Powered By Blogger

Juni 29, 2009

...................

Cupid is stupid.
Stupid cupid must weep.


Terakhir kali dan untuk pertama kali cinta itu menyapa, saya merasa menjadi orang teraniaya. Menjadi orang yang menyedihkan. Lantas membentuk diri yang apriori akan makna rasa. Saya menyakini, bila absurd rasa itu adalah cinta, maka menghakekati proses rasa itupun adalah usaha yang sia – sia.

Saya mencintai dan ( mungkin ) dicintai. Pengjewantahan kalimat ini lebih sering menjebak diri dan mengisyaratkan hasrat pada lawan jenis. Jaman membuat pemaksaan. Kalimat saya mencintai, saya cinta kamu adalah sesuatu yang melelahkan. Perlu perjuangan.
Maka, saya mencintai dan ( mungkin ) dicintai kepunyaan saya, milik saya lebih sering saya jadikan ’ sampah ’ yang saya tepikan di blog ini. Saya terlalu munafik untuk mengakui rasa itu, mungkin saja ?. Saya terlalu teoristis, bolehlah ? Saya terlalu naif mengartikan, saya tak menyangka hal itu ? Dan sayaaaaaa. Saya mungkin tak terlalu mempunyai banyak tenaga untuk mengaplikasikan rasa yang saya punya untuk kebahagiaan saya ?

Seorang kawan menghujat saya, dan berkeyakinan akan ada perempuan yang datang dan menghajar saya habis – habisan akan pemaknaan sombong saya ini. Saya tantang dia untuk menghadirkan sosok itu. Dia nyengir panjang, sepanjang pemaknaannya yang tanpa cerita. Kartu undangan itu dia kasihkan dengan saya.

Aku tidak mengenal dia terlalu baik, tapi aku berkeyakinan kami bisa menjadi keluarga yang hebat.
Aku cinta dia ? saat ini, aku berusaha untuk melangkah ke pemaknaan itu.
......yang pasti aku akan mencintai dia setelah proses akad nikah nanti terlaksana. Aku akan belajar mengerti dia, belajar memahami dia, belajar banyak untuk saling menyayangi....
Kawan, aku dan dia punya komitment yang sama. Bahwa kami perlu suatu wadah untuk kami bisa berbagi secara syari’ . Bahwa kami perlu menciptakan generasi bagi kami kelak. Bahwa kami sama – sama mengerti, kami mempunyai rasa yang bisa kami tempatkan dalam bingkai yang halal. Untuk itu aku akan belajar mencintainya nanti. Dan kau !! sekarang tinggal kamu bagaimana menyikapi kau punya rasa itu.....


Mereka punya nama tertera, ada dua buah burung yang mengikat di antara bentuk hati. Saya cedera dalam pikir. Saya akan mencintai dan ( mungkin ) dicintai suatu saat nanti.

Tertinggalkan waktu - saya dulu

Kau terbangun dari tidur panjang yang lelahkan mu
Sesali wajah mu merenta, kisah mu terlupa
Kau sadari semua yang berjalan t’lah tinggalkan mu
Dan tak dapat merangkai semua, dekat di khayal mu

Kau harapkan keajaiban datang hadir dipundakmu
Kau harapkan keajaiban meleng-kapi khayal mu

Kau biarkan mimpi tetap -
-mimpi yang meleng-kapi khayalmu
Kau terhenyak dan terbangunkan,
harapkan keajaiban datang, hadir di pundak mu

Kau mencari letak masa lalu yang lepaskan mu
Sesali wajah mu merenta, kisah mu terlupa
Kau sadari semua yang berjalan t’lah tinggalkan mu
Dan tak dapat merangkai semua, dekat di khayal mu*

* tertinggalkan waktu by peter pan


Bila mencari syair lagu yang benar - benar mempresentasikan kehidupan saya, itu saya dapatkan di lagu ini.
Dulu, dan sejujurnya saya mempunyai rasa yang berbeda setiap kali mendengar lagu ini
Ada sesuatu yang baru saja sepertinya saya lewati.
:) Saya mengenang saya dulu.

Juni 24, 2009

Membunuh rasa

Ada bisik jiwa menggelora, untuk segenap rasa yang saya punya. Saya mendekapnya hingga kedinginan.
Sehingga rasa hangat adalah tafsir dahaga sebuah kata : nafsu.
Saya bertahan dalam erat payah akan keikhlasan dan kesabaran. Menuntun dekil raga, kerdil hati, dan selaksa jiwa yang mengunduh keluh dalam hamparan panjang waktu.
Tuhan, saya ingin sabar.
Saya ingin Kau tahu bahwa saya bisa.

Tuhan,
bila ini adalah yang terbaik buat saya. Maka biarkan saya berkata saat kerinduan itu menyapa.
"...Bahwa cinta tidak ada. Untuk waktu yang lama......"

Juni 23, 2009

Saatnya mengerti pada diri

Saatnya untuk mengerti, pada diri. Bahwa ia adalah sebentuk jasad, yang ingin sejenak berhenti. Untuknya sekedar mendapat rehat. Dalam kesunyian, d atas alas yang menghampar.

" Bismika Allaahumma ahyaa wa bismika amuut "


...dengan nama Engkau ya Allah aku hidup, dan dengan nama Engkau pulalah aku mati......

Juni 22, 2009

Cerita dalam rangkai waktu

Ia masih terlihat seperti yang dulu, yang membedakannya hanya mungkin dari cara penampilannya yang kini terlihat seperti Bapak - Bapak. Celana kain panjang hitam dan kemeja lengan panjang tebal keluaran Imagine warna biru. Bentuk badan besarnya juga sama. Gendut, tapi tertutupi tinggi badan. Seperti 7 tahun lalu, saat saya mengenalnya terakhir kali yang saya tau. Saya mendekatinya yang sudah lebih dulu menempatkan posisi di Bantaran sungai depan kantor Gubernuran. Akhirnya kami berhasil menepati janji untuk bertemu setelah sekian lama. Dan itu terjadi malam ini, di sini.

Saya mendekatinya. Ia menoleh dan lantas kembali menatap sungai yang menghampar.

” Kau telah berubah....”, ucap itu datar saja. Sedatar ekspresi mukanya. Saya hanya tersenyum kecut. Mendebat hati. Saya merasa panas atas predikat ’ saya berubah ’ yang ia sematkan. Saya merasa lebih baik dari ia.

” Bagaimana kabar perantauanmu ? ”, ia berucap sesaat setelah kepulan asap rokoknya ia keluarkan dengan irama. Ia tersenyum sembari mengadahkan pocari sweat ke muka saya ” Kau terlihat dewasa kawan....”

” Ya, begitulah Nu,.....”, saya memberi ia senyum seraya menyulut rokok. Dan kami terjebak pada pemandangan yang elok di hamparan sungai.

Angin di bantaran Sungai Martapura yang membelah Kota Banjarmasin malam ini sedikit berhembus kencang. Malam yang pertama kalinya kami kembali membangun cerita bahwa dulu kami sempat ’ berjuang ’ di kota ini setelah sekian lama kami meninggalkannya. Kami sama – sama menyandar pegangan di siring beton, menikmati riak – riak sungai. Deru suara kelotok bersahutan di tengah sungai yang gelap. Hanya bayang lampu sorot dari kapal – kapal itu yang kelap – kelip. Memantulkan riak sungai seperti pecahan kaca yang berserak di atas air.

Ia adalah karib saya. Perawakannya yang tinggi besar ditambah berat badannya yang plus dan saya yang seorang nekat membuat kami 2 manusia yang tak terbantah di sekolah dulu. Tanpa berkelahipun ia menjadi seorang jagoan, dan saya lebih menempatkan diri sebagai sahabat seorang jagoan. Sekolah lanjutan pertama dan akhir kami lalui bersama.

Kami bukan dari keluarga yang sangat mampu, maka lakon usai sekolah kami adalah berkumpul di suatu wilayah parkir yang kebetulan dikelola oleh paman saya sendiri. Kami mencari tambahan belanja dari sana. Ia dan saya. Kami cukup berkeringat di Kota ini. Dan saat kebersamaan itu yang membangun komitment persahabatan dalam kata erat. Tapi itu adalah dulu.....

Setelah lulus, ia memutuskan kuliah di Bandung. Desain Grafis ia pegang. Ada tanah waris yang disediakan Alm. Sang Ayah untuk biaya ilmunya. Entah dengan alasan apa saat itu. Yang pasti intensitas hubungan kami seolah menguap begitu saja. Saat berbagi kabar hanyalah saat mendekati Idul Fitri atau saat ia kacau dan mengirim keluh, dan itupun hampir tidak pernah saya temui sosoknya di Kota kelahiran.

Sementara, sejak saat itu, saya memutuskan bertualang ke segenap Kabupaten di tanah Kalimantan yang Selatan ini. Saya cukup merasakan mencangkul parit, penjaga toko kecil, pekerja serabutan dari proyek jalan Trans Kalimantan, dan macam kerja lainnya.

Hampir 7 tahun ia menamatkan kuliahnya, dan hampir panjang keluh kesah yang terkirim. Ia sempat mengatakan kegamangannya akan Tuhan, itu saat saya terpuruk sebagai pekerja pembangunan mesjid di ujung Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Ia berhasil menggugurkan kandungan pacarnya yang hamil muda, dan saat itu saya ingat sekali saya tidak punya apa – apa untuk saya kirim ke Ibu saya di Kota. Ia berkelahi dengan anak – anak motor di Dago dan jahitan yang 12 iris di sikunya, saya saat itu ada di Sungai Danau mencoba melamar kerja di Perusahaan Batu bara.

Dan sekarang, sosok sahabat ini berdiri di samping saya. Bersama kami menghadap sungai Martapura. Sungai elok, yang hamparannya tersaji indah dengan kehidupan sungai masyarakat Pasar terapung. Seperti arusnya yang mengalir seolah menyanyikan cerita tentang siapa kami dulu, tentang bagaimana kami dulu Kami tidak ingin menipu pada masing – masing kami. Bahwa ia dan saya sekarang pada jarak kehidupan yang semakin menjauh. Ia ’ bertobat ’ - setidaknya itulah kata yang pantas dari saya – dan bulan depan ia akan menikah dengan seorang kawan yang dulunya juga adalah kawan SMU kami. Seorang alumni FKIP Lambung Mangkurat dan berhasil meloloskan diri dari lubang kunci ujian penerimaan PNS beberapa waktu lalu. Dan mulai bulan depan pula, ia kembali meninggalkan Banjarmasin. Ke Kabupaten paling utara dari Kalimantan Selatan ( Tabalong ), tempat sang calon istri ditempatkan dinas.
” Kerja apa kau di sana ? ”

” mungkin bertani,
berladang,
berkebun,
atau apapun yang bisa aku lakukan buat bisa bersama dia ”
Saya disapa kagum, karena ucap ia yang terlihat bodoh.

Berbatang rokok terhisap dan kaleng pocari sweat di genggaman. Ia masih setia akan pandangan malam.


” Kapan kau balik ? ”
” Besok Nu, tanggal 27 mesti ada di kebun ”
” Lalu kapan kau pulang lagi ke sini ? ”
” Pulang ? Aku tidak punya rumah di sini....gak taulah.....”, saya mengambang jawab.

Untuk apa ? Bahkan sampai dengan saat ini saya masih belum bisa memaknai gerak pergi – pulang saya, kembali dan berangkat saya. Saya sudah punya tempat saya berisitirahat nun jauh di sana, dan itu bukan di Kota Banjarmasin. Bila ia mengatakan saya berubah, itu mungkin saja. Kehidupan memaksa saya untuk berubah, berubah untuk hidup. Pun bila saat ini saya berada di Banjarmasin, itu adalah karena saudara yang ingin saya melihat anaknya. Keponakan saya. Pun bila saat ini saya mempunyai waktu untuk bertemu ia, itu adalah karena ia pun punya waktu untuk itu.
Pun bila saat ini saya sedikit marah kepadanya, masih terlihat muak kepadanya, itu karena ia tak pernah melihat saya sebagai sahabat lagi. Entahlah, perasaaan saya terganjal rasa iri masa lalu akan kehidupan pendidikan yang sempat ia lakoni dan saya sangat murka ia hanya melewatinya dengan kebodohan sikapnya. Sementara saya berpeluh dalam memaknai kehidupan saya.

” Yah, sukseslah untuk kamu ”, ia menepuk pundak saya sembari mengajak bersalaman. ” Aku harus pulang, kau bagaimana ? ”

Jam 9 malam.
Saya tersenyum, ” Kau pulanglah duluan kawan, aku masih ingin di sini ”
Ia tersenyum. Pocari sweat yang ia genggam terlempar ke sungai, ” Keep contact ! Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi ”. Tiger yang ia tunggangi meraung mesin dan menjauh berkelebat cepat.
Sungai Martapura, Jembatan Merdeka, Gubernuran, Pantai Jodoh, Pasar lama, Sabilal Muhtadin....
Besok saya pulang, mungkin ?
besok saya kembali…..
Saya mencoba menyakini ini adalah kalimat salah.
Yang pasti, besok saya akan melangkah pergi dari sini.



Banjarmasin, 23 Mei 2009
Sungai Martapura, Bantaran....dan jiwa yang mengayuh kata untuk sebuah persahabatan.

Juni 20, 2009

duplicity

Kau tidak mengerti. Ah, sudahlah. Kau tidak perlu mengerti. Siapa kamu ? Siapa pula diriku ?
Jangan pernah mencoba mengerti. Aku hanya ingin kamu di sini. Berbagi kopi dalam teko yang tersaji. Menyulut rokok. Dan.....

Hm, ya. Mari kita berdiam diri saja.

Tak usah kita saling bertanya. Itu akan membuat kita seperti seorang pesakitan yang perlu dikasihani. Bukankah kita orang yang kuat ? Kita kuat untuk hidup. Kita ( masing – masing ) adalah pemenang. Dalam separuh perjalanan ini. Kau berhasil menggapai keberhasilanmu. Dan aku berhasil bertahan dari keberadaan – gagal – ku. Tapi yang satu kita benar. Kita masih bertahan.

Atau aku memulai dengan mengatakan : ” Aku dan kamu baik – baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan ”
Bolehkah itu ?
Ayolah, anggukkan kepalamu. Maka aku janji, aku akan tertawa. Dan berharap kau begitu. Kau dan aku tertawa bersama – sama. Bahagia. Untuk hidup yang telah kita berhasil bertahan darinya.
Kawan, kau tidak perlu memberikan tempat untuk rasa khawatir untuk seorang brengsek seperti aku. Kau tidak perlu lakukan itu.

Juni 19, 2009

Setelah itu, biarlah orang – orang berbicara tentang kita

“ Mereka katupkan kelopak mataku – setela berputus asa – lantas bergegas pergi membelikanku kafan
Salah seorang kerabatku berdiri dengan tergesa
Pergi ke tukang memandikan mayat agar datang memandikanku
Salah seorang mendatangiku lalu melucutiku
dari semua pakaian dan menelanjangi ku sendirian
mengucurkan air dari atasku dan memandikanku
tiga kali seraya meminta kafan dari keluargaku
Mereka mengenakanku baju tanpa lengan, mengafaniku
Hanya ules sebagai bekalku
Mereka menaruhku di dekat mihrab lalu mundur
di belakang imam, menyolatiku lalu melepasku. Mereka menyolatiku diriku dengan sholat tanpa ruku’
dan tanpa sujud, semoga Allah Ta’ala merahmatiku “ ( * )


Saudaraku,
Kita di sini, sedang menanti detik demi detik kematian yang pasti menjemput. Menunggu saat kita menarik nafas terakhir, dan menghembuskannya lagi untuk untuk yang terakhir. Saat udara dingin merayap dari ujung jemari, kaki, hingga bagian kepala. Saat mata terkatup dan tak bisa terbuka lagi. Ketika badan terbujur dan tak bisa bergerak. Ketika kita masuk dalam keranda, dan diangkat oleh anggota keluarga dan teman – teman kita.

Setelah itu, biarlah orang – orang berbicara tentang kita ( ** )



* Fasatadzkuruuna maa aquulu laqum waqafaat liman araadan najaat,
Abdul Muhsin bin Abdur Rahman bin Abdul Muhsin
** Tarbawi, Edisi 83 tahun 5 ( 29 April 2004 ). Ruhaniyat

Juni 17, 2009

Membual......

Siang ini panas sekali. Saya memacu lelah langkah untuk ke kantor. Menyeret kaki. Jam 16:00 WITA, saya terlambat 2 jam dari yang seharusnya. Ya bagaimana, pengaruh obat membuat saya harus tidur banyak waktu. Dokter menyarankan saya istirahat, tapi apa yang enak di lakukan di rumah dengan keadaan sakit ? tidak ada. Mencoba masuk ke dunia maya, mengandalkan GPRS Telkomsel....error. Conection flash saya gak bisa. Maklumlah, mikro BTS ( masih lebih baik dari dulu yang hanya Combat or BTS Mobile..he..he..he... ). Akhirnya jadilah saya terhuyung - huyung masuk ruangan. Absensi sakit di meja satpam segera saya coret, terlambat konfirmasi pelaporan absensi membuat saya harus terpotong biaya tunjangan beras nanti....he..he...he...
Pusing. Wajah saya panas saat ini. Saya berpikir di sini ( ruang kantor ) masih lebih baik daripada di bilik rehat yang kosong melompong tanpa makhluk ( mungkin karena satu – satunya makhluk di sana ya adalah saya sendiri ).
Saya berpikir, saya akan mudah di ketahui orang lain bila ada apa – apa yang terjadi dengan diri saya. Paling tidak ada Satpam yang selalu memastikan setiap ruangan tertutup di setiap jam 6 sore, pasti akan menemukan saya. Bedanya di sini saya tidak bisa merebahkan diri.
Saya berharap saya lekas sembuh, menyedihkan. Semestinya ada perhatian lebih yang harus saya dapatkan. Dari seseorang, - atau dari banyak orang - akan lebih baik buat saya....he...he...he....
MLTR mempersembahkan ’ naked like the moon ’ untuk saya, saat membaca Berita Kematian 18 manusia di Sawah Lunto. Tragis !!, dan lagu itu masih bernyanyi ketika saya masuk ke headline Kompas berikutnya : Miskin, Lapar, Penyakitan, Bencana yang Mengintai Manusia hingga 2050.....
Sialan, saya tersapa rasa pengkasihanan diri sendiri lagi.
Sudahlah, ini badan sedang payah – payahnya. Saya mesti berbuat sesuatu, mesti berbuat sesuatu.........
Mungkin segelas teh hangat ide yang baik saat ini.

Juni 15, 2009

senjahati

Bukanlah saya pohon yang rendang tempat berteduh tatkala hujan dan panas matahari. Kerana sudah tentu saya tidak mampu untuk menghalang sepenuhnya panas yang mencengkam dan basahnya rintik hujan. Namun harapan saya, di batasan waktu ini saya akan sentiasa ada bila diperlukan.

azzahrah sina ( ukhti anis )

senjahati.blogspot.com

,...........bagaimana kabar mesjid - mesjid kita di sana ?

Ini adalah pemikiran yang usang akan rasa iri, kesedihan, dan kemarahan pula....

Setelah lunch siang hari ini, saya menempatkan diri di meeting room kantor. Untuk mencoba presentasi yang telah saya buat. Di ruangan tersebut juga ada beberapa teman dari divisi lain yang berkumpul untuk tujuan yang sama. Kami berempat.
Tiba - tiba ada seorang kawan ( dari suatu divisi ) masuk dan menyapa kami. Awalnya biasa saja, tidak banyak pembicaraan.
Tidak lama setelah itu pembicaraan mulai berputar ke arah yang berbeda, mereka berbicara mengenai perkembangan gereja di kota - kota mereka. Mereka berbicara tentang pesatnya keberadaan rumah Tuhan mereka di Semarang, Solo, Malang,.....
( Mereka berempat, 3 khatolik dan 1 kristen )
Saya menjadi jengah, konsent saya memang tidak ter-erosi...tapi perasaaan saya tidak bisa saya pungkiri.
Marah ? mungkin iya. Tapi itu adalah pembicaraan yang wajar. Pembicaraan yang biasa untuk mereka. Saya merasa tersengat hati, cemburu rasa, dan saya sendiri.
Saya memutuskan keluar dari ruangan dengan alasan mencoba install ulang drive sebuah hardware ke dalam notebook saya di ruang IT Kantor.

Setelah berada di luar, saya merasa sedikit hampa.

Kawan, bagaimana kabar mesjid - mesjid kita di sana ?

Saya benar - benar tidak tau harus mengirim kalimat ini kemana.......

Renung

Tuhan,

Maafkan saya, saya yang selalu mengeluh akan kehidupan yang Kau paparkan. Tapi bukan karena ketidakadilanMu yang membuat ucap ’ mengapa ’ selalu mengembang dalam setiap keterpurukan. Itu lebih karena saya merasa ketidakberdayaan, kekerdilan jiwa dari kuasaMu,...
Kau Maha Mengetahui,
Kau mengetahui isi hati saya, bahkan hati yang saya tidak mengerti dari beberapa hakikatnya. Hanya Kau yang mengerti saat ini. Oleh karena itu Tuhan, mohon maafkan saya bila saya selalu berbisik mengapa.
Karena seperti yang Kau pun tahu, ucap itu tanpa tanda tanya........


( Setelah malam tadi berhasil mengalahkan kantuk di hari yang larut )

Juni 14, 2009

Selamat malam

...laki - laki itu berbaring d bilik rehatnya. Mencoba pejam mata, membunuh cahaya. Besok akan ada hari yang mesti terlewati, dan besok ada matahari. Laki - laki itu mengucap do'a. Kepasrahan seorang hamba. " selamat malam haitami, selamat tidur untuk malam larut ini ", ia mencoba tidur dan bermimpi kembali....

Siang di alun - alun

“ Rombongan tenaga panen yang direkrut dari Tanah Jawa tiba hari ini “

Sekilas pembicaraan yang saya tangkap di alun – alun kamp.
Minggu pagi yang ramai,
Tanpa bising

Seorang teman tergopoh – gopoh ke rumah saya, minta surat jalan untuk membawa unit jemputan.
“ Mereka sudah tiba di Desa Tuana “
Desa yang menjadi tempat transit bagi kami untuk keluar dari area, yang selanjutnya perjalanan hanya dapat dilanjutkan dengan transportasi air.

Saya memutuskan untuk masuk kerja hari ini, ke kantor…….sekalian mencicil laporan yang tertinggal.

Jam 14.05 WITA
Sepulang dari kantor saya sempatkan mampir ke alun – alun….
Hm, suasana yang ramai seperti tadi pagi. Sekilas nampak puluhan orang yang kelihatan baru terlihat, duduk melepas lelah.
Rokok yang terhisap keras,
Dan wajah yang pias karena keterasingan akan pandangan
Tas – tas dan barang bawaan
Tua, muda….
Ramai
Berbagi Aqua,…nasi bungkus dan ucapan selamat datang

Ada beberapa pertanyaan, dan cerita kecil yang menjadikan alasan.
Semuanya terangkum dalam suasana panasnya kamp.
Dan obrolan
“ ..…kami yang ada di sini pun juga mencari rejeki kok di sini…sama seperti kalian, dulunya “
Sebuah petualangan untuk mempertahankan hidup, melanjutkan hidup…..meskipun di tanah yang tak tersapa oleh peta
“ …..istirahatlah dulu…”

Setelah sedikit meluangkan waktu di alun – alun, langkah saya memacu cepat untuk kembali ke rumah. Saya belum makan untuk siang ini.

Berpapasan dengan seorang teman, ( Assistant divisi )
“ Bagaimana menurutmu ? “, sambil matanya menunjuk ke alun – alun yang masih saja tampak ramai.

“ Biasa lah…” ucap saya tulus. Sedikit senyum dan pandangan yang ikut ke alun – alun

“ Semoga saja mereka bisa bertahan di sini, setidaknya untuk waktu yang lama…..jangan seperti kasus – kasus tempo hari. Pergi lari….”
Teman itu menepuk pundak saya penuh arti dan lantas berlalu.

“ Hh iya, semoga saja…..seperti kita – kita ini “, ucap saya

Yah…benar, selamat datang. Kita adalah sama, mengadu nasib di sini. Jangan pikirkan kampung halaman, karena di sana hanya tempat kelahiran. Untuk hidup, mungkin kita memang lebih baik di sini.
Semoga kalian bisa betah.

Sayapun berbalik arah, pulang.

Dalam kesendirian

Terkadang ada beberapa waktu yang benar – benar kita tidak bisa maknai sebagai : ' yah, itulah hidup '. Penyangkalan yang terjadi justru semakin membuat situasi semakin rumit. Kita seringkali mengeluh, ketidakadilan menjadi momok pada pikiran. Menjelma seperti hasutan halus untuk lari, sembunyi, atau sekedar berpaling harap bahwa hal – hal tersebut seperti kuda timur yang berlari bersama angin. Tapi tidak, mereka – mereka, hal – hal itu adalah bagian yang tak terpisahkan pada detak – detak hari diri kita. Ia hadir untuk kita, atas nama beban untuk sejenak kita menakar diri. Dewasakah, atau kita masih terjebak pada sifat kekanakan. Kekanakan yang berteriak ; ” Mama, maaaaa ”. Lantas sosok mama akan muncul dan meyelesaikan situasi.
Dalam suatu waktu kita ( mungkin ) benar – benar akan sendiri, actualy jasad, diri, maupun jiwa. Bahkan seorang sahabat terbaik pun tak bisa dihujat hanya karena ketidakhadirannya. Permakluman bahwa uraian kehidupan kita, sahabat adalah keterasingan masing – masing di antara simpul – simpul pertemuan yang tergambar dalam sebuah ikatan ukhuwah kita sebagai muslim, dan sebagai umat manusia secara keseluruhan. Saya hanya ingin bilang, teman terdekat saat ini juga mempunyai kehidupannya sendiri.
Lantas perlukah kita meratapi kesendirian yang kadang tersentuh oleh sentimental diri. Bahwa kita benar – benar tidak pernah sendiri akan benar bila kita menghadirkan sebuah keimanan kita dalam segala waktu. Bila tidak, kekosongan pikir kita adalah tempat yang menyenangkan untuk para iblis menempatinya. Kita akan menyadari kesendirian, kesepian, dan rupa macam dramatisir pengkasihanan diri sendiri. Sangat berbahaya untuk jiwa yang labil.
So, hanya ingin mengurai ini menjadi pokok sederhana saja :
Katakanlah saat ini kita sendiri, masing – masing kita meringkuk dalam ruangan yang sama tanpa kawan, tanpa pembicaraan. Moment yang sepi, sunyi. Kita bisa saja membunuh waktu dengan segala macam pekerjaan, kita bisa saja menciptakan diri yang sibuk, dan kita bisa saja merenung karenanya. Maka yakinlah, sedikit kita memandang kesendirian ini dalam wajah yang percaya akan Dia yang Maha segalanya,...( akhirnya ) kita akan menyadari bahwa kita sebenarnya tidak pernah sendiri.


Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibicarakan oleh hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat nadinya.
( Q. S Qaaf : 16 )

Juni 12, 2009

Jejak kesombongan saya

Saya tidak siap, benar – benar tidak siap. Saya seperti di lecehkan. Perempuan yang kini masih duduk menyeruput juice sirsaknya masih mendelik ke tatap saya tanpa dosa. Ia berbinar, entah karena berhasil ungkap kata yang menurutnya ia pendam dalam hitungan bulan setelah kenal kami, atau karena berhasil membuat saya gagap akan rasa yang saya pikir saya sudah bisa memanagenya dengan baik, ya entahlah. Saya menyesal memenuhi panggilannya untuk berdiskusi seperti beberapa kali terlewati lalu.
Perempuan di depan ini baru saja mengatakan cinta kepada saya, mengatakan bahwa ia ingin saya menjadi pacarnya, menjadi teman suka dukanya, hingga pertautannya akan kekal. Akan kekal ?
Heran, logika saya tak mengenal estetika keindahan romansa yang berhasil di bentuk anak gadis yang baru saja melangkah kaki di jenjang kampus ini. Sebegitu hebatnya kah jaman hingga lambat laun kata cinta semakin menelusur pada usia yang semakin muda ? Payah, saya diam. Dia pun diam. Kami benar – benar tidak berbicara. Seolah – olah puisi yang baru saja ia nyanyikan adalah dialog terakhir dalam naskah, tapi kami tidak bisa meninggalkan panggung. Ended time masih panjang, lampu panggung masih bernyala, tirai belum cukup waktu untuk menggeser diri ke dalam bilik tenang, bahkan untuk sekedar instropeksi diri, edit narasi atau masquarade dari protagonis lakon saya, dan penonton jelas menunggu hasil drama ini. Karena kami bukan dalam scene sinetron, bukan serial, tapi drama yang semestinya punya ending. Bangku – bangku di taman kampus tua ini mulai terisi, wajah sore pelataran pendidikan terlihat sibuk berdandan dengan gelak tawa remaja yang berbaur di aneka jenisnya.
Saya sedikit asing, perempuan di depan saya tiba – tiba berubah menjadi seorang aktris profesional, penghayatan emansipisasi yang ia miliki benar – benar hebat.
” Bagaimana Mas ? ”, ia mengucap kata tanya. ' Hi, hilangkah kesabarannya ?. Ayolah, bukankah waktu untuk mempermainkan emosi masih lama ? Lihat saja penonton, tak sedikitpun mereka beranjak dari peraduan mereka.'
Saya ambil gelas juice saya yang sebenar sudah tandas, masih ada cairan dari batu es yang masih saya bisa hirup. Lekas saya nyalakan sebatang rokok, saya hisap habis. Sebatang lagi, habis. Dan sebatang lagi........

” Cukup Mas, saya mau pulang...”, akhirnya. “ Lupakan saja....”, Bergegas keras ia berdiri dan meninggalkan saya, yang termangu dan manggut – manggut. Beginikah cerita yang diinginkan oleh Sutradara, entahlah ? Yang pasti saya sangat tidak menyukai situasi yang saya hadapi beberapa saat tadi.
' Baiklah, mari kita pulang ', ucap saya pada diri sendiri. Mungkin besok saya bisa mendapat bayaran yang pantas, apakah itu nilai minus atas kebodohan saya, atau teriakan kemenangan dari iman yang hanya sekerat ini.
Saya lupa mengatakan pada Dewani, perempuan itu. Ia salah memaknai kelaki – lakian saya. Karena emansipasi dan keberadaan perempuan seperti ia bukanlah lawan tanding dari kesombongan saya. Ia yang kuat terlihat lemah di mata saya. Prototipe perempuan masa kini yang tidak menarik hati. Ia bukan seorang perempuan yang pantas untuk menjadi ibu dari anak – anak saya nanti.......

Juni 11, 2009

Kala Pendongeng tanpa cerita

Ada kumpulan pendongeng di batas kota, mereka mencerca langit dengan api unggun. Berharap ada bintang yang terlihat.
Mereka akan memulai cerita, mereka ingin memulai cerita.
Api unggun meliuk, menari kabut.....

Tapi bintang tak terlihat, bintang tak ingin dilihat.
Para pendongeng tak bercerita, tak ada cerita.
Untuk anak - anak kecil yang berkumpul di sela - sela gelas kopi dan lelah dalam selimut.
Mereka memulai tangis dan suara tidur yang serak.

Anak - anak kecil menghabiskan malam dengan air mata.
Untuk bintang yang tak di lihat, untuk cerita yang tak terdengar,

......dan untuk ayah ibu mereka yang seharusnya ada dalam cerita.......

Kala pendongeng tanpa cerita, maka ada jenak - jenak mata kerinduan yang menatap saya untuk sosok seorang Ayah, seorang Ibu, seorang Kakak, seorang.......

Ingat saya untuk anak - anak jalan dulu di masa lalu,
",.....maafkan saya yang meninggalkan kalian pergi begitu saja
. Maafkan saya..."

Juni 10, 2009

Aktivis Da’wah, BERSAUDARALAH !!!

Judul di atas saya kutip dari headline majalah islam Al Izzah. Terbitan ke 19/ tahun 2. Tanggal 31 Juli 2001.
Dan berikut adalah Iftitah dari terbitan di bulan itu :

Ukhuwah
Ijinkan saya membuka uraian dengan permohonan maaf. Kepada antum semua, umat Islam di belahan bumi manapun. Atas sebuah kelalaian yang kronis. Secara sadar atau tidak telah mengurangi timbangan hak dalam berukhuwah dengan antum.
Marilah kita ingat sejenak. Ketika saya bersitegang dengan antum dalam majelis dakwah. Ketika saya acuh dalam pertemuan selintas. Ketika keluar ucapan kasar dengan serapah. Ketika ada ganjalan yang menghunjam kalbu. Ketika tiris dan hambar senyum terkembang. Ketika mengingkari kehadiran antum dalam dakwah. Ketika secara sadar nilai maknawi ternodai. Ingatlah kembali semuanya.
Bahkan kepada seluruh umat Islam. Ketika perasaan lebih benar menguasai diri. Ketika memandang antum jauh lebih rendah dari kaum kuffar. Ketika merasa paling beramal. Ketika tangismu tak mampu saya dekap. Ketika penderitaanmu hanya lewat sebagai berita. Ketika interaksi kita sebatas basa – basi. Ingatlah kembali semuanya.
Maafkan atas kesadaran yang terlambat. Menyadari hak antum yang tersita. Maafkan kekerasan hati, kelemahan jiwa, kurangnya pengetahuan, dan minimnya lapang dada. Maafkan ambisi yang besar dan perasaan yang mau menang sendiri. Maaafkan kelalaian dan empati yang tipis untuk mengerti dan mengutamakan antum. Maafkan !
Sesungguhnya kesadaran ini baru kembali. Betapa ukhuwah adalah pilar dakwah yang besar. Betapa ukhuwah adalah sebuah keutamaan. Betapa Rasulullah menetapkannya dalam manhaj dakwah.
Sesungguhnya kesadaran ini baru kembali. Antum adalah harta terbesar dalam hidup hari ini. Dengan senyum ikhlas antum, dengan kesabaran antum, dengan lapang dada antum, bahkan dengan marah dan sikap keras antum. Itu semua adalah penguat tapak kaki berjalan dalam dakwah. Kini saya sadari.
Hari ini ingatkan saya pemahaman lama yang baru tersegarkan. Sesungguhnya sifat persaudaraan di antara kita , selalu meletakkan kehormatan dan izzah seorang muslim sebagai harga diri yang harus dipenuhi hak – haknya oleh sesama.
Maafkan saya yang telah menggugurkan kehormatan dan meluruhkan kemuliaan antum. Semoga rasa maaf antum mampu mengganti murka Allah SWT. Menjadi air yang memadamkan gejolak api neraka, dan pelapang atas sempitnya hati yang merasa bersalah. Semoga rasa maaf antum menjadi penebus, prasyarat untuk tetap menjadi pilihan Allah dalam jalan dakwah. Semoga dengan itu kemuliaan dan keutamaan senantiasa dianugerahkan Allah SWT untuk antum semua.
Sekali lagi maafkan saya dalam interaksi ukhuwah kita.
” Sesunggunhnya orang – orang yang beriman itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat ”
( Q. S Al Hujurat : 10 )

...................

Tidak ada maksud bagi saya menuliskan ( copy ) ini dari buku lama yang mungkin ada sebagian di antara teman – teman di sini pernah membacanya, selain semacam ingat untuk saya, kamu, dan kalian semua bahwa meski tanpa hak atas nasab di antara kita, mohon untuk diketahui : Saya adalah saudara bagi kamu dan kalian semua. Saudara seakidah dalam satu keimanan yang sama. Iman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Semoga pembuka di atas dapat menyentuh hati kawan – kawan, sahabat – sahabat semua dalam menghadapi perbedaan yang terjadi di antara kita sebagai muslim.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”
( Q. S Ali-Imran: 103)

Wallahu a’lam bishshowwab.

Menyapa kerinduan

Dik,
Mengurai penat dalam hati adalah niscayaku betapa selalu senyummu yang mengantarkan perjuangan langkah kaki ini, tentu saja bersama do’a mu.

Ya,
Hanya sekedar menyapa kerinduan Dik.
Bahwa senandung langit pagi adalah sekian berulangnya hari dari wajah senja hingga dingin subuh dalam hamparan sajadah keluh dan kekhawatiran. Adakah munajatmu juga terukir rasa yang sama untukku ?

Dik,
Betapa ingin membenarkan perasaan ini, perasaan rindu yang seringkali menggerogoti semangat pendakian. Tak kuharap lagi mutiara di sudut cakrawala. Atau hiasan bertahta sabit bulan di savana ‘ negeri urang ‘.
Jika segala kabarmu yang selalu memupuk rasa ingin kembali.

Memelukmu,
Dan memberi segala rasa yang semestinya kau terima

Berharap kau ada di sini.

Juni 09, 2009

Cerita rindu

Bahtera kian meraba gelap di rimba laut Dik,
Dan langkah kini merintih tertatih – tatih menjejak langkahnya.

Ku nyalakan pelita itu Bang,
Biar tetap kau dapati betapa perapian rumah kita kian meminggir di tepian.
Adakah kau kan bahagia bila kini Adinda ceritakan bagaimana si buyung kecil sudah mengeja Ummi kepada saya ?
Dia sudah mendapati ucapan itu untuk saya Bang, dan berharap secepatnya diapun mengenal Abang.
Kapan pulang ?

Dik,
Bahagiaku hanya sebatas pengharapan di puncak senyummu
Tak tercurahpun kenestapaan ini, kecuali tersembahkan meluruh untukmu
Untuk si buyung,

Akh, bagaimana rupanya kini.
Sebegitu eloknya kah ?
ceritamu menghanyutkan pandangku ke warna malam.
Dik,
Hanya tinggal beberapa rona merah bulan,
Abang akan pulang.

Abang akan pulang

Juni 08, 2009

Sampah

Perasaan itu, ia menyesali rupanya yang hadir di dalam rasa saya. Saya mengkhianatinya. Karena harap saya tak lebih elok daripada sekecil pungguk bersembunyi di geliyat ranting pohon malam. Merindukan bulan jatuh. Tapi beratus dan beribu tahun, bulan masih punya pijakan kokoh di jaring laba – laba langit.
Bulan tak bersinar untuk si pungguk......

Perasaan itu tersakiti, karena saya mencoba bohong bila ia tidak ada. Semacam pengingkaran akan nurani. Ia mencoba menggoda saya untuk sedikit saja saya berpaling padanya. Tapi sekali – kali tidak. Saya lebih senang membuang deburan atau getaran atau apapun namanya yang ia semburkan kepada saya, menjadi sampah – sampah di site ini. Lantas menjadi keluh – kesah. Menjadi sumpah serapah. Menjadi nada rindu dan menjadi alunan kata indah tentang ia.

Saya membahagiakan diri saya sendiri dengan meneruskan rasa saya di rimba maya. Di balik rutinitas kantor, dalam pertapaan akan kejenuhan hidup. Menyedihkan, mengetahui dalam beberapa situasi saya lebih bisa mengapresiasikan ia di kesempatan saya membuka firefox. Merangsang cakrawala pikir. Menggetarkan jari – jari di keyboard, semua terasa berjalan dan berlalu begitu saja.
Benar, saya benar – benar mepunyai rasa itu. Hujatan, ejekan, tantangan karena usia yang menua menjadi semacam cambuk buat saya untuk segera menjemput ia kembali. Mengeluarkan rasa yang terluka parah itu karena lama sangat saya aniaya. Ia mempunyai tempat tersendiri di sisi hati, ia mempunyai penjara sunyi di congkak hati.

Saya punya rasa itu dan saya tak siap ia ada.

( Dan ini adalah juga sampah !! )

tap..tap..tap...langkah pongah itu menuju kekalahan........

Tak ada alasan yang benar untuk perbuatan yang salah. Kau mengerti sekali itu. Kau tidak bodoh, kau cerdas bila melihat strata kau punya ilmu, tapi itu tidak cukup. Kesombonganmu terlalu hebat kau paparkan, teorimu seolah - olah melahap para pekerja yang saat ini berkeringat basah. Mengerti apa kau soal alunan riak buih yang saat ini terlihat di hulu sungai, kau lebih berteori tentang data - data curah hujan.
Mengesalkan, dan sekarang kau ingin minta maaf ?
Kau ini !! teruk sekali kau punya mimik penyesalan.
Ya,.....perbaiki situasi ini. Dan saya ingin besok ada laporan. Kita akan berjumpa Manager secepatnya setelah itu.

tap..tap..tap...langkah pongah itu menuju kekalahan........

Kuncupmu bertahan di rapuhmu


Kuncupmu layu ketika ku mendekat dengan serbuk tulusku

Dan kau tetap bertahan dirapuhmu


Saya sangat mengerti bila luka itu tertoreh sangat perih dalam diri seorang sahabat saya. Dari sekian lama pencariannya akan seseorang. Seseorang yang sekiranya dia niatkan untuk melengkapi setengah diennya. Seseorang yang dia harapkan dapat lebih membuatnya survive dalam menjalani kehidupan.
“ Aku butuh seseorang perempuan untuk menjadi sahabat, aku akan memperistrinya “
telah gagal.

Saya sangat menghormati akan prisipnya, yang ( terkadang ) masih saja saya tidak sanggup untuk menurutkannya. Hijabnya dengan lawan jenis sangat terjaga sempurna. Meskipun kadang saya jumpai dia lebih menyerupai seorang sufi daripada seorang sahabat. Sendirinya lebih banyak waktu, ketimbang sosialisasi dengan kami – kami ini. Termasuk dalam sujud panjang, tilawah, dan kajian buku – bukunya.

Saya tidak terlalu mengenal perempuan itu. Karena ia yang terlalu ‘ jauh ‘ di lingkungan kami. Kecuali penilaian mengenai jilbabnya yang terjaga dengan keterbatasan terlihat sangat.

Saya tidak selalu memperhatikan ia, juga niat sahabat saya awalnya. Interaksi kami dengan ia hanyalah salam tertunduk saat aktivitas pagi dimulai dan terkadang adalah serah terima beberapa bungkus nasi dari jual beli akan dagangannya di depan gerbang rumah kontrakan bersama kami. Selebihnya adalah sekedar kilasan dari langkah kecilnya sembari membawa bakul besar atau tarikan sepeda pancalnya di iringi teriakan menawarkan dagangan dari seorang laki - laki kecil yang ia bonceng beberapa waktu.

“ Aku siap mengkhitbahnya “ ucap sahabat saya suatu saat. Dan atas pengetahuan yang masih jauh dari sempurna akan langkah syariat, kami menyarankan dia untuk mencari info lebih. Mengenal ia terlebih dahulu akan sangat bijaksana sebelum membahagiakan hati. Lantas proses tanya pun dimulai oleh kami – kami yang bertopeng pada bagian dari kegiatan kuliah.

Ia hanyalah lulusan sekolah lanjutan pertama. Keterbatasan ekonomi mengalahkannya dengan pertimbangan gender dan 2 adik laki – lakinya yang harapan. Bakti anak terasa sangat setelah sang Ayah meninggal dunia 3 tahun setelah lulusnya ia. Sang adik yang besar masih melanjutkan di jejak pendidikan terakhir yang sempat ia lakoni, sudah kelas 3. Dan si kecil berumur 5 tahun dan belum juga menyentuh Taman Kanak – Kanak. Sang Ibu ? penjual nasi di hamparan depan komplek sebelah yang kini menjelma menjadi pasar kecil.

Tidak ada yang sempurna memang bila melihat kemiskinan mereka. Dan sahabat saya sosok seorang ksatria di mata saya.

Istikharah yang dilakoninya selalu memantapkan, dan itu seringkali dia nyatakan pada saya.
“ Dukungan kalian sangat aku minta…”
Maka, beberapa hari setelah anggukan, senyum dan kata – kata untuknya agar pemusatan hati yang bertanya di sepertiga malam lebih dikuatkan dengan permintaan saran – saran pembimbing kerohisan kampus, dia pun menculik saya dari ruang aktivitas saya. Dengan alasan hanya saya yang bisa membahasakan kata – kata.

Dengan Bismillah saya awali pertemuan itu, setelah bersopan ria dengan keadaan yang seadanya. Selanjutnya semua saya serahkan kepada sahabat saya untuk mengutarakan isi hati dan berbentuk pada kata : “ ……saya bermaksud melamar anak ibu untuk menjadi istri saya….melengkapi dien saya ”

Keterkejutan, keterpanaan,…pemandangan yang menyeruak di sosok ibu ia. Sementara ia ?... setelah menghidangkan air putih dan rebusan singkong di meja kecil. Hanyalah pandangan tertunduk yang ia sampaikan, meskipun dari sana nampak jelas dewasa hidupnya. Terlebih saat kata – kata sahabat saya, terucap zikir kecil di mulutnya.

Kami pulang. Ungkap jawab belum terdapatkan. Permintaan waktu dari ia jelas membuat kami harus mengembalikan diri dengan kesabaran hingga beberapa hari dalam satu minggu.

Dan berselang 3 hari setelah khitbah sahabat saya, seorang anak laki – laki kecil yang saya kenal adalah adik laki – laki pertama ia meminta ijin untuk bertemu sahabat saya. Dan bocah itu menyerahkan sepucuk surat. Atas ijin dia, maka surat itu terbaca sempurna oleh kami.


Assalamualaikum Wr. Wb

Buat Kakak Didik yang saya hormati,
Seharusnya dengan segera saya bisa memekarkan kuncup bunga hati, bila saya tidak mengingat betapa rapuhnya tangkai hidup saya. Khitbah kakak sangat saya hargai dengan segala ketidakpercayaan saya akan adanya niat tulus bagi fitrahnya saya……


Dia menolak. Dengan alasan kondisi keluarga kecilnya yang masih membutuhkan sosok ia untuk membantu pemulihan kehidupan keluarga. Meninggalnya sang Bapak yang sempat menjalani perawatan lama karena sakitnya, menyisakan setumpuk utang – piutang atas nama Ibunya. Dan dengan pertimbangan demi Almarhumah Bapak, Ibu dan juga prinsip yang kuat, ia memutuskan menahan dirinya untuk lebih menikmati bahagia.


………..Saya tidak mungkin bisa meninggalkan Ibu seorang, dan saya juga masih tidak sanggup untuk menurutkan Kakak dalam lingkaran permasalahan kehidupan kami…



Kalimat demi kalimat yang dewasa dari kertas buku tulis mirrage itu – lembar demi lembar - kami lahap dengan sedikit pandangan nanar pada sosok sahabat saya. Dia tetap berdiri mematung, meskipun terkadang kegusaran tertoreh dalam di wajahnya yang menunduk.

Saya sangat mengerti sekali bila sahabat saya terluka. Optimisnya berubah menjadi pergumulan pertanyaan yang kerap dia suarakan pada kami – kami sahabatnya. Meskipun terkadang kami ungkap dengan keyakinan itu semua adalah Kehendak-Nya. Surat dari ia tentu sudah argumentasi yang cerdas untuk kami mengerti, pun dengan sahabat saya.
Hanya karena bagaimanapun, dia bukanlah seorang Bilal Bin Rabah saat mempersiapkan diri melamar seorang gadis bernama Hind. Dia tidak bisa sesempurna itu. Kami sangat memaklumi patah hati dia.

Keberadaan yang masih mahasiswa dengan kerja sampingan sebagai penjual jasa design graphic masih belum bisa memaksakan diri masuk ke lingkaran hidup ia, dan hal ini sangat tersadari oleh sahabat saya. Dia lebih menyalahkan ke dirinya sendiri.

Akhirnya, setelah mendekati satu tahun berjalan…sahabat saya menemukan jodohnya dalam sosok seorang akhwat kampus di fakultasnya sendiri. Adik angkatan.
Dan dia mulai berpisah dengan kontrakan kami.

....................................


Untukmu Dik Aisyah,

Seharusnya bisa ku maknai lebih, betapa kuncupmu itu sangatlah kuat di batangnya yang bertahan rapuh.
Seharusnya aku siap untuk menerimamu
…………beserta keroposnya ranting, dedaun, dan dahan hidupmu.
Atau,
Seharusnya tak ku datang dengan segala harapan akan kemekaran bunga dirimu.


Selayaknya engkau adalah mawar yang sangat indah, yang ingin kumesra mulai dari kuncupmu.
Dan sedewasa hati,…
Selayaknya tak kusingkap rasa ini, sebelum seribu sayap kumbang kumiliki.

Selayaknya engkau,
Yah…..selayaknya engkaulah bunga hati itu.

Seandainya aku mampu meraihmu
kembali


Maret 2005

Juni 07, 2009

Sahabat

Sahabat yang tak berguna saat datangnya
derita
Nyarislah seperti seteru laiknya.

.....

Selamat tinggal dunia
Bila tak ada lagi teman sejati
Yang jujur, tepati janji, dan saling mengerti.

( Imam Syafi'ie, rahimalullah )

?


Air mataku ini ( menetes ),
kesepiankah aku atau justru gembira
Dan biarkan waktu bicara, siapa dan mengapa,
Kita bertahan
Tanganmu menyatakan ‘ tidak ‘
( tapi ) kurasakan gerakan
kebekuan pun mencair, aku terheran apa
yang telah kulakukan
Apa yang telah ku lakukan ???

Juni 06, 2009

Dalam perjalanan ( menuju tujuan untuk secepatnya kembali )


Dalam perjalanan,
.........menyentuh ufuk langit :

Ribuan bisik bidadari bernyanyi di telinga saya, tapi entah mengapa saya masih bisa ingat suara parau Emak....

" Jangan kau tepikan keringat kami yang melarung jaman demi kau bocah,....karena sungguh betapa hati kami sangat ingin kau kembali dan membawa cerita cinta "

Ya Ma,
saya akan kembali,
saya akan kembali.

Malin Kundang semestinya takkan menjadi batu seandainya ia tak kembali, karena sang Ibu pasti hanya akan bercerita tentang rindu.....
tapi sungguh Ma......saya masih terlalu durhaka bila tak jua membawa cerita yang kau impikan.
Saya akan kembali

Juni 05, 2009

Cerita puisi : yang tak semestinya - pemberontakan hati

Ia adalah yang pertama dari tiga anak yang dimiliki oleh pasangan ranum. Seorang laki – laki dan berdua adik srikandi. Kembar, Aisyah dan Shafiyyah. Keluarga yang biasa. Jauh dari sebuah kehebatan dinasti priyayi yang ia dapati di nama rekan – rekan satu fasenya.
Ayahnya terlalu teguh dan kuat memaksa diri untuk mencapai kesombongan seorang punggawa akan mimpi keturunannya untuk menjadi raja, maka ia mendapati lingkungan pendidikan yang mewah. Sementara sang ibu hanyalah seorang ibu, pendongeng tidur yang hanya bisa memberikan belaian penghibur. Sebuah ketulusan atas nama perhatian. Saat ia mendapati diri yang berbeda, saat ia mendapati diri yang tercambuk remeh. Ibunya selalu dan selalu memberi senyum pengertian, dan kata lembut untuk ucap
: ” Buktikanlah...”
Lambat laun benteng kokoh harapan tergerus akan jaman yang membutuhkan lebih untuk sebuah predikat. Satu persatu perkakas dari pondok cinta mereka hilang mengubah diri menjadi biaya. Keluarga dipaksa membuat pilihan. Pun dengan ia, ia yang akan menerima takhta keluarga kelak. Ia yang di ’ paksa ’ untuk mempertahan tiang – tiang pondasi pondok masa kecilnya.
Waktu terus melingkari hari. Tanggalan kian mencabut diri untuk mempersilahkan angka – angka selanjutnya. Bulan berputar dan berganti nama, Ya hanya sekedar nama dari proses rotasinya yang harmoni. Ia mendapatkan diri menjadi lemah. Ia kini tak lagi menciptakan hari bersama keluarga. Karena mahkota memerlukan laku kembara. Dan Sang Ayah tak ingin ia menjadi raja tanpa tanda. Hingga ia terlempar pada cadas terjal pendakian. Saat itu ia memasrahkan jiwa akan amanat sebagai harap.

Dari proses waktu. Demi ia, berdua srikandi keluarga itu berhenti menimba ilmu dan mempersembahkan diri untuk menjadi pasangan hidup dari ksatria – ksatria pengolah lahan pangan.
” Atas nama pengabdian dan harapan Bang, kami sepakat cinta kami adalah dimensi waktu yang memang harus lakoni. Paralel kehidupan untuk Abang. Kami bahagia untuk ucap kata itu. Ketahuilah Bang, sungguh kami membina hati yang mengabdi untuk dua satria yang kini menjadi pelindung kami dan mengambil tanggung jawab akan kami. Oleh karenanya, tolong kembali jaga Emak.......”

Surat dari si sulung kembar, Aisyah. Surat yang terbaca saat ia menggenapkan absen ke empat kalinya akan penghormatan meninggalnya sang Ayah. Ia terima beberapa hari lalu.
Sang Bapak meninggal, saat ia masih dalam pendakian. Pendakian demi utuh sebuah mimpi sang Almarhum, meski tanpa lagi ada topangan. Hanya restu, kiranya mimpi itu adalah nyata. Ia mencoba berkelit dari sisa jejak legenda malin. Bahwa ia dirajam mimpi untuk kembali, tapi bukankah ( saat ini ) kembali ia adalah kekalahan ?

Petir mengeliyat di panorama langit, memuntahkan serapah untuk bumi.
Dan sang bumi merona merah bahagia, akan air yang membasuh mesra rindu akar – akar pepohonan.
: ” untuk keturunan adam wahai langit, ku maknai cinta setiap kilatmu ”

- Bulan penuh guyuran air langit dari sewindu jejak langkah mendaki.

Perjalanan yang tak sempurna, tapi ia bukanlah seekor ulat cengeng yang hanya bisa bersemedi di ranting rapuh. Hampir separuh pendakiannya adalah tetesan keringat, ia selalu berpeluh saat memulai langkah. Loper koran, buruh, pengamen, dan pekerja murah di sebuah warung makan pinggir jalan. Seringkali ia tanpa arah, tapi pertahanan mimpi dan niat yang tersambung ke nadi adalah semburan darah yang menggelora untuk terus berjuang.
Hingga ia menyadari ufuk langit memang tidak pernah ada. Mahkota yang tanpa wujud, ia ( mungkin ) bermimpi....dan ialah pencipta mimpi Ayahnya dulu.

Ya, ia sang putera. Satu – satunya yang di emban kata harap, kini mendapati diri yang kalah. Cadas bumi terlalu landai untuk ia menciptakan sedikit pondasi. Ia lapuk berlumut, selayak ulat yang terus mencerna kata bahwa ia adalah kupu – kupu.

Ia ingin kembali. Dan mengabdi.
Lantas kertas yang dulu pernah ia maknai sebagai kerinduan dan coba ia ingkari, kembali mengenggam dalam tangan. Kertas lusuh sisa dari kehidupan kampus.

“ Ma, ijinkan anaknda kembali “
Kertas itu ( akhirnya ) ia kirimkan......


catatan rentang waktu.
......dalam ingat

Juni 04, 2009

Kamar rehat

Masih mengurai lelah,
dan masih mencoba untuk membahagiakan diri sendiri.

Selalu pulang tanpa kehangatan,
dan selalu pulang tanpa pelukan.

Masih menata rasa untuk iri yang tercipta,
Ya,
Kadang saya rindukan senyum seseorang setiap kali saya memasuki pintu rumah.
Sebagai pembasuh penat saya.

Masih mencoba meramaikan diri dalam kesendirian
dan masih mencoba menahan rapuh setiap kali anak kecil itu tertawa menyambut ayahnya pulang, dan seorang istri yang hadir di antaranya.
Ada tawa yang bahagia,
....ada senyum yang tulus tercipta.

Mencoba menjernihkan hati,
dan masih mencoba mendewasakannya, untuk langkah yang entah kapan bisa saya memulainya.


Kamar rehat,
……22:49…….

Juni 03, 2009

Umpat hati yang bosan, gossip yang menjemukan

Acara TV mulai membosankan,
Saya lupa apakah dulu Nirmala Bonat, Ceriyati, Herlina, dll mendapat perhatian yang sama ( besar ) dari head line media.

Semua seperti bebek gagap. 1, 2, 3 hari saya tidak mendapat perkembangan apapun. Semua berita itu sudah basi. Sebasi saya yang sudah cukup melihat kecantikan Sang Mantan Model itu. Selebihnya adalah drama derita dan raut muka yang membosankan.

' ...ternyata memang cantik....'

' 17 tahun ? besar juga itu anak...'

' Sekolah sampe mana dia ? ' seorang yang percaya tingkat pendidikan mempengaruhi jiwa dan pola pikir seseorang.

' Bodok, wong di visum dulu tho !? Baru kasih statement di media '

Ya...ya..ya
saya tidak ingin menjebak diri pada tuduhan ghibah, terserah saja.
Ini hanya sekedar umpatan hati, sampah.
Saya merasa bosan pada acara televisi belakangan, dan mengingat hanya televisi yang menjelma diri menjadi artis penghibur buat saya di kamp ini.
Halloooooooooooooooo, tolong di proporsional kan dong itu berita..........

Juni 02, 2009

Saya berkeras dan saya egois

Menjalani hidup dalam penafsiran sendiri. Betapa rasa egois itu sering kali berlabuh pada kemandirian yang coba saya perjuangkan. Saya egois, benar. Untuk sekedar bertukar pikiran dengan beberapa kawan, lantas usaha saya untuk menyakinkan beberapa sudut pandang pada sebuah kemandirian diri masing – masing menghasilkan tanggapan yang beraneka ria, lengkap dengan justifikasi yang membelalak mata saya : Saya egois.

” Antum egois sangat, tak perlulah antum berkeras akan hal itu ”

” Realistislah...”, tepukan di pundak saya mengisyaratkan hendaknya bendera putih itu saya kibarkan di kepala saya.

Titik – titik itu berbeda. Noktah yang tidak sama tempat. Sehingga tarik garis lurus di antaranya akan membentuk coretan yang tanpa bentuk. Kusut. Semua kepala punya otak yang berpikir. Saat titik saya tak tergaris, maka saya berubah menjadi egois ( ?! ). Dan saya tak mengerti mengapa titik saya justru berada di luar lingkaran itu. Rumit, tapi mereka punya simpul yang terkait. Dan saya ?