Powered By Blogger

Januari 30, 2010

Kakak....


Kau pergi untuk apa ?
, ucapmu dulu

Aku tak menjawab, sepatahpun. Hanya memaksakan diri melambaikan tangan pada hadirmu yang terlambat di terminal keberangkatan.

Sekarang aku di sini. Sebutir debu busuk di kota mimpi. Kau berbagi kabar lewat cerita Ibu yang memprihatinkan, dan aku masih memamah harapan tentang seorang putera yang berbakti.

Januari 20, 2010

Lamin bercerita : tentang rindu

Satu kelemahan saya diantara beribu yang lain adalah bahwa saya tidak bisa menerima segala sesuatunya dengan baik. Mungkin. Begitu banyak retorika, begitu banyak advice. Terasa mudah. Tapi entah kenapa menjadi sulit saat dilangkahkan. Sakit. Penat. Lelah.
Menyerah semacam nyanyian merdu yang ingin diturutkan, tapi saya tau.....
: ada seorang perempuan yang mengikrarkan restu pada saya - tentang do’a – do’anya, seorang perempuan yang selalu memberi saya khabar; ” Mama sehat - sehat saja, Nak....kau jaga diri baik – baik ”


Lamin masih bercerita
Tentang jendela yang terbuka
Pada saatnya nanti, kau akan kembali di sini. Melihat anak – anak itu, yang berlari ke pangkuan Ibunya......

Ketika Abah meninggal, ada hal yang tersadari dari kekanakan saya : kesempatan saya berbakti hanya pada satu orang dan itu adalah seorang perempuan yang sungguh sedikitpun saya tak sanggup menyentuh arti ’ berbakti ’ itu pada dirinya hingga kini.
Ini terasa seperti ketidaksanggupan, saat beliau menjejak senja dan saya yang kini rentan dewasa, saya tetap berkutat pada kemapanan diri. Tanpa hasil. Saat segala jerih payah, tetes keringat dan banyak pengorbanan yang terhantarkan di tiap waktu masih terkayuh lamban oleh saya, bahkan karam. Batang – batang sahang sudah tergadai pada kerabat dan tetangga, sepetak tanah keras di lereng bukit selalu menyisakan arang yang terbakar pada tiap kemarau. Tapi mama tak pernah mengeluh…….

Senja melukis kuning pada sudut langit,
Kapan kau pulang ?

Pulang ?
Saya akan pulang, tapi saya ingin itu bukan karena kekalahan. Bila boleh rindu menjadi alasan saya untuk menapak lamin, menyentuh lembut belaiannya - kembali. Terlampau terlambat memang, tapi saya masih memaklumi diri tentang seorang anak yang juga ingin dimanja. Tentang anak yang ingin diajarkan – lagi - cara melangkah, agar begitu mudah buat saya menguraikan mimpi menjadi nyata.
Bila berkenan, saya tentu akan pulang.

Seandainya saya seorang Malin Kundang yang punya rindu !

Lamin masih berdiri
Pada sejengkal tanah yang tersisa
sedikit hujan membasahinya
malam ini

........

seorang kawan bertanya : ” Pulang kemana cuti tahun ini ? "
dan saya menjawabnya dengan nada hampa : ” entahlah....”

Januari 19, 2010

Sekedar remuk, sekedar keluh.........

Nafasku berat, tapi aku tahu bahwa aku masih harus hidup. Ada banyak pekerjaan yang saat ini menghampar dan aku tak ingin menjadi mayat yang di rundung duka hanya karena tugas belum selesai. Tidak seperti ratusan tulang belulang di Karawang Bekasi. Aku ingin menjadi kamikaze yang tanpa penyesalan.

Tugas selesai dan aku hancur porak poranda. Biarlah, karena di remuk redamnya tubuh inilah aku mendengar suara baritone itu mengucap : Bagus, sangat bagus

Selesai ?

semoga

Januari 18, 2010

: Polygami berarti ada sebuah hati perempuan yang ter........, meskipun ia berucap kuat.

Membagi hati yang sudah termiliki itu bukan perkara yang mudah untuk diterima oleh kemanusiaan kita Mba - Mas, setidaknya oleh saya yang perempuan…..

Perempuan itu kembali melanjutkan; tapi apa boleh dikata, saya sudah terima ini dengan lapang dada. Saya ikhlas. Ini juga demi kebaikan keluarga kami….

Kebaikan bersama ? Kebaikan anak – anak ? kebaikan rumah tangga yang dia akui sudah berjalan hampir berbilang dua digit ? Saya tiba – tiba jengah akan obrolan yang sedang berlangsung. Saya merasa saya tidak harus berada di situasi pembicaraan macam ini.

: Polygami berarti ada sebuah hati perempuan yang ter........, meskipun ia berucap kuat.

Januari 06, 2010

Andai bulan mau sekedar turun barang sesaat,

Andai bulan mau sekedar turun barang sesaat, maka tidaklah seekor pungguk terus berkicau waktu malam. Tapi malam pun tak jua menghakimi awan kelam yang bergelayut menutupi rinai rupa bulan, karena kan bersambut jua pada rintik gerimis nantinya.

Dengan desir angin malam ini yang menggoyangkan dahan – dahan sawit dan bunga sepatu yang terulur mendekat celah pagar.

Seandainya bulan turun ? Seandainya pungguk tak merindukan bulan ? Seandainya malam tak berbulan ? Seandainya.....

Namun, apa jawab pungguk,
( pungguk berubah menjadi sesuatu yang halus berbentuk suara dalam subconciousness diri )

‘ kau berusaha menghancurkan puisiku. Tidakkah kau tau, Nyanyianku menjadi ilham dan bagian dari ribuan tulisan kemanusiaan kalian tentang cinta, tentang kerinduan. Tidakkah kau tau, bulan juga seorang pemeran perempuan yang anggun, yang tak begitu saja mudah tercumbu oleh puisi – puisi rayuku. Apakah kau ingin menghancurkan harmoni itu ? ‘

Pungguk mungkin hanya seorang perindu di balik lakon kehidupan lain yang ia miliki, dan bulan adalah sesosok anggun penerang malam yang tetap berada di batasannya. Kokoh di langit, mengambang. Pungguk dan Bulan tidak akan bertemu. Itu adalah sebuah keteraturan bahasa – bumi dan langit yang sering kita dengar dalam ilmu dasar tentang ragam susunan kalimat. Prasasti di hati kawan – kawan yang skeptis dan pesimistik bila berbicara tentang cinta.

Tapi menarik bila benar apa yang di ‘katakan ‘ oleh Pungguk. Ia justru merasa dirinya teraniaya bila tidak bernyanyi mengeluarkan lagu tentang rindu.
Ia akan menjadi salah, karena yang benar adalah : Pungguk selalu merindukan bulan.

Januari 04, 2010

‘ Siapa sih saya ? ‘ - Pelajaran dari Seorang Luna Maya

' Siapa sih saya,
Saya tak berkompeten untuk menilai mereka salah, mereka.....'

Itulah suatu narasi yang keluar dari seorang Luna Maya. Sudah sangat lama dan saya lupa kapan ia bersuara seperti itu. Dalam sebuah infotainment pula, statement yang menjadi paradoks dengan apa yang terjadi pada dirinya beberapa waktu lalu. Ia tersandung UU ITE yang dilaporkan oleh kalangan yang justru merekam dan memperdengarkan kalimat siapa sih saya nya itu.

Berbeda dengan Luna, Prita nasibnya lebih aduhai, bahasa kemayu ini harus saya keluarkan karena UU ITE juga awalnya adalah sesosok gadis anggun yang keluar dari moncong pemerintah berkuasa dengan kelembutan. Bahasa kemayu ini juga saya keluarkan untuk sebuah email yang beliau tulis sekedar menumpahkan curahan hati, bukankah setiap blogger membuat blog sebagai tempat curahan hati ?
Meskipun secara ada yang membahasakannya dengan lain kalimat : hasil pemikiran.

Apa berbeda dari Prita dan Luna Maya ?
Berbeda, tentu saja. Luna Maya adalah kebablasan berekspresi yang tak terkontrol - bagi si korban. Dan Prita adalah korban dari terperkosanya kebebasan berekspresi, tapi di sisi lain - si penuntut ( meskipun dalam beberapa kesempatan, statement mereka jelas mengatakan merekalah korban dan prita adalah pihak yang merugikan ????? ) justru mengatakan yang sama dengan korban pada kasus Luna. Mereka korban dari kebebasan berekspresi – sesuatu statement yang sama oleh korban Luna Maya, sekaligus sebagai salah satu ‘ rekan ‘ pendukung bagi Prita ????

Tapi begitulah, Prita sudah divonis bebas ( Alhamdulillah ). Luna Maya dan Infotainment sudah ‘ berdamai ‘ sepertinya ?

Saya tak ingin masuk lebih dalam pada personal ataupun kelompok. Saya hanya ingin menanggapi tentang kebebasan berekspresi. Ada satu sudut yang seringkali kita lupakan dalam menulis, yakni adab turun – temurun yang sudah digaungkan oleh leluhur kita, dan itu adalah sopan – santun, tenggang rasa.

Saya ingat sekali dulu sewaktu masih mendapatkan PMP ( Pendidikan Moral Pancasila ) dan tak berapa lama bermetamorfosis menjadi PPKn ( Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ) dalam bidang study pembelajaran sekolah lanjutan saya, ada bunyi kalimat : Setiap manusia mempunyai hak – hak yang dibatasi oleh hak orang lain.

Artinya kebebasan berekspresi kita memang tidak terbatas selama itu tidak menyentuh pada hak orang lain.
Ada batasan normatif sebenarnya yang menyapa kita dalam berekspresi, dan itu ada di luar diri kita. Bersifat tidak mengikat secara duniawi, yang bisa kita acuhkan dia, bisa kita campakkan dia dalam nurani. Egoisme humanis.

Batasan yang tidak mampu dibahasakan oleh UU maupun produk hukum lainnya. Dan itu ( sekali lagi ) benar – benar berada di luar diri kita. Bisa jadi ada pada diri orang lain, lingkungan sosial yang secara langsung ataupun tidak langsung terhubung pada ekspresi kita.

Inilah yang seringkali menjadi perdebatan. Sangat sulit untuk menemukan titik temu dalam satu sudut pandang yang sama – bila selama itu kita melihat pada tatanan kemanusiaan kita dalam hal kebebasan berekspresi.

Begitulah, hidup di tengah masyarakat yang multikultural menuntut kita agar lebih cerdas memahami dan menyadari kehadiran sosial lain yang bisa jadi ‘ berbeda dalam penyampaian dan penerimaan suatu pendapat ( baca : ekspresi ) ‘ dengan diri kita. Sebagai penyesuaian atau adaptasi kehidupan. Bukan berarti mengalah, tapi pada lebih kemampuan untuk berstrategi. Tidak terkecuali dalam hal ekspresi di dunia maya, dunia tulis – menulis dan lainnya.

Maka, saat ini – lepas dari apa yang telah diungkapkan oleh seorang Luna Maya di account twitternya – saya sangat mengharapkan kepada diri saya sendiri mengatakan hal yang sama seperti kalimat yang telah ia ucapkan dulu : ‘ Siapa sih saya ? ‘ dalam kegiatan mengekspresikan diri lewat tulisan.
Sekedar teropong diri - yang seorang manusia biasa dan ada kemungkinan memasuki areal yang membuat pribadi lain tersakiti dan tanpa tersadari oleh saya, sebagai bagian dari pengakuan ketidaksempurnaan saya yang ingin setiap ekspresi diri ada sebuah koreksi.

Sangat bijak seorang kawan yang dalam sebuah tulisannya ditutup dengan seuntai kalimat yang sangat indah,

Kemanusiaanku membuatku menulis, dan nuraniku meminta maaf bila ada yang tersakiti.