Powered By Blogger

Oktober 24, 2009

Seberapa penting - Sayang kau lebih dulu pulang saat itu

Seberapa penting ?
Kau menyisakan banyak penyesalan di akhir. Dan di saat itu semua terjadi, kau mengajakku pada langkah pertama. Dulu. Lama sekali. Tentang makan malam di sebuah warung lusuh yang mau berkemas pulang.
Hm, ingatkah ? Bapak penjual nasi campur itu dengan jawa halusnya mengucapkan salam perpisahan untuk kita segera mengakhiri malam. Malam yang larut, malam yang tidur.
Ya, aku ingat sekali. Pelan langkah kita menyusuri tepian kota menciptakan kehangatan di sisa – sisa kabut kemarau. Pekat yang banyak bintang. Bulan malu dalam remang. Dan kita yang sedikit tertawa, berpangku tangan di selasar tangga gedung perpustakaan yang sudah bermimpi dia.
’ Kenapa kita tidak tidur saja dan bermimpi seperti ribuan orang – orang malam ini ’, ucapmu. ’ Menggenapkan selimut sekujur tubuh.....’

Aku hanya tersenyum saja menimpali harapmu, bukankah ini lebih baik. Kita bersama. Tidak dalam mimpi.

Berakhir......
Tidak penting. Hanya saja saat di akhir ini kau kembali mengingat tentang cerita di langkah kita.
Sayang, kau lebih dulu pulang saat itu.

Oktober 23, 2009

Keponakan saya.........

Keponakan saya sudah bisa bernyanyi Burung Kakak Tua. Itu adalah laporan dari Kakak saya. Sementara keponakan yang satu ( anak adik saya ) sedang sakit. Bukan adik saya yang melaporkan, melainkan istrinya. Dan cukuplah ini menjadi kabar yang tidak baik juga buat saya. Karena yang saya tau keponakan tersebut baru saja terlahirkan dari rahim sang istri hampir 4 bulan yang lalu. Sekelebat bayang saya cepat memarahi adik saya, dan apa katanya : ” Wah, akan saya kasih marah si Ina " - ( sebutan untuk istrinya ).

Adik saya malah memberikan statement kemarahan pada sang istri karena telah berani melaporkan perihal sakitnya keponakan saya. Dan saya menjadi menarik kemarahan saya dan berusaha mencegah prahara di rumah tangga mereka. Adik saya bertempramen keras, dan bila sudah begini sepertinya saya sudah melakukan kesalahan dengan mencoba memasuki ranah urusan rumah tangga mereka ( meskipun dia adalah saudara saya ).
Saya jadi berpikir, sepertinya ada batasan – batasan untuk saya hanya bisa menempatkan posisi sebagai penonton saja. Cukup berbagi kabar. Mereka sudah dewasa.

Baiklah, ini menjadi pembelajaran untuk saya.



Mengenai keponakan saya yang tertua ( lebih 2 tahun dia ). Dipanggil Fatma, meskipun nama aslinya adalah Norliyana Sarah. Dia sudah menyanyikan Burung Kakak Tua di komunikasi malam tadi. Cukup menghibur untuk saya. Sebenarnya saya tidak yakin dia bernyanyi untuk saya, karena saya mendengar keponakan saya sibuk dengan tingkahnya dengan bernyanyi. Sepertinya dia punya dunia yang sendiri.

Tapi mendengar lagu itu ternyanyikan ( dengan logat cadel ), seperti ada deru embun yang menari. Saya terhinggap rasa sayang yang tulus dan sangat sulit untuk saya bahasakan.
Baiklah, untuk keponakan saya.

' Om sangat merindukan kalian...'

Oktober 17, 2009

Saat ingin mengenal diri

Memahami orang lain memang sangat rumit….bila kita tidak bisa bilang bahwa kita tidak akan pernah mengetahui sama sekali….

Dan ini yang ingin saya coba saya lakukan. Hanya saja saat ini saya mencoba masuk ke dalam diri saya sendiri. Saya ingin mencoba menempatkan diri saya pada sosok ‘ seorang yang berada di luar saya ‘. Seorang yang selalu berusaha memikirkan betapa kehidupan orang lain begitu mudahnya sementara ia tak juga mendapatkan apa yang diinginkan. Ini semacam cerminan diri. Apa yang terpantul oleh ‘ saya yang lain ‘ dalam sumringahnya adalah topeng dari kedengkian yang menyebar dalam iringan nafsu harapan. Sehingga kekalutannya membuatnya nampak seperti orang jahat. Orang yang sombong dan terlihat ambisius.
Tapi lihatlah, ia tak lagi punya waktu untuk berkhusyu’ diri berhadapan Tuhannya. Ayat – ayatNya terbaca dengan kecepatan detik yang menunggu di meja kerja, ruang meeting, lapangan. Tanpa jiwa. Ia menjadi manusia tanpa hati, orang asing untuk tetangga, untuk anak – anak kecil yang dulu selalu ia candai di sela – sela sore kamp perkebunan ini. Ia sudah memusnahkan banyak waktu.

Seharusnya Tuhan marah padanya pikir saya akhirnya.
“ Siapa ? “
Sejumput suara aneh menghampiri saya,

” ya dia.... ”, saya menunjuk sosok yang terpaku di depan saya.

“ hm, tidakkah kau seharusnya mengenal dia ? “
Saya masih terpaku, sosok di depan saya masih menatap saya seperti saya menatapnya.
Saya harusnya mengenal dia. Tapi mengapa saya merasa aneh dengan diri saya, ada sesuatu yang asing dan berbeda dari orang di depan ini. Bila saya mengenal dia, maka elok sekali sikap saya yang sangat bergetar melihat tatapnya. Tingkahnya yang dingin dan tanpa senyum. Saya mengetahui dia adalah sosok yang sibuk. Tapi bukankah itu akan menyiksanya ?
” ha..ha...ha....”, suara yang entah tertawa terbahak – bahak. Hi, apakah ia berhasil membaca pikiran saya ?
“......tidak, tidak haitami. Aku tidak membaca atau mendengar apapun. Aku tahu saja.....ha..ha...ha...”, ia tergelak.

Saya mulai berkeringat gelisah. Suara itu hilang lagi. Saya mencari – cari. Hingga orang di hadapan saya pergi berpaling dengan wajah yang menunduk lelah. Dia mungkin lupa menyapa saya, atau entahlah ?

” Kau mengenal dia ? ”
Suara itu muncul dengan tanya.

” Heh, mungkin ? yang pasti saya berharap dia baik – baik saja, karena bila tidak....saya pikir dia akan sangat menderita bila tidak memperbaiki hidupnya....”

” Yach, Kau terlihat bijak dari dia ”, suara itu seperti seorang kawan yang duduk bersama dengan saya di bangku kosong sebuah taman yang lalu.

” Benarkah ? ”

Suara itu mengisyaratkan wajah yang tersenyum. Meskipun saya tak nampak ia. Lantas suara itu melambaiakn perpisahan dengan saya
” Kau tak mengenal dia.....”
Lantas desiran angin mengayuh suara itu pergi. Meninggalkan saya seorang diri.

Hm, iya. Saya tak mengenal dia.

.........

Mobil yang sempat saya bercermin dari kaca ribennya baru saja berlalu, dan saya merasa sudah cukup mengenali diri saya sendiri. Saya berharap saya bisa memperbaiki hidup. Setidaknya kembali menyediakan banyak waktu kembali pada-Nya.

Ini haruslah instropeksi, untuk saya mendewasakan hati.

Oktober 11, 2009

Hati itu masih basah karena iris yang terbuka.

" Aku pergi...."

Itu ucapmu. Berlalu. Meninggalkanku.
Selangkah kau membelakangi, kau berbalik dan melemparkan sebuah hati
Benar, sebuah hati.
Dia terkapar di atas marmer. Berdarah sedikit, menetes.

" Itu adalah punyamu....."

Kali ini kau benar – benar pergi, tanpa perpisahan. Tanpa salah.
Seperti biasa.

Hati itu terkapar. Lukanya menyayat perih.
Dan kau tau ?
Hati itu masih basah karena iris yang terbuka.

Oktober 05, 2009

Cerita malam

Bila malam ini ada waktu untuk bercerita, maka saya ingin dia bercerita tentang ia di sana. Tapi malam tak mau bercerita.
” Angin tak membawa ungkap rindu ”, alasannya.

Saya tak patah, ” Tidakkah cukup saja dengan rindu dari saya ? ”

Sejenak malam tertegun. Wajahnya melamun, menimbang ragu. Ketulusan saya menyakitinya. Senyum saya menampar dia.
” Baiklah, apa yang ingin kau dengar tentang ia ? ”, malam bertanya dan menawarkan sebuah tema.
” Saya ingin cerita ia baik – baik saja ”

Malam beringsut ke tepian bulan. Merangkul bulan. Seperti biasa. Wajah bulan menghiasi harapan saya untuk mendengar. Bintang – bintang masih sama. Bernyanyi dalam sunyi. Malam berubah merah di hadapan saya. Saya ragu dia tak berkata apa – apa. Tapi saya masih menunggunya.

Angin datang, menghampiri sang malam. Mereka berdua berbisik mesra. Menyimpan sesuatu dari saya.

Tiba – tiba saya mendengar malam menggema, ” ia baik – baik saja ”.

Akhirnya cerita dia beri pada saya. Hingga saya tertidur.
Di dalam mimpi, saya bertemu bulan. Dan dari sang bulan saya mengetahui bahwa malam berbohong pada saya. Malam tak pernah bertemu dengan ia, tak ada kerinduan yang tersapa.
Tapi saya sudah terlanjur percaya.
“ Pergi kau bulan “, ucap saya.
Bulan beringsut. Kembali ke langit. Memberi cahaya pada mimpi saya. Cahaya biru.

: “ Ia baik – baik saja, dan malam tak mungkin berbohong pada saya "

Kaca – kaca yang membuat saya tersenyum

Apakah saya pernah bercerita tentang seorang anak kecil yang menangis, berlari ke pangkuan orang tuanya ? dan lantas ia menunjuk kepada saya, seolah ia ingin berkata bahwa sayalah yang membuatnya menangis. Tapi karena saat itu saya masih di hadapannya, ia hanya menangis, tanpa berani mengatakan sayalah yang membuatnya ketakutan dan berair mata akhirnya.

Ahk, sepertinya tidak.
Mimik jenaka saya berhasil membuat anak itu berlari.

Seperti ada kebahagiaan bila melihat anak itu menangis. Melihat ia tersedu – sedu di pundak sang Bunda sembari melirik kepada saya. Seakan – akan mata itu mengatakan :

” Kamu jahat, kamu jahat..... ”

Atau

” Akan aku adukan kamu pada Bapak saya. Bapak saya jagoan hebat. Dia akan mengalahkan dirimu....”

Ha..ha...ha.....

Sang Bunda tersenyum pada saya, dan si kecil dia sayang dengan penuh rupa di gendongannya. Lantas membawanya menjauh. Badan sang Bunda berbalik, si kecil terlihat mengintip saya di balik bahu ibunya.
Di matanya yang bening, ada kaca – kaca yang menggenapkan sebuah rindu pada diri saya. Dan kaca – kaca itu membuat saya tersenyum. Tersenyum pada diri yang sepi. Pada diri yang lelah.
Sayang, sekarang anak kecil itu sudah tidak bisa saya temui, karena Sang Ayah yang seorang rekan kerja telah berpindah posisi dan tempat tinggal. Saya merindukan anak kecil itu dan pada bening kaca – kaca di matanya.

Kaca – kaca yang membuat saya tersenyum.

Ahk, saya lupa pernah mempunyai cerita ini. Dan saya hanya ( kembali ) merangkainya dalam kata – kata. Saya mengingat anak kecil itu, dan binar bening matanya yang berkaca – kaca.

Saya rindu.

Oktober 04, 2009

Saat ini, seperti ini

Memandang kesendirian dalam bahasa tubuh yang berbeda.
Saya menepi dalam bimbang. Kadang harapan itu berbentuk cermin diri
yang mengejek, yang tersenyum sinis. Skeptis dan apatis.
Saya mengarungi segalanya rintihan hati, dan saya mengerti ia kecewa. Terkecewakan oleh egois saya,
sombong saya,

Melihat kesepian dalam jiwa yang ramai,
ramai oleh kata – kata yang tertuang. Saya berhasil menciptakan kata – kata untuk ia, tentang rindu untuk ia dan tentang segalanya tentang ia. Beberapa kali saya merasa lebih baik dengan saya berbuat seperti itu. Dan saya memaksakan itu memang yang terbaik untuk saya saat ini.

Entah saja,
saya tidak terlalu mengerti jalinan yang semestinya. Bagaimanapun saya hanyalah seorang biasa yang masih harus belajar tentang banyak hal.
Dan saya berusaha betah untuk menjalaninya,

saat ini

seperti ini.

Oktober 02, 2009

Catatan kecil tentang pilihan hidup..........

Hal yang biasa yang saya lakukan sebelum tidur ( seperti malam ini ) adalah membaca kembali email alert dari multiply yang masuk ke incredimail saya dan tersimpan di sana. Bila memang ada tulisan yang menarik bagi saya, maka saya akan mengklik kode html yang saya bisa menerobos masuk ke multiply bersangkutan, dan bila perlu saya akan meninggalkan jejak nyata berupa comment saya.

Dan, malam ini kebiasaan itu sedikit berkurang waktu. Saya baru saja ditegur oleh sepupu saya via ym. Dia bercerita betapa ramainya reuni Akbar yang diadakan oleh alumni sekolah saya dulu. Kebetulan sepupu saya tersebut adalah satu angkatan dengan saya. Tidak terbayangkan, reuni tersebut konon berhasil mengumpulkan sekian banyak eks. murid dari angkatan 1986 hingga 2006.

Yang menarik dari cerita sepupu saya tersebut adalah betapa banyaknya rekan - rekan saya yang menanyakan perihal saya. Dan itu cukup membuat sepupu saya tersebut kerepotan karena hanya selalu melayani pertanyaan yang sama dalam sekian banyak waktu berbeda.

" Wah, terkenal juga....."
hanya itu saja kesan dingin saya kepada sepupu saya, meskipun ia protes sekali dengan kalimat yang saya ketikkan tersebut. Ia marah, karena ia sudah berlelah diri menceritakan kabar saya yang sendirian di hutan dan butuh pertolongan katanya. Yach, saya diposisikan sebagai rekan angkatan yang memerlukan ' pertolongan ' untuk diselamatkan dari kesendirian, kesepian, dan sudah mulai menjauh dari kebersamaan yang terbangun karena ada kenangan yang pernah terlewati, dan itu ada di moment reuni akbar kemaren hari.

Hm, dengan begini lantas saya berpikir : salahkah bila saya memutuskan bekerja di tempat seperti ini. Jauh dari segala hal yang bisa mengumpulkan kembali saya dengan orang - orang dimasa lalu ?
Wah, sebagai seorang manusia laki - laki tentu saya menyadari pilihan hidup ini. Saya menyadari dalam beberapa pilihan hidup, saya dipastikan akan mendapatkan sesuatu atau bahkan mungkin kehilangan sesuatu.

Banyak jalan menuju Roma, tapi adakah tau bila kita memilih salah satunya - kita akan berhadapan dengan siapa nantinya ?
Seorang perempuan cantik di pinggir jalan, yang menunggu kita agar bisa bergandengan tangan bersama menuju Roma ?
Atau mungkin seorang penyair bisu dengan tepukan gendang kulit arinya yang menggambarkan kegagalan sebelum tujuan tercapai....?
Atau segerombolan perampok yang siap menendang kita kembali ke titik awal kita melangkah dan traumanya membuat kita tak sedikitpun kembali melangkahkan kaki.....?

Ini adalah hidup, dan saya menyadari sekali pilihan saya. Satu hal yang saya pelajari sekali dari sekian beban yang pernah saya atasi adalah bahwa saya mungkin akan melakukan kesalahan dengan memilih salah satu cara, jalan, atau apapun yang bisa disebut untuk melangsungkan kehidupan lebih baik. Tapi, tidak untuk menyesal.

Di penghujung chat, saya hanya mengatakan ; " titip salam saya untuk mereka "
setidaknya ini adalah upaya terbaik dari saya untuk tidak kehilangan semuanya.

Oktober 01, 2009

Sedikit waktu untuk merasa harus lebih baik

Pagi ini,

setelah subuh dan sedikit tilawah, saya menyempatkan waktu untuk duduk di serambi rumah yang saya tempati. Merasakan embun dan suasana pagi. Angin tak bertiup kencang seperti tadi malam yang hujan, hanya dinginnya masih bergelayut di kepagian ini. Saya mengenakan baju sweater tebal dan celana training yang menjadi kesukaan saya bila dingin menyiksa saya. Biar ada kehangatan untuk tubuh.

Kehidupan sudah dimulai, seperti biasa. Para pekerja, anak - anak sekolah, dan saya sendiri yang mulai beranjak untuk memanaskan sarden sisa malam tadi untuk saya makan. Sendiri seperti bertahun - tahun lalu saya di sini.

Saya hanya merasa harus berbeda ini hari. Seperti ada kesejukan yang melanda segenap jiwa untuk berharap lebih baik. Dari kemaren dan beberapa hari yang tertinggal dalam bingkai masa kenangan.

Itu saja, tidak lebih.