Powered By Blogger

Desember 25, 2010

Family Day itu adalah Netbook yang baru

.

" Door prize terakhir, satu buah Lenovo, udah yang terakhir nih, jadi yang belon dapet pada do’a ya, kalo gak tinggal ngambil hadiah hiburan saja no, kaos …"


Pak Catur yang IRO di HR Department itu mengumumkan hadiah terakhir untuk session terakhir pula.
Pembagian hadiah dalam acara Family Day perusahaan di weekend kemaren hari. Saya macam orang yang menyanyikan lagu pupus dari Dewa ketika itu. Tak punya harapan untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dibawa pulang kecuali kaos. Baju kaos yang oleh Mba Dewi – Secretary VPD katakan : " dipilih, dipilih, dipilih….."

Masih berkutat diam, beberapa staff yang juga tidak mengantongi slip pengambilan hadiah pun sama diam. Menunggu dan menunggu…..

“ Ok, saya buka…perlahan, perlahaaaaan, dan perlahaaan “
, tak juga merubah ketegangan wajah dari beberapa kawan. Saya terdiam, ada harapan, pun juga realistis, masih puluhan bahkan mendekat ratusan rekan yang juga belum mendapatkan doorprize, ditambah lagi saya tidak merasa seorang yang punya peruntungan baik untuk urusan macam ini….

“ Dari Central Office “
, terpana, kemungkinan untuk berharap lebih kembali ada. Rekan – rekan yang dari site lain membuang nafas pasrah. Kaos sudah menjadi kepastian untuk dibawa pulang. Sementara yang dari Central Office juga meneguk ludah. Banyak. Central Office adalah kumpulan para staff yang banyak tersisa di akhir ini. Saya diam, diam untuk kembali memaksa pikiran kembali ke realita. Masih kecil kemungkinan…..

“ Namanya A di depan, daaaaaan……………terakhir adalah hurup I “, perlahan - lahan menjadi jelas suara itu. Tiba – tiba semua mata menuju pada saya. Salah tingkah, mencoba mengabsensi rekan – rekan kerja yang satu kantor dan berinisial tersebut, apakah hanya saya ?

Belum selesai “ dua kata “, tepuk tangan sudah membahana, sorak sorai menyebut nama saya, meskipun sang pembawa acara masih menyimpan suaranya. Seorang rekan sudah mengasih selamat pada saya dan seorang yang lain sudah mencoba menuntun saya ke ruang tengah.

“ Achmad Haitami “, tepuk tangan bergemuruh, dan saya yang menggumam ' Alhamdulillah '. Sedikit limbung karena ketegangan, salah tingkah. Sempat di ejek karena absennya sang istri dan celetukan bahwa ini adalah berkah dari penganten baru.

Ah, akhirnya saya memposting juga tulisan ini….hehehehehehehe




hadiah itu




pesta





Goyang seorang puteri India dari Malaysia


.

Desember 24, 2010

Bandung Bondowoso : Cinta tanpa paksa

.

.


Saat itu langit senja tiba – tiba berubah pekat, seorang raja terbunuh dan panji – panji Padjajaran berjatuhan dalam kekalahan.

Seorang ksatria datang menghampiri seorang puteri, perempuan yang tertawan karena perang, hingga ksatria itu menawarkan keinginan untuk mencintai….

“ Seandainya aku meminta 1000 candi padamu, adakah kekuatan gelora cintamu mengalahkan terbitnya fajar besok, hingga aku akan terbangun dalam penglihatan ribuan arca dan kolam wangi di tanah ini….”

“ lantas engkau akan mencintaiku “,
‘ Tanpa paksa ‘, karena seorang ksatria masih punya hati untuk mengartikan cinta. Ia yang berhasil mengalahkan kerajaan Baka, membunuh sang Raja kini berhadapan dengan perempuan yang masih memegang panji – panji sisa kekalahan sebuah kerajaan di depannya.

Nyatanya, Loro Jonggrang tetap menyimpan niscaya. Ia yang takjub akan perlakuan seorang ksatria atas dirinya yang tersisa dari kekalahan dan ia yang ketakutan, dalam kemarahan, dan putus asa masih menatap ksatria itu.

“ Hingga suara sentak Ayam pertama kali terdengar esok wahai ksatria “
Langkah anggun itu berpaling, mengisyaratkan sebuah kemustahilan yang akan dilalui oleh seorang laki – laki….

Syahdan, Bandung Bondowoso dalam keriangan saat ratusan batu – batu itu mulai tersusun dengan keindahan dan relief bak susunan prasasti kata – kata cinta, hingga mendekati akhir. Lewat dari tengah malam. Usap keringat dini hari menghadirkan keterkejutan. Ayam berkokok, alu bertalu, dan pagi.
Ksatria itu gagal. Kemustahilan yang hampir terlewati oleh ribuan Jin dan bayang – bayang abdinya masih berbentuk sebuah harapan. Bagaimanapun upaya berbatas syarat.

Sekelebat bayang Loro Jonggrang hadir dalam kesia – siaan sang Ksatria, dibalik kemarahannya, ia masih terajarkan : bahwa cinta bukan penaklukan, bukan pula ujian dalam melewati kemustahilan, tapi cinta adalah sebuah penerimaan bagi seorang Loro Jonggrang untuk dirinya.

Dan kesombongan akan membentur sesuatu yang tak mungkin; “ Aku mungkin gentar, tapi aku akan melakukannya….. “

“ Untuk apa ? “
Untuk apa tuan memberlakukan diri ini layaknya seorang yang merdeka, bukankah kekalahan Ayahanda adalah sebuah penaklukan, termasuk cinta ?
Untuk apa tuan menyanggupi kemustahilan itu ?

Bandung Bondowoso tak menjawab.

Ia mencintai seseorang yang tak menerimanya cintanya, meskipun tanpa paksa.

terinspirasi dari sini

.

Desember 21, 2010

PNS

.



Kadang saya selalu berpikir, apa yang melatarbelakangi seseorang untuk ikut test penerimaan CPNS ?

Tiba – tiba pikiran seperti ini kembali menyeruak saat saya membaca postingan seorang rekan di sini. Setelah lama hilang dan saya mengambil sikap untuk tak peduli terhadap pilihan orang. Saya sebenarnya tidak tertarik atas si A berhasil, terus si B belum beruntung, si C belajar giat hingga ikut try out untuk bisa berkompetesi dalam test tersebut, si D yang stress karena tertipu setelah usaha sogoknya lebih rendah dari kompetitor lain, ato beberapa institusi yang menciptakan soal – soal gak berkualitas macam judul lagu ( ato berapa album ? ) yang diciptakan Presiden negeri ini di soal testnya.

Ah, saya tentu tak ingin menciptakan penilaian ke-iri-an dalam tulisan ini.

Bagi saya, Pegawai Negeri Sipil adalah sebuah pekerjaan yang mengabdi yang sangat luas. Sebagai aparatur negara tentu tidak dipungkiri bahwa pengeluaran negara salah satunya adalah untuk membayar gaji dan tunjangan bagi para aparaturnya ini. Sementara di satu sisi penerimaan yang dipegang dan masih dalam proyeksi yang terbesar oleh negeri adalah pungutan pajak terhadap para pelaku usaha, rakyat kecil, dan banyak sumber – sumber penerimaan pajak lainnya.

Dari ini, tentu boleh saya katakan bahwa pegawai negeri adalah aparatur negara yang melayani, baik secara administrative maupun operational, baik yang fungsional maupun yang structural, dan mempunyai tanggung jawab secara tidak langsung pada rakyat.

Oleh karena itu, bila kita hanya mempunyai reason saat mengikuti test penerimaan CPNS dengan memimpikan jaminan hidup hari tua, kerja yang santai, dan hal lain yang membuat kita merasa tak akan terbebani, maka seandainya tidak lolos, mungkin itu teguran dari Tuhan untuk kalian memperbarui niat. Dan pun bila Tuhan memberi ‘ keberuntungan ‘ dengan orang tersebut, saya harap Tuhan memberi pelajaran bahwa reason yang mereka jadikan latar belakang untuk ikhtiar itu adalah penopang konsep pikir yang keliru, karena bila tidak, seperti yang sering didengungkan oleh iklan Pajak : Apa kata dunia ?

Negeri ini perlahan akan hancur sendiri untuk menerima kapabilitas dari orang – orang tersebut yang sudah bermimpi sebelum tidurnya……..

Tapi bila niat sudah benar, ingin mengabdi, ingin membangun negeri ini, dan masih juga belum beruntung dalam test penerimaan CPNS, maka saya cuman ingin memberi semangat, mungkin belum saatnya, mungkin justru CPNS bukan yang terbaik sebagai ladang amal ibadah dan ada sebuah post yang direncanakan olehNya, siapa tahu ? Konsep positive thinking sangat baik untuk dikembangkan dalam menghadapi sebuah hasil yang tak menggembirakan bukan ?.

So, selamat bagi yang lulus test CPNS dan tetap semangat bagi yang belum lolos




.

Desember 20, 2010

Pagi setelah meeting

.

.



“ Kadang Bapak berpikir, apa ibadah Bapak ini akan sanggup nutupin beban dosa Bapak sendiri…. “ matanya sedikit menerawang dan isapan rokok. “ Padahal dosa dari mata ini saja sudah terlalu banyak… “, beliau sambil mendelik dan menunjukkan mata beliau pada saya…..

Seorang Manager Estate. Puluhan tahun malang – melintang di perusahaan perkebunan. Baru saja pulang dari ibadah Haji bersama istri yang beliau sudah dikaruniakan anak – anak yang masih berada dalam bangku kuliah dan SMU. Istri beliau dulu seorang Assistant Penelitian PTPN di tanah Jawa sana. Memutuskan berhenti dan ikut beliau bertualang ke Sumatera dan Kalimantan. Puluhan tahun lalu. Hingga sekarang beliau mampu berangkat Haji bersama – sama.

“ Bapak berdo’a buat Alm. Bapak sama Ibu Nak Tami, di Arafah. Robbighfirlii wali waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo. Alhamdulillah, akhirnya niat Bapak terkabulkan, …..

Tapi di sana juga Bapak jadi terbersit harapan, anak – anak Bapak akan mengucapkan do’a itu juga nanti di Baitullah…. “

Beliau tersenyum. Sembari membuang rokok, beliau mengisyaratkan langkah untuk beranjak. Suasana di luar Central Office Area setelah meeting pagi ini sedikit memberi saya pelajaran, dari sekian banyak cerita dan gambaran yang beliau paparkan tentang kehidupan, ini yang terpatri di pikiran saya.

“ Pamit ya Nak Tami. Assalamualaikum.... “

“ Hm, iya. Terima kasih Pak. Wa'alaikumsalam..... “

Ford Ranger itu berlalu, dan saya yang kemudian memutuskan menulis ini


.

Desember 18, 2010

Akhir pekan 18 Desember 2010

.

Tadi sore memutuskan jalan – jalan. Bersama istri saya mencoba mencerahkan suasana dengan melihat lingkungan luar kamp.

“ Kemana Bang ? “


Pertanyaan istri saya membuat saya tertegun. ‘ Kemana ? ‘. Tanah terpencil ini bukanlah sebuah kota yang kita bisa menghabiskan sore dalam keramaian taman – taman kota, tempat belanja yang mewah, lalu – lintas yang macet di akhir pekan. Di tanah ini hanyalah tanah yang terdiri dari hijau – hijau savana, pohon – pohon sawit, dan ilalang serta belukar yang belum terbuka.

“ Gak tau Dik, tapi cobalah…yang penting Abang ingin mengenalkan kau lebih dengan luar rumah ini… “
Ia manut, minta ijin untuk berpakaian. Saat saya memanaskan mesin motorpun saya terus berpikir akan saya ajak kemana istri saya. Hingga akhirnya saya menghibur diri, mungkin keramaian tidak akan saya dapatkan, tapi paling tidak saya akan melihatkan padanya tentang sudut – sudut tanah ini.Jadilah saya berboncengan dengan orang tercinta saya. Langkah pertama saya mengajaknya ke Dermaga Pulau Pinang, saya mengenalkannya pada kesibukan pekerja dari kontraktor yang kami terikat kerjasama dalam pembuatan concrete slip way di Dermaga tersebut. Kesibukan Ferry penyeberangan yang menghubungkan wilayah North dan South perusahaan ini. Sedikit mengambil moment dalam photo – photo.






Selanjutnya memutuskan pulang. Melewati jalur Plasma. Lokasi penanaman baru. Tanah masyarakat yang diberdayakan oleh perusahaan untuk ditanami sawit hingga nanti akhirnya berbuah. Kerjasama yang sedang digalakkan belakangan ini.
Jalan yang kering dan berdebu membuat kami harus betah dalam rongrongan pasir – pasir yang beterbangan. Meskipun begitu, ia sangat – sangat menikmati pemandangan yang saya perlihatkan. Suasana yang tentu sangat asing untuk seorang istri yang berasal dari sebuah kota, meskipun kota kecil di Kalimantan Selatan.







Itu saja, perjalanan akhir pekan dari sebuah rumah tangga baru di tanah yang terpencil. ( Sekali lagi ) saya mencoba menghibur diri bahwa istri mampu menikmati pekan ini, meskipun tidak ia dapati keramaian. Hingga setelah isya ini ia datang dengan segelas es teh dan senyum di dekat saya.
“ Bang terima kasih untuk jalan – jalannya “, ia agak sedikit canggung mengucapkan itu. Tapi sungguh, entah mengapa itu menjadi kalimat yang membuat saya luruh dalam kebahagiaan.

Senyum dan tawa kami bersama.

.

Desember 07, 2010

Puzing

.


Mengapa ?

Hanya itu yang bisa saya ungkapkan pagi dan menjelang siang ini. Saya tak yakin segala halnya ini hari akan selesai seiring waktu. Awal hari setelah pekan yang letih menjadi klimaks dalam kejenuhan dan kerja keras yang tak terhargai. Suasana riuh amarah dan pemberontakan. Saya sangat kacau, atasan murka dan rekan – rekan yang tak kalah kusut.
Suasana kerja lantas menjadi kesenyapan, berputar – putar. Menciptakan kubur bagi pikir masing – masing.
Saya ? saya tak lebih dingin dengan diam memandang ratusan data – data ( bahkan ribuan entry ) yang harus diperiksa lagi.

Baiklah, ini adalah sebuah keluhan. Dan saya sebenarnya tidak suka dengan situasinya. Saya mengeluh dan saya menemukan diri yang kepayahan.
Dan, semuanya berjalan. Menunggu penyelesaian. Deadline dan kata – kata brief terasa membosankan. Ini sebuah kesalahan. Kesalahan karena keinginan yang tak adil dari orang lain.

Payah sekali.

Ingin rasanya menekan tombol forward seperti yang biasa saya lakukan setiap kali melihat film DVD or semacamnya. Ingin lebih tahu ending....what’s happen ? happiness or sorrow.

Saya ingat, dulu ada cerita pendek yang mengisahkan tentang seorang anak yang menemukan bola pintalan benang dengan salah satu ujung benang tersebut keluar dari bola itu. Dia tertarik. Dia bermain – main. Hingga dia penasaran dengan ujung benang yang masih tersembul sedikit di balik bundarnya benang. Kenapa tak terurai ?, setelah bola benang itu berulang kali dia gelindingkan dan terlempar – lempar olehnya.

Tanda tanya yang menggema di kepala mengarahkan jari – jarinya memegang ujung tali itu. Saat ujung benang terdapatkan, ia merasa ada kekuatan yang sangat berat untuk menahannya. Ia tak habis pikir setelah berulang kali hal itu ia lakukan. Seraya putus asa, - berharap ia mampu menarik ujung benang itu walaupun hanya sedikit saja, tiba – tiba ia menemukan tangannya yang dengan mudahnya menarik ujung benang tersebut, dan sepersekian detik ia sudah berada dalam situasi yang berbeda, ia berada di kamarnya.

Kejadian tersebut berulang – ulang. Akhirnya sang anak mengetahui, dengan menarik benang ia bisa melewatkan waktu dan berkesimpulan benda itu adalah pintalan benang waktu, baginya. Yang ia bisa saja melewatkan hal – hal yang ingin ia lewatkan.

Hidup berjalan, dan sang anak terus menarik benangnya. Banyak moment dari hidupnya yang melesat begitu saja, tanpa pernah ia rasakan. Hanya karena ketakutan, kebosanan, dan rasa ingin tahu ending atas peristiwa.

Hingga sang anak tersebut menjadi orang yang sangat tua. Terlalu banyak waktu yang ia lewatkan dalam kehidupan. Dari bagaimana ia bisa menikahi istrinya yang memang ia puja sejak masa kecil, terlewatkan begitu saja hanya karena ia ingin mengetahui dengan siapa ia berjodoh, melewatkan tumbuh kembang anak – anaknya, dan banyak hal.

Menyesal.
Itulah yang dirasakan anak kecil yang bermain – main dengan bola pintalan benang waktu. Ia merasa tak banyak mendapatkan pengajaran apapun dari hidup yang ia jalani. Hingga ia seperti seorang gagap dalam bertindak, seorang tua yang tak terlihat bijaksana. Masih labil.

Ini hanya review dari sebuah cerita yang pernah saya baca. Tentang hidup yang berombak bagi manusia. Naik – turun, bergulung – gulung ke pantai dan berakhir menjadi riak buih – buih kecil.

” Seorang pelaut ulung tidak terlahir dari laut yang tenang, karena gemuruh badai lautlah yang mengabadikannya menjadi seorang pelaut, pelaut yang menaklukkan badainya dan gelombangnya... ”

Mungkin saya harus benar menghadapi badai demi sebutan pelaut itu


.

Desember 03, 2010

Tidak sekadar Manyar Jantan

.

Pertama

Wanita akan jatuh cinta dan bergelora dengan pria yang sedikit nakal, namun akan berusaha menikah dan mencoba bahagia dengan pria baik-baik.

Bila melihat asal muasal ( darimana saya mendapatkan ) kalimat ini, maka bisa saya katakan ini adalah bicara tentang seorang Setadewa ( Teto ), tentang Larasati, dan seorang Janakatamsi.
Pergulatan cinta, kehidupan yang sangat panjang.
Bagi seorang Teto dan Atik, Janakatamsi ?, dialah pemenangnya dari alur cinta. Kesimpulan beliau yang saya baca dan saya jadikan referensi dalam memandang Roman Burung – Burung Manyar.

Tapi satu hal yang beliau pun terlalu ‘ kejam ‘ terhadap Teto menurut saya, bagaimanapun psikologis eksistensialis saya sangat merasakan beratnya seorang Teto yang menerima kenyataan dari hidup masa lalu dan masa yang ia hadapi saat kembali ke Tanah Leluhurnya, Indonesia. Teto bukan pecundang, meskipun ia bukanlah pula seorang pemenang. Dalam tahap ini saya kira Mangunwijaya berhasil meminggirkan tokoh central ( Teto ) dari alur cerita dalam Roman ini. Setidaknya saat saya mulai membaca episode 11. Medan perang Teto ( kembali dimulai – setelah keputusannya mengambil langkah bertemu Mayor Verbruggen ) dimana ia mulai memutuskan menjadi Ayah asuh bagi ketiga anak Atik dan Janakatamsi, dan kita tak pernah mendapatkan hasilnya bukan ?
Novel sudah berakhir.

Ah, sepertinya saya harus merevisi kata sepakat saya untuk tulisan beliau tersebut. Ini dikarenakan ada beberapa hal yang saya merasa berbeda kata – akhirnya, setelah memisahkan diri dari rutinitas kantor, saya mendapati diri yang lebih got a viewpoint. Paling tidak dalam kesimpulan beliau dalam menilai seorang Setadewa.

Kedua,

' Kau tentu tidak berpikir aku akan jatuh cinta pada seorang laki – laki yang diam di sudut perpustakaan dengan buku dan delik matanya yang terus memandang kepada diriku kan ? '
…….selanjutnya :
' Hahahaha, laki – laki itu memang perlu sedikit nakal untuk bisa menaklukkanku, tidak seperti Manyar Jantan ( seorang pecinta Novel Burung – Burung Manyar juga ) yang berpikir dengan bangun sarang indah akan ada seorang cewek yang bersedia datang begitu saja padanya. Nonsense, aku tidak bisa seperti itu….Ia ( laki – laki itu maksudnya ) perlu berjuang lagi….'

Akhirnya,
Sedikit diskusi dengan melibatkan banyak pertanyaan. Berakhir dengan ketidakmampuan saya menggenalisir apa yang berhasil saya simpulkan dalam beberapa cakap seperti yang terurai di atas. Termasuk saat saya melemparkan kalimat yang saya ingat dari serial Lupus di masa kecil.
“ Kejarlah daku, kau kan ku tangkap “,
lagi – lagi tentang pemikiran perempuan. Benarkah ?
Dan tak terjawab sempurna untuk dijadikan evaluasi pembelajaran.

Lantas dengan sedikit keberanian, hal ini saya lempar ke Multiply di catatan saya sendiri.

Banyak tanggapan yang diantaranya adalah tentang masing – masing sudut pandang , tentang pengakuan diri, dan beberapa statement bahwa hal yang menyangkut cinta; Jatuh cinta, harapan, maupun ending yang saya maksudkan dengan – berusaha – bahagia adalah tidak ada relevansinya dengan status gender. Tapi lebih bersifat manusiawi yang di dalamnya tentu ada laki – laki dan perempuan.

Sebelum saya mulai menguraikan kesimpulan saya terhadap apa yang kemaren kita diskusikan, saya hanya ingin sekali garis bawahi bahwa ini hanya bahan saya untuk mencoba menyelaraskan pemahaman tentang sudut pandang ( saya yang berstatus laki – laki ) terhadap kehumanismean profil seorang perempuan.

Baiklah, sederhananya :
katakan saat ini saya mengenal seorang perempuan yang sudah siap untuk berkeluarga, dan saya mengetahui persis bahwa ia merindukan sosok pendamping hidup, apakah ia harus mengatakan “ Iya, saya…of course, saya akan mengiyakan seorang laki – laki yang menurut saya mampu mengimami saya “
atau “ Hm,saya tak tahu bagaimana saya bisa merelatekan cinta saya pada laki – laki yang siap bertanggung jawab pada saya bila ia tidak sedikitpun menyentuh hati saya “
Menyentuh hati perempuan, dan seorang laki – laki tidak mesti menjadi seorang flattere untuk itu bukan ?
Seorang perempuan memiliki responsive ( bila ini berkaitan dengan hati ) yang masing – masing berbeda terhadap lawan jenis, termasuk responsive terhadap laki – laki yang passive.
Oh, ya. Dalam beberapa komunikasi, sayapun bisa menyimpulkan bahwa seorang perempuan memang memiliki kesadaran akan imamnya seorang lelaki terhadap dirinya.

Intinya manusia tanpa ter-split gender akan berada pada sebuah garis simpulan yang sama di antara beberapa yang lainnya : ingin bahagia.
Termasuk saat laki – laki dan perempuan memutuskan menikah, meskipun skala prioritas ‘ ingin bahagia ‘ tentu berbeda satu dan yang lainnya.

Nah, yang jadi sisi yang menarik untuk di argumenkan pada diri sendiri adalah : bagaimana kita mampu menjadi seorang yang bisa mengajak lawan jenis kita dalam sebuah bingkai indah bernama rumah tangga. Menuju bahagia.

Bila ditanya pada saya, mungkin saya masih bisa menganalogikan seorang Manyar jantan yang dengan kesungguhannya membangun sarang yang indah sehingga akan ada seorang betina tertarik dan bersedia hidup bersamanya kala musim kawin tiba, tapi sekaligus berani untuk mengakui bahwa kehidupan berumah tangga adalah proses daya tarik menarik yang terhijab pada satu niat yang sama, bila niat itu sudah terpatri di hati, maka lakukanlah…..
( ucapkanlah kehendak itu )

Ah, itu juga kalau ada yang bertanya pada saya


.

Desember 01, 2010

Catatan Ara - Laa Tahzan

.

Belajar membuat cerita


Biarkan mengalir saja….

Ucap itu membekas di hati keras saya. Meskipun ini terasa hambar di telinga, namun tetesan air mata mampu menyediakan sebuah ruang hati untuk pahatan kata itu. Di beberapa episode berlalu ia memang semakin layu, dan entah kenapa siang ini ia ingin berbagi cerita....

“ Aku perempuan An, tentu sangat merasakan sakitnya ini “,
ia memainkan jemari seolah – olah mengurai kembali kekusutan apa yang ia pikirkan. Sementara Anti ( rekan saya ) tersenyum simpati dan meraih satu tangan itu….
menggenggamnya.

Ia bercerita….
Panjang
Ada air mata di sana
Ada penyesalan
Dan ada kesadaran atas diri yang mungkin juga salah

Hingga beberapa lembar tissue menyisakan akhir. Cukup untuk seka. Kesedihan mungkin belum selesai, tapi curahan beban itu mengalir.

Mengalir seperti kalimatnya : ‘ Aku masih kuat, An, Ra…aku masih kuat ‘.
Ucap ‘ masih kuat ‘ itu menekan kegetiran yang ia bentuk sendiri di wajahnya. Hingga ia berhenti…..

Ia menghaturkan terima kasih dan langkah kaki yang beranjak pergi. Meninggalkan saya dan Anti di meja baca sebuah taman.

Biarkan mengalir saja, ia ( perempuan ) itu lupa akan bukunya yang tadi sempat ia bawa : Laa Tahzan…….

.

November 24, 2010

Pilihan itu tetap ada

.



Pilihan itu tetap ada,

Hari ini, esok, dan seterusnya
Sepakat jika “ dalam hidup selalu ada pilihan….

Saya jumpai tulisan ini di dalam comment postingan saya. Sederhana sekali. Hidup selalu menyajikan pilihan untuk kita bersikap, banyak pilihan. Apakah kita akan memilih bahagia, tertawa, menangis, atau apapun yang kita perintahkan pada tubuh dan jiwa kita untuk bersikap.
Seperti hal kita menyadari bahwa sekian bagian kehidupan adalah semacam antibiotic yang mengajarkan kita untuk berproses bertahan hidup dan beradaptasi. Naluriah manusia.

Lalu bagaimana dengan menulis ?
Saya tidak menyakini menulis adalah bagian dari sebuah pilihan untuk bersikap. Menulis hanyalah sebuah ungkapan, bukan sebuah sikap. Bila boleh saya katakan, menulis adalah wadah ekspresi. Ekspresi dari sikap yang kita ambil, ekspresi dari ketidakmampuan kita untuk memilih, atau bahkan ekspresi dari menyerahnya kita dari hidup dan kita tidak memilih apapun.
Tapi ( sekali lagi ) bukanlah sebuah sikap. Ini menjadi sebuah beda. Bagi saya sikap adalah suatu laku. Diampun adalah suatu laku. Bila itu merupakan bagian dari pemilihan keputusan, diam atau bergerak. Teori relativitas terhadap diam adalah sebuah pandangan bahwa benda tersebut mempunyai suatu energi dalam diamnya.

Ada kalimat bijak yang tidak mendewasa yang juga saya temukan di banyak tulisan : …biarlah waktu menyembuhkan luka.
Terlalu naïf bila kita memaksa waktu untuk bisa menyembuhkan ( baca : menyelesaikan ) apa yang telah terjadi, apa yang menimpa pada diri dan jiwa bila kita tidak membuat pilihan terhadap sesuatu hal tersebut.

Waktu yang berjalan bukan subject, waktu hanya berada dalam fungsi menerangkan. Menerangkan subject dan object dalam hubungan manusia terhadap sesuatu yang ia berkorelasi. Manusia, benda, maupun sebuah lingkungan yang kompleks
Jadi, sederhananya adalah mari kita bersikap. Bila anda mengungkapkan sesuatu dalam pikiran anda, maka jadikanlah itu sebuah laku.
Yuks, mari menulis, semangat dan aplikasikan itu. Paling tidak dengan sebuah laku yang sederhana, senyum sapa kita dengan ucap : Selamat Pagi untuk sebuah hari


.

November 12, 2010

Jalan Imam Bonjol - Samarinda

.
Ketika malam ini saya melihat seorang rekan yang tersenyum melihat photo anaknya di layar Hp.

Awalnya tiba – tiba wajah itu memperlihatkan senyum, lantas tertawa kecil. Sementara sajian nasi goreng hangat yang baru tersaji tidak lagi menjadi sesuatu yang ditunggu. Padahal ia yang memaksa saya untuk secepatnya kami keluar rumah mencari makan.

" Coba lihat...", tiba – tiba ia memperlihatkan layar Nokia E72 nya ke muka saya. Ada photo anak kecil di sana. Anak kecil yang berusaha menggapai benda yang berhasil menciptakan photo itu. Anak kecil yang tertawa dengan gigi tampak terlihat baru tumbuh.
" Ia semakin gagah saja "

Dan wajah itu memang bahagia, sangat bahagia.

Kadang saat kerinduan itu bertemu pada pelipurnya, terjadi semacam ledakan energi yang menggerakkan semangat, menciptakan kesegaran pada wajah yang sumringah.

Tapi saya tahu, ia mungkin menyadari bahwa gapaian tangan itu semacam teguran pula untuknya berpikir agar segera pulang. Menyambut tangan kecil yang pernah ia katakan pada saya : “ Istri dan anak saya yang membuat saya semangat kerja Pak. Saya sangat mencintai mereka….”

Wajah itu semakin tersenyum di depan saya.

>>>>>> Jalan Imam Bonjol – Samarinda dan seorang rekan yang baru saja melihat upload photo istri dan anaknya.

.

November 02, 2010

( Fiksi ) .............Agar saya bisa menuntun tangan ini selamanya

: Belajar menulis cerita pendek

....................



Suara khas yang serak dan logat sedikit sunda membahana dalam ruangan mesjid di depan saya berdiri ini. Sangat santun, sederhana, simple dan menghunjam hati serta perasaan. Padahal saya sudah lama mengenal suara ini, tidak hanya dalam majelis tapi juga dalam hidup yang sehari – hari. Ini terasa sangat berbeda. Entahlah,…..

Saya tau Ustadz Irwan ( namanya ) jelas salah saat mengatakan bahwa surga di bawah telapak kaki seorang mama. Tapi nasehat mengapa saya harus berbakti pada kedua orangtua, sangat mengena pada saya - membuat saya sedih dan sesak bernafas.
Bukan karena surga itu, tapi karena sesuatu kenyataan yang menghayat di diri saya.

Mama, bapak, saudara adalah orang – orang yang tak pernah saya jumpai selama hidup ini.
Mereka ada di mana ? Adakah mereka masih hidup ?
Pertanyaan yang sering saya lontarkan pada Mbah Ijen pengurus Panti dulu - tak pernah terjawab. Saya ingat sekali, - bahkan sebelum saya memutuskan untuk hidup di jalan pun pertanyaan itu terlontarkan dengan segenap pemberontakan.

“ Saya ingin mencari Mama, mencari Bapak.... “
Semua berawal. Bukan salah saya untuk pergi, bukan pula saya salah untuk membuat Mbah Ijen menangis. Mereka yang salah, mereka yang tak bisa menceritakan kenapa saya tak mendapati seorang mama saat pengambilan raport, seperti anak – anak lainnya. Saya harus yang paling terakhir, menghadap Guru dengan selembar kertas lusuh tulisan Mbah Ijen yang mohon maaf karena tidak bisa meluangkan waktu untuk datang ke sekolah. Selalu begitu. Saya juga tak mendapati Bapak saat saya berhasil menjadi juara ketiga renang dalam lomba antar sekolah, saya melihat Andi, Dino – meskipun kalah, tapi masih dibanggakan oleh Ayah – Ayah mereka.
Sementara saya ?, menang dan mengalami kekalahan setelahnya.

Dan ustads Irwan tau persis itu. Dia bukan seorang kawan yang hanya beberapa bulan mengenal saya. Tapi semenjak saya menolongnya pada pertengahan suatu malam 6 tahun lalu saat ia hampir mati dihajar oleh gerombolan anak yang tiba – tiba muncul dari daerah pasar induk Telaga Arum. Benar, ia adalah sahabat saya selama 6 tahun ini.
Awalnya saya tak begitu suka dengan tempramennya yang berlagak alim - menurut saya, perkenalan saya untuk pertama kali saat ia bersusah payah mencari saya di seputaran perumahan ‘ elit ‘ pinggir sungai Kahuripan. Sungai yang sakit karena sudah begitu banyaknya noda – noda dalam tubuhnya. Perkampungan kumuh yang menghidupkan saya semenjak saya pergi meniggalkan Panti dan Mak Ijen, Mak Siti, Kakek Jaya, Pakde Juno.....
Saya tak kira masih hidup hingga sekarang ? Setelah perjuangan untuk bertahan hidup selama ini, entahlah....
Itu adalah masa lalu, saya yang seorang pemberontak.
Bukankah hidup terus memberontak untuk tetap bertahan ?

Tapi demi bagaimana ia tetap tak beranjak dari kejengkelan dan marah saya saat saya berusaha mengusirnya dan kembali ke dunia normalnya tak tergubris oleh laki – laki kurus, putih, dan...yach, perawakan dari seorang anak sebuah keluarga yang terawat sempurna. Hanya untuk ucap terima kasih di awal perkenalan kami.

Mesjid dan Irwan saya tinggalkan, ini adalah momentum hari Ibu buat mereka. Hingga tema tausyiah dari sahabat tersebut, yang berkaitan Ibu dalam islam mendapat tanggapan yang hangat dari para peserta majelis yang memang kebanyakan para remaja muda.

Biarlah, saya kira saya terjebak dalam situasi yang bukan untuk saya. Hari Ibu adalah hari yang dirayakan bagi mereka yang mempunyai orang tua. Tidak untuk saya. Saya tidak mempunyai hari penghormatan untuk seseorang, siapapun.
Irwan tau persis hal ini.

Melangkah, menuju gerbang mesjid, hiruk pikuk lalu lintas menyambut dan membuka mata saya pada manusia – manusia yang terus bergerak di jalanan. Ingin rasanya kembali dan berpaling, barang sejenak seperti yang Irwan inginkan pada saya, menunggunya hingga ia menyelesaikan apa yang ia sebut perkara dakwah.

Hanya beberapa meter tiba – tiba saya menemukan seorang Ibu yang ringkih dan mendekat pada saya
“ Nak, tolong bantu Ibu menyeberang ya Nak. Ibu takut. Ini jalan ramai sekali sore ini….”
Matanya teduh, memuat harapan sapa dari saya. Dan tersenyum, “ Boleh Nak…bantu… “
Sebuah lengan terangkat mengharap sambutan…..

Surga bukan di telapak kaki Ibu, tapi di tangan tua itu - yang entah mengapa saya begitu merasa berarti setelah memegangnya, dan menuntun pemilik tangan itu untuk bergerak. Keramaian mendadak asing dalam kedamaian rasa yang aneh


‘ Tuhan, semoga tak ada pinggiran jalan di seberang sana. Agar saya bisa menuntun tangan ini selamanya ‘



.

Oktober 28, 2010

Selamat Hari Sumpah Pemuda untuk bangsa ini

.


Status di facebook itu pagi ini terbaca :

Kejadian apel pagi ini
1. para petugas bendera telat keluar, mereka masi dandan, padahal dah mau pengibaran.
2. pelaku baju adat lengkap, kecuali adat xxxxxxx, apel mau abis baru datang, dasar orang xxxxxxx...

OH PARA PEMUDA, SEMANGATMU SEMANGATMUU

Ironi, pengejawantahan yang actual dari kondisi kepemudaan saat ini ?

Saya tak mengetahui, apakah seorang Wahidin Sudirohusodo pendiri Budi Oetomo, K.H Samanhadi – Sarekat Islam Indonesia, hingga Tiga Serangkai dalam perjuangan INDISCHE PARTIJ-nya yang sebagai organisasi politik pertama berwawasan sebuah bangsa pernah berpikir bahwa Negara ini akan berhasil mengayomi beratus – ratus ribu perbedaan dalam nasionalismenya, padahal mereka – mereka jelas bukan seorang Gajah Mada yang hidup di Sumpah Palapanya, hingga Nusantara saat itu berada dalam kekuasaan Majapahit.
Tapi tentu saja tidak ada yang memungkiri bahwa mereka – mereka itu berhasil membuat alur historical kesejarahan negeri ini berada dalam sudut pandang yang hampir serupa; merdeka dari kolonialisme dan persatuan.

Dan siapa mengira seorang M. Yamin, seorang pemuda kelahiran Tanah Minang berhasil menghimpun kesatuan pemuda dalam Kongres Pemuda I dan II. Moment yang menghadirkan rumusan Ikrar Pemuda dalam kongres tersebut, lantas dirubah menjadi Sumpah Pemuda.
“ Yaminlah yang mengubah kata Ikrar menjadi Sumpah ", kata sejarawan Anhar Gonggong. – Tempo Online ‘ Secarik Kertas Untuk ndonesia ‘.

Mereka para pemuda yang ada di jaman di mana Belanda masih berkuasa sepenuhnya atas negeri mereka….
Sebuah letusan sejarah bagi seorang Hatta

Hingga terproklamirkannya kata merdeka dan pergolakan yang mempertahankan ikrar itu.
Siapa yang mengibarkan bendera merah putih pertama kali di Pegangsaan Timur No. 56 puluhan tahun lalu…..
Siapa yang membusung dada memegang bambu dan menyongsong ratusan bayonet dan moncong senapan di Surabaya 10 November puluhan tahun lalu, ratusan bahkan ribuan mereka terkapar berdarah.
Mereka adalah pemuda……

Begitu hebatnya pengaruh kepemudaan pada jaman pergerakan di jaman kolonialisme dan kemerdekaan, hingga seorang Presiden pertama negeri ini berstatement :
" Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia."
: Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams

Bisa jadi Presiden Soekarno saat itu mempresentasikan dirinya sendiri yang berhasil mengarahkan perubahan dalam perjuangan rakyat Indonesia, hingga jiwa persatuan dan kesatuan yang dicetuskan oleh para rekan beliau di tahun 1928 berhasil teraplikasikan dalam cara yang tertatan laiknya suatu bangsa. Sebuah Negara di proklamirkan, membawahi puluhan ribu pulau, menaungi ratusan suku bangsa, beribu dialek dan bahasa.

Lalu bagaimana dengan kaum muda Indonesia sekarang ?
Sumpah Pemuda ( lambat laun ) hanya sebuah hari di bulan Oktober, tanpa peringatan, tanpa jiwa, tanpa penyambutan.
Arti kebangkitan terasa kuno, sekuno sejarah yang mencatatnya dalam hiruk – pikuk keramaian dunia yang glamour sekarang ini.

Namun, dengan melihat sejarah tentulah kita bisa memahami jati diri bangsa ini. Bagaimana terbentuknya, bagaimana dalam rentang waktu perjalanan bangsa ini dari waktu ke waktu. Sebagai bahan perbandingan dengan apa yang kita capai. Tentu saja berada dalam tolak ukur relative bila kita melihat sudut pandang yang menciptakan berbagai versi di sejarah itu sendiri.

" Benih yang tidak sempurna akan punah sebelum berbuah “. (Mama, 79)
: Anak semua bangsa – Pramoedya Ananta Noer

Seorang Pramoedya berkata demikian, lantas bila melihat ( menganalogikan ) bagaimana benih bangsa kita sekarang ini, maka kiranya saya berharap kita sebagai sebuah bangsa dalam national Indonesia ‘ tidak akan punah ‘.

Ironi, optimisme yang skeptical. Atau kalimat seorang Ibu tua lebih bagus untuk saya dengar :
“ Orang muda sekarang ini opo mesti di sumpahin terus ya biar gak ngeyel “

Hm, Selamat Hari Sumpah Pemuda untuk bangsa ini

Haitami

Note : Photo saya pinjam dari sini dan sono


.

Oktober 27, 2010

Berita kepada kawan.......

.


Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang, engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering berbatuan

Tubuh ku terguncang di hempas batu jalanan
Hati tergetar menampak kering rerumputan
Perjalanan ini pun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedih

Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ia ku tanya "Mengapa?"
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah ini

Sesampainya di laut ku khabarkan semuanya
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit

Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang

*Berita Kepada Kawan : Ebiet G Ade


Ada kalanya dulu lagu Berita Kepada Kawan dari Ebiet G Ade adalah kesyahduan pengantar tidur bagi saya, tapi sekarang lagu itu berubah menjadi nada yang mengejek.
Benar – benar ejekan….

Ini bencana :
Ada duka di Mentawai,
Ada Kekalutan Merapi,
Ada genangan di Jakarta,
  • Oh, tentu saya tidak berani mengatakan itu Banjir, lha wong pemerintah daerahnya sendiri mengatakan itu cuman genangan kok….
Mungkin alam mulai enggan untuk berkabar pada kita, lantas berhari – hari kita masuk dalam situasi prediksi, hingga tsunami Mentawai menyapu puluhan rumah dan ratusan orang yang tak terperingatkan, hingga gunung Merapi itu meletus, hingga apa yang dikatakan seorang Gubernur DKI Jakarta – Mr. Fauzi Bowo bahwa cuaca ekstremlah yang menyebabkan jajarannya dalam ketidakberdayaan untuk penanggulangan tergenangnya ‘ sebagian ‘ ruas jalan Jakarta beberapa hari ini.

Tergenang, benar – benar tergenang hingga seorang teman berani mengambil kesimpulan Banjarmasin tempat tinggalnya bukan lagi kota berjuluk seribu sungai, tapi dengan tergenangnya digantikan oleh Kota Besar Jakarta ?
Jakarta cukup tergenang untuk teman tersebut mengabadikannya menjadi kota seribu sungai.

Hari – hari tanpa prediksi untuk sebuah bencana, semacam sebuah kepastian, kepastian tak mampu memprediksi.
“ Prediksi hanya ada di meja judi dan pasar uang “, selain itu prediksi hanya kata kecil untuk bisa berharap mengetahui lebih baik dengan kemungkinan yang tak terkalkulasikan.

Barangkali di sana ada jawabnya

Entah apakah di sana itu adalah sebuah tempat yang Kang Ebiet bayangkan ia bisa bertemu pada rahimnya bencana negeri ini. Sehingga beliau sadar betapa Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita para manusia yang selalu salah dan bangga pada dosa – dosa….

Entah apakah di sana itu justru sebuah tempat yang justru kita tidak mengenal bencana, hingga kita bisa belajar bagaimana bencana itu tidak bertinggal di sana ?

Ah, sepertinya saya tertarik untuk menyetujui statement kedua. Terlalu jauh rasanya saya saat ini mendekat pada-Nya agar bisa memaknai ini adalah peringatan dari-Nya, terlalu jauh rasanya pula saya mampu berkesimpulan ini adalah takdir-Nya, terlalu jauh juga rasanya saya bisa mengambil ibroh dari bencana – bencana ini.

Karena ?
Karena saya makhluk bodoh, bebal, - masih mengharapkan para pemimpin dan wakil saya di negeri ini berhasil pulang dengan banyak kata dari kunjungan – kunjungan mereka ke negeri yang entah, mungkin kata di sana itu adalah salah satu tempat yang mereka kunjungi.

Mungkin saja, karena seperti kata Kang Ebiet pula bahwa ia sudah banyak menanyakan khabar, hingga rumput bergoyang menjadi kata yang indah ia tempatkan dalam bait renungan lagu itu.
Semoga ada yang mengatakan pada mereka ( pemimpin dan wakil rakyat ) itu jawabannya, karena kalau tidak, rumput bergoyang menjadi pilihan akhir untuk bertanya. Seonggok rumput yang bergoyang, tempat bertanya orang – orang pandai dan tentu jauh lebih alim itu…. ?

Ah, saya masih berharap….

Seperti Mbah Maridjan yang ( konon ) di guguran Wedhus Gembel masih bertahan pada rosa ( kuat )- nya…..
Hingga beliau diketemukan bersujud, dan meninggal

Atau seperti seorang Mba Sri yang masih ragu kita bisa menikmati dunia yang sedang kehabisan energy sekarang ini, karena beliau lantas berstatement dengan tulusnya : Itu juga kalo bencana di negeri ini masih menyisakan nyawa kita semua tetap ada….

Hiks,
*Lagu Ebiet G Ade benar – benar mengejek jiwa saya hari ini. Berita kepada kawan…..

haitami


.

Oktober 26, 2010

Berita kepada kawan.......

.



Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang, engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering berbatuan

Tubuh ku terguncang di hempas batu jalanan
Hati tergetar menampak kering rerumputan
Perjalanan ini pun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedih

Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ia ku tanya "Mengapa?"
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah ini

Sesampainya di laut ku khabarkan semuanya
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit

Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang

*Berita Kepada Kawan : Ebiet G Ade


Ada kalanya dulu lagu Berita Kepada Kawan dari Ebiet G Ade adalah kesyahduan pengantar tidur bagi saya, tapi sekarang lagu itu berubah menjadi nada yang mengejek.
Benar – benar ejekan….

Ini bencana :
Ada duka di Mentawai,
Ada Kekalutan Merapi,
Ada genangan di Jakarta,
  • Oh, tentu saya tidak berani mengatakan itu Banjir, lha wong pemerintah daerahnya sendiri mengatakan itu cuman genangan kok….
Mungkin alam mulai enggan untuk berkabar pada kita, lantas berhari – hari kita masuk dalam situasi prediksi, hingga tsunami Mentawai menyapu puluhan rumah dan ratusan orang yang tak terperingatkan, hingga gunung Merapi itu meletus, hingga apa yang dikatakan seorang Gubernur DKI Jakarta – Mr. Fauzi Bowo bahwa cuaca ekstremlah yang menyebabkan jajarannya dalam ketidakberdayaan untuk penanggulangan tergenangnya ‘ sebagian ‘ ruas jalan Jakarta beberapa hari ini.

Tergenang, benar – benar tergenang hingga seorang teman berani mengambil kesimpulan Banjarmasin tempat tinggalnya bukan lagi kota berjuluk seribu sungai, tapi dengan tergenangnya digantikan oleh Kota Besar Jakarta ?
Jakarta cukup tergenang untuk teman tersebut mengabadikannya menjadi kota seribu sungai.

Hari – hari tanpa prediksi untuk sebuah bencana, semacam sebuah kepastian, kepastian tak mampu memprediksi.
“ Prediksi hanya ada di meja judi dan pasar uang “, selain itu prediksi hanya kata kecil untuk bisa berharap mengetahui lebih baik dengan kemungkinan yang tak terkalkulasikan.

Barangkali di sana ada jawabnya

Entah apakah di sana itu adalah sebuah tempat yang Kang Ebiet bayangkan ia bisa bertemu pada rahimnya bencana negeri ini. Sehingga beliau sadar betapa Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita para manusia yang selalu salah dan bangga pada dosa – dosa….

Entah apakah di sana adalah sebuah tempat yang justru kita tidak mengenal bencana, hingga kita bisa belajar bagaimana bencana itu tidak bertinggal di sana ?

Ah, sepertinya saya tertarik untuk menyetujui statement kedua. Terlalu jauh rasanya saya saat ini mendekat pada-Nya agar bisa memaknai ini adalah peringatan dari-Nya, terlalu jauh rasanya pula saya mampu berkesimpulan ini adalah takdir-Nya, terlalu jauh juga rasanya saya bisa mengambil ibroh dari bencana – bencana ini.

Karena ?
Karena saya makhluk bodoh, bebal, - masih mengharapkan para pemimpin dan wakil saya di negeri ini berhasil pulang dengan banyak kata dari kunjungan – kunjungan mereka ke negeri yang entah, mungkin kata di sana itu adalah salah satu tempat yang mereka kunjungi.

Mungkin saja, karena seperti kata Kang Ebiet pula bahwa ia sudah banyak menanyakan khabar, hingga rumput bergoyang menjadi kata yang indah ia tempatkan dalam bait renungan lagu itu.
Semoga ada yang mengatakan pada mereka ( pemimpin dan wakil rakyat ) itu jawabannya, karena kalau tidak, rumput bergoyang menjadi pilihan akhir untuk bertanya. Seonggok rumput yang bergoyang, tempat bertanya orang – orang pandai dan tentu jauh lebih alim itu…. ?

Ah, saya masih berharap….

Seperti Mbah Maridjan yang ( konon ) di guguran Wedhus Gembel masih bertahan pada rosa ( kuat )- nya…..
Hingga beliau diketemukan bersujud, dan meninggal

Atau seperti seorang Mba Sri yang masih ragu kita bisa menikmati dunia yang sedang kehabisan energy sekarang ini, karena beliau lantas berstatement dengan tulusnya : Itu juga kalo bencana di negeri ini masih menyisakan nyawa kita semua tetap ada….

Hiks,
*Lagu Ebiet G Ade benar – benar mengejek jiwa saya hari ini. Berita kepada kawan…..

haitami


.

Oktober 24, 2010

Mature....? Yah, perkenalkan pacar saya ^_^

.





Ketika mengenal cinta tak perlu menunggu dewasa ?
Hm, sepertinya saya salah ya bila sekarang menganggap anak – anak SD dan SLTP masih seorang yang immature.

Adik saya menceritakan seorang anak perempuan yang duduk dibangku SLTP sudah dengan percaya dirinya memperkenalkan pacarnya kepada sang Bapak,

“ Ini Bah, pacar ulun “
  • Ini yah, pacar saya
' Pacarrrrr Bang, anak kelas 2 SLTP udah berani bawa pacar ke rumah, pakai acara maen kenal – kenalan sama Bapak lagi '

( Saya tersenyum geli ) Lha, terus Bapaknya sendiri kayagimana ?

' Hahahahahaha, itulah Bang, mo gimana….
Paksa’ai sidin merangut haja, cagat bulu ketiak sidin melihat pacar anaknya. Ditakuni ha pulang ‘ Bah, kaya apa habar pian bah ? ‘ '
  • Cemberut beliau, tegak rambut badan beliau melihat pacar anaknya. Eh, malah ditanyain sama itu calon menantu, ‘ Gimana kabar bapak ?

' Abah Bang, Untung kada jantungan si Abah… hahahahaha '

Saya tertawa sekali bila mengingat bagaimana adik saya menceritakan ini. Dengan lagaknya yang kadang sesekali menurutkan mimik muka sang Abah. Pembicaraan sore dan suasana rumah yang hangat di kota kelahiran saya.

............................

Dewasa tak berbatas umur, kita sepakat soal itu. Psikologis kedewasaan ditunjukkan oleh mulainya seorang anak merasakan sesuatu yang aneh di dirinya.

Dan bila merunut dari phenomena yang ada, betapa sebenarnya perkembangan jaman menjadi salah satu factor stimulant yang aktif dalam merangsang ‘ perubahan ‘ dalam diri anak – anak sekarang.
Banyak hal yang berbeda dari apa yang pernah kita jalani di masa anak – anak dengan apa yang kita lihat dan apa yang dijalani sekarang oleh anak – anak di usia yang sama dengan kita dulunya.

Lantas positif kah ini ?
Hm, bagaimanapun istilah mature secara psikologis lebih menunjukkan pada sebuah kondisi fisik, usia, dan cara berpikir yang berada dalam sinkronisasi stabil. Bila saya boleh membahasakannya, maka saya ingin menggambarkan sebuah pola kemampuan input dan output yang balance. Di saat ini saya mendapati banyak anak – anak yang sudah menerima input yang sangat besar dari eksternal dirinya. Sementara output yang dihasilkan oleh anak – anak tersebut seringkali terbentur pada sudut lain di dirinya sendiri, semacam ada sebuah penjara laku bagi dirinya untuk explore yakni keluarga, lingkungan sosial yang pada dasarnya masih care pada anak tersebut.



Eksistensi.

Kecendrungan untuk mengactualisasikan sebuah diri bagi seorang anak. Di saat jiwanya semakin menekan untuk ia menunjukkan eksistensinya, ada arus besar di sosialnya yang ( masih ) tak berkenan ia melakukan itu.
Saya di sini ingin berkesimpulan bahwa factor keluarga bisa jadi awal mula terjadinya ketidakseimbangan jiwa dalam diri sang anak, karena saya sudah berada dalam titik menyetujui bahwa perkembangan jaman, perubahan budaya di masa sekarang adalah sesuatu hal yang tak begitu mudah untuk dikontrol dalam proses input pada diri sang anak.

Lalu bagaimanakah ?
Klise tentu saya katakan bahwa keluarga mempunyai peran penting di sini bukan ? Seperti saya simpulkan di atas, bahwa keluarga bisa menjadi awal mula terjadinya ketidakseimbangan jiwa seorang anak.
Tapi memang itulah kiranya sebuah konsekuensi tatanan sosial yang secara hierarki berada dalam satu line direct dan mempunyai structure responsibility . Sebagai orang tua, sebagai seorang Abang bagi adik, sebagai paman bagi keponakan, dan lainnya, kita tentu tidak bisa mengesampingkan tanggung jawab hanya karena ‘ kalah ‘ dalam berperang terhadap globalisasi. Juga tentu tidak bisa begitu saja mencari pembenaran – pembenaran atas ketidakmampuan kita ‘ menolong ‘ sang anak agar bisa memfilter dan mengolah input secara baik sesuai kondisional kemampuan outputnya.

Oleh karenanya saya ( dan saya kira sama halnya bagi kebanyakan orang tua dan sahabat ) tentu berharap bahwa kita semakin mampu membentuk diri kita sendiri sebagai seorang teladan, sebagai seorang pengajar yang bisa menunjukkan betapa input yang diterima sang anak adalah juga input yang masuk ke diri kita dan kita mampu menunjukkan bagaimana proses olah input itu menjadi sebuah output yang baik dan mudah dicontoh oleh sang anak. Bisa jadi itu adalah sebuah sikap, pola pikir, dan kesimpulan.

Itu saja sih, saya tak terlalu bisa menteorikan lebih karena pada dasarnya bekal praktek yang menuntut saya menjadi orang tua pun belum saya lakoni. Tapi lepas dari kalian bersepakat kata atau tidak, saya hanya ingin menuliskan statement adik saya ketika kemaren sempat beberapa hari bertemu dalam suasana long weekend di kampung halaman :

“ Menjadi orang tua sekarang memang susah Bang, tapi kalau ingat do’a anak sholeh menjadi amal yang tak akan pernah putus bila kita meninggal dunia nanti, ulun kira kita harus bekerja keras untuk itu…..”

Haitami

.

Oktober 23, 2010

AK07 : Rindu dalam selimut kabut hutan pinus

.

Diaroma kabut layaknya penari hinggap di sela ranting pohon pinus De - bukit sunyi perantauan, kala dedaun luruh meranggas kemarau. Pun kupu – kupu bersenandung lara berbahasa cinta di rimbun bunga – bunga pemalu. Serta sedikit kumbang yang berjingkat – jingkat menyentuh kelopak warna…..

( Lagi ) De
Kini sampah rasa Kakak menjelma puisi. Larut dalam dikte kata - kata. Menulis selembar kertas, meski kadang bergoyang pelan ia tertiup ringan angin sendu kesunyian hati.
Benar sebuah hati…
Hati yang kau sentuh sejak langkah ini terawali

Ah, dimana topan, di mana badai kala kuingin mereka menegur seperti sedia kala. Lantas mengingatmu….
Dalam ratusan bait apologi yang Kakak kirimkan
……..berbalas senyum darimu….
Hingga nada ceria menjadi nyanyian hangat api unggun kala malam bersenandung.

Namun,
Adakah kau tau De ?
acapkali bengis dan sadis pikir bergumul di realita, kelam malam adalah penjara pengap akan rasa kekalahan - masquerade wajah yang lelah,
hipokrit menjelma – mengaduh dunia yang jenuh….

Karenanya,
…..kabut yang menari di ranting – ranting pinuslah yang sering Kakak maknai De, serta mereka kupu – kupu, bunga, dan para kumbang
untuk kata cinta, kata rindu
Kata – kata yang membuat Kakak bertahan
…..terpahat ia di selembar kertas,
Meskipun lusuh, semoga kau kembali membaca ini dengan bahagia

................


Ngabsen arisan kata di sini

Oktober 22, 2010

Existence : what’s on your mind ?

.





Saya tidak terlalu aktif lagi di MP ama Blogspot karena di sana contact ( follower/ friends ) saya hanya sedikit Mas, sementara di FB contact saya sudah banyak. Lagian feedback yang saya dapet sering rame….

Cuman update status ?

Ya sih Mas, secara nulis bentuk journal saya memang gak terlalu pandai juga. Kalaupun nulis puisi ama tulisan ringan sih notes FB kan bisa saya manfaatkan, rame juga di comment-in…hehehehe

................................

Berhasil tidaknya eksistensi diri kadang bisa diukur dari feedback yang tercipta dari sebuah laku, tulisan, ataupun sekadar ‘ update status ‘ dalam hal kepuasan subject terhadap output yang ia keluarkan.

Agak terlihat aneh memang, saat ini saya menyadari betapa sekadar kata – kata yang ‘ kadang aneh ‘, kadang lebay, kadang ngeluh banget, and kadang konyol bisa menjadi sebuah sarana pencapaian kepuasan dalam hal eksistensi.

Hm, atau saya yang menjadi aneh sekarang ?
Terlalu memandang ini seolah – olah ini adalah sebuah hal yang sangat berbeda dari beberapa waktu silam, saat semua orang berusaha berbicara, berusaha bersikap, berusaha berkreasi dan berinovasi untuk mendapatkan sambutan dari luar diri. Sebuah penghargaan, perhatian, support dan hal macam lain yang membuat subject merasa terakui ( baca : merasa menjadi bagian ) dalam tatanan sosial di kehidupannya.

Dan saya pun masih berusaha untuk mempelajari sisi psikologi seorang manusia di kala eksistensi diri cukup mudah kita ciptakan dan cukup mudah juga kita mendapatkan apresiasi hanya dengan sedikit kata – kata dalam kotak yang bertitelkan ‘ what’s on your mind ?

Ah, saya tentu harus banyak melihat sudut pandang lain di luar kemampuan otak saya mengesimpulkan sebuah issue,
Ada yang bersedia meluangkan waktu untuk ini…tentu saya senang sekali membacanya

.

Oktober 13, 2010

Yang penting tetap kerja ( Mas ), gak harus kerja tetap…..

.




Pekerjaan tetap atau tetap bekerja ?

Maaf, saya lupa, ini adalah salah satu judul tulisan seorang Ibu rumah tangga tentang apa dan bagaimana seorang suami ( suaminya ) berusaha menghadirkan rejeki ke dalam sebuah rumah dan menutupi biaya hidup yang berlangsung antara sang suami dan dirinya sebagai ikatan rumah tangga. Beliau menjelaskan pula bagaimana upayanya untuk memberi penjelasan kepada orang tuanya, kerabatnya tentang pekerjaan yang tidak menetap sang suami. Beliau menggambarkan bahwa sang suami mengemban amanah dakwah, dan dari sana pula sang suami dan dirinya mendapatkan rejeki. Mulai dari memberikan tausyiah dalam majelis pengajian, menerjemahkan buku, dan menulis tentu saja. Beliau juga menggambarkan tentang keistiqomahan beliau untuk menerima pilihan ini, karena dari awal beliau memang mengetahui aktivitas sang suami yang berkecimpung dalam kegiatan dakwah islam di kampus mereka dulu. Hingga beliau merasakan betapa kebesaran Allah SWT atas rejeki itu ketika moment menjelang kelahiran anak pertama mereka. Kegusaran dan kegelisahan sempat terasa di diri sang istri ketika menyadari bahwa rumah tangga mereka tidak mempunyai dana persiapan untuk melahirkan. Beliau berdo’a dan berserah, hingga sang suami datang dengan membawa amplop rejeki dari order yang baru ia terima dalam menerjemahkan sebuah buku. Alhamdulillah.

Ini majalah lama yang saya lupa. InsyaAllah bila saya kembali membuka lembaran – lembaran majalah lama dan mendapati kembali, akan saya update informasi majalah dan tanggal penerbitannya.

Hm, ya. Hal di atas adalah sebuah hal. Sementara hal yang lain adalah ada artikel yang saya baca tentang : Mapan dulu, baru menikah !!

Berbicara tentang alasan pria untuk memutuskan belum berani ke jenjang pernikahan, belum memutuskan berani mengkhitbah seorang anak gadis atau janda yang menjadi pilihannya, salah satunya adalah pada point laku yang bisa mereka memperoleh rejeki. Baik dengan mengkondisikan diri dalam ikatan kerja yang tetap, penghasilan yang tetap, dan yakin akan prospek kerjanya.

Nah lho ?

Menarik saat saya membaca artikel ini dan menarik pula dengan tulisan seorang istri dari seorang suami yang notabene tidak mempunyai aliran rejeki yang tetap ( atau salary layaknya seorang employee ) seperti yang sedikit saya ringkaskan di atas.

Seorang ikhwan ( sebut saja begitu ) yang benar – benar ingin serius dalam menapaki perihal penyempurnaan separuh diennya justru lebih cenderung mengalami ketakutan akan batas zona aman posisi dirinya dalam hal mencari rejeki. Tak pelak kata pekerjaan tetap menjadi sebuah niscaya, sementara posisi tetap bekerja bukanlah kondisi yang mudah untuk dijelaskan kepada calon mertua
( hehehehehe, kadang orang tua kita pun takut juga melamar/ mengkhitbah seorang anak gadis atau janda bila anaknya masih belum juga mendapatkan sebuah pekerjaan tetap ya ? )

Dan terakhir, ada satu pertanyaan yang saya dapati dari thread di myqur’an forum yang berjudul :
>>>> To Ikhwan : Yang Penting tetap kerja, gak harus kerja tetap ^_^

( Lagi – lagi ) Nah lho ?

Bagaimana nih sahabat – sahabat semua MP’er.
Bolehkah bersedia meluangkan waktu untuk menuangkan pendapatnya tentang ini….
Pekerjaan tetap atau tetap bekerja

: Yang penting tetap kerja ( Mas ), gak harus kerja tetap…..


.

Oktober 11, 2010

Jati diri dan Bahasa Citra - Ploceus Manyar

.




Semoga kita belajar menghayati dimensi kualitas. Sebab Bapak Prof Latumahina, segala innerlichkeit, jati diri kita, sebenarnya mendambakan arti, makna, mengapa dan demi apa kita saling bergandengan, namun juga berkreasi aktif dalam sendratari agung yang disebut kehidupan. Semoga dialog kita membahasakan diri, tidak hanya dalam niat mau pun itikad belaka yang terkurung, melainkan berekspresi dalam suatu tingkat kebudayaan yang tahu, ke mana Sang Pelita menuntun. Hadirin-hadirat yang saya muliakan, jika judul yang saya pilih untuk disertasi ini memanfaatkan kata-kata jati diri dan bahasa citra, maka memang itulah sebenarnya seluruh arti ungkapan kita, dari bermain kelereng yang kita pertaruhkan atau layang-layang yang kita gelorakan atau main boneka semasa kita kanak-kanak, sampai pada saat senja membelai dan menidurkan cucu yang mengantuk. Dari gerak badan sport sampai pementasan musi, dari dambaan dua kekasih yang saling mencari sampai rasa bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semogalah antara jati diri di dalam maupun bahasa citra ke luar selalu tekat kita menari dalam gerak harmoni. Dan jika toh ada sesuatu luka-luka dalam batin kita, entah karena kesalahan diri kita sendiri mau pun kesalahan keadaan di luar kita, semoga kita juga mampu memahami bahasa citranya….

Misal saja citra wanita. Organ vital wanita dalam bentuk citra namun sekaligus pengejewantahan jati diri kita manusia. Dan jika itu disebut kemaluan, hal itu karena kita tidak mengenal wanita. Bukan kemaluan, melainkan kemuliaan suci wanita dan pria sekaligus. Dalam situasi kejati dirian yang benar berarti, wanita tidak pernah malu, tetapi bangga dan bahagia mendialogkan organ kewanitaannya dengan tawaran partner hidupnya. Namun itu hanya dapat terlaksana dalam kebenaran jati diri, dalam kebenaran citra bahasa yang jujur. Luka - luka dan bunga.

Maka, jika kita pernah mengalami kegagalan, semogalah mahluk-mahluk burung mungil yang bernama Ploceus manyar yang sekarang, sayang, namun juga untung bagi pak tani,sudah semakin hilang dari persada bumi Nusantara kita, semogalah burung-burung nakal namun pewarta hikmah yang indah itu, memberi kekuatan jiwa.
Sebab memanglah kita dapat sedih dan marah membongkar segala yang kita anggap gagal, namun semogalah kita memiliki keberanian juga untuk memulai lagi penuh harapan.
Terima Kasih

( petikan dari jawaban Atik saat mempertahankan tesisnya ' Jati diri dan bahasa citra dalam struktur komunikasi varietas burung Ploceus Manyar ', di dalam novel Burung - Burung Manyar - Mangunwijaya )


.

September 16, 2010

Jangan turutin Xena The Warrior Princess itu....

.


Masih ingat serial TV yang dulu sering ditayangkan SCTV pada hari Minggu, di saat jam makan siang ato waktu berkumpul keluarga ?
Yaps, ialah Xena The Warrior Princess.

Dan sampe sekarang ada sebuah scene yang sangat terpatri di dalam alam pikir saya, masuk ke bawah sadar dan beberapa kali menghadirkan diri. Sekarang saya bermaksudkan menuliskannya agar bisa saya jadikan prasasti di sini

Saat itu sang ksatria mengalami dilematis terhadap dirinya sendiri, bila kembali mengingat tentang jalan cerita tersebut, maka ia ( Xena ) menghadapi pergulatan bathin mengenai siapa ia sebenarnya ? Apa yang telah ia lewati dan apa yang telah ia lakukan di masa lalu ? Penuh dengan dosa, membunuh dan perbuatan keji lainnya. Bahkan iapun teringat pada sosok suami dan anaknya, ( saya ingat sekali suami sang ksatria ini adalah seorang Negro, anaknya perempuan yang cantik dan mereka terpisah darinya ).

Saat itu bersama sahabatnya Gabrielle ia berucap dilema. Gabrielle hadir dengan nasehat seorang sahabat yang baik layaknya, sambil mengejar sang ksatria yang terus saja memasang wajah bersedih. Gabrielle terus berusaha mengiringi langkah cepat sang ksatria hingga mereka bertemu sebuah kolam. Xena The Warrior Princess tiba – tiba mengambil sebuah batu besar dan melemparnya ke kolam….
Menimbulkan cipratan air dan riak yang sangat besar.

What do you see ?

Gabrielle mengerti akan makna tindakan ini……I understand, your life is so bad…..but see !! water will calm down back. We just need to forget it.
Sometime, and if needed...
forever…
tersenyum dia

Sang ksatria pun tersenyum,
You know Gabrielle, the stone was still in the bottom of the pool…..
dan berlalu pergi dari hadapan Gabrielle yang bingung harus mengatakan apa.

Kau tahu Gabrielle, batu itu masih ada di dasar kolam.
The warrior princess ingin mengatakan bagaimanapun ia saat ini, ia masih terus hidup bersama masa lalu yang buruk, dan dalam beberapa waktu ia kembali merasakan semua itu.

Dan saya ?
Hm, ya. Sayapun memiliki masa lalu. Masa lalu yang cukup saya sesali hingga sekarang. Ini bagian paragraph yang tak penting bila saya harus curi perhatian ( curhat ) colongan bukan ?
Hehehe, tidak bermaksud apapun, kecuali senantiasa mengabarkan buat teman – teman yang memiliki masa lalu yang disesali olehnya….
You'll never walk alone to get a better life. Ayuks, mari kita sama – sama bangkit, terlalu klise saya ucapkan kata – kata mutiara di sini.
Saya hanya ingin mengingatkan sejarah seorang sahabat Rasulullah SAW yang dimasa jahiliyahnya pernah menguburkan anak gadis kecilnya, yang justru menemaninya di saat ia menggali lubang kuburan itu, yang justru mencandainya dengan tingkah bayinya. Dan apa kata Umar RA :
"......pada masa jahiliah, aku pernah membunuh bayi perempuanku. Jika ia dibiarkan hidup, mungkin ia sudah memberiku beberapa cucu yang lucu-lucu. Itulah sebabnya aku menangis. Ingat kepada bayiku dulu, ingat kepada nasibnya akibat kebodohan ayahnya." .....dan laki - laki berjuluk Al Faruq itu, seorang yang bahkan iblispun enggan mendekat padanya, menangis karena penyesalan. Cukup hanya itu. Ia menyesali, bertobat dengan cahaya islam di hatinya. Dan lihatlah prestasi Al Faruq, Mesir dan Persia takluk di jaman keKhalifahannya.

Ups, lupakan tentang Xena dan diri saya. Mari kita beralih ke seorang Iman Hasan Bashri yang berwasiat : " Tidaklah ada satu hari pun di mana fajar merekah, kecuali si hari berseru, ' Wahai anak Adam, aku adalah makhluk yang baru, dan menjadi saksi atas perbuatanmu. Maka ambillah bekal dariku, karena aku tidak akan pernah kembali sampai hari kiamat kelak.''

Dan renungan yang sangat mendalam untuk kita menatap masa depan :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
( Q. S Al-Hasyr : 18 )


haitami

Note :
dialog Xena dan Gabrielle adalah murni bahasa saya, karena saya lupa persisnya dilaog scene tersebut, tapi yang bisa saya pastikan adalah esensi dari bahasa saya adalah sama dengan skenario episode......


.

September 15, 2010

End of Communication

.



Dalam berbagai komunikasi, baik itu via telephone, sms, maupun messenger semacam YM, tentu ada ucap kalimat sebagai tanda bahwa ini berakhir

Hahahahaha, sialan kau. Kau membuat aku seperti seorang kyai jadi – jadian. Sudahlah, aku mo menghabiskan pulsaku untuk menelepon seseorang….
Off ol fren…..

See you at the office, tomorrow….kecuali kau sudah menghabisi hidupmu malam ini kwkwkwkwkwkwkwkwkwkw

Ok, back to laptop yach

Gue tidur duluan Bro, bye

Bang, ulun guring bedahulu

Assalamualaikum…
Wa’alaikumsalam…

Percakapan virtual selesai, kembali pada hidup masing - masing….
Saya tak tahu apa yang mereka lakukan setelah percakapan berakhir, karena bila saya : saya akan kembali memasuki imajinasi sebelum kantuk merobohkan pertahanan diri.
Contohnya seperti tulisan ini, saya menulis…....
( tak jelas )

*Dan malam ini, sebuah percakapan berakhir dengan diri saya yang tampak bodoh


Note : gambar diambil dari ........... - dicorat - coret


.

( Cerita ) Nto, bagaimana.... Berhasilkah ?

.


Penantian rembang petang mengawali senja untuk akhir sebuah hari. Langkah semakin bingung. Gontai diri mengayuh lambat. Gedung berdinding kaca, reklame, bilboard, dan lampu lalu lintas yang angkuh.

Ia berdiri di kepayahan. Kota menggambarkan medan perang. Semua saling menyerang, saling sikut, saling menghantam. Meminggirkannya di kesendirian dalam hamparan ramai

Di kepenatan jiwa yang lelah ia bersenandung kecil, tentang harap pada kota, pada deru yang ingin ia maki - terlalu congkak mereka, terlalu sombong mereka, dan dirinya yang merasa terapkir di dunia asing.
Menyudut, sisi halte yang kusam. Siang berarti debu yang menempel pada wajah dan terik memanggang.

Isyarat sebuah senja hanya membatas kecapaian yang mengena. Ini adalah lakon yang berpuluh kali, ritme hidup yang berlari membuatnya terengah – engah pada kenyataan.

Seiring langkah yang sejenak menghampiri taman kecil, sedikit renung untuk diri yang tak lagi berhasil. Ada sebuah gengaman yang tak pernah lepas. Kusam kumpulan kertas – kertas baru terlegalisir memandangi pada penuh haru. Di sini bukan tempat yang baik bersedih. Tapi bukan pula saatnya untuk berbahagia. Capaian belum teraih, bahkan untuk sekedar panggilan seleksi.

Ingat Emak dan Pusara Bapak. Serta adik – adik. Harapan memanggul rapat di onak pikiran. Mengeliyat seiring keresahan....

” Nto, bagaimana. Berhasilkah ? ”


Seraknya suara itu menjelma seperti peringatan tentang sebuah rumah yang ingin asap dapurnya mengepul, tentang harapan si kecil Iwan tentang seragam barunya, dan ia berjanji untuk kesemua itu. Restu dan separuh tanah pekarangan yang tergadai ia ajak pada langkah perjuangan. Dan ia tidak sama sekali menyentuh sebuah kemenangan hingga saat ini. Kemenangan untuk ia mampu mengirimkan kabar : ” Anto sudah kerja Ma ”



.

September 14, 2010

Hintalu Batuk

.

Ini adalah tulisan yang tercipta setelah pembicaraan saya dengan seorang Bunda Nanda di awal – awal puasa Ramadhan lalu. Tak sempat saya publish, hanya diam di dalam catatan kecil saya sendiri.
Dan pagi ini, saat tadi ada sedikit komunikasi lagi dengan Bunda Nanda dan ada kata pasar dalam percakapan kami, saya jadi teringat dengan percakapan ini. Tentang Hintalu Batuk, sesuatu yang awalnya saya tak sempat mengerti itu apa ?

...........................

Pasar yang ramai dan hintalu batuk ( telor asin ) akan menjadi menu menarik untuk dihidangkan di suasana sahur di awal puasa ini. Ditambah dengan beraneka sayur dan lauk lain, setidaknya itulah yang tersampaikan pada saya oleh seorang Kakak. Kakak angkat. Bunda saya memanggilnya. Tentang Hintalu batuk sendiri adalah sesuatu hal yang sangat membuat saya tersenyum sekali mengenai penyebutan itu. Bagaimana tidak, hintalu atau telor seperti yang kita ketahui biasa dijaruk atau dibuatkan asin, sehingga lebih terasa berbeda dengan telor yang dihidangkan dalam bentuk lain, seperti goreng ceplok, dadar, dan sebagainya.

Lantas kenapa bisa ada penyebutan batuk di belakangnya ? Awalnya tentu saya tak tahu. Hingga Bunda menghadirkan kalimat berlabel atau berstempel di setiap telor asin yang dijumpai.
Mengapa ? Mungkin ini berhubungan dengan marketing, promosi. Ini lho telor asin buatan oleh kami ( sang pembuat ).
Dan pembahasan terus berkembang, mulai warna telor asin kok bisa terlihat biru ? ( tak ada jawaban logis untuk tanya ini, ada yang bisa bantu ? ).
Tapi kata berstempel sendiri tak juga bisa menghadirkan relasi mengapa ia disebut hintalu batuk, bukan ?
Jawabnya tentu saja ada, dengan catatan anda adalah urang banjar yang mehalabiu.
Nah lho ?
So, what’s the meaning of mehalabiu ?
Mehalabiu lebih berarti layaknya halabiu. Sedangkan Halabiu sendiri berasal dari kata dasar Alabiu, yakni suatu daerah di Kalimantan Selatan ( bagian Hulu Sungai di Utara – Amuntai ) yang mempunyai logat yang khas dalam penyebutan sebuah kata. Semacam lagu.
Jadi bisa saya jelaskan mengapa telor asin disebut hintalu batuk, adalah karena setiap telor asin yang dijumpai di pasaran selalu berstempel atau dalam bahasa lebih familiar di daerah Kalimantan, yakni bertok.
Lantas mulai dari kata bertok inilah yang terbaca oleh orang Banjar yang Mehalabiu ( meminjam istilah Bunda ) adalah bertuk, dan lambat laun berubah menjadi betuk, kemudian dikompromikan secara sosial menjadi hintalu batuk.
mungkin seperti ini ya Bunda ?

Hehehehehe, terlalu panjang kali penjelasan ini. Begitulah, akhirnya saya mendapatkan kosakata baru dalam penggunaan bahasa banjar saya. Lebih tepatnya plesetan untuk penyebutan sebuah benda dengan menggunakan literasi daerah sendiri.

...........................

Jadi ingat seorang kawan yang notabene orang jawa tapi lama tinggal di Samarinda secara spontan menanyakan identitas saya :
“ Hah, kam ini urang banjarkah ? Aku kira urang Sunda…..”

Hehehehe, percayalah. Saya bisa dikatakan hampir hilang identitas daerah saya di sini. Suatu tempat yang Indonesia kecil, tempat tanah para pekerja.

Note :
Mohon maaf bila sebagian teman tidak mengerti akan beberapa kosakata, karena itu adalah penyebutan dalam bentuk daerah banjar ( bahasa banjar ).
Dan buat Bunda, photonya saya curi buat diedit ( hancur dach itu sepertinya ) .


.

September 11, 2010

Sepagi itu aku berpaling : Ibnu Tosanov

.



“ Dalam bermuamalah ada kelonggaran tersendiri….”, perkataannya terputus olehku.
“ Dengan bisa saling pandang seperti ini ? Tak harus ghoddul bashor seperti yang kau ucapkan ? “ tembakku bertubi – tubi.
“ Iyaaaa…, tapi…,” lagi – lagi belum usai ia bicara telah ku potong.
“ Ana tau pola pikir antum. Bahwa menurutmu ketika seorang ikhwan dan akhwat sedang mengobrol tak mesti gaddul bashor. Karena tak sedikit yang ghaddul bashor pun tetap memberikan ruang di hatinya untuk mengingat lawan bicaranya tadi. Sekalipun Ana percaya, antum bisa menjaga hati ! “ Aku begitu berapi – api. Meskipun dulu aku sempat luluh ketika ia mengilustrasikannya dengan kondisi Siti Aisyah kala bersosialisasi dengan Abu Hurairoh, Ibnu Umar atau para sahabat lelaki lain ketika akan meriwayatkan hadist.
“ Tentu antum paham betul. Bila si fulan mendapatkan hadist dari Abu Hurairoh, kemudian beliau misalkan mendapatinya dari penuturan Aisyah. Nah, adakah kemungkinan jika Aisyah tak menundukkan pandangan ketika menyampaikan kepada sahabat yang selalu membawa – bawa kucing di pundaknya itu ? “ Penjelasan panjang lebar ini dulu membuatku tak berkutik. Diam seribu bahasa. Tapi, itukan dulu. Saat ini hatiku berontak tak sependapat.
“ Afwan, atas kelancangan ana barusan “, hanya sedikit rasa penyesalan terlintas di wajahnya, “ Tapi sekali lagi ana tegaskan, ana tetap mempertahankannya. Islam itu mudah, fleksibel dan luwes. Kalau boleh saran……, “ terhenti sejenak menanti kepastian dariku.
“ Silahkan, “ ijinku spontan.
“ Jangan hanya gunakan ini dan ini, “ berturut – turut ia menunjuk kepala dan dadanya, “ Tapi padukan pula keduanya dengan pertimbangan syari’at, “ lanjutnya bijak.
“ Maksud teh….? “, selang Nani ( sepupuku yang menemani ia ) yang sedari tadi diam memperhatikan sebelum didahuluiku.
“ Jangan hanya gunakan rasio atau perasaan dalam menilai baik dan tidaknya suatu masalah. Lantaran ukuran benar dan tidaknya bukan atas dasar keduanya. Namun, gabungkan di antaranya dan selaraskan dengan syari’at yang berlaku,” dengan kalem ia melanjutkan penjelasannya.

.........................

Dialog di atas adalah penggalan cerpen lama berjudul Sepagi itu aku berpaling dari : Ibnu Tosanov ( sepertinya nama pena ). Ilustrasi yang terbangun oleh pertentangan sudut pandang menyikapi interaksi. sosialita kita secara umum yang tentu tidak bisa mengesampingkan ato memarginkan : ini khusus ikhwan dan ini khusus akhwat.
Menarik untuk saya membaca alur dari cerpen tersebut. Ada semacam argumentatif yang bisa teraba dan juga ketakutan akan rasa yang mungkin tak bisa dimanage dengan baik, dan inipun sangat terasa kuat mengingat kita manusia adalah tempat salah dan khilaf.

.........................

Ah, Lala. Kalaulah kau tahu isi hatiku, betapa hati manusia tak bisa di bohongi. Memang aku akui bagimu tak masalah, kau sanggup menjaganya agar tak ternoda. Tetapi, La, jangankan bertatap muka langsung, pandangan selintaspun dapat terekam terus. Panah iblis itu begitu kuat menancap di hati kita. Barangkali kau khilaf. Apalagi saling pandang menatapi satu sama lain ?



*Tiba – tiba saya ingin membagi ini pada seorang sahabat


.