Powered By Blogger

Desember 30, 2009

Catatan sore : sedikit harapan di 2010

Sisip rasa dalam nuansa bening senja.
Mengayun langkah kecil, mengakhiri hari
Menyapa sejenak hati yang lelah, segera rehat dalam selimut

Saya baru menyadari saat status single saya menjadi perhatian dari seorang rekan kerja dan segelintir kawan. Itu terlihat pada up date status FB saya yang terpampang dengan agak sungkan : ” Waduh, apa mesti telor ceplok lagi malam ini ”
Status yang saya ketik sekedar menampilkan keberadaan saya yang ’ hidup ’. Ini juga karena ada message dari seorang kawan yang merasa add nya kok sudah 4 hari gak terconfirm oleh saya. Jadilah saya aktif di FB dengan rasa malas. Saya confirm dan menyempatkan ignore beberapa invite untuk bermain, untuk memanfaatkan fitur – fitur lainnya dan semacamnya, saya tuliskanlah status itu.

Biasa saja. Lantas saya log out, dan memulai rutinitas. Rutinitas untuk membenahi rumah setelah kepulangan kerja. Dan menyiapkan lauk makan malam untuk diri saya sendiri. Benar saja, saya memang tidak ada pilihan lain saat itu, selain telor. Sosis sudah lama habis dan menikmatinya kembali - perlu waktu untuk seorang kawan mengirimkan lauk istimewa itu ke kebun dari Samarinda. Sarden kosong, Kornet ada, tapi tinggal kalengnya yang tersimpan dalam kulkas.
Semuanya berjalan. Normal seperti hari – hari terlewati.

Dan besoknya, saya mendapati sesuatu yang wah di FB saya - post comment untuk up date status saya ( via email dari FB adminstration di email client saya ) panen tanggapan. Mulai dari kawan di jalur pendidikan dulu, rekan kerja, dan sosial saya di jejaring sosial ini. Banyak comment - sekedar saran, sekedar mengejek : “ Begitulah nasib bujang yang terhimpit di medan juang “, “ Nasib kau, apa gak ngiri tuch ama tetangga yang udah keluarga semua ? “, nasehat, dan kalimat lainnya. Ini menjadi surprise tersendiri, mengingat begitu banyaknya comment yang muncul. Bahkan lebih banyak saat saya menuliskan : up date status – MASIH HIDUP dulu.

Terkejut, hingga membuat saya sedikit membuang waktu di awal kerja saya. Membuang waktu untuk mengingat kapan terakhir saya berpikir bahwa solusi saya untuk rutinitas makan yang gak sehat, rutinitas kerapian diri yang hampir tak tertata adalah kebutuhan saya akan sosok seorang pendamping hidup, dan solusi untuk saya berhenti mengeluh pada Mama saya.

Bila ini saya ceritakan pada Mama, tentu beliau akan kembali menawarkan seseorang pada saya seperti beberapa waktu lalu. Tawaran seorang perempuan yang beliau yakini siap untuk mendampingi saya. Oleh karena itu, ini tak saya masukkan dalam laporan kabar – kabari saya pada Mama. Secara umum saja : ” masih sibuk dan sedikit agak bertambah gemuk sekarang ini ”. Terkirim dengan sempurna dan berbalas dengan do’a – do’a dan nasehat jaga kesehatan.

Akhirnya dengan berbagai petimbangan status itu saya delete, dan begitu pula commentnya tak menjadi bagian dari FB saya. Biar saya ingat dalam hati saja, meskipun bila ada beberapa kawan yang jeli dan tersinggung, itu adalah perkara beda. Toch saya juga punya argumentasi yang cukup hebat. Saya masih fokus pada kerja dan hal ini sudah cukup mengganggu saya.

Tapi satu yang saya sadari : Saya belum siap menjadi suami yang baik saat ini.

...............................

Catatan lama yang sengaja saya jadikan ' catatan kecil ' dengan penuh pengharapan pada target pencapaian akan sebuah keluarga yang terbentuk di 2010.
Insya Allah, amin.

Desember 29, 2009

Kau kembali tak bercerita.....

Sedikit matamu mengerling dan kulihat ada basah di sana. Tapi kau cukup menghiburku dengan senyum dipaksa dan ucap kecil; ‘ saya tak mengapa, hanya debu kecil yang tertanam dalam mata ‘

Dan waktu berlalu sesaat dengan hening, kau berdiam diri - begitupun aku. Tak sedikit kau beranjak dari kaku, aku pun selayak arca lingga dalam pertapaan abadi.

Hingga hujan menyemai rintik, dalam suasana kesunyian. Aku gelisah, kau tak berubah.

“ Pergilah, biarkan saya “

Tapi kau mulai basah, tetes air menghujanimu. Kita tak terteduh oleh dedaunan, perlu waktu untuk melangkah pulang. Sebelum kuyup menyentuh seluruh tubuh.

Kau ( kembali ) mengisyaratkan untuk aku pergi, tapi kali ini kau mendongak dengan mata yang benar – benar basah. Tidak karena gerimis ini. Tapi karena sesuatu yang tak kau ucap, yang aku tak mengerti. Sesuatu yang tak kau ucap sedari tadi.

Kau menangis
Kau basah
Kau kembali tak bercerita

Desember 28, 2009

Early Morning Blue - Penyihir Pemalu

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

Sebait puisi Pada Suatu Pagi - Sapardi Joko Damono)

Sedikit kebimbangan mengena pada saya pagi ini, dan itu sesuatu yang tak terjabarkan dengan baik oleh membran selaput otak saya. Dalam artian saya tak tau mengapa ?
Tiba – tiba saya jengah, tiba saya berada dalam situasi dramatisasi. Apakah ini mungkin karena Do you know where you’re going - MC ato sesuatu hal yang lain. Saya masih mencari. Penting untuk diidentifikasi rasa seperti ini. Meskipun belajar dari beberapa kali, saya tak pernah berhasil menjawabnya hingga rasa itu berlalu tanpa akhir yang terekam.

Early Morning Blue;
perasaan malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa alasan yang jelas, semacam hipokondria oleh Andrea Hirata dalam Laskar Pelanginya. Tapi saya lebih senang merasainya dengan sebutan seorang penyihir pemalu yang tidak ingin dikenal. Pun oleh saya, ia tak juga memperkenalkan diri. Tak mengapa - bila ia tak meninggalkan sesuatu yang aneh pada diri saya, tapi setiap langkahnya menjadi kerisauan, menjadi kebimbangan tanpa alasan, menjadi sesuatu yang tertolak oleh kelaki-lakian saya - bersedih. Dan itu cukup membuat saya agak sedikit marah, lantas saya menulis. Tentang Early Morning Blue – penyihir pemalu yang seperti biasa ( akhirnya ) pergi tanpa permisi.

Desember 27, 2009

Catatan pagi - pelajaran dari seorang kawan


Bertahan dari kehidupan.


Beberapa hari lalu saya menerima kunjungan dari seorang kawan - Office Administrator Bulking Installation yang berposisi di Tepian Sungai Mahakam Kabupaten Kutai Kertanegara. Ia datang untuk mengikuti meeting Operational Plan Procurement 2010 yang diadakan di Kebun. Saya menyambut kedatangan dia yang memang sudah saya anggap layaknya saudara sendiri. Maklum, saya adalah orang Banjarmasin dan dia sendiri adalah seseorang yang masih berketurunan Banjar dengan campuran seorang Bugis dari Ibu. Dan ia adalah senior saya dulunya.

Tentu ada yang bisa diambil dalam pertemuan kami, terjadi saat pembicaraan ringan di rumah saya. Saat saya menculiknya dari Mess Club tempat ia diinapkan. Kita berbicara banyak. Tentang perkembangan kerja, keluhan, canda dan lainnya.

Tapi satu yang akhirnya bisa saya katakan bahwa inilah hikmahnya. Ia hanya mengatakan pada saya bahwa semua orang sudah tentu mempunyai posisi masing – masing untuk di pertanggungjawabkan. Saya yang berurusan dalam segala operational Dispatch ( Dispatch Land, Dispatch River, and Internal Dispatch ), operational Sirtu Project, dan lainnya yang menjadi bagian job saya yang seorang administrasi di Engineering, Logistic, And Transportation Department. Dia yang mempunyai taggung jawab administrasi di Bulking Installation, ada juga rekan bernama Wali ( seorang kawan yang berposisi sebagai Staff Finance ), Dina yang Legal, Edi yang Accounting, dan banyak rekan yang lain yang kadang merasa bahwa mereka layak untuk mendapatkan fasilitas dan perhatian yang lebih baik.

Saya tentu boleh bangga, saya tentu boleh sombong, saya tentu boleh mengeluh dengan apa yang saya dapatkan sekarang. Mereka pun mungkin seperti itu. Pilihan.
Benar, semuanya adalah sebuah pilihan. Bahkan untuk sekedar mengeluh. Entah ia merasa bosan dengan keluhan saya, entah ia merasa saya salah dalam menyikapi hidup. Ia lantas mengajak saya jalan – jalan ke Lahan. Visit ke areal yang kebetulan masih ada aktivitas panen, weeding, manuring, dan semprot. Setelah itu terlihatlah hamparan puluhan pekerja lahan yang bekerja. Untuk lembaran rupiah per hari yang ditetapkan oleh perusahaan. Ia tidak berkata – kata apapun pada saya. Aktivitasnya lebih sering menyapa pada para – para pekerja itu, berbicara ringan, santai bersama sekedar melepas pergi tetesan keringat sesaat. Sesuatu hal yang hampir tidak pernah saya lakukan – padahal penempatan saya ada di sekitar kehidupan mereka.

Kepulangannya tidak terlalu banyak kata, hanya menepuk bahu kiri saya dan salam perpisahan yang biasa. Namun, cukuplah itu sebagai pengingat, bahwa ada kehidupan lain yang harus saya lihat sebelum saya mengatakan bahwa hidup saya sulit, pekerjaan saya sangat berat, stress saya sudah mencapai klimaks, dan lain halnya.

 

 Mereka ada, dan tak jauh dari saya.


Pada saat diri melihat mobilitas kaum pekerja
, dan rinai basah embun menghampiri sunyi


Pagi ini,

Desember 25, 2009

Rasa dalam goresan pena


Rasa dalam goresan pena.


Kabut ini pagi, dan ia menatapnya dengan bening mata. Semerbak harum dedaunan yang terbangun dari lelapnya, menemaninya di kesunyian hamparan perkebunan. Ia tak rupa akan perihal hidup yang pernah ia lewati. Dan ia tak juga mampu menceritakan siapa dirinya di sosial hamparan tanah para pekerja ini.
Saat pertama, ia menawarkan diri untuk datang dan sekejap saja tanah baru merubahnya menjadi seorang yang berarti. Jauh lebih baik

Desember 23, 2009

Saya Marah, saya menulis, dan.......

Saya tidak melihat ada yang salah dengan diri saya saat saya dimarah besar oleh seorang Direksi dalam kesempatan meeting Koordinasi Budget 2010 pagi ini. Terlebih tema kemarahan beliau yang tak relevan dengan apa yang dibahas. Kesalahan saya mungkin adalah saya tidak berada dalam situasi yang baik, beliau lagi stress – mungkin ? beliau lagi ada masalah keluarga, sehingga perlu membenamkan amarahnya pada orang lain dan kebetulan saya orang yang paling available untuk itu – mungkin ? Atau beliau lagi kehilangan uang sepuluh ribu rupiah dan kebetulan hanya uang itu yang beliau miliki di bulan tua ini ? Akh, terakhir inipun mungkin saja, meskipun persentasinya adalah mendekati nol persen.
Siluet kemungkinan – kemungkinan itu saya hadirkan untuk sekedar membela diri. Bahwa saya dimarah dan saya tidak salah.

Saya berada dalam situasi yang...., entah saja – apakah saya berhasil menciptakan peluang dan kesempatan beliau marah besar pada saya ? Kesempatan untuk beliau menumpahkan segala bentuk macam ketidakberdayaan diri, keluhan, ketidakmampuan menerima sesuatu yang menimpa beliau, atau....akh, saya tentu tak tahu.

Mungkin bisa pula itu benar, saya pun kerap kali melakukan hal yang sama, MARAH. Hanya saja saya tidak terlalu lihai mengaplikasikannya dalam bahasa verbal. Saya tuliskan saja, dan tidak saya apa – apakan setelah itu. Sudah terlampau banyak uraian pendek di catatan sampah saya, yang saya simpan rapi dalam notebook dan kadang bila saatnya untuk membuka kembali, saya – ya, sejujurnya mendapati diri yang lemah.

Bila benar apa yang saya duga pada Bos Besar saya, maka betapa setiap kita sebenarnya memerlukan tempat untuk mengekpresikan emosi. Dan setiap kita tentu mempunyai pilihan untuk semua itu, Bos saya dan mungkin sebagian orang memilih untuk langsung menguapkannya dalam bentuk kata – kata yang bertegangan tinggi, meluncur seperti kilat dan memuntahkan berkeping – keping larva panas dari sebuah mulut - lepas apakah dengan begitu mereka akan bisa lapang akhirnya, sikap yang justru berbeda yang saya tunjukkan yakni dengan menulis.

Mengapa saya menulis ?
Saya tentu menyadari keberadaan manusiawi saya yang memiliki emosi diri yang salah satunya bernama marah. Dan kemanusiaan saya juga menyadari bahwa saya mengalami kesulitan untuk membahasakannya dalam bentuk ucap. Mudah bagi saya dengan menulis, dan memang itulah pilihan saya. Bersikap saya terhadap jiwa yang marah.

‘ Marah ? marah itu baik kok, kita bisa jujur di sana. Emosi yang kerap merubah kita ( tiba – tiba ) menjadi manusia yang berterus terang akan ketidaksukaan, kejengkelan. Situasi untuk kita bisa bertahan dari aniaya diri sendiri.....’
Bagian dari email seorang kawan, saat berdiskusi panjang soal emosi jiwa.

Lalu seberapa efektifkah bila marah itu kita ekspresikan dengan menulis ?
Sangatlah berat. Bila situasinya adalah suatu permasalahan yang melibatkan satu atau banyak individu lainnya, maka pilihan untuk melampiaskannya dalam bentuk keluh buku diary tentu bukan cara yang cerdas bila tidak ditindaklanjuti penyelesaian secara riil.

Bagaimanapun ini adalah habluminnanas kita sebagai seorang manusia, tak elok bila kita menyimpannya terus menerus, dan sudah menganggap semuanya berakhir dalam sekian kalimat keluh, ketidakpuasan, atau apapun ragam bahasa yang kita torehkan dalam lembar atau sekian halaman file di komputer.

Tapi entah mengapa dengan menulis, saya merasa....sepertinya tiap kali jemari saya menjelajahi nuts keyboard setiap itu pula saya merasa ada luruh rasa untuk saya bertenang diri. Saya merasa bebas. Dan lebih manjur, saat pergi membasuh muka dan berkesempatan membacakan catatan – yang karena menciptakan dengan konsent dan penjiwaan, saya lantas hapal sekian kalimat itu – kepada Tuhan di bagian laku ibadah saya. Tuhan tentu Maha Mengetahui, oleh karenanya saya sering hanya berucap : Kau Maha mengetahui apa yang di jiwa hamba – Mu ini, oleh karenanya hamba bermohon ridha-Mu untuk saya bisa mengakhirinya dengan kebaikan bagi jiwa ini.

Setelah itu ?
Saya kembali menjalani aktivitas saya dengan kesadaran bahwa saya baru saja membungkam salah satu emosi saya, dan bertemu dunia nyata dengan sikap yang mudah untuk dimengerti oleh mereka yang sempat ‘ konfrontasi ‘ dengan saya :
‘ Baik, saya baru saja membuang marah saya ditempat yang benar. Kalian juga tentu begitu setelah beberapa saat ini kan ?
Sekarang, mari...kita harus bercakap tentang apa lagi ‘

Desember 15, 2009

( fictitious ) dari sebuah cerita

Vina namanya. Usianya masih di bawah saya, tapi ia sudah sangat dewasa di atas saya. Ia saat ini survive bersama Zahra Ayu Kemuning, anaknya. Gadis cilik yang hampir beberapa hari lagi menginjak usia 4 tahun, setidaknya begitu penuturan sang Ibu kepada kakak saya. Saat saya berkesempatan menemani kakak berkunjung ke rumah kontrakannya yang mungil. Bertamu untuk sedikit berkonsultasi mengenai penataan interior rumah. Maklumlah, kakak saya sedikit perlu nasehat mengenai penataan segala furniture dalam rumah, karena menurutnya ia baru saja mendapat teguran dari Mas Duan suaminya. Dan kakak saya tentu tak salah pilih, rumah mungil Vina sangat tertata dengan design interior yang bisa saya katakan sudah merupakan penataan seorang profesional ( Meskipun di lantai terlihat betapa berantakannya segala tetek bengek mainan dari anaknya ). Perihal Ayu anaknya– begitu biasa ia sering dipanggil, dan melihat perangainya, saya lantas jadi teringat dengan keponakan saya sendiri. Ia lincah, meskipun sedikit agak penyendiri ( bahasa saya karena ia selalu menjauh dari saya setelah sebentar mendekat hanya untuk mengambil beberapa biji permen di tangan saya ). Tingkahnya menarik hati sebagai anak kecil, terutama kepada orang – orang dewasa. Tapi lebih daripada itu, ia adalah gadis mungil yang sangat indah dipandang untuk mengagumi kekanakannya.

Bagaimana dengan Vina ? Ibu dari si kecil Zahra Ayu Kemuning. Untuk ini kakak saya punya cerita di dalam perjalanan pulang kami.
Umur Vina hanya berpaut satu tahun di bawah saya, dan ia sudah menjadi single parent, meskipun ia belum pernah menikah.
Bagaimana bisa ?
Begitulah, pergaulan bebas. Itu terjadi ketika ia masih menginjak kuliah tahun kedua di perguruan tinggi swasta terkenal di Jakarta. Perguruan Tinggi yang sudah saya maklumi ketika mendengarnya. Tapi ada bagian yang sangat menyentuh oleh saya tentang Vina. Awalnya ia beragama non muslim, dengan separo keturunan tionghoa dari Sang Mama. Mendengar kejadian yang menimpanya, keluarga tentulah marah besar. Terlebih saat ia memutuskan untuk beralih keyakinan menjadi seorang muslimah, sebagai prasyarat oleh sang kekasih yang seorang muslim.
Ia lantas terusir dari keluarga, dan entah mengapa sang pacar meninggalkannya begitu tiba – tiba. Ia patah semangat saat usahanya menuntut janji dari laki – laki yang sempat dicintainya menjadi pertorehan luka yang sangat menyayat. Usia kandungan 6 bulan ia menyadari diri yang sendirian. Jakarta tidak lagi ramah untuk perempuan hamil yang sendiri. Sempat beberapa kali berpindah tempat tinggal dan beberapa kali bertumpang inap di kos – kos kawan yang bersimpati, akhirnya ia memutuskan pergi meninggalkan Jakarta dan berlabuh di Kota kami.
Dengan berbekal tabungan sisa, ia berusaha bertahan. Hingga si kecil Ayu terlahir, dan ia sendiri sudah dalam adaptasi bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang distributor salah satu merk dagang di Indonesia.
Bagaimana dengan keislamannya ? Disitulah letak pengenalannya dengan Kakak saya. Kedatangannya di Kota kami mendapatkan simpati langsung dari para tetangga yang sosial-nya masih bisa dibanggakan. Pengajian, dan kakak saya adalah salah satu anggotanya.
Saat ini kakak saya dan Vina sudah sepakat angkat saudara. Kakak saya beralasan sangat sulit untuk share dengan saya, adik saya dan suaminya tentang masalah – masalah perempuan. Maklum kami adalah laki – laki. Intinya, kakak saya membutuhkan kehadiran sosok saudara perempuan untuk bisa berbagi tentang ’ perempuan ’ itu sendiri.
Oh, ya. Kakak saya dengan bangga mengatakan bahwa saat ini ia sudah mulai berhasil membujuk Vina untuk berjilbab, dan dengan bangganya pula ia mengatakan bahwa ialah yang megusulkan nama untuk anaknya Vina saat kelahirannya. Zahra Ayu Kemuning, Zahra berarti bunga dan Kemuning sendiri adalah tokoh central dalam cerita Kelopak Cinta Kemuning karangan Wijiasih P – cerita yang sangat disukai oleh Kakak saya.

Begitulah, Vina namanya - yang semenjak pengenalannya dengan kakak saya beserta komunitas pengajiannya sudah berganti nama menjadi Ayesha Rasiyah. Setelah coba saya search di internet, ia berarti wanita yang tegar, yang kuat.
Mengagumkan.

Saya tersenyum saja saat kakak saya mengakhiri ceritanya. Vina sudah berhasil menunjukkan kehebatannya sebagai seorang perempuan. Meskipun bila melihat ke belakang, tentu sangat sulit membayangkan bagaimana ia bisa bertahan. Namun satu hal yang pasti, demi melihat tumbuhnya Kemuning kecil, saya menyadari ada sesuatu yang akan mejadi tugas seorang Vina. Yang saya tidak tau bahasa seperti apa yang akan ia suarakan nanti pada anaknya itu.

Desember 14, 2009

Jujur : Saya nyata di Dunia Maya

Sejauh ini sangat menyenangkan untuk saya bisa memanfaatkan fasilitas internet. Ada dunia yang terbentuk karena koneksi saya di internet ini. Dan itu membuat saya menjadi merasa dua makhluk hidup yang dimana salah satunya adalah reflika dari diri yang lebih baik.
Percaya tidak ? Ehm, bagaimana ya menjelaskannya ?

Secara psikologi, - sedikit yang saya tau, setiap kita seringkali membentuk penjabaran ’ sebuah diri ’ yang diharapkan ia menjadi. Maksud saya, terkadang pikiran – pikiran kita membentuk pikiran bagaimana diri kita seharusnya. Meskipun seringkali realita kita membentur keinginan tersebut. Kenyataan tampak membatasi kita untuk bersikap tidak realistis. Pengkhayal. Sederhananya, saya ingin menjadi diri yang lain yang saya bayangkan, yang dimana dengan begitu saya berharap akan banyak mempunyai arti. Seperti menjadi seorang yang sempurna atau lepas dari ketidaksempurnaan yang disadari.

Maaf, saya tak bermaksud membuat bingung dengan kalimat – kalimat di atas. Saya membayangkan saja, dulu di masih kecil, saat film – film video disk ramai menjadi tontonan. Sariban, Gaban, Megaloman, hingga berlanjut Ksatria Baja Hitam. Apa yang terjadi dimasa itu, saya menjadi Sariban hari ini, kemaren saya menjadi Megaloman, dan sehari sebelumnya saya menjadi Gaban. Besok mungkin saya akan menjadi Ksatria Baja Hitam, karena sudah ada janji pemutarannya oleh Tante Ina saat itu yang punya video disk satu – satunya di RT kami. Dan benar saja, setelah film itu sudah selesai diputar, maka tiba – tiba saya memproklamirkan diri sebagai Ksatria Baja Hitam. Saya merasa berhasil saat memproyeksikan diri dalam tokoh superhero kebanggaan saya tersebut. Topeng kertas, pakaian yang baru dibelikan oleh Mama ( Saya ingat sekali bagaimana menangisnya saya untuk dibelikan baju – baju jagoan kesayangan saya tersebut, yang terkadang lengkap dengan sehelai kain di belakang punggung ) dan dengan pedang kecil buatan Om Yani, adik mama. Pedang dari batang daun pisang. Berlarilah saya di sekeliling kampung, mengejar musuh – musuh saya. Siapa musuh saya ? tidak ada secara nyata. Saya membayangkan saja saya adalah seorang Ksatria dengan musuh yang hanya saya bisa melihatnya.

Tapi itu adalah masa kecil, sekarang apa hubungan cerita masa lalu itu dengan bahasan saya saat ini. Jujur saja, saya sebenarnya merasa masih banyak diri di sini ( dunia maya ) adalah seseorang yang nampak memaksakan sebuah kesempurnaan pada dirinya. Mudah melakukan untuk itu, dengan menulis.

Contohnya; saya bisa saja menuliskan bahwa saya adalah seorang keturunan Jepang ?, Saya saat ini sedang dalam study di Yekaterinburg, Rusia – yang sekarang sudah musim dingin dengan salju menyelimut kota ?, Saya yang saat ini adalah seorang employee dengan position yang sangat mapan di sebuah perusahaan tambang – dengan tiap tengah dan akhir bulannya saya bisa kembali ke Jakarta sekedar weekend ?, Saat ini saya yang adalah....( bla..bla..bla ) ???

Dan kedua, dengan saya berusaha mempostingkan sesuatu yang saya mungkin bisa dianggap sebagai seorang yang bijaksana dengan petuah – petuah yang copy - paste, saya seorang yang alim dengan selalu menyertakan ayat – ayat Al Qur’an dan Hadist dalam setiap tulisan saya lengkap dengan penjelasan – penjelasan secara syar’i tetapi jauh dari realigi saya sehari - hari, saya seorang yang perhatian dengan reply tulisan kawan, sekedar menyapa prihatin, mendo’akan, turut memberi semangat, and something like that – sesuatu yang hampir saya tidak mampu menyempatkan diri melakukan itu pada sosial saya di dunia nyata.
Intinya : Di dunia maya, saya ( memperlihatkan ) yang seorang lebih baik....

Bagaimana bisa, ( sekali lagi ) tentu saja mudah. Menulis. Menulis. Dan menulis.
Pencitraan diri akan terbentuk dari apa yang kita tulis, entah sadar atau tidak, kita akan memperkenalkan diri kita kepada siapapun tentang kita dari apa yang kita tulis. Mengenai apapun. Tak perlu bicara dan menunjukkan tingkah. Dunia maya tidak ada tempat untuk memperlihatkan itu.
Tapi itu akan menjadi lain bila kita ternyata tidak tulus dari diri mempersembahkan tulisan kita. Semacam ada keinginan terselubung untuk dilihat. Untuk diakui sebagai diri yang lebih sempurna dari diri yang nyata. Masquerade. Sombong. Untuk yang ini saya hanya berserah saja, berserah pada Gusti Allah – karena Dia yang Maha Mengetahui seperti yang Dia wahyukan di An Nuur ayat 64

Mengapa saya menuliskan ini ?
Jawab saya ada di sebuah blog yang di awalnya kawan ( semoga ia masih menganggap saya kawan setelah ini,....amin ) tersebut menuliskan

Tentangku:
Saya adalah seorang yang bermasalah dengan pendengaran di usia 10 th. Dimana Pendengaran saya mengalami gangguan dengar sebesar 93 dB (Decibel) di kanan-kiri (masuk kategori sangat berat siih hiks..payah..). Jadi hanya suara-suara keraslah yang masih bisa kudengar.

Untuk komunikasi mesti dibantu dengan Alat Bantu Dengar (ABD)/Hearing Aid. Walaupun pendengaranku terganggu, namun aku sama dengan kalian yang "Normal". Aku masih bisa mendengar dengan Alat Bantu Dengar dan tentunya akupun punya hati untuk merasakan.

Melalui Blog ini saya mencoba berbagi dan menuliskan pengalaman bagaimana saya menjalani hari - hari saya dengan pendengaran yang bermasalah.
Dalam keseharian saya ini orang senang bercanda karena saya tak mau orang-orang yang kenal dengan saya ikut bersedih ^_^

Mudah-mudahan dengan blog ini saya bisa berbagi dan bisa lebih banyak mengenal dengan orang-orang yang senasib dengan saya, dan tentu saja blog ini tempat saya bercerita tentang apapun di sekitar saya melalui sudut pandang saya sebagai orang yang mengalami gangguan dengar.....

Dia jujur, dan itu mengapa tulisan – tulisannya begitu hebat menurut saya.

Terakhir,
Ini hanya sekedar tulisan - jauh dari idealis, tapi karena keinginan untuk bisa lebih percaya pada diri sendiri - nyatanya saya. Seperti kawan tersebut, yang berani menuliskan ’ tentangku ’-nya itu.

Haitami


( cerita ) ..........Ambilkan bulan Bu

Ambilkan bulan bu
Ambilkan bulan bu
Untuk menerangi, kamarku ini.

Si kecil memang tidak sedang bernyanyi. Tapi perempuan itu seperti mendengar dengung kemerduan di wajah mungil yang menjadi pelita hatinya hampir selama 4 tahun ini. Kelelahan sang gadis cilik akan aktivitasnya tadi siang membuatnya terbaring pada tidur yang nyenyak.

” Ma, mo beli bona....”
Perempuan itu tersenyum mengingat ucap gadisnya beberapa hari yang lalu. Saat akhir pekan ia sempatkan membawa si kecil ke Mall terdekat untuk sekedar bermain – main di Gamezone dan toko penjualan buku ’ Banjar Agung ’. Siapa si Bona ? Ia adalah seekor Gajah berbelalai panjang. Dengan warna merah jambu, dan akan selalu bersemu merah pipinya bila ia malu. Dan ia tentu saja menunjukkan sosok si Bona berbelalai panjang pada anaknya di gambaran majalah Bobo.

Ambilkan bulan bu

Gadis kecilnya semakin tumbuh, dan ia hanyalah orang tua tunggal dengan pekerjaan yang mengharuskan ia hanya bisa melabuhkan kerinduan ditiap malam, beberapa waktu sebelum si kecil bermimpi. Kadang sangat besar rasa bersalahnya, dan cukup membuat ia terombang – ambing dalam menghadapi situasi kerja. Beberapa kali ia mendapat teguran dari kantor karena bolos, karena si kecil menangis bila berpisah, karena si kecil masih tidur dan membuat ia tak tega untuk membangunkannya. Kadang begitu pengasuhnya datang menawarkan diri untuk menjemput si kecil, entah mengapa ia tolak begitu saja. Ia hanya merasa gadisnya masih perlu kehadirannya, masih perlu belaian lembutnya, masih perlu ia untuk membenahi selimut, masih perlu ia untuk sekedar mengecup kening gadis cilik itu.

' Akh, gadisku '. Entah tiba – tiba ia begitu terbuai akan perasaan. Perasaan bahagia, perasaan bangga, sekaligus perasaan haru akan lika – liku hidup yang saat ini ia jalani. Si kecil adalah tanda eksisnya untuk tetap bertahan. Lebih daripada itu, si kecillah yang membuatnya tetap bertahan. Ia menjadi pelita sekaligus prasasti abadi akan tangis, tawa, duka, dan bahagia dirinya.

Untuk menerangi kamarku ini

Perempuan itu tertidur, berbalut wajah yang juga lelah. Rumah mungil mereka hening.
Sehening kehidupan mereka yang ditinggalkan pergi oleh seorang laki – laki.

Desember 11, 2009

Catatan perjalanan : ziarah

Seandainya waktu berputar lebih lama untuk ia meyusun kembali kepingan – kepingan kehidupannya yang lalu, maka dengan secepat kilat akan ia langkahi selasar kota tua yang kini ia sudah berada di gerbangnya. Tapi sayang, waktu untuk memperbaiki kembali sudah berakhir. Sudah lama, sejak bilangan tahun yang lalu. Saat terakhir ia datang ke kota ini dan berharap bertemu bagian terakhir dari puzzle hidup yang ingin ia lengkapi.
Dan saat ini ia sudah berada kembali di kota ini. Tidak untuk apapun, kecuali mendapati diri yang merindu untuk sebuah rasa. Rasa yang entah. Selalu menggema dalam selaput sadarnya di ujung – ujung malam, di kesendirian.
Langkah kakinya adalah jejak tanya. Fase kehidupan yang tak sempat disembuhkan. Meskipun ia telah coba untuk berdamai, dan hingga saat ini apakah ia berhasil untuk itu. Ia tidak pernah tahu.

Sekian panjang langkah, semakin riak berdentum dalam diri. Semakin menghunjam perih. Masih ada hitam bekas jelaga. Masih membekas ingat yang terluka.
Hingga matahari siang mengantarkannya pada sendiri sebuah Mesjid. Ia hampir saja tak mengenali bangunan indah ini bila ia tak melihat pohon mangga yang tersudut di tepi luar pagar, sedikit mengena pada taman kecil untuk sekedar para penjual kaki lima bernaung dalam usaha. Mesjid yang dulu ia bertempa ilmu dalam Taman Pendidikan Baca Al Qur’an.
’ ....dulu tidak semewah ini ’, gumamnya mengiringi langkah pergi setelah sempat menghabiskan waktu Ashar bersama jama’ah yang lain.

Ini adalah tempat ia biasa bermain – main dulu. Seharusnya ada bangunan pondok kecil Mang Ujang di ujung jalan itu, hanya beberapa meter dari simpang jalan Masjid ini. Sekarang tak ada lagi. Kemana ?
Sebuah hotel berdiri di ujung barat, dan pondokan Mang Ujang penjual arang sepertinya sudah bermetamorfosis menjadi hamparan taman sekaligus tempat parkir untuk hiruk pikuk kota yang semakin manja ini.

Kota ini menjadi asing, membuat langkah kakinya tersekat – sekat waktu untuk sekedar mengenal lagi. Ia terus berjalan, sudut – sudut kota dan pada sudut gang – gang sempit di antara ruko – ruko. Tempat ia berkawan saat masih kecil. Sementara di sisi lain ia bertatap mata Gedung tinggi berdinding kaca, bilboard besar membelah jalan. Akh, betapa ia ingat di sana dulu adalah tanah lapang yang ia sering bermain bola. Akh, betapa ia sangat ingat bagaimana layang – layangnya dulu adalah yang selalu terindah. Kini tentu akan sangat sulit baginya membawa layang – layangnya di langit, karena langit sudah berubah sejak terakhir ia menerbangkan layang – layangnya.

Sejenak inginnya ia memasuki jalan sempit itu. Sayang ia tak punya keberanian. Di belakang ruko – ruko ini masih tercecer kenangan masa lalu, tapi ia merasa malu. Rumah petak, kontrakan berhijab papan tipis, dan pos ronda ala kadarnya.

Kemana KaƩdi, Anang, Riansyah, si Manis Ipah, Wajah berlesung pipit ; Fitri ?
Kemana Mang Udi, Paman Jenggo, Bibi Wasna, dan lain – lainnya ?

Jawabnya mungkin ada di rumah – rumah itu, perkampungan yang kini lusuh terpinggirkan dan dipaksa berbagi tempat di naungan ruko – ruko besar dan gedung – gedung.
Ia terus melangkah, perjalanannya masih memakan waktu untuk tiba di tempat tujuan. Ia masih harus melangkahi kota ini hingga ke ujung utara, di sana ada pemakaman umum kecil.
Tempat bagian puzzle terakhirnya bersemayam. Bagian puzzle yang harusnya ia lengkapi dalam baktinya sebagai seorang anak.

Dengan bergetar ia mulai memasuki pekarangan dari ratusan pusara – pusara yang kesunyian.
” Abah, Assalamualaikum..... ”

Ia menangis untuk pertama kali setelah sekian lama tak kembali.

Desember 10, 2009

Bila ( benar ) dunia ini panggung sandiwara

Bila dunia ini benar panggung sandiwara, maka saya ingin menjual karcis pertunjukan saya dengan harga yang MAHAL. Saya tidak ingin dilihat sebagai seorang pelakon murahan, totalitas saya hanya dihargai dengan sumbangsih kerja dari penulis – penulis essay maupun kaum kritikus yang selalu mencari dosa dari sasaran tulisannya, keprihatinan, ucap selamat, dan tepuk pujian atau mungkin caci maki.

Bila kehidupan inipun adalah lakon sandiwara, maka saya ingin bersandiwara dengan naskah saya sendiri. Penonton takkan bisa memaksa saya bersedih, bila mereka mereka ingin tontonan air mata. Penonton takkan bisa memaksa saya tertawa, bila saya takkan bisa ungkap bahagia. Tapi saya, sayalah yang akan memaksa mereka tertawa, mereka menangis, mereka terbahak – bahak, atau mereka yang tersedu – sedu. Saya ingin bersandiwara dengan peran tokoh saya sendiri. Saya takkan menjadi pecundang. Sekali – kali tidak. Mereka akan tetap diam di tempat mereka sendiri, menonton gagap saya, kekanakan saya, keangkuhan saya, keegoisan saya, dan saya yang banyak rupa lainnya.

Pun bila mereka hanya sekedar mencari tempat di panggung saya. Sekedar tempat untuk menyepi, menyendiri, bahkan mungkin tempat untuk sekedar bermesra dengan pasangannya dalam keremangan lighting panggung dari sandiwara saya, akh...itu tak mengapa ? Mereka sudah bersedia membayar tiket pertunjukkan, itu sudah cukup. Karena bagi saya mereka hanya penonton yang saya tonton pula.

Saya hanya ingin hidup dalam panggung saya sendiri,
entah mengapa saat ini saya belum siap untuk membagi.........

Desember 06, 2009

Matanya terus basah oleh air mata

Hening,
Kabut menari dalam pelupuk mata yang bening berkaca. Menetes basah, embun menuainya menjadi pagi di atas kelopak keladi. Rindu kicau pipit, kicau burung – burung yang membahana.
Sekejap pergi, mengayuh hati risau mencumbu fajar. Menapak jejak dalam sepi, menjelma tarian bidadari.

Mengapa kau tak pergi ?
Mengapa kau tak mejemputnya ?

Matanya terus basah oleh air mata

Desember 01, 2009

Catatan sore - kembali kalah

Diam. Melintang bisu. Jasad menekur dalam kesunyian abadi. Kebimbangan menusuk sekian pori – pori hati. Adalah memutuskan untuk sesuatu yang egois. Riak mengalir. Sekian jejak yang sudah terjalani. Ribuan tangga yang terdaki. Mengayuh lambat.

Kembali lelah.

Kembali kalah.