itu tertidur, berbalut wajah yang juga lelah. Rumah mungil mereka hening.
Sehening kehidupan mereka yang ditinggalkan pergi oleh seorang laki – laki.

Desember 11, 2009

Catatan perjalanan : ziarah

Seandainya waktu berputar lebih lama untuk ia meyusun kembali kepingan – kepingan kehidupannya yang lalu, maka dengan secepat kilat akan ia langkahi selasar kota tua yang kini ia sudah berada di gerbangnya. Tapi sayang, waktu untuk memperbaiki kembali sudah berakhir. Sudah lama, sejak bilangan tahun yang lalu. Saat terakhir ia datang ke kota ini dan berharap bertemu bagian terakhir dari puzzle hidup yang ingin ia lengkapi.
Dan saat ini ia sudah berada kembali di kota ini. Tidak untuk apapun, kecuali mendapati diri yang merindu untuk sebuah rasa. Rasa yang entah. Selalu menggema dalam selaput sadarnya di ujung – ujung malam, di kesendirian.
Langkah kakinya adalah jejak tanya. Fase kehidupan yang tak sempat disembuhkan. Meskipun ia telah coba untuk berdamai, dan hingga saat ini apakah ia berhasil untuk itu. Ia tidak pernah tahu.

Sekian panjang langkah, semakin riak berdentum dalam diri. Semakin menghunjam perih. Masih ada hitam bekas jelaga. Masih membekas ingat yang terluka.
Hingga matahari siang mengantarkannya pada sendiri sebuah Mesjid. Ia hampir saja tak mengenali bangunan indah ini bila ia tak melihat pohon mangga yang tersudut di tepi luar pagar, sedikit mengena pada taman kecil untuk sekedar para penjual kaki lima bernaung dalam usaha. Mesjid yang dulu ia bertempa ilmu dalam Taman Pendidikan Baca Al Qur’an.
’ ....dulu tidak semewah ini ’, gumamnya mengiringi langkah pergi setelah sempat menghabiskan waktu Ashar bersama jama’ah yang lain.

Ini adalah tempat ia biasa bermain – main dulu. Seharusnya ada bangunan pondok kecil Mang Ujang di ujung jalan itu, hanya beberapa meter dari simpang jalan Masjid ini. Sekarang tak ada lagi. Kemana ?
Sebuah hotel berdiri di ujung barat, dan pondokan Mang Ujang penjual arang sepertinya sudah bermetamorfosis menjadi hamparan taman sekaligus tempat parkir untuk hiruk pikuk kota yang semakin manja ini.

Kota ini menjadi asing, membuat langkah kakinya tersekat – sekat waktu untuk sekedar mengenal lagi. Ia terus berjalan, sudut – sudut kota dan pada sudut gang – gang sempit di antara ruko – ruko. Tempat ia berkawan saat masih kecil. Sementara di sisi lain ia bertatap mata Gedung tinggi berdinding kaca, bilboard besar membelah jalan. Akh, betapa ia ingat di sana dulu adalah tanah lapang yang ia sering bermain bola. Akh, betapa ia sangat ingat bagaimana layang – layangnya dulu adalah yang selalu terindah. Kini tentu akan sangat sulit baginya membawa layang – layangnya di langit, karena langit sudah berubah sejak terakhir ia menerbangkan layang – layangnya.

Sejenak inginnya ia memasuki jalan sempit itu. Sayang ia tak punya keberanian. Di belakang ruko – ruko ini masih tercecer kenangan masa lalu, tapi ia merasa malu. Rumah petak, kontrakan berhijab papan tipis, dan pos ronda ala kadarnya.

Kemana Kaédi, Anang, Riansyah, si Manis Ipah, Wajah berlesung pipit ; Fitri ?
Kemana Mang Udi, Paman Jenggo, Bibi Wasna, dan lain – lainnya ?

Jawabnya mungkin ada di rumah – rumah itu, perkampungan yang kini lusuh terpinggirkan dan dipaksa berbagi tempat di naungan ruko – ruko besar dan gedung – gedung.
Ia terus melangkah, perjalanannya masih memakan waktu untuk tiba di tempat tujuan. Ia masih harus melangkahi kota ini hingga ke ujung utara, di sana ada pemakaman umum kecil.
Tempat bagian puzzle terakhirnya bersemayam. Bagian puzzle yang harusnya ia lengkapi dalam baktinya sebagai seorang anak.

Dengan bergetar ia mulai memasuki pekarangan dari ratusan pusara – pusara yang kesunyian.
” Abah, Assalamualaikum..... ”

Ia menangis untuk pertama kali setelah sekian lama tak kembali.

Desember 10, 2009

Bila ( benar ) dunia ini panggung sandiwara

Bila dunia ini benar panggung sandiwara, maka saya ingin menjual karcis pertunjukan saya dengan harga yang MAHAL. Saya tidak ingin dilihat sebagai seorang pelakon murahan, totalitas saya hanya dihargai dengan sumbangsih kerja dari penulis – penulis essay maupun kaum kritikus yang selalu mencari dosa dari sasaran tulisannya, keprihatinan, ucap selamat, dan tepuk pujian atau mungkin caci maki.

Bila kehidupan inipun adalah lakon sandiwara, maka saya ingin bersandiwara dengan naskah saya sendiri. Penonton takkan bisa memaksa saya bersedih, bila mereka mereka ingin tontonan air mata. Penonton takkan bisa memaksa saya tertawa, bila saya takkan bisa ungkap bahagia. Tapi saya, sayalah yang akan memaksa mereka tertawa, mereka menangis, mereka terbahak – bahak, atau mereka yang tersedu – sedu. Saya ingin bersandiwara dengan peran tokoh saya sendiri. Saya takkan menjadi pecundang. Sekali – kali tidak. Mereka akan tetap diam di tempat mereka sendiri, menonton gagap saya, kekanakan saya, keangkuhan saya, keegoisan saya, dan saya yang banyak rupa lainnya.

Pun bila mereka hanya sekedar mencari tempat di panggung saya. Sekedar tempat untuk menyepi, menyendiri, bahkan mungkin tempat untuk sekedar bermesra dengan pasangannya dalam keremangan lighting panggung dari sandiwara saya, akh...itu tak mengapa ? Mereka sudah bersedia membayar tiket pertunjukkan, itu sudah cukup. Karena bagi saya mereka hanya penonton yang saya tonton pula.

Saya hanya ingin hidup dalam panggung saya sendiri,
entah mengapa saat ini saya belum siap untuk membagi.........

Desember 06, 2009

Matanya terus basah oleh air mata

Hening,
Kabut menari dalam pelupuk mata yang bening berkaca. Menetes basah, embun menuainya menjadi pagi di atas kelopak keladi. Rindu kicau pipit, kicau burung – burung yang membahana.
Sekejap pergi, mengayuh hati risau mencumbu fajar. Menapak jejak dalam sepi, menjelma tarian bidadari.

Mengapa kau tak pergi ?
Mengapa kau tak mejemputnya ?

Matanya terus basah oleh air mata

Desember 01, 2009

Catatan sore - kembali kalah

Diam. Melintang bisu. Jasad menekur dalam kesunyian abadi. Kebimbangan menusuk sekian pori – pori hati. Adalah memutuskan untuk sesuatu yang egois. Riak mengalir. Sekian jejak yang sudah terjalani. Ribuan tangga yang terdaki. Mengayuh lambat.

Kembali lelah.

Kembali kalah.

November 30, 2009

Catatan sore....

Ya Allah,
Terbenamnya matahari adalah hal yang paling saya rindukan. Bertemu petang dan tempat tidur lusuh di bilik untuk saya bisa merebahkan diri dan melupakan segalanya. Besok, sekiranya ada keajaiban untuk saya. Atau, berikan saya kekuatan untuk mengatasinya hari ini......

November 29, 2009

kenangan - ........terlambat.........

Dari puing – puing hati yang berkerat ini Ayah,
Ku persembahkan sejenak duka Anaknda.
Pada pusaramu,
Yang masih basah

Diam. Hening, dan sendiri. Lakon hidup terselami di antara riak – riak nasib. Menggenapkan kata – kata do’a di penghujung senja.

Bunga ini masih beraroma wangi Ayah,
Bertebaran di atas tanah penutup jasadmu.

” Aku terlambat......”
Hi, Bukankah menyesal selalu berkawan dengan kata terlambat ?

Ia tersenyum sinis, ” Kau tau, laki – laki itu yang mengusirku, ia tidak mengakui aku sebagai anaknya, berkali – kali aku datang meminta maaf. Berkali – kali aku bersimpuh, tapi tidak. Ia tetap saja mengusirku, bahkan codet di muka ini.....”

Jiwa yang emosi telah bercerita. Sekedar membela diri untuk keterlambatan kembali. Ia menunjukkan muka yang bertanda. Irisan yang membelah di pipi kiri. Bekas goretan sebuah wasi yang membawa luka. Prahara di ujung tahun 2002. Seorang anak yang di usir oleh Ayahnya sendiri. Murka untuk sebuah malu atas nama keluarga.
” Kenapa ? ”
Ia hanya mampu menggeleng tertunduk, dan sekejap mendongak dengan mata yang sedikit basah. Ia pandang sekepulan asap rokoknya sendiri. Mengibaskannya. Menggeleng lagi.

....................sampai di sini, ia tak mampu lagi bercerita. Dan saya meninggalkannya untuk secangkir kopi dan sepuntung rokok sisa. Malam menghembuskan angin kegerahan, sebentar lagi hujan. Pusara itu akan terus basah. Dan besok kami akan kembali ke tempat kami, tanah para pekerja. Tempat kami berlari dari masa lalu kami.

November 24, 2009

Berlalu meninggalkan perempuan yang sendiri itu.......

Saya seharusnya bisa menebak situasi yang dihadapinya. Duduk menyendiri dengan termenung rupa akan mimik wajah yang sendu. Mempermainkan jari di tanah. Pandangan menghampar sejauh jalan. Mata yang terlihat sembab dan segala hal yang saya bisa mengatakan bahwa ia sedang bersedih. Tentu saja pilihan jawaban saya hanya satu : ia dalam masalah.

Saya seharusnya bisa mengkondisikan waktu saya untuk saya sekedar menyapa ia. Mungkin saya bisa mengawali dengan ucap : Hi, Apa kabar ? atau..........sekedar kalimat lain untuk sebuah rasa di kawani ?

Tapi tentu saja saya lebih sangat tau, saya tidak bisa mendekat padanya. Maka saya biarkan saja ia begitu, sejak 3 jam yang lalu. Hingga saya harus meninggalkannya....

Dan, saya sudah tidak mampu membahasakan sikap saya, apakah sebuah kesalahan atau tindakan yang sepantasnya.

Yang pasti bis mulai berjalan meninggalkan terminal, membawa saya pergi. Berlalu dari perempuan yang sendiri itu.

November 18, 2009

Mama,.......

Mama,
Takkan anaknda biarkan do’a mu menggantung di lapuknya langit – langit pondok kecil kita. Meskipun kau berkata : restu ini tidak akan berakhir berkalang waktu.

Mama,
Sejauh rasa anaknda menggema jiwa berharap, perjuangan ini masih berkabut di pematang panjang sudut – sudut raga mengayuh biduk peninggalan ayah dulu.

Mama,
Hanya sedikit waktu. Sungguh pertapaan kakanda Malin masih membekas jejak lumutnya di jiwa anaknda, mohon jangan kau sepuh menjadi batu.

Anaknda kan kembali,
ke pangkuanmu.

November 16, 2009

Menjadi perempuan, menjadi istri, dan seorang Ibu

Bila seorang Simone de Beauvoir, sastrawan Prancis yang lahir di awal abad 20 pernah mengeluarkan statement untuk penghargaan dan kebanggaannya sebagai kaum Ibu di bumi ini.....
: "On ne naît pas femme, on le devient."

maka sahabat saya juga punya statement yang tak kalah membanggakan :

“ …karena saya adalah perempuan….. “.Begitu lugas. Seorang rekan kerja perempuan yang di awal 2007 kemaren memutuskan resign dan menjalankan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga.

Bahagiakah ? ‘….ha..ha…ha…aku lagi menimang si bayi nih…’ ucapnya pada suatu kesempatan terhubung di telepon. Dan setelah itu mengalirlah cerita haru biru berselubung pada nada bahagia dirinya mengurus sang bayi. Hal yang sangat sulit saya percaya bila melihat design hidup yang pernah ia lakoni adalah seorang wanita karier dengan workholic yang akut. Entahlah, semacam antiklimaks untuk saya dengan mendengar ceritanya beberapa waktu lalu.

.......................

Seorang kawan bergumam kecil : ” Aku takut penjelasan yang ia tangkap tidak memuaskan...”

Hi, kenapa ?

Sang kawan bercerita, anaknya yang baru menginjak usia Taman Kanak – Kanak mempertanyakan perihal kenapa Sang Ayah ditempatkan posisi keempat, sementara Sang Mama berada di no 1,2, dan 3. Setidaknya itu yang ditangkap oleh sang anak dari ilmu yang di dapat dalam TPA yang diikutinya suatu sore.

Istrinya berdarah Batak, sementara ia sendiri adalah Banjar – Sunda. Sang Anak lebih mendekat pada dirinya untuk hal – hal yang bersifat sosial, sementara sang Mama lebih mendisiplinkan diri sang anak dengan ketegasan dan keteraturan ritme dalam rumah tangga.
Bagaimana kau menjawabnya ?

” Entahlah, aku hanya mengatakan karena Mama adalah pelita untuk Ayah, ia, dan mungkin saudara ia nantinya. Itu saja. Aku tidak seperti kau yang bisa menjelaskan sesuai psikologi anak mungkin, secara agama mungkin. Akh, sudahlah......Aku cuman takut saja.....”

Ada yang salah dari kawan saya tersebut, ia tidak bisa serta merta mengabsenkan sang istri untuk menjawab perihal ini. Bagaimanapun saya sepakat sang anak tidak bisa di dogmatis dengan hal – hal yang kaku tanpa adanya reason yang bisa ia terima sesuai nalar akalnya dan sejauh mana kemampuan pemahamannya. Tapi satu hal yang sangat saya hormati dari sang kawan adalah :
” Aku takut.... takut saja jawabanku tak mampu memuaskan ia. Kau tau tentu, kita laki – laki ini tak perlu berbilang urut itu, bila ia tak mampu menghormati Mamanya nanti, itu adalah kegagalan aku sebagai Sang Ayah ”

........................

Ada beberapa orang yang bercakap di suatu kantin tempat saya menghabiskan malam untuk sekedar membuang rasa lapar setelah Isya.

” ....aku pengen cari istri yang seperti Siti Aisyah.....”

Kalimat yang membuat saya harus meneguk bulat – bulat makanan yang baru saja saya haluskan di geraham saya. Mereka masih anak bau kencur, masih anak sekolah lanjutan. Seserius itukah ?, hingga satu diantara mereka berencana mencari Siti Aisyah dalam sosok istrinya kelak ? Terbayang saja tingkat kesholehan yang harus mereka miliki.....

” ....aku ingin seperti Khadijah....”

Nah...........??????????

.......................

Hm, apa ya ? Sejatinya saya tidak bisa menggambarkan suasana pikir macam apa yang tertuang di benak hingga saya bisa mengetik tulisan ini. Di sela – sela kesibukan medio November yang hujan. Akhir tahun yang penuh dengan kegiatan rancang anggaran tahun depan. Sungguh, saya terkesima saja. Terkesima oleh apa yang pernah saya dengar, yang saya lewati, dan oleh apa yang saya rasakan sendiri saat ini. Pikiran akan penghormatan saya yang sebesar – besarnya akan kaum Hawa. Pengharapan terhadap sosok – sosok calon Ibu buat generasi. Dan keinginan untuk menjaga eksistensi dan kehormatan mereka sebagai bakal seorang istri untuk Suami.

Perempuan, Istri, dan Ibu.

Maka kembali menyimak apa yang terucap dari mulut Simone de Beauvoir : Orang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan...

Menjadi perempuan, menjadi seorang istri, dan menjadi seorang Ibu.

Tapi kesampingkan saja pemikiran Simone de Beauvior - seorang yang mempengaruhi pergerakan feminisme modern abad ini, tapi karena ada seorang Agung yang sudah menempatkan seorang wanita shalihah sebagai sebaik – baiknya perhiasan dunia. Dan ia adalah Muhammad SAW. Dan beliau pula yang berkata pada seorang Fathimah anaknya saat sang Anak begitu inginnya Sang Ayah membujuk sang Suami menyediakan jariah di sisinya: ” ....jika Allah SWT menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat. Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung ( mengerjakan urusan rumah tangga ) untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat ”

Dan terakhir,

hanya sekedar sapa dari saya melalui tulisan ini dan semoga bermanfaat.

November 09, 2009

Rosyada

Kebahagiaan macam mana yang akan diperoleh bila diri hanya berpikir untuk lari ?

Ada dengung kegelisahan yang terucap di suara kecilku. Dan aku tau itu adalah bentuk sebuah keluhan.

Aku terlupa akan kata ’syukur’ dan ’sabar’ yang coba ku pertahankan. Ini menjadi semacam pembantahan, pengingkaran. Ada suatu argumentasi untukku harus mengeluh. Aku seorang manusia. Biasa saja. Dan terkadang waktu mengalahkan-ku untuk tak bisa lagi menjadi orang sombong dalam berperkara dengan segala hal. Aku tidak berada dalam keadaan baik – baik saat ini. Minggu ini menjadi berat, begitupun mungkin minggu depan, bulan depan, tahun depan.......


Sedikit kalimat, dan saya mengetahui saya tak sendiri dalam masalah.

Ada do’a yang InsyaAllah sangat baik untuk saya lafadh-kan :

“ Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ( ini ) ”.
(Q.S. Al-kahfi : 10)

Semoga ini menjadi kekuatan untuk saya dan seorang diri yang sudah berbagi.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala ( dari kebajikan ) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa ( dari kejahatan ) yang dikerjakannya. ( Mereka berdoa ): “ Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
(QS. Al Baqarah, 2 : 286)

Catatan di ambang petang yang menyeruak di sela mendung. Sebuah email terbaca dan diri yang terduduk di chair tiger,
ruang sepi
diri yang lelah.

November 04, 2009

Aku masih berdiri di belakangmu......

Sejak hari yang kau tumpu dalam ringkihmu berarak menuju ufuk, kau semakin menghunjam perihmu dalam galau yang berbahasa. Segala keluhmu menciptakan ribuan bintang di langit. Dan bulan malu dalam selimut.
Tarian api unggun menyusup di bentuk tubuh yang beringsut dingin, kehangatan telapak tangan menjelajah dekap.

” Tinggalkan saja aku di sini dulu, aku ingin istirahat sebentar....”
Kau mendongak, saat tawaranku kau tepis dengan sekedar wajah yang tersenyum. Lelah, capai mengena mimikmu.

” Kita tak ada waktu !? nanti kita terlambat.....”
Aku mencoba menjabarkan padamu tentang sebuah pagi yang segera bertamu, dan kita tak sejengkalpun mencapai dekat.

Aku masih berdiri di belakangmu......

Oktober 24, 2009

Seberapa penting - Sayang kau lebih dulu pulang saat itu

Seberapa penting ?
Kau menyisakan banyak penyesalan di akhir. Dan di saat itu semua terjadi, kau mengajakku pada langkah pertama. Dulu. Lama sekali. Tentang makan malam di sebuah warung lusuh yang mau berkemas pulang.
Hm, ingatkah ? Bapak penjual nasi campur itu dengan jawa halusnya mengucapkan salam perpisahan untuk kita segera mengakhiri malam. Malam yang larut, malam yang tidur.
Ya, aku ingat sekali. Pelan langkah kita menyusuri tepian kota menciptakan kehangatan di sisa – sisa kabut kemarau. Pekat yang banyak bintang. Bulan malu dalam remang. Dan kita yang sedikit tertawa, berpangku tangan di selasar tangga gedung perpustakaan yang sudah bermimpi dia.
’ Kenapa kita tidak tidur saja dan bermimpi seperti ribuan orang – orang malam ini ’, ucapmu. ’ Menggenapkan selimut sekujur tubuh.....’

Aku hanya tersenyum saja menimpali harapmu, bukankah ini lebih baik. Kita bersama. Tidak dalam mimpi.

Berakhir......
Tidak penting. Hanya saja saat di akhir ini kau kembali mengingat tentang cerita di langkah kita.
Sayang, kau lebih dulu pulang saat itu.

Oktober 23, 2009

Keponakan saya.........

Keponakan saya sudah bisa bernyanyi Burung Kakak Tua. Itu adalah laporan dari Kakak saya. Sementara keponakan yang satu ( anak adik saya ) sedang sakit. Bukan adik saya yang melaporkan, melainkan istrinya. Dan cukuplah ini menjadi kabar yang tidak baik juga buat saya. Karena yang saya tau keponakan tersebut baru saja terlahirkan dari rahim sang istri hampir 4 bulan yang lalu. Sekelebat bayang saya cepat memarahi adik saya, dan apa katanya : ” Wah, akan saya kasih marah si Ina " - ( sebutan untuk istrinya ).

Adik saya malah memberikan statement kemarahan pada sang istri karena telah berani melaporkan perihal sakitnya keponakan saya. Dan saya menjadi menarik kemarahan saya dan berusaha mencegah prahara di rumah tangga mereka. Adik saya bertempramen keras, dan bila sudah begini sepertinya saya sudah melakukan kesalahan dengan mencoba memasuki ranah urusan rumah tangga mereka ( meskipun dia adalah saudara saya ).
Saya jadi berpikir, sepertinya ada batasan – batasan untuk saya hanya bisa menempatkan posisi sebagai penonton saja. Cukup berbagi kabar. Mereka sudah dewasa.

Baiklah, ini menjadi pembelajaran untuk saya.



Mengenai keponakan saya yang tertua ( lebih 2 tahun dia ). Dipanggil Fatma, meskipun nama aslinya adalah Norliyana Sarah. Dia sudah menyanyikan Burung Kakak Tua di komunikasi malam tadi. Cukup menghibur untuk saya. Sebenarnya saya tidak yakin dia bernyanyi untuk saya, karena saya mendengar keponakan saya sibuk dengan tingkahnya dengan bernyanyi. Sepertinya dia punya dunia yang sendiri.

Tapi mendengar lagu itu ternyanyikan ( dengan logat cadel ), seperti ada deru embun yang menari. Saya terhinggap rasa sayang yang tulus dan sangat sulit untuk saya bahasakan.
Baiklah, untuk keponakan saya.

' Om sangat merindukan kalian...'

Oktober 17, 2009

Saat ingin mengenal diri

Memahami orang lain memang sangat rumit….bila kita tidak bisa bilang bahwa kita tidak akan pernah mengetahui sama sekali….

Dan ini yang ingin saya coba saya lakukan. Hanya saja saat ini saya mencoba masuk ke dalam diri saya sendiri. Saya ingin mencoba menempatkan diri saya pada sosok ‘ seorang yang berada di luar saya ‘. Seorang yang selalu berusaha memikirkan betapa kehidupan orang lain begitu mudahnya sementara ia tak juga mendapatkan apa yang diinginkan. Ini semacam cerminan diri. Apa yang terpantul oleh ‘ saya yang lain ‘ dalam sumringahnya adalah topeng dari kedengkian yang menyebar dalam iringan nafsu harapan. Sehingga kekalutannya membuatnya nampak seperti orang jahat. Orang yang sombong dan terlihat ambisius.
Tapi lihatlah, ia tak lagi punya waktu untuk berkhusyu’ diri berhadapan Tuhannya. Ayat – ayatNya terbaca dengan kecepatan detik yang menunggu di meja kerja, ruang meeting, lapangan. Tanpa jiwa. Ia menjadi manusia tanpa hati, orang asing untuk tetangga, untuk anak – anak kecil yang dulu selalu ia candai di sela – sela sore kamp perkebunan ini. Ia sudah memusnahkan banyak waktu.

Seharusnya Tuhan marah padanya pikir saya akhirnya.
“ Siapa ? “
Sejumput suara aneh menghampiri saya,

” ya dia.... ”, saya menunjuk sosok yang terpaku di depan saya.

“ hm, tidakkah kau seharusnya mengenal dia ? “
Saya masih terpaku, sosok di depan saya masih menatap saya seperti saya menatapnya.
Saya harusnya mengenal dia. Tapi mengapa saya merasa aneh dengan diri saya, ada sesuatu yang asing dan berbeda dari orang di depan ini. Bila saya mengenal dia, maka elok sekali sikap saya yang sangat bergetar melihat tatapnya. Tingkahnya yang dingin dan tanpa senyum. Saya mengetahui dia adalah sosok yang sibuk. Tapi bukankah itu akan menyiksanya ?
” ha..ha...ha....”, suara yang entah tertawa terbahak – bahak. Hi, apakah ia berhasil membaca pikiran saya ?
“......tidak, tidak haitami. Aku tidak membaca atau mendengar apapun. Aku tahu saja.....ha..ha...ha...”, ia tergelak.

Saya mulai berkeringat gelisah. Suara itu hilang lagi. Saya mencari – cari. Hingga orang di hadapan saya pergi berpaling dengan wajah yang menunduk lelah. Dia mungkin lupa menyapa saya, atau entahlah ?

” Kau mengenal dia ? ”
Suara itu muncul dengan tanya.

” Heh, mungkin ? yang pasti saya berharap dia baik – baik saja, karena bila tidak....saya pikir dia akan sangat menderita bila tidak memperbaiki hidupnya....”

” Yach, Kau terlihat bijak dari dia ”, suara itu seperti seorang kawan yang duduk bersama dengan saya di bangku kosong sebuah taman yang lalu.

” Benarkah ? ”

Suara itu mengisyaratkan wajah yang tersenyum. Meskipun saya tak nampak ia. Lantas suara itu melambaiakn perpisahan dengan saya
” Kau tak mengenal dia.....”
Lantas desiran angin mengayuh suara itu pergi. Meninggalkan saya seorang diri.

Hm, iya. Saya tak mengenal dia.

.........

Mobil yang sempat saya bercermin dari kaca ribennya baru saja berlalu, dan saya merasa sudah cukup mengenali diri saya sendiri. Saya berharap saya bisa memperbaiki hidup. Setidaknya kembali menyediakan banyak waktu kembali pada-Nya.

Ini haruslah instropeksi, untuk saya mendewasakan hati.

Oktober 11, 2009

Hati itu masih basah karena iris yang terbuka.

" Aku pergi...."

Itu ucapmu. Berlalu. Meninggalkanku.
Selangkah kau membelakangi, kau berbalik dan melemparkan sebuah hati
Benar, sebuah hati.
Dia terkapar di atas marmer. Berdarah sedikit, menetes.

" Itu adalah punyamu....."

Kali ini kau benar – benar pergi, tanpa perpisahan. Tanpa salah.
Seperti biasa.

Hati itu terkapar. Lukanya menyayat perih.
Dan kau tau ?
Hati itu masih basah karena iris yang terbuka.

Oktober 05, 2009

Cerita malam

Bila malam ini ada waktu untuk bercerita, maka saya ingin dia bercerita tentang ia di sana. Tapi malam tak mau bercerita.
” Angin tak membawa ungkap rindu ”, alasannya.

Saya tak patah, ” Tidakkah cukup saja dengan rindu dari saya ? ”

Sejenak malam tertegun. Wajahnya melamun, menimbang ragu. Ketulusan saya menyakitinya. Senyum saya menampar dia.
” Baiklah, apa yang ingin kau dengar tentang ia ? ”, malam bertanya dan menawarkan sebuah tema.
” Saya ingin cerita ia baik – baik saja ”

Malam beringsut ke tepian bulan. Merangkul bulan. Seperti biasa. Wajah bulan menghiasi harapan saya untuk mendengar. Bintang – bintang masih sama. Bernyanyi dalam sunyi. Malam berubah merah di hadapan saya. Saya ragu dia tak berkata apa – apa. Tapi saya masih menunggunya.

Angin datang, menghampiri sang malam. Mereka berdua berbisik mesra. Menyimpan sesuatu dari saya.

Tiba – tiba saya mendengar malam menggema, ” ia baik – baik saja ”.

Akhirnya cerita dia beri pada saya. Hingga saya tertidur.
Di dalam mimpi, saya bertemu bulan. Dan dari sang bulan saya mengetahui bahwa malam berbohong pada saya. Malam tak pernah bertemu dengan ia, tak ada kerinduan yang tersapa.
Tapi saya sudah terlanjur percaya.
“ Pergi kau bulan “, ucap saya.
Bulan beringsut. Kembali ke langit. Memberi cahaya pada mimpi saya. Cahaya biru.

: “ Ia baik – baik saja, dan malam tak mungkin berbohong pada saya "

Kaca – kaca yang membuat saya tersenyum

Apakah saya pernah bercerita tentang seorang anak kecil yang menangis, berlari ke pangkuan orang tuanya ? dan lantas ia menunjuk kepada saya, seolah ia ingin berkata bahwa sayalah yang membuatnya menangis. Tapi karena saat itu saya masih di hadapannya, ia hanya menangis, tanpa berani mengatakan sayalah yang membuatnya ketakutan dan berair mata akhirnya.

Ahk, sepertinya tidak.
Mimik jenaka saya berhasil membuat anak itu berlari.

Seperti ada kebahagiaan bila melihat anak itu menangis. Melihat ia tersedu – sedu di pundak sang Bunda sembari melirik kepada saya. Seakan – akan mata itu mengatakan :

” Kamu jahat, kamu jahat..... ”

Atau

” Akan aku adukan kamu pada Bapak saya. Bapak saya jagoan hebat. Dia akan mengalahkan dirimu....”

Ha..ha...ha.....

Sang Bunda tersenyum pada saya, dan si kecil dia sayang dengan penuh rupa di gendongannya. Lantas membawanya menjauh. Badan sang Bunda berbalik, si kecil terlihat mengintip saya di balik bahu ibunya.
Di matanya yang bening, ada kaca – kaca yang menggenapkan sebuah rindu pada diri saya. Dan kaca – kaca itu membuat saya tersenyum. Tersenyum pada diri yang sepi. Pada diri yang lelah.
Sayang, sekarang anak kecil itu sudah tidak bisa saya temui, karena Sang Ayah yang seorang rekan kerja telah berpindah posisi dan tempat tinggal. Saya merindukan anak kecil itu dan pada bening kaca – kaca di matanya.

Kaca – kaca yang membuat saya tersenyum.

Ahk, saya lupa pernah mempunyai cerita ini. Dan saya hanya ( kembali ) merangkainya dalam kata – kata. Saya mengingat anak kecil itu, dan binar bening matanya yang berkaca – kaca.

Saya rindu.

Oktober 04, 2009

Saat ini, seperti ini

Memandang kesendirian dalam bahasa tubuh yang berbeda.
Saya menepi dalam bimbang. Kadang harapan itu berbentuk cermin diri
yang mengejek, yang tersenyum sinis. Skeptis dan apatis.
Saya mengarungi segalanya rintihan hati, dan saya mengerti ia kecewa. Terkecewakan oleh egois saya,
sombong saya,

Melihat kesepian dalam jiwa yang ramai,
ramai oleh kata – kata yang tertuang. Saya berhasil menciptakan kata – kata untuk ia, tentang rindu untuk ia dan tentang segalanya tentang ia. Beberapa kali saya merasa lebih baik dengan saya berbuat seperti itu. Dan saya memaksakan itu memang yang terbaik untuk saya saat ini.

Entah saja,
saya tidak terlalu mengerti jalinan yang semestinya. Bagaimanapun saya hanyalah seorang biasa yang masih harus belajar tentang banyak hal.
Dan saya berusaha betah untuk menjalaninya,

saat ini

seperti ini.

Oktober 02, 2009

Catatan kecil tentang pilihan hidup..........

Hal yang biasa yang saya lakukan sebelum tidur ( seperti malam ini ) adalah membaca kembali email alert dari multiply yang masuk ke incredimail saya dan tersimpan di sana. Bila memang ada tulisan yang menarik bagi saya, maka saya akan mengklik kode html yang saya bisa menerobos masuk ke multiply bersangkutan, dan bila perlu saya akan meninggalkan jejak nyata berupa comment saya.

Dan, malam ini kebiasaan itu sedikit berkurang waktu. Saya baru saja ditegur oleh sepupu saya via ym. Dia bercerita betapa ramainya reuni Akbar yang diadakan oleh alumni sekolah saya dulu. Kebetulan sepupu saya tersebut adalah satu angkatan dengan saya. Tidak terbayangkan, reuni tersebut konon berhasil mengumpulkan sekian banyak eks. murid dari angkatan 1986 hingga 2006.

Yang menarik dari cerita sepupu saya tersebut adalah betapa banyaknya rekan - rekan saya yang menanyakan perihal saya. Dan itu cukup membuat sepupu saya tersebut kerepotan karena hanya selalu melayani pertanyaan yang sama dalam sekian banyak waktu berbeda.

" Wah, terkenal juga....."
hanya itu saja kesan dingin saya kepada sepupu saya, meskipun ia protes sekali dengan kalimat yang saya ketikkan tersebut. Ia marah, karena ia sudah berlelah diri menceritakan kabar saya yang sendirian di hutan dan butuh pertolongan katanya. Yach, saya diposisikan sebagai rekan angkatan yang memerlukan ' pertolongan ' untuk diselamatkan dari kesendirian, kesepian, dan sudah mulai menjauh dari kebersamaan yang terbangun karena ada kenangan yang pernah terlewati, dan itu ada di moment reuni akbar kemaren hari.

Hm, dengan begini lantas saya berpikir : salahkah bila saya memutuskan bekerja di tempat seperti ini. Jauh dari segala hal yang bisa mengumpulkan kembali saya dengan orang - orang dimasa lalu ?
Wah, sebagai seorang manusia laki - laki tentu saya menyadari pilihan hidup ini. Saya menyadari dalam beberapa pilihan hidup, saya dipastikan akan mendapatkan sesuatu atau bahkan mungkin kehilangan sesuatu.

Banyak jalan menuju Roma, tapi adakah tau bila kita memilih salah satunya - kita akan berhadapan dengan siapa nantinya ?
Seorang perempuan cantik di pinggir jalan, yang menunggu kita agar bisa bergandengan tangan bersama menuju Roma ?
Atau mungkin seorang penyair bisu dengan tepukan gendang kulit arinya yang menggambarkan kegagalan sebelum tujuan tercapai....?
Atau segerombolan perampok yang siap menendang kita kembali ke titik awal kita melangkah dan traumanya membuat kita tak sedikitpun kembali melangkahkan kaki.....?

Ini adalah hidup, dan saya menyadari sekali pilihan saya. Satu hal yang saya pelajari sekali dari sekian beban yang pernah saya atasi adalah bahwa saya mungkin akan melakukan kesalahan dengan memilih salah satu cara, jalan, atau apapun yang bisa disebut untuk melangsungkan kehidupan lebih baik. Tapi, tidak untuk menyesal.

Di penghujung chat, saya hanya mengatakan ; " titip salam saya untuk mereka "
setidaknya ini adalah upaya terbaik dari saya untuk tidak kehilangan semuanya.

Oktober 01, 2009

Sedikit waktu untuk merasa harus lebih baik

Pagi ini,

setelah subuh dan sedikit tilawah, saya menyempatkan waktu untuk duduk di serambi rumah yang saya tempati. Merasakan embun dan suasana pagi. Angin tak bertiup kencang seperti tadi malam yang hujan, hanya dinginnya masih bergelayut di kepagian ini. Saya mengenakan baju sweater tebal dan celana training yang menjadi kesukaan saya bila dingin menyiksa saya. Biar ada kehangatan untuk tubuh.

Kehidupan sudah dimulai, seperti biasa. Para pekerja, anak - anak sekolah, dan saya sendiri yang mulai beranjak untuk memanaskan sarden sisa malam tadi untuk saya makan. Sendiri seperti bertahun - tahun lalu saya di sini.

Saya hanya merasa harus berbeda ini hari. Seperti ada kesejukan yang melanda segenap jiwa untuk berharap lebih baik. Dari kemaren dan beberapa hari yang tertinggal dalam bingkai masa kenangan.

Itu saja, tidak lebih.

September 30, 2009

Terima kasih....

Semua butuh pengalihan, saya kira. Bila ini menyangkut pekerjaan. Rutinitas yang menjemukan akan menyebabkan tingkat depresi yang tinggi dalam diri. Kadang sangat terasa sekali bahwa pikiran dan tubuh tidak bisa lagi konsentrasi.

” Sudah, cukup !!! hentikan segala kegilaanmu akan ini. Saya tak kuat mengikuti arus nafsumu ”, batin saya yang terkesampingkan mulai menampakkan wajah beringasnya, telah berhasil untuk saya menghentikan segala kegiatan. Perlawanan saya akan pusing yang mendera, ketidaktelitian perumusan data, dan wajah yang pias terhuyung karena kurang tidur...sepertinya sudah menyerah kalah. Bendera putih terkibarkan oleh saya sendiri. Terlebih bahwa diri ini baru saja menjalani recovery dari sakit beberapa hari lalu. Semakin berkibarlah bendera itu......

” Mo cuti !!! cuti seumur hidup....... ”, berlalulah seorang Samosir di hadapan saya. Bapak separo baya itu tidak mengucapkan keluh apapun. Beliau hanya minta form pengajuan cuti pada salah satu krani saya. Dan sebelum pintu ruangan tertutup, kalimat itu ia luncurkan begitu saja. Tepat di hadapan saya, kalimat itu berubah menjadi wajah yang mengejek. Kilasan nasehat – nasehat dari keluarga untuk saya menghentikan ‘ hukuman kepada diri sendiri ‘ dan secepatnya kembali kepada mereka tergambar seperti paduan suara. Bernyanyi mereka. Salah satunya menampakkan wajah seorang Siti Nurhaliza. Ah, Siti Nurhaliza….begitu eloknya paras puan untuk saya. Sekejap saya berlari ke PC yang satu dan mulai menggoogling “ Siti Nurhaliza ‘. Seandainya ia adalah jodoh saya………( ???????? )

Hah, saya berpikir inilah kembara pikir yang cukup untuk menghibur diri saya. Saya tersenyum. Oh, saya terlupa. Meskipun di waktu yang tidak tepat……saya telah ‘ berhasil ‘ mendengarkan keponakan yang memanggil ‘ Om ‘ kepada saya.

“ Om miiiii, indaaaaaaah…. “ sehabis itu menangislah ia. Sepertinya sang mama ( kakak saya ) terlalu memaksa ia untuk sekedar menyapa saya. Dan saya merasa sangat tersanjung. Itu terjadi sore hari kemaren, sebelum saya masuk ke ruangan Estate Accountant dan dikasih marah besar. Ada lagi, paduan suara dari Aci Jajai. Adik dari mama saya, menanyakan bahwa apakah saya baik – baik saja. Tapi bukan itu yang membuat saya terharu, tapi cekikikan dari para sepupu, bahkan tangisan bayi 7 bulan ( anak salah satu sepupu saya ) ikut melatar belakangi komunikasi antara saya dengan adik tertua mama saya tersebut. Itu terjadi malam saat saya menyerah dan mengirim sms minta di do’a-kan sembuh karena saya sakit. Yang karena kabar ini pula, puluhan sms masuk ke Hp saya ( bahkan sempat over quota bila tidak saya back up dalam notebook ). Satu hal yang terjadi, saya merasa dihargai dan dianggap ada – tidak seperti selama ini yang saya kira oleh mereka – mereka.

Kembali masalah pengalihan, saya merasa sudah mengalihkan rutinitas saya dengan menceritakan ini. Saya tidak menyebut ini sampah, karena ini terlalu berharga untuk saya. Biar saya abadikan saja dulu di sini. Setidaknya nanti saat saya membuka kembali lembaran postingan saya dan menemukan ini, maka saya mengenang bahwa saya pernah mengalihkan rutinitas saya dengan menulis. Satu hal lagi yang pasti, saya berhasil tersenyum. Setidaknya ekspresi ini sudah berada kembali di wajah saya, dan lumayan ada penambahan kecakepan sedikit....

Wah, sedikit narsis. Tak tahulah, setuju atau tidak atas proklamasi saya ini. Saya ucapkan, terima kasih sangat kepada kawan – kawan yang menyempatkan membaca ini. Terutama kepada teman – teman yang sudah memberikan attention atas sakitnya saya tempo hari.

September 26, 2009

Catatan siang - untuk yang menulis

Engkau tidak dapat melakukan sesuatu sendiri
carilah seorang Sahabat!
Jika engkau telah merasakan sececap
kehambaran (kelemahanmu), maka engkau akan
kecewa (pada dirimu sendiri).
(Nizhami, Treasury of Mysteries)


Selamat datang di dunia maya, di akhir pekan yang dingin ini. Malam tadi hujan, dan sekarang pun masih menyisakan tetesan embun dari atas atap - atap bangunan. Dan jejak - jejak basah di jalan.
Pagi ini ada sedikit obrolan saya dengan seseorang, seorang penulis yang dengan tulusnya ia mengatakan seringkali ia tidak begitu percaya diri dengan tulisannya. Sungguh sekali, saya sangat merasa tersanjung akan waktunya berbicara secara virtual dengan saya. Kenyataan bahwa ia telah melahirkan sebuah buku kolaborasi bersama rekannya yang lain adalah kenyataan yang saya ketahui. Dan saat ini ia...he..he..he...: ia katanya mencari chemistry buat nulis.

Menarik tentang dunia ini ( maya ), bahwa banyak yang dinilai sebagai seorang introvert lebih bisa mengaktualisasikan diri di dalam dunia yang rata - rata berdiagonal 12 - 14 inc ini. Dan seorang yang extrovert bisa mendamaikan dirinya dalam suasana yang pasif.....

Selamat menikmati dunia maya, silahkan menulis tentang apapun, siapapun, ato bagaimanapun...
dan dari saya : have a nice weekend lah...

Haitami

Bagaimana kabar ' Janda tua di gubuk yang tak berjendela '


Janda Tua di Gubuk Tak Berjendela

Oleh Bayu Gawtama
28 Peb 06 07:40 WIB

Jika di antara Anda ada yang sulit menangis, tak bisa menitikkan air mata, dan sudah terlalu lama kelopak mata Anda kering tak terbasahi air mata sendiri, datanglah ke Kampung Pugur, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Carilah rumah Ibu Laeni, janda berusia 64 tahun yang tinggal di sebuah gubuk berdinding bilik seluas 5x7 meter. Bangunan beralas tanah tak berpenerangan itu memiliki jendela, namun tak ada penutup jendela sehingga angin maupun cipratan air hujan leluasa masuk ke dalamnya.

Di dalam gubuk tersebut, tinggallah Ibu Laeni, seorang janda tua yang ditemani dua anak gadisnya, Neneng dan Jumriah. Neneng, sang kakak berusia 26 tahun, belum menikah dan tak bekerja. Neneng menderita gizi buruk sejak kecil, sedangkan Jumriah sang adik menjanda justru setelah memiliki 2 (dua) putra. Jadi, terdapat 2 janda dan seorang pesakitan di rumah tersebut, ditambah 2 anak kecil yang belum mengerti apa-apa.

Sehari-hari, Ibu Laeni, Neneng, dan Jumriah beserta 2 anaknya hanya berharap belas kasihan para tetangganya untuk bisa mendapatkan makan. Bila malam tiba, kadang mereka harus menjalani sepanjang malam tak berpenerangan, beruntung bila ada tetangga yang datang membawa setitik lilin yang hanya mampu bertahan tak lebih dari satu jam. Selebihnya, seisi gubuk pun kembali gulita.

Neneng yang menderita gizi buruk sering sakit-sakitan. Untuk wanita seusianya, seharusnya berperawakan besar dan tinggi, namun ia lebih mirip remaja baru tumbuh yang terhambat pertumbuhannya. Kemiskinan yang dialami keluarganya, membuat Neneng semakin menderita. Ternyata, tak hanya balita yang menderita gizi buruk, bahkan wanita dewasa seperti Neneng pun mengalaminya. Sang adik, Jumriah tak kalah menderita. Entah apa kesalahan yang dibuatnya sehingga sang suami tega meninggalkan ia bersama dua buah hatinya. Padahal, dua anak hasil pernikahannya itu sangat membutuhkan kasih sayang, perhatian dan perlindungan seorang Ayah. Sang suami yang diharapkan menjadi tulang punggung menghilang tanpa jejak. Jumriah pun tak pernah sanggup menjawab pertanyaan dua anaknya, " Mana bapak, bu...? "

Laeni tak pernah berharap hidup semenderita saat ini, ia pun tak pernah meminta diberikan umur panjang jika harus terus menjadi beban orang lain. Tapi ia masih punya iman untuk tak mengakhiri hidupnya dengan jalannya sendiri, selain itu wanita tua itu tak pernah tega meninggalkan dua anak dan dua cucunya yang tak kalah menderitanya. Baginya, anak-anak dan cucunya adalah harta berharga yang masih dimilikinya.

Gubuk berdinding yang sebagian atapnya rusak itu, di musim hujan air leluasa masuk, disaat terik matahari bebas menerobos. Tak ada barang berharga di dalamnya, hanya kompor dekil yang sering tak terpakai lantaran tak ada bahan makanan yang dimasak. Mereka menyebutnya rumah, tapi siapapun yang pernah melihatnya, menyebut gubuk pun masih jauh dari pantas. Tetapi di dalamnya, ada dua janda, satu pesakitan, dan dua anak kecil yang terus menerus menunggu belas kasihan.

...........................

membaca cerita di atas mengingatkan saya pada gubuk yang sudah lapuk di makan musim di perempatan bagian jalan yang saya lalui setiap hari saya jalan ke Mill site. Membaca cerita di atas, membuat saya bertanya - tanya bagaimana kabar penghuninya ? Ibu Laeni, Neneng, dan Jumriah beserta kedua anaknya ?
Karena bila ' rumah ' mereka itu adalah ' rumah ' yang yang selalu saya lewatkan di bagian perjalanan hari - hari saya, maka saya hanya ingin mengatakan : penghuni terakhir ' rumah ' itu ( seorang ibu tua ) sudah meninggal dunia 2 tahun yang lalu.
Saya hanya ingin bisa mendengar kabar mereka saja setelah melihat tanggal tulisan ini adalah Februari 2006.
Dan,.....
saya berharap mereka ( Ibu Laeni, Neneng, Jumriah beserta 2 anaknya ) adalah baik - baik saja.

September 25, 2009

Menggapai Cinta Robbani

Assalamualaikum Warrahmatullahi.....

Menggapai Cinta Robbani


Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan justru rasa haru biru. Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu. Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.

Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, " Jadi juga kau nikah sama ' buntelan karung hitam ' itu ....?!? " .Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut ' buntelan karung hitam '.
" Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam, gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !! ", sambung ibu lagi.

" Cukup Bu ! Cukup ! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan Allah.Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...? ". Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung mendengar ucapanku.

" Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu. baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini !! "


DEGG !!!!

" Yanto.... jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba ", teguran Ismail membuyarkan lamunanku. Segera kuucapkan istighfar dalam hati.
" Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah ...akhi ", sekali lagi Ismail memberi semangat padaku.

" Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas kawin seperangkat alat sholat tunai ! ". Alhamdulillah lancar juga aku mengucapkan aqad nikah.

" Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien. Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."


Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama. Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.

" Assalamu'alaikum .... permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan De'...? ", tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan dalam tunduknya.

Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur'an tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui. " Nanti saja dalam qiyamullail ", jawab istriku, masih dalam tunduknya.

Wajahnya yang berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.
Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ......bahwa wajah istriku ' tidak menarik '. Sekelebat pikiran itu muncul ......dan segera aku mengusirnya.

Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku. " Bang, sudah saya katakan sejak awal ta'aruf, bahwa fisik saya seperti ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya. Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka " ...

Dan bergaullah dengan mereka ( istrimu ) dengat patut ( ahsan ). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang banyak
(QS An-Nisa:19)

Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.

" Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."

Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih menyisakan segumpal ragu.

" Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh... saya siap menerima keputusan apapun yang terburuk ", ucapnya lagi.

" Tidak...De'.
Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah. Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi ", paparku sambil menggenggam erat tangannya.

Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait do'a kubentangkan pada Nya.
" Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu. Karena itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam Jannah-Mu !"

Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita sholihah sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya. Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa melaksanakan shoum sunnah Rasul Nya.

"...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya pada Allah ..."
(QS. al-Baqarah:165)

Note : Copas dari file komputer teman

September 24, 2009

Saya di sini.....dan mencintai


Saya mencintaimu, bila itu membuat saya menjadi orang yang tampak bodoh ? Saya minta maaf....Saya hanya ingin mencoba kau menjadi tahu, mungkin cara ini salah. Tapi ini adalah cara yang terlogis untuk saya bisa berbicara.

Saya merindukanmu, bila tak jua kau menyapa saya dengan rasa yang sama. Tak mengapa. Sedari awal saya sudah mengetahui rindu saya, bahwa ia takkan sanggup mengoyak jalinan rumit antara saya dan kamu. Setidaknya bagi saya.

Saya menanti, bila itu mengharuskan saya bernyanyi tentang cinta yang patah ? Hm, tidak. Saya masih bisa menyuarakan merdunya cinta yang berharap, dan mendrama puisi tentang seseorang yang dikagumi.

Saya di sini.

menunggu

merindukan

dan mencintai

Teman saya.....dan - rupa wajah yang lupa : ibunya.

” Tuhan, Ibuku harus Kau jaga baik – baik dia…..”

Ucap itu mengalir begitu saja dari seorang kawan. Tatapannya kosong. Ia masih menikmati isapan rokok mild-nya, seolah – olah ia tak mengucapkan apapun sedari tadi. Sementara saya sibuk memelintir sendok es teh yang tersaji. Ingin meleburkan gula – gula yang tersisa di dasar gelas menjadi lebur bersama sisa. Ah, saya benar – benar lupa tentang perkara larutan yang jenuh.

Bila kawan saya mengucap kalimat itu, mungkin karena apa yang menimpa ia. Pun meski ia tak sedih sangat akan perkara yang di hadapannya. Kehidupan yang sempat ia lakoni adalah kehidupan yang telah meremove segala bentuk kesedihan secara perlahan. Doktrinasi yang mengatakan dunia tak membutuhkan seorang yang cengeng, kau akan di habisi sebelum bisa bernafas kembali dengan normal.

Ibu.
Satu kata yang mewujudkan sosok yang melahirkan ia, kini kembali hadir dalam kembara pikir olehnya. Ia mengetahui sekali bila sosok ibu yang seharusnya ia banggakan dulu di masih kecil, yang ia bisa berlari dari kemarahan sang Ayah dulu - sudah hilang dalam pengenalannya akan orang – orang yang pernah bersama ia. Bagaimana tidak ? Ia sudah tak mengenal wanita yang disebut ibu itu sejak ia baru lepas dari ketergantungan susu. Berumur 2 tahun berlebih bilangan bulan. Rupa wajah yang ter-lupa oleh-nya. Bukan karena ia ? tapi karena wanita itu yang meninggalkan ia begitu saja.
Prahara rumah tangga yang memberangus hak – hak ia saat beberapa rekan sejawatnya justru membanggakan keberadaan surga di telapak kaki seorang Ibunda, itu ketika ia mulai mengeja pendidikan dasar. Cerita kecil yang meminggirkan ia sebagai penonton dalam suasana kelas yang riuh.
Ia pernah bercerita akan khayalannya tentang tokoh ibu, dan bermunculan wajah – wajah yang menaungi ramah. Tapi semakin mendewasa ia, kehidupan tak memberikan ia kesempatan melukiskan kembali mimpi - mimpinya. Dan lambat laun ia sudah tak mampu membentuk wajah itu.

Sedari kecil sang Ayah yang berada di sampingnya. Sedari kecil, hanya sang Ayah yang membelai kekakanakannya. Tamparan, caci maki, siksaan, dan sumpah serapah dari mulut yang berbau busuk karena alkohol. Benar, sedari kecil yang ia tahu sang Ayah-lah yang ’menyayanginya’. Tidak oleh seorang ibu, dan tidak pula oleh lonte – lonte yang saban minggu berganti rupa dalam bilik rumah tuanya dulu.

Kawan saya punya cerita, selayaknya kami yang juga punya sekian cerita tentang siapa kami dulu. Kawan saya tak pernah menangis, yang oleh saya – seharusnya ia menangis.

..........................

Ibu.
Ada kenangan perempuan tua yang mereyot lelah di panti jompo sebuah kota.

” Haitami, kau ingin tahu di mana ibuku ? ”

Saya mendelik padanya, itukah yang ia maksudkan dengan mengajak saya kesini di sela – sela perjalanan dinas kami.
Lantas ia menyeret saya ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan orang – orang tua yang sedang berbaring lelap. Mirip bangsal sebuah rumah sakit. Hanya saja di sini terlihat kesunyian manusia – manusia yang renta. Kami tak terhiraukan oleh tanya mereka.
Ada satu ranjang yang rapi dan masih memutih seprainya. Ia menghampiri ranjang itu, dan tersenyum...
” Beliau dulu di sini, di ranjang ini ”, seraya tangan itu menelusuri bantal dan hamparan kasur, ” dan ia meninggal seminggu yang lalu ”, ucapnya bergetar, tapi tak jua menangis.

” Bagaimana kau tahu ia ibumu ? ”, saya mengeryit tanya

” Heh, ya....” ia berpaling ( kembali ) memberi senyum pahit pada saya ” Aku ini anaknya..... ”, hanya itu yang mampu ia jelaskan, sembari menepuk dada saya.
” Oh ya, bila nanti kau mampus duluan, tolong tanyakan pada ibuku, apakah ia tau aku ini anaknya - yang selalu berkunjung pada dia ? karena bila aku yang lebih dulu, aku sendiri yang akan menghampirinya di sana......”

Ia pergi meninggalkan saya yang masih terpaku dalam ruang besar yang sudah mulai di tinggal tidur siang oleh penghuninya. Seolah hanya saya yang masih bernafas salah. Rangkaian episode kehidupan yang rumit telah membentuk ironi yang tak terpetakan.
Seharusnya kawan saya menangis, setidaknya ia harus menyisakan air matanya dulu untuk ini. Ahk, saya tak mengerti jalinan ini........

September 23, 2009

Maafkan saya bu, saya mengecewakan

Ia memandang saya dengan penuh rupa, dan saya pun memandangnya dengan segala harap bahwa saya pernah mengenal ia. Wajah tua yang bertanya itu terus menghunjam tatap yang redup….

Saya memutuskan mendekat, bagaimanapun saya seorang muda daripada ia yang keriput. Ibu itu masih terpaku dengan sikapnya.
Berjarak langkah tepat saya di hadapannya. Saya ingin ia mengatakan siapa saya untuk ia, dan saya berharap saya diingatkan bahwa saya adalah seseorang bagi ia.
Beberapa detik saya berhadap dengan ia. Waktu menjadi beku dan kaku. Hingga ia beringsut berbalik dari hadapan saya.

” Maaf nak, saya pikir engkau anak Ibu...”

Langkah itu segera menjauh, perlahan tanpa suara yang meninggalkan jejak ampunan.
Ahk, saya terkesima. Bayangan sosok itu mungkin tak sempat mengeluh, tapi cukup menyiratkan kekecewaan. Saya bukan anaknya, dan saya tak bisa menempatkan beliau menggantikan posisi mama saya.

’ Maafkan saya bu, bila saya mengecewakan....’

Saya pun berbalik arah, tas ransel yang menggantung di pundak terasa membeban rindu.

Saya melangkah…..

September 22, 2009

Mama saya lebih dari seorang Guru, bahkan guru yang hebat sekalipun.

" Mama saya seorang guru Kak. Beliau selalu pergi ke sekolah jam 7 pagi. Dan tiba di rumah sore jam 4. Mama saya seorang guru yang hebat. Beliau selalu mendapat penghargaan dari Dinas. Dan banyak piala di rumah saya...."
Anak itu lantas berlari, berpaling dari saya. Sekejap saja dia berhasil menceritakan seorang mama yang hebat kepada saya.

Saya tertegun,
Mama ?
Mama saya juga seorang yang hebat. Beliau tidak pergi kemanapun. Ibu rumah tangga dari rumah yang sederhana. Selalu setiap subuh membangunkan saya untuk ikut Abah naik sepeda ke mushola. Saya di cuci muka, di pakaikan sarung. ” Ikut Abah yach !! Abah mo pergi ke langgar. Setelah ini kau bisa beli pundut nasi di Julak Aji.....” sembari melapiskan baju lengan panjang saya dengan jaket woll yang tebal dan memasukkan beberapa lembar uang ke saku saya. Setelah itu senyum mama mengiringi perjalanan sepeda pancal Abah ( dan saya pada boncengannya ) di kedinginan subuh desa tempat kami dulu membangun kehidupan.

Mama saya juga seorang guru. Mama selalu menceritakan dongeng kepada kami ( saya, kakak, dan adik saya ). Dongeng tentang monyet yang curang, bebek yang genit, kura – kura yang lemah, dan satu yang saya suka, mama punya cerita tentang gajah yang berhasil mengeringkan pematang besar untuk seeokor anak ayam lewat mencari induknya. Dan untuk itu saya sering pergi ke huma di belakang rumah dan membawa anak ayam sambil menunggu sang gajah datang.

Mama selalu mengajarkan saya tentang harmonisasi kehidupan yang lembut di belaian tangannya, dan rindangnya keteduhan dipelukannya. Saat saya sakit, saat saya bermimpi, saat hari – hari selalu kasur saya yang menghiasi jemuran belakang rumah karena kebiasaan kencing yang tak terkontrol oleh kecil saya. Ahk, banyak hal untuk saya kembali memutar slide – slide masa lalu dari gumpalan syaraf saya. Tentang Mama.
Semua ada di masa kecil saya. Saya ingat, dan saya mengenangnya.

 

Mama ?
Mama saya seorang yang......


Mama saya lebih dari seorang Guru, bahkan guru yang hebat sekalipun.
Sayang anak itu sudah pergi, sebelum saya sempat menceritakan kepadanya tentang Mama saya.

September 20, 2009

Puisi malam


Memetik bintang

dan menempatkannya di hamparan rasa hati,
savana rindu

Lantas saya raih butiran bulan di langit itu.
Tak mengapa wajah malam berupa gelap,
…..karena hati kan melampu terang untuk saya bermimpi.

Dan serupa wajah yang nyata tersenyum kembali,
akhirnya….

Di ingat saya,
….dan di harap saya.

Semoga

September 19, 2009

Entah kemana ia pergi....


Ada gumpalan mendung yang berarak malu,

Menghitam langit,
Mengirim rindu yang baru saja menguap dari dasar hati
Entah kemana ia pergi...

September 17, 2009

Catatan ngawur - di penghujung Ramadhan

Speed Boat terakhir sudah berangkat jam 09:00 WITA tadi pagi. Keberangkatan dari Tuana Tuha. Desa yang berjarak + 70 Km dari Kamp tempat saya bekerja. Ada 4 unit Speed Boat yang jalan melayani puluhan staff gelombang terakhir yang kembali ke daerah yang mereka sebut kampung halaman.

Hm, kampung halaman ?
Saya ingat kejadian sore di dua hari lalu....

Pulang ? Pulang kemana saya pak ?
Kalimat yang diberikan oleh seorang Bapak tua saat saya beramah tamah untuk sekedar bertanya di sela kesibukan beliau menerabas ilalang di depan long housenya. Jawaban yang kemudian ada sedikit cerita dari beliau untuk saya. Sekedar cerita tentang kampung halaman yang entah.....

Saya sudah tua Pak, anak – anak saya pun sudah ingin hidup normal. Saya tidak pulang, saya tidak kemana – mana, karena di sinilah kampung halaman saya dan anak – anak saya......

Beliau mengakhiri jelajah hidupnya yang membuat saya pias hati. Jelajah hidup yang pernah berkutat di lusuhnya hamparan bedeng - bedeng kardus rel kereta api - jembatan layang, kota Jakarta. Batam dengan kemiskinan yang mencekat. Terusir dari Surabaya. Dan terakhir Samarinda, hingga ada seorang kawan yang mengantarkan beliau dan keluarga ke kamp ini.
Karyawan panen perusahaan perkebunan yang saya juga bekerja.

Saya jadi teringat tentang sebuah tempat khayalan yang kembali semarak saat kematian superstar MJ.

Yaps, Neverland.
Suatu tempat yang bukan hanya karena kita tidak pernah dewasa, tapi lebih dari itu : Neverland adalah sebuah dunia dari masa lalu.
Dan apa yang teringat tentang Neverland saya, ada segerombolan bocah yang berjalan sambil bernyanyi tentang ' aku anak TPA ' - plesetan dari lagu aku anak sehat ( salah judul ya sepertinya ? ) sembari membawa jilidan iqra di ransel kecilnya yang berat. Maklum, mama sengaja memberikan sangu makanan plus botol aqua tanggung yang berisi susu penuh. Dan Ramadhan adalah saat membanggakan diri dengan absensi tarawih di buku kecil, saat mendapatkan tanda tangan sang Imam....

Ahk, saya akui saya rindu akan kehidupan yang dulu. Saya ingin kembali pada sebahagian mereka yang masih di sana. Rumah tua, cerita dongeng sebelum tidur, dan petromak gantung di sudut ruang dengan jelaganya.
Dan itu tak berarti saat Bapak tua itu dengan kegetiran mengatakan bahwa di kamp ini lah kampung halamannya.

Jujur saja, saat ini saya mengalami kesedihan. Payah, seorang laki - laki bersedih ?
Seperti yang saya pernah katakan bahwa air mata sebenarnya bukanlah perwujudan emosi...ia tercipta sebagai obat untuk menuluskan rasa. Itu saja mungkin.

Baiklah, ini adalah catatan kecil saya di penghujung Ramadhan ini. Langkah terakhir yang menanyakan kenapa saya tak ikut pulang adalah dari seorang rekan yang mungkin sekarang berada di taksi charteran yang membawanya ke sepinggan Balikpapan.

Kenapa saya tak pulang ?
....untuk saat ini - persis seperti jawaban Bapak tua : Pulang ? Pulang kemana saya ? Di sinilah rumah saya, kampung halaman saya, dan.....

Hm,
untuk kakak saya di suatu daerah yang mengikuti bakti seorang istri terhadap suami.
untuk adik saya yang memutuskan berlebaran di tempat istrinya.

Sepertinya rumah tua itu sudah tak berpenghuni ya ? kita sudah mempunyai kehidupan masing - masing ?

Dan,....
saya ingin bersedih dulu saja...
:)

September 11, 2009

catatan usang - untuk tidak pulang

Bila ada kata yang sangat menyakitkan hati saya beberapa hari ini ini, itu adalah : PULANG.
Dan pertanyaan yang membuat saya diam dan ingin marah adalah : kapan pulang ? Pulangkah lebaran ini ?

Tapi ya sudahlah,
Selamat pulang ( kembali ) ke rumah, ke kampung halaman, atau suatu tempat apapun yang ingin kalian maknai dalam moment lebaran ini.
Silahkan,
apa yang saya kerjakan sekarang ?
saya sedang menyusun power point ucapan selamat Idul Fitri, ingin saya kirimkan ke beberapa rekan - rekan kerja dan beberapa orang di jalinan pertemanan saya. Selambatnya senin mungkin akan terkirim oleh saya.
Dan pertanyaan terakhir, jadi apa yang akan kau kerjakan di sini ?
saya tak nak tahu kawan,.....
mungkin saya menangis di malam Idul Fitri itu, entah saja.....

Ok, selamat mudik bagi kawan - kawan di MP yang ingin melakukan perjalanan itu.
be careful...!!
Semoga setelah ini akan banyak cerita dari kalian untuk saya nikmati.....

September 10, 2009

Wanita Jelata

WANITA JELATA

Seorang Gubernur pada zaman Khalifah Al-Mahdi, pada suatu hari mengumpulkan sejumlah tetangganya dan menaburkan uang dinar di hadapan mereka. Semuanya saling berebutan memunguti uang itu dengan suka cita. Kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek. Ia terlihat diam saja tidak bergerak, sambil memandangi para tetangganya yang sebenarnya lebih kaya dari dirinya, tetapi berbuat seolah-olah mereka orang-orang yang kekurangan harta.

Dengan keheranan sang Gubernur bertanya, " Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang dinar itu seperti tetangga engkau? "

Janda bermuka buruk itu menjawab, " Sebab yang mereka cari uang dinar sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya butuhkan bukan dinar melainkan bekal akhirat."

" Maksud engkau? ", tanya sang Gubernur mulai tertarik akan kepribadian perempuan itu.

” Maksud saya, uang dunia sudah cukup. Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu salat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan kekal."
Dengan jawaban seperti itu, sang Gubernur merasa telah disindir tajam. Ia insaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah ruah, tak kan habis dimakan keluarganya sampai tujuh keturunan. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad, dan Malaikat Izrail sudah mengintainya.

Akhirnya sang Gubernur jatuh cinta kepada perempuan lusuh yang berparas buruk rupa itu. Kabarpun tersebar ke segenap pelosok negeri. Orang-orang besar tak habis pikir, bagaimana seorang Gubernur bisa menaruh hati kepada perempuan jelata bertampang jelek itu.

Maka pada suatu kesempatan, diundanglah mereka oleh Gubernur dalam sebuah pesta mewah. Juga para tetangga, termasuk wanita yang membuat heboh tadi. Kepada mereka diberikan gelas crystal yang bertahtakan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernur lantas memerintah agar mereka membanting gelas masing-masing. Semuanya terbengong dan tidak ada yang mau menuruti perintah itu. Namun, tiba-tiba terdengar bunyi berdenting, pertanda ada orang gila yg melaksanakan perintah itu. Itulah si perempuan berwajah buruk. Di kakinya pecahan gelas berhamburan sampai semua orang tampak terkejut dan keheranan.Gubernur lalu bertanya, " Mengapa kaubanting gelas itu? "

Tanpa takut wanita itu menjawab, " Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkurang kekayaan Tuan. Tetapi, menurut saya hal itu lebih baik daripada wibawa Tuan berkurnag lantaran perintah Tuan tidak dipatuhi."

Gubernur terkesima. Para tamunya juga kagum akan jawaban yang masuk akal itu.
” Sebab lainnya? ", tanya Gubernur.

Wanita itu menjawab, " Kedua, saya hanya menaati perintah Allah. Sebab di dalam Alquran, Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, Utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan Tuan adalah penguasa, atau ulil amri, maka dengan segala resikonya saya laksanakan perintah Tuan."

Gubernur kian takjub. Demikian pula paran tamunya. " Masih ada sebab lain? "

Perempuan itu mengangguk dan berkata, " Ketiga, dengan saya memecahkan gelas itu, orang-orang akan menganggap saya gila. Namun, hal itu lebih baik buat saya. Biarlah saya dicap gila daripada tidak melakukan perintah Gubernurnya, yang berarti saya sudah berbuat durhaka. Tuduhan saya gila, akan saya terima dengan lapang dada daripada saya dituduh durhaka kepada penguasa saya. Itu lebih berat buat saya."

Maka ketika kemudian Gubernur yang kematian istri itu melamar lalu menikahi perempuan bertampang jelek dan hitam legam itu, semua yang mendengar bahkan berbalik sangat gembira karena Gubernur memperoleh jodoh seorang wanita yang tidak saja taat kepada suami, tetapi juga taat kepada Gubernurnya, kepada Nabinya, dan kepada Tuhannya.