Powered By Blogger

Februari 25, 2010

Renung

Malam ini saya kembali hadir di sini, terlalu larut. Tak ada lagi gelas kopi penuh dengan asap mengepul. Ampas dingin tersisa. Kadang saya perlu seperti ini,menghabiskan malam tanpa sesuatu yang berarti. Menelusuri tiap detik waktu, memaknainya
Saya bertambah usia, tak terlalu tua. Masih. Dan cukup menjelaskan mengapa saya tetap berada di depan notebook saya hingga kini.
Lagi – lagi saya tersadar pada kematangan diri, tentang separuh dien yang coba saya penuhi. Tapi entah mengapa saya gagal menapak ke arah itu, ketika khabar dari tanah yang jauh mengatakan saya tertolak.
Saya percaya, selalu ada hikmah dalam setiap realitas yang disajikan Allah SWT. Disaat kata mapan sudah bisa berbangga saya katakan siap, saat pendewasaan diripun ingin di uji, ternyata ada satu hal yang belum terpenuhi, kesholehan diri. Dan ( karenanya ) saya ingin belajar lebih banyak lagi.

Februari 24, 2010

( Cerita ) Episode Pulang 1

Hari ini adalah tepat 13 tahun ia bertutur selamat tinggal pada masa lalunya. Bukan, ia tak sempat mengucapkan apapun saat itu. Hanya isyarat kepasrahan yang ia tinggalkan pada keramaian peron. Celoteh riang anak – anak kecil, teriak lantang pedagang asongan, barang – barang bawaan, kursi tunggu, manusia bergegas, dan sejumlah pemandangan yang ia kesampingkan sebagai bagian dari perpisahan. Karena sejumput rasa seorang anak manusia masih mencamkan kata kembali pada detik – detik keberangkatan. Dulu

Dan sekarang, pluit kereta membangunkan sadarnya untuk sebuah suasana. Suasana 13 tahun lalu. Suasana yang lambat laun untuk beberapa waktu terakhir telah menumbuhkan rasa rindu tak terperi. Mulai dari peron ini. Dan sedikit kehampaan ia rasakan. Sesak, mengisyaratkan rasa melankolis. Bersedih.

Tepukan pelan pada pundaknya mengisyaratkan untuk segera beranjak. Seorang laki – laki separo baya yang menjadi teman seperjalanan.

” Silahkan...”, laki – laki itu tersenyum memberi jalan ” Saya masih harus menempuh 3 jam lagi untuk membasuh rindu pada kampung halaman ”, ucap datar yang mengena. Tentang sebuah kampung halaman untuk para perantau. Ia tersenyum berterima kasih. Seraya menenteng tas ransel di pundak, dan meninggalkan sikap jabat erat tangan sebagai perpisahan.

Peron adalah titik perpisahan baginya, sebelum kereta api membawanya pergi. Dan sekarang peron menjadi titik ia kembali setelah berlama waktu benda yang sama membawanya ke titik yang sama.

Ramai, tapi bukan untuk dirinya. Tak ada jemputan, tak ada bahagia untuk sebuah kedatangan seperti sebuah keluarga besar di sampingnya, menangis, tertawa, kecupan untuk seorang anak manis yang terpangku lelap, dan pelukan.

Rasa iri menyelinap diam – diam dalam kerawanan hati. Pias wajah yang hadir ingin menggugurkan air mata. Namun, cepat ia enyahkan.
Aku tak menangis saat pergi, ucapnya dalam hati. Kenapa sekarang harus menangis ?

Ia tak mengabarkan kepada siapapun mengenai kepulangannya, dan ia tak benar – benar tahu apa yang terjadi terhadap mereka – mereka, rumah, pos ronda tempat berkumpul yang ia tinggalkan begitu saja. Ia hanya memiliki rasa rindu, selebihnya adalah komunikasi yang terhantar lewat – lewat do’a – do’a di setiap hatur sujud ibadahnya. Tuhan menjadi perantara yang baik untuk ucap khabar yang rindu. Dan ia tahu Tuhan sangat berbaik hati untuk menjaga mereka yang di rindu itu agar ia bisa bertemu kembali.

Suasana peron ia tinggalkan dengan langkah pelan, menuju gerbang keluar dan bersua pada suasana yang asing. Terasa asing untuk sebuah kota yang melahirkannya berpuluh – puluh tahun lalu. Berubah ? Seperti dirinya yang kini juga berubah.

Masih berbilangan angka kilometer jaraknya pada kerinduan, dan ia ingin menyusuri dengan kecepatan angin yang bertiup mulai kencang. Mendung kota menggelayut, menciptakan kemacetan untuk manusia yang tergesa – gesa. Dan ia pun juga. Memutuskan naik angkot, meniti jalan, berhenti pada sebuah perempatan. Pemandangan aneh untuk bilboard, berpuluh ruko, dan etalase toko. Gadis – gadis cantik, anak – anak sekolah yang bolos, dan banyak manusia.

Masih tergesa, dan transportasi terakhir adalah seorang ojek muda yang menawarkan harga relatif mahal untuk jarak tersisa.

” Pasar Kuripan di mana Mas ? ”, helm disodorkan untuk pengaman.

” Saya mampir di depan Pasar itu saja, rumah saya di belakang gudang bahan makanan milik Haji Yasin ”

” Gudang Haji Yasin ? ”, tiba – tiba pemuda itu berhenti melajukan motornya yang baru berjalan.

” Iya, kenapa de ? ”

” Oh, tidak apa – apa Mas, akan saya antarkan.....”

Motor menderu membelah jalan menuju pinggiran kota yang mendewasa kini. Dan ia menikmati tiap detiknya.

Pasar Kuripan menyapanya dengan bentuk yang berbeda, bangunan beton kokoh berlantai dua. Tidak seperti saat ditinggalkannya, yang hanya hamparan bedeng, kios – kios, dan lapak – lapak pedagang satu ruang.

Tapi satu yang tidak menyapanya. Menyelipkan perasaan yang tak terjawab.

” Rumah Mas di mana ? ”, ojek muda itu bertanya sembari mengambil helm kembali.

” Entahlah de, seharusnya ada di..... Gudang Haji Yasin ? Gang damai ? ”, ia menoleh pada pemuda itu kembali mengisyaratkan tanya.

” Eeeeeee, setau saya dulu ada kebakaran besar di sini Mas, Rumah, Gudang, dan banyak lagi. 5 tahun yang lalu."

” Dan......”, tenggorokannya tercekat

” Habis, yang ada sekarang ini rata – rata pemukim baru semua. Hanya beberapa saja yang masih tinggal sepertinya. Mungkin Mas bisa mencari informasi lebih pada penjaga toko itu.... ”, seraya menunjuk pada beberapa orang yang bercakap di depan sebuah toko emas.

Tiba – tiba ia menyadari, rindu itu mengisyaratkan sesuatu yang memaksa untuk ia segera kembali. Dan ia tau, langkahnya adalah perjuangan terhadap ampunan dari seseorang.

” Mungkin Ibu Saedah dan keluarga masih di tempat relokasi dulu Mas, di bilangan jalan Anten....”

Data terakhir yang didapatkan setelah beberapa kali mengikuti mata rantai informasi di segenap pelosok Pasar. Sekarang langkahnya adalah menuju bilangan Jalan Anten. Dan itu berarti ada sekitar 12 Km dari tempatnya berdiri. Wilayah perbatasan kota.

Terus melangkah, terus bergerak, tak terasa ia sering melafazhkan ucap untuk sebuah nama. Nama seseorang yang menerbitkan rasa rindu semenjak beberapa tahun terakhir.

Ibu

Saya kembali

Ucap yang sebenarnya ia siapkan saat pertemuan terjadi.

Februari 21, 2010

Kumbang sayap patah dan bunga yang tak ingin terpetik......



Bunga wangi itu mengatupkan kelopaknya dengan perlahan, saat seekor kumbang dengan sayap patah berusaha mengenal gairah keanggunannya dan memberinya mahkota……..

Februari 15, 2010

Saya berubah ?

Sms itu berbunyi sederhana; ’ kamu sudah banyak berubah hai..... ’
Seorang sahabat. Saya tiba – tiba jadi terhenyak. Bahkan hingga malam yang larut sekali. Dari segelas kopi dengan asap mengepul hingga ampas yang tersisa dingin. Saya sangat memikirkan kalimat itu. Atas apa yang terbaca oleh saya, dan oleh apa yang sedianya dipikirkan oleh kawan tersebut. Saya berubah ?
Saya tak mengerti, hanya tentang kesadaran saya : apa yang terjadi pada saya - saya akui - adalah hasil dari proses harmonisasi jiwa, raga, dan pemikiran saya yang bergerak seiring usia langkah. Pertahanan diri pada kehidupan, adaptasi. Dan bila pun itu justifikasi untuk mengatakan saya berubah ?
Benar, saya berubah untuk tetap hidup.

Februari 14, 2010

Aku tak layu

Entah bagaimana aku mencintaimu, sisi rinduku diam menyepi tanpa tuju. Kau yang berbatas kenangan, tapi masih sebuah sapa yang sesekali datang.
Harus seperti apa aku bercerita, segala harmonisasi irama puja ku telah melentik dawai – dawai kesedihan, kesakitan. Menempel di dinding dan sedikit lusuh. Aku sempat terjerembab dalam basah bening mata yang lama, sebelum waktu menjelma menjadi sekumpulan ilusi. Khayalku membentuk wajahmu, yang tersenyum menerpa hamparan ragu.

Aku tak layu, aku tak layu

Entah bagaimana aku ?,
Entah harus apa aku ?,

Secercah asa menyelinap dingin di antara gelas kopi dan beribu lembar kerja.

Merayap jauh, menegur luka.

” Pergilah,......”

Februari 07, 2010

Anakku di ulang tahun kawannya, himung banar inya. Padahal inya isuk 3 tahun jua

“ Anakku di ulang tahun kawannya, himung banar inya. Padahal inya isuk 3 tahun jua “

: Anakku di Acara Ulang Tahun temannya, senang sekali dia. Padahal besok dia pun berulang tahun ( 3 tahun ).

Sms Kakak saya yang barusan saya terima. Ini adalah tentang keponakan saya. Terlahir tanggal 8 Februari 2007. Hanya berselang 2 hari setelah tanggal kelahiran saya. Saya menjadi cukup terharu. Ada beberapa pertanyaan di diri saya saat ini. Mungkin bukan moment ulang tahun temannya itu yang menjadi dia senang seperti yang Kakak kabarkan, tapi saya yakin dia senang karena banyak ' teman ' se-usia berkumpul dalam suasana yang meriah.

Apakah dia tahu besok dia pun berulang tahun, dan akan menjadi seorang yang harusnya di ucap selamati ?. Tidak. Saya yakin dia tak pernah memperkarakan sejauh itu. Dia masih terlalu murni untuk mempunyai perasaan tentang umur yang bertambah, tentang sebuah bentuk keinginan ada kata ucap selamat.

Ingin rasanya menjadi anak kecil dalam setiap moment ulang tahun. Yang tidak mempermasalahkan ( baca : merindukan ? mengharapkan ? ) ucap selamat, ucap do’a, dan bentuk perhatian dari orang – orang terdekat. Sikap kekanakan yang justru tidak diakui oleh keponakan saya.
Besok berumur 3 tahun dia, berselang 2 hari setelah ulang tahun saya.

Februari 06, 2010

Aku bukan manusia yang terlahir kembali


Tapak demi tapak


Tangga demi tangga


Titian menuju titian yang lain


Apapun itu,


????????????


Aku bukan manusia yang terlahir kembali

Februari 04, 2010

Salam perpisahan itu diberi judul SIMPANG 959

: Salam perpisahan itu diberi judul SIMPANG 959

Setidaknya itulah gambaran selama 959 hari masa kerja seorang yang saya sebut saja Lae ( karena kebetulan beliau adalah seorang Batak Tapanuli Utara ) menuliskan dalam salam email pamit undur dirinya ke segenap jajaran staff karyawan perusahaan tempat saya bekerja.

Sehubungan dengan berakhirnya masa tugas kami pada tanggal 25 Januari 2010 di PT xxxxxx, ( sesuai Surat Pengunduran Diri yang kami ajukan tanggal 24 Desember 2009 ), sebelumnya ijinkan kami atas nama pribadi dan keluarga memohon maaf yang sebesar-besarnya jikalau selama kami bertugas sejak 11 Juni 2007 ( selama 959 hari ) ada perbuatan, tingkah laku, sikap dan perkataan yang tidak berkenan di hati, baik yang kami sengaja ataupun tidak.

Tapi jujur saja, ada yang sangat membuat saya terkesan dengan simpulan kata – katanya di email itu :

...........

Dan melalui perjalanan ini, kami sungguh mendapatkan banyak pengalaman hidup yang coba kami bawa menjadi kompas dalam mengarungi kehidupan berikutnya, beberapa makna itu kami simpulkan dalam ikatan kata – kata :
  • Berusahalah untuk tidak membuat suatu kesimpulan dari apa yang kita tidak pahami / rasakan / lihat / kerjakan, supaya kita tidak terjebak oleh kesimpulan pembelaan diri.
Sebuah tim Patoklele yang kedatangan seorang anggota baru bernama ”Jentretmant” diperkenalkan kepada seorang kolega bernama ”JG”, mengingat anggota lama dari tim tersebut dulunya berprofesi sebagai pengajar sambil kuliah , maka JG mengungkapkan bahwa Jentretmant juga demikian, tapi dengan berapi-api, Jentretmant mengungkapkan bahwa dia tidak perlu mengajar karena orangtuanya sangat mampu membiayai kuliahnya. Kenyataannya, banyak orang yang mengajar sambil kuliah yang berasal dari keturunan orang kaya. Pernyataan Jentretmant sebenarnya hanya pembelaan diri karena pemikiran yang sempit atau kurang pergaulan.
  • Bermimpi untuk menggapai Cita-Cita Besar bukanlah sesuatu hal yang salah, tapi berhentilah bermimpi dan mulailah melangkah, walaupun memulainya tidaklah tanpa pertarungan, serta bersikaplah menjadi seorang pemenang bukan pecundang.
Sayangnya tidak semua orang bisa memilah dan memilih, mana-mana pertarungan yang mengharuskan kita untuk terjun di dalamnya atau justru kita harus menghindarinya. Menghindari suatu pertarungan, khususnya hal-hal yang sepele merupakan jalan keluar yang terbaik untuk menghemat energi yang dibutuhkan untuk menggapai Cita-Cita Besar di masa depan.
Sikap ambisius yang berlebihan, akan memunculkan perilaku yang menghalalkan segala cara, arogansi yang tinggi, merasa selalu yang terbaik, menganggap orang lain sebagai pion-pion kecil, suka menjilat ke atasan dan menginjak bawahan, mengumbar mulut dan sikap percaya diri yang berlebihan merupakan perjalanan sesat menuju Cita-Cita Besar.

Akhirnya, ijinkan kami mengucapkan terimaka kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran management PT xxxxxxx, Semua Manager, Askep, Asisten dan seluruh karyawan, atas arahan dan bimbingan serta kerjasama selama ini.

..............

Beliau adalah bagian dari Staff Internal Audit perusahaan, yang tentu sangat mempunyai reputasi ’ menakutkan ’ di kalangan karyawan sehingga seringkali menimbulkan gesekan – gesekan pada tingkat jajaran karyawan yang sering berdebat kusir pada sistem kerja yang menyangkut administratif dan operational. Melihat dari apa yang saya jalani, memang saat ini system kerja dan administrasi di perusahaan ini masih tidak berada dalam tatanan baku.

Tapi begitulah, saya tidak terlalu merisaukan ataupun merasa kehilangan beliau, karena di akhir SIMPANG 959 itu beliau menutupnya dengan peribahasa dari bahasa Portibi berbunyi
" Napuran tano-tano rangging masiranggongan, badanta padao-dao tondinta masigomgoman "
yang bermakna : " walaupun tempat kita sudah berpisah ( berjauhan ), silaturahmi kiranya tetap terjalin. “

Kalimat yang rata – rata sama di utarakan oleh rekan – rekan kerja saat memutuskan resign dari perusahaan dan ini entah yang keberapa kali…….

Februari 03, 2010

Kata Mbah Rendra : Jangan Mengeluh

...Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup *

Benar beliau bilang : Jangan mengeluh !
Sederhana saja nasehat itu, dan bila kita ditanya mengapa kita jangan mengeluh ?.....maka retorika kita akan menemukan banyak alasan untuk mengapa kita seharusnya tak boleh mengeluh. Menjadi semacam pembantahan dengan sudut pandang perbandingan. Mungkin akan menarik bila kita justru merubah tanya itu menjadi : mengapa harus mengeluh ?
Bila tanya itu di tujukan kepada saya, maka dengan ’ senang hati ’ saya akan menciptakan berjilid – jilid buku tentang apa saja yang tak saya berkenan dengan keadaan saya. Tapi apakah itu akan menjadi sebuah perbedaan ?
Untuk beberapa saat ya. Tapi untuk saat yang lama, tidak.
Ada kalanya penghiburan diri, pengertian pada diri adalah sesuatu yang niscaya. Dan kecenderungan dasar para makhluk bernama manusia saat ini adalah ketidakmampuan mereka menerima kondisi factual yang mereka peroleh. Ada berjuta keinginan yang menjadi mimpi. Sehingga ketidakmampuan memanage jiwa, justru akan menciptakan khayalan yang lambat laun memperkosa diri sendiri.

..........

Baiklah, saya ( - senyum - ) tidak akan mengeluh hari ini, tidak oleh kemarahan seorang atasan pagi tadi, tidak karena segala bentuk lembar kerja dan data yang tertumpuk hingga menyamai 3 rim kertas A4. Bukan karena saya menuliskan ’ nasehat ’ ...Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh seperti Mbah Rendra puisikan, bukan juga karena ada tulisan seseorang yang berjudul ’ Keluhan Kerja ’ – nya di sebuah ID Multiply, tapi ini semua karena saya sudah menuliskan lembar pengajuan cuti saya untuk 12 Februari nanti dan saya pikir : cukup memikirkan itu saja untuk tidak mengeluh saat ini.

Meski kita telah reyot, tua renta, dan kelabu
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita *


*
Bait - bait puisi Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh by Alm. W.S Rendra

Februari 02, 2010

Pikiran - agak sedikit larut

Entah kenapa tiba – tiba angin kencang menghampiri ketidakmampuan tidur saya malam ini, langit menjadi gelap. Hitam mewarnai. Pekat, dan deru yang dingin.
Ada hawa kemarahan yang terbawa, lantas ke-kalut-an saya akan kerja larut dan deadline yang saya kira tak mampu terselesaikan hingga batas esok seperti yang dicommand pada saya – membuat saya memikirkan sebuah cerita. Cerita yang sederhana : tentang langit yang tiba – tiba berubah pekat, tentang angin yang menderu, tentang gaduh dahan pepohonan.
Hingga saya bertemu pada satu tema : tentang kemarahan malam, karena Sang Bulan berhasil saya rangkul dan saya bawa menuju pelaminan......

Februari 01, 2010

Khabar

Siluet matahari sore menghampirinya, membayanginya di ketinggian sebuah lantai perkantoran Wisma Nugra Santana Sudirman. Ia tak sedang baik – baik saat ini.