Powered By Blogger

Maret 20, 2009

Saya pulang

Saya pulang
Pulang ke kerinduan dekap

Pada senyum senja yang mengambang awan
Pada taburan lembayung yang semakin merona karena jauhnya bumi menari di porosnya.

Lembayung yang jingga
Lembayung yang biasa

Saya pulang.
Mengajak keluh di tapak jejak

Hari ini
Untuknya sejenak beristirahat.

Saya pulang

Meninggalkan jejak di bumi yang asing

Meninggalkan jejak yang terasing di bumi yang asing.

Saya hanya menciptakan sedikit langkah di setiap titian. Ketakutan selalu bersemayam dalam jiwa.

Mencoba mengoyak dan menyayat noktah – noktah keyakinan.

Untuk seorang sahabat, yang masih saya coba mengenalnya dengan baik.
“ Kau benar, keterasingan kadang membuat kita semakin faham dan mengerti siapa kita dalam kehidupan.
Bahwa keterasingan semakin membuat kita mengenal Ia “

Saya ingin jejak itu kembali menyapa.
Tidak saja untuk dikenang, tapi untuk menjadi penyadaran bahwa saya pernah melewatkan sekian titian yang saya hampir merasa terabaikan.

Saya menunggu suatu saat.
Suatu saat saya akan mengucapkan :
“ Saya pernah melewati itu “


Untuk seseorang !
“ Tetap menyadari bahwa hatimu adalah yang terjernih di hamparan keraguan “

Maret 19, 2009

Sketsa hidup yang usang

Dalam titian rindu yang meranah pijak akan kegoyahan, berulang kali semangat itu ia topang dengan kegetiran. Ia kerap menangis di belakang tawanya. Ia sering tesenyum pahit di sela kumandang syukur alunan semesta. Ia yang belakangan hari merasa hampa.

Apa yang termakna dalam pikir ia ?

Debu kota malam adalah kegelisahan kehidupan dari ratusan manusia yang terlupa. Adit kecil yang tersungkur di emper bangunan tua seorang Madame Tia, berkawan dengan sebotol kosong anggur dan – beberapa - potongan cerutu ganja yang terhisap pula ampasnya. Atau kehadiran penjual mie ayam yang penuh harap mencari manusia lapar di hamparan malam. Pak Bendu yang tertidur di kuda roda tiganya. Penumpangnya masih setia melayani ‘ sang tamu ‘ di kamar surga.

Akh, ia semakin sering menggigit bibir mungilnya. Bahwa hidup itu adalah takdir bagi yang terpinggirkan.
Bila hidup itu adalah jalinan mimpi dan ribuan harap selayak bintang, maka hidup bukan untuk ia.

“ Maka berbicaralah kita akan cinta “, khayalnya membentuk jalinan rumit akan mimpi seorang srikandi. Beribu Arjuna telah ia suguhkan tarian pengabdian, selayak Drupadi yang menari, tertelanjangi keangkuhan dasartha.

ia tak lagi merasa cinta,

Dirinya lah seorang cinta kepada anaknya yang kini mulai mengeja Iqra di samping Ibunya yang kian renta.
Dirinya lah seorang cinta akan seorang laki – laki yang menjauh di saat kritis teriaknya di ambenan bidan desa.
Dirinya lah cinta yang berpeluh itu.

Hingga kota menawarkan takdir untuk ia.
Bahwa hidup adalah pertahanan.
Bahwa hidup adalah panggung sandiwara,
maka ia lakoni sandiwara itu – kini.

Dan seperti malam yang telah berlalu, malam yang sama sejak tiga tahun yang mengenang derita. Seorang arjuna datang.
Menawar cintanya,…
Menggamit lengannya,
membawanya pergi…..

Membawanya ke sepucuk cinta yang – coba - ikhlas ia persembahan untuk Anak dan Ibu nya.

Maret 18, 2009

puisi bahagia - saya bahagia

Aku yang bermimpi,

atau kau yang menampakkan rasa

Kau jemput aku
dan menuntunku hingga terakhir kau berpaling untuk memberi celoteh kecil
mengenang rindu
mengenang yang terlewati
silam

.... bulir padi kakimu mengayunkan langkah bidadari
menjejak tapak yang basah

seiring senyum senja,
mengambang di pelataran pantai
Mengejekku ?
' aku cemburu '

...

Kau berdansa
gemulai, rintihan suara angin memekik di telingaku
kau semakin tertawa

' Ayo, ayo....wahai ksatria '
' berdansa dengan saya....mari berdansa dengan saya '

sekejap ku turutkan keinginanmu
ku tergelak tertawa,
kau berputar di sumbu peganganku
menikmati tarian

terbahak - bahak
dan kita menciptakan bahagia
bersama - sama

Maret 16, 2009

Membingkai asa dalam waktu

Membingkai asa dalam waktu
Aku hanya bisa melagukan beribu khayal, yang – akhirnya - tentu saja membuatku terlena dirayu ribuan bidadari. Dicumbu mereka, hingga aku terkapar lelah.
Yah, aku lelah dan kembali menemui kenyataan.

Gerimis di mataku pun sudah ku sapu dengan keringatku….sudah lama, hingga kini ku tak lagi mengenali kekanakanku. Yang dulunya sempat merasakan kerasnya cubitan Ibu dan tamparan tangan Abah di wajah ini.
Aku tak lagi punya kenangan itu…….

Waktuku kini adalah perseteruan antara keikhlasan dan rasa kekalahan akan segalanya hingga menjadikan aku seorang pengiri dan pendendam halus, dendam yang ku semat sendiri dalam hati. Dan memupuknya hingga menjadikan nya tanah hitam yang berakar kuat di dada…..

Aku terbuang….
Aku terbuang dari kehidupan yang seharusnya ada,…
Aku terkalahkan.

Aku pun berlari menjauh, dengan berjuta kalimat penghibur untuk diri sendiri……yang selalu berakhir pada simpul : aku tak lagi punya tempat di tanahku.
dan lantas aku terjatuh dalam kebimbangan
tanpa rencana, tanpa niat
perjalanan itupun terawali, aku melangkah pergi

……………………………………………………………..

Aku tak juga menangis,
setiap setiap malam,setiap waktu
Aku menjelma menjadi Rahwana yang rakus
Aku menjelma menjadi Fir’aun yang sombong
Aku menjelma menjadi Malin Kundang yang tak lagi punya rindu
Aku menjelma menjadi sosok yang tak terkenali, aku terjebak dalam diriku sendiri kini……

Dan malam ini,
“ Pulanglah Nak, Ayahmu akan kami kebumikan besok. “
Mendung di mataku yang telah lama ku aniaya, kembali melahirkan air mata.
Aku ( pun ) menangis,…..

Maret 10, 2009

yang tak semestinya - pemberontakan hati

Sungguh kuterjebak dalam pusaran mimpi, saat semuanya terasa asing malam ini.

Cermin jiwa,

Bayang hati,

Menyadari sekali bila diri ini mulai ikut memutih bersama tebaran buih laut.
Menyapa di antara riak, dan hancur...

Aku terperangkap di jalan yang tak seharusnya ada. Pada siapa ku lempar rasa salah ? pada siapa ku titip tanya mengapa ?

Lirik lagu rindu berpendar di selaput ari dan menusuk jauh dalam jaringan sel syaraf yang berpilin rumit. Aku terkesima, aku terjerembab dalam keraguan.

Sekelumit memori tua hinggap kembali seperti celoteh kecil kupu – kupu yang baru saja keluar dari chrysalisnya. Aku terperangah gundah. Masa lalu yang terbentuk dari mimpi – mimpi akan kemewahan kini menampakkan wujudnya. Menagih janji,…dan menyumpah serapah akan ketidakberdayaan pemiliknya.

Mereka meraung – raung selayak laron yang membumi di saat kelembapan jiwa terasa. Menghinggapi pikiranku yang panas.

Sekali – kali kukibas mereka, hingga beberapanya tersungkur kembali menemui nyata. Aku tergelisahkan, aku kini mulai menumbuhkan rasa takut yang sangat di sisi kesombongan hati. Laron itu semakin menjadi dan kumpulannya membentuk godam yang beberapa kali menghancurkan nalar akalku.

Ibu,
adakah kau beri niat anakmu ini kemiskinan sebelum lahirku ? Ataukah kubangan jelaga ini adalah memang pusaraku ? Tapi mengapa saat itu selalu kau tunjukkan sisi lain, dari rumah kecil kita.
Kau berbagi cerita tentang istana Aladin yang terbentuk hanya dari usapan halus di lampu tua. Kau nyanyikan cerita Ksatria yang menundukkan ribuan jin dan memaksanya mereka tersumpah dan terbudak pada candi cinta.

Dan kau wahai Bapak,
Di manakah cangkulmu saat ku berlari menyapanya ? Kau lebih memilih mengusirku ke tengah dunia buku – buku dan kumpulan bocah – bocah mama ? Kau mengantarkan padaku dunia gedung tua di kota yang baru menggeliyat muda, hingga lambat launku tak lagi mengenal lapuknya tiang pondok kita ? Kau yang membuatku tak lagi mengenali rumahku ?

Tapi apa katamu Ibu ?
selepas tubuh tua Bapak menghilang di balik sempitnya tanah pekarangan yang tersisa, kau hanya dan selalu menyeruput subuh dan senja dengan zikirmu.

Kau diam.
Dan tanganmu yang layu itu hanya menunjukkan baris – baris yang lama tak ku kenali lagi. Kau mengalunkannya merdu, seolah – olah kau ingin membunuh gelisahku dengan gerak bibirmu.

Ibu,…..

Nestapaku hanyalah penantian akan sumpahmu, sumpah yang bisa kau layangkan ke seluruh penjuru langit. Sumpah yang bisa membuatku terkungkung di aliran sungai tangis kesalahan. Aku yang tak berbudi, aku yang tak juga bisa berhasil mengarungi lautan harapanmu. Harapan Bapak.

Maafkan aku Ibu,

Maka ijinkan anaknda kembali,
Kan kupenggal bukit dan menciptakan kembali ladang untukmu.
Biarkan anaknda menciptakan hamparan langit yang setiap saat bisa kau kembarai di sela – sela tua mu…..

Ibu.

Maret 06, 2009

Pulang

Hening hari,

Saya ingin menyudahinya

Terlambat untuk air mata
dan terlambat untuk sesal itu

( Mencoba ) mengakhirinya,.....

Hm, saya pulang