Powered By Blogger

September 16, 2010

Jangan turutin Xena The Warrior Princess itu....

.


Masih ingat serial TV yang dulu sering ditayangkan SCTV pada hari Minggu, di saat jam makan siang ato waktu berkumpul keluarga ?
Yaps, ialah Xena The Warrior Princess.

Dan sampe sekarang ada sebuah scene yang sangat terpatri di dalam alam pikir saya, masuk ke bawah sadar dan beberapa kali menghadirkan diri. Sekarang saya bermaksudkan menuliskannya agar bisa saya jadikan prasasti di sini

Saat itu sang ksatria mengalami dilematis terhadap dirinya sendiri, bila kembali mengingat tentang jalan cerita tersebut, maka ia ( Xena ) menghadapi pergulatan bathin mengenai siapa ia sebenarnya ? Apa yang telah ia lewati dan apa yang telah ia lakukan di masa lalu ? Penuh dengan dosa, membunuh dan perbuatan keji lainnya. Bahkan iapun teringat pada sosok suami dan anaknya, ( saya ingat sekali suami sang ksatria ini adalah seorang Negro, anaknya perempuan yang cantik dan mereka terpisah darinya ).

Saat itu bersama sahabatnya Gabrielle ia berucap dilema. Gabrielle hadir dengan nasehat seorang sahabat yang baik layaknya, sambil mengejar sang ksatria yang terus saja memasang wajah bersedih. Gabrielle terus berusaha mengiringi langkah cepat sang ksatria hingga mereka bertemu sebuah kolam. Xena The Warrior Princess tiba – tiba mengambil sebuah batu besar dan melemparnya ke kolam….
Menimbulkan cipratan air dan riak yang sangat besar.

What do you see ?

Gabrielle mengerti akan makna tindakan ini……I understand, your life is so bad…..but see !! water will calm down back. We just need to forget it.
Sometime, and if needed...
forever…
tersenyum dia

Sang ksatria pun tersenyum,
You know Gabrielle, the stone was still in the bottom of the pool…..
dan berlalu pergi dari hadapan Gabrielle yang bingung harus mengatakan apa.

Kau tahu Gabrielle, batu itu masih ada di dasar kolam.
The warrior princess ingin mengatakan bagaimanapun ia saat ini, ia masih terus hidup bersama masa lalu yang buruk, dan dalam beberapa waktu ia kembali merasakan semua itu.

Dan saya ?
Hm, ya. Sayapun memiliki masa lalu. Masa lalu yang cukup saya sesali hingga sekarang. Ini bagian paragraph yang tak penting bila saya harus curi perhatian ( curhat ) colongan bukan ?
Hehehe, tidak bermaksud apapun, kecuali senantiasa mengabarkan buat teman – teman yang memiliki masa lalu yang disesali olehnya….
You'll never walk alone to get a better life. Ayuks, mari kita sama – sama bangkit, terlalu klise saya ucapkan kata – kata mutiara di sini.
Saya hanya ingin mengingatkan sejarah seorang sahabat Rasulullah SAW yang dimasa jahiliyahnya pernah menguburkan anak gadis kecilnya, yang justru menemaninya di saat ia menggali lubang kuburan itu, yang justru mencandainya dengan tingkah bayinya. Dan apa kata Umar RA :
"......pada masa jahiliah, aku pernah membunuh bayi perempuanku. Jika ia dibiarkan hidup, mungkin ia sudah memberiku beberapa cucu yang lucu-lucu. Itulah sebabnya aku menangis. Ingat kepada bayiku dulu, ingat kepada nasibnya akibat kebodohan ayahnya." .....dan laki - laki berjuluk Al Faruq itu, seorang yang bahkan iblispun enggan mendekat padanya, menangis karena penyesalan. Cukup hanya itu. Ia menyesali, bertobat dengan cahaya islam di hatinya. Dan lihatlah prestasi Al Faruq, Mesir dan Persia takluk di jaman keKhalifahannya.

Ups, lupakan tentang Xena dan diri saya. Mari kita beralih ke seorang Iman Hasan Bashri yang berwasiat : " Tidaklah ada satu hari pun di mana fajar merekah, kecuali si hari berseru, ' Wahai anak Adam, aku adalah makhluk yang baru, dan menjadi saksi atas perbuatanmu. Maka ambillah bekal dariku, karena aku tidak akan pernah kembali sampai hari kiamat kelak.''

Dan renungan yang sangat mendalam untuk kita menatap masa depan :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
( Q. S Al-Hasyr : 18 )


haitami

Note :
dialog Xena dan Gabrielle adalah murni bahasa saya, karena saya lupa persisnya dilaog scene tersebut, tapi yang bisa saya pastikan adalah esensi dari bahasa saya adalah sama dengan skenario episode......


.

September 15, 2010

End of Communication

.



Dalam berbagai komunikasi, baik itu via telephone, sms, maupun messenger semacam YM, tentu ada ucap kalimat sebagai tanda bahwa ini berakhir

Hahahahaha, sialan kau. Kau membuat aku seperti seorang kyai jadi – jadian. Sudahlah, aku mo menghabiskan pulsaku untuk menelepon seseorang….
Off ol fren…..

See you at the office, tomorrow….kecuali kau sudah menghabisi hidupmu malam ini kwkwkwkwkwkwkwkwkwkw

Ok, back to laptop yach

Gue tidur duluan Bro, bye

Bang, ulun guring bedahulu

Assalamualaikum…
Wa’alaikumsalam…

Percakapan virtual selesai, kembali pada hidup masing - masing….
Saya tak tahu apa yang mereka lakukan setelah percakapan berakhir, karena bila saya : saya akan kembali memasuki imajinasi sebelum kantuk merobohkan pertahanan diri.
Contohnya seperti tulisan ini, saya menulis…....
( tak jelas )

*Dan malam ini, sebuah percakapan berakhir dengan diri saya yang tampak bodoh


Note : gambar diambil dari ........... - dicorat - coret


.

( Cerita ) Nto, bagaimana.... Berhasilkah ?

.


Penantian rembang petang mengawali senja untuk akhir sebuah hari. Langkah semakin bingung. Gontai diri mengayuh lambat. Gedung berdinding kaca, reklame, bilboard, dan lampu lalu lintas yang angkuh.

Ia berdiri di kepayahan. Kota menggambarkan medan perang. Semua saling menyerang, saling sikut, saling menghantam. Meminggirkannya di kesendirian dalam hamparan ramai

Di kepenatan jiwa yang lelah ia bersenandung kecil, tentang harap pada kota, pada deru yang ingin ia maki - terlalu congkak mereka, terlalu sombong mereka, dan dirinya yang merasa terapkir di dunia asing.
Menyudut, sisi halte yang kusam. Siang berarti debu yang menempel pada wajah dan terik memanggang.

Isyarat sebuah senja hanya membatas kecapaian yang mengena. Ini adalah lakon yang berpuluh kali, ritme hidup yang berlari membuatnya terengah – engah pada kenyataan.

Seiring langkah yang sejenak menghampiri taman kecil, sedikit renung untuk diri yang tak lagi berhasil. Ada sebuah gengaman yang tak pernah lepas. Kusam kumpulan kertas – kertas baru terlegalisir memandangi pada penuh haru. Di sini bukan tempat yang baik bersedih. Tapi bukan pula saatnya untuk berbahagia. Capaian belum teraih, bahkan untuk sekedar panggilan seleksi.

Ingat Emak dan Pusara Bapak. Serta adik – adik. Harapan memanggul rapat di onak pikiran. Mengeliyat seiring keresahan....

” Nto, bagaimana. Berhasilkah ? ”


Seraknya suara itu menjelma seperti peringatan tentang sebuah rumah yang ingin asap dapurnya mengepul, tentang harapan si kecil Iwan tentang seragam barunya, dan ia berjanji untuk kesemua itu. Restu dan separuh tanah pekarangan yang tergadai ia ajak pada langkah perjuangan. Dan ia tidak sama sekali menyentuh sebuah kemenangan hingga saat ini. Kemenangan untuk ia mampu mengirimkan kabar : ” Anto sudah kerja Ma ”



.

September 14, 2010

Hintalu Batuk

.

Ini adalah tulisan yang tercipta setelah pembicaraan saya dengan seorang Bunda Nanda di awal – awal puasa Ramadhan lalu. Tak sempat saya publish, hanya diam di dalam catatan kecil saya sendiri.
Dan pagi ini, saat tadi ada sedikit komunikasi lagi dengan Bunda Nanda dan ada kata pasar dalam percakapan kami, saya jadi teringat dengan percakapan ini. Tentang Hintalu Batuk, sesuatu yang awalnya saya tak sempat mengerti itu apa ?

...........................

Pasar yang ramai dan hintalu batuk ( telor asin ) akan menjadi menu menarik untuk dihidangkan di suasana sahur di awal puasa ini. Ditambah dengan beraneka sayur dan lauk lain, setidaknya itulah yang tersampaikan pada saya oleh seorang Kakak. Kakak angkat. Bunda saya memanggilnya. Tentang Hintalu batuk sendiri adalah sesuatu hal yang sangat membuat saya tersenyum sekali mengenai penyebutan itu. Bagaimana tidak, hintalu atau telor seperti yang kita ketahui biasa dijaruk atau dibuatkan asin, sehingga lebih terasa berbeda dengan telor yang dihidangkan dalam bentuk lain, seperti goreng ceplok, dadar, dan sebagainya.

Lantas kenapa bisa ada penyebutan batuk di belakangnya ? Awalnya tentu saya tak tahu. Hingga Bunda menghadirkan kalimat berlabel atau berstempel di setiap telor asin yang dijumpai.
Mengapa ? Mungkin ini berhubungan dengan marketing, promosi. Ini lho telor asin buatan oleh kami ( sang pembuat ).
Dan pembahasan terus berkembang, mulai warna telor asin kok bisa terlihat biru ? ( tak ada jawaban logis untuk tanya ini, ada yang bisa bantu ? ).
Tapi kata berstempel sendiri tak juga bisa menghadirkan relasi mengapa ia disebut hintalu batuk, bukan ?
Jawabnya tentu saja ada, dengan catatan anda adalah urang banjar yang mehalabiu.
Nah lho ?
So, what’s the meaning of mehalabiu ?
Mehalabiu lebih berarti layaknya halabiu. Sedangkan Halabiu sendiri berasal dari kata dasar Alabiu, yakni suatu daerah di Kalimantan Selatan ( bagian Hulu Sungai di Utara – Amuntai ) yang mempunyai logat yang khas dalam penyebutan sebuah kata. Semacam lagu.
Jadi bisa saya jelaskan mengapa telor asin disebut hintalu batuk, adalah karena setiap telor asin yang dijumpai di pasaran selalu berstempel atau dalam bahasa lebih familiar di daerah Kalimantan, yakni bertok.
Lantas mulai dari kata bertok inilah yang terbaca oleh orang Banjar yang Mehalabiu ( meminjam istilah Bunda ) adalah bertuk, dan lambat laun berubah menjadi betuk, kemudian dikompromikan secara sosial menjadi hintalu batuk.
mungkin seperti ini ya Bunda ?

Hehehehehe, terlalu panjang kali penjelasan ini. Begitulah, akhirnya saya mendapatkan kosakata baru dalam penggunaan bahasa banjar saya. Lebih tepatnya plesetan untuk penyebutan sebuah benda dengan menggunakan literasi daerah sendiri.

...........................

Jadi ingat seorang kawan yang notabene orang jawa tapi lama tinggal di Samarinda secara spontan menanyakan identitas saya :
“ Hah, kam ini urang banjarkah ? Aku kira urang Sunda…..”

Hehehehe, percayalah. Saya bisa dikatakan hampir hilang identitas daerah saya di sini. Suatu tempat yang Indonesia kecil, tempat tanah para pekerja.

Note :
Mohon maaf bila sebagian teman tidak mengerti akan beberapa kosakata, karena itu adalah penyebutan dalam bentuk daerah banjar ( bahasa banjar ).
Dan buat Bunda, photonya saya curi buat diedit ( hancur dach itu sepertinya ) .


.

September 11, 2010

Sepagi itu aku berpaling : Ibnu Tosanov

.



“ Dalam bermuamalah ada kelonggaran tersendiri….”, perkataannya terputus olehku.
“ Dengan bisa saling pandang seperti ini ? Tak harus ghoddul bashor seperti yang kau ucapkan ? “ tembakku bertubi – tubi.
“ Iyaaaa…, tapi…,” lagi – lagi belum usai ia bicara telah ku potong.
“ Ana tau pola pikir antum. Bahwa menurutmu ketika seorang ikhwan dan akhwat sedang mengobrol tak mesti gaddul bashor. Karena tak sedikit yang ghaddul bashor pun tetap memberikan ruang di hatinya untuk mengingat lawan bicaranya tadi. Sekalipun Ana percaya, antum bisa menjaga hati ! “ Aku begitu berapi – api. Meskipun dulu aku sempat luluh ketika ia mengilustrasikannya dengan kondisi Siti Aisyah kala bersosialisasi dengan Abu Hurairoh, Ibnu Umar atau para sahabat lelaki lain ketika akan meriwayatkan hadist.
“ Tentu antum paham betul. Bila si fulan mendapatkan hadist dari Abu Hurairoh, kemudian beliau misalkan mendapatinya dari penuturan Aisyah. Nah, adakah kemungkinan jika Aisyah tak menundukkan pandangan ketika menyampaikan kepada sahabat yang selalu membawa – bawa kucing di pundaknya itu ? “ Penjelasan panjang lebar ini dulu membuatku tak berkutik. Diam seribu bahasa. Tapi, itukan dulu. Saat ini hatiku berontak tak sependapat.
“ Afwan, atas kelancangan ana barusan “, hanya sedikit rasa penyesalan terlintas di wajahnya, “ Tapi sekali lagi ana tegaskan, ana tetap mempertahankannya. Islam itu mudah, fleksibel dan luwes. Kalau boleh saran……, “ terhenti sejenak menanti kepastian dariku.
“ Silahkan, “ ijinku spontan.
“ Jangan hanya gunakan ini dan ini, “ berturut – turut ia menunjuk kepala dan dadanya, “ Tapi padukan pula keduanya dengan pertimbangan syari’at, “ lanjutnya bijak.
“ Maksud teh….? “, selang Nani ( sepupuku yang menemani ia ) yang sedari tadi diam memperhatikan sebelum didahuluiku.
“ Jangan hanya gunakan rasio atau perasaan dalam menilai baik dan tidaknya suatu masalah. Lantaran ukuran benar dan tidaknya bukan atas dasar keduanya. Namun, gabungkan di antaranya dan selaraskan dengan syari’at yang berlaku,” dengan kalem ia melanjutkan penjelasannya.

.........................

Dialog di atas adalah penggalan cerpen lama berjudul Sepagi itu aku berpaling dari : Ibnu Tosanov ( sepertinya nama pena ). Ilustrasi yang terbangun oleh pertentangan sudut pandang menyikapi interaksi. sosialita kita secara umum yang tentu tidak bisa mengesampingkan ato memarginkan : ini khusus ikhwan dan ini khusus akhwat.
Menarik untuk saya membaca alur dari cerpen tersebut. Ada semacam argumentatif yang bisa teraba dan juga ketakutan akan rasa yang mungkin tak bisa dimanage dengan baik, dan inipun sangat terasa kuat mengingat kita manusia adalah tempat salah dan khilaf.

.........................

Ah, Lala. Kalaulah kau tahu isi hatiku, betapa hati manusia tak bisa di bohongi. Memang aku akui bagimu tak masalah, kau sanggup menjaganya agar tak ternoda. Tetapi, La, jangankan bertatap muka langsung, pandangan selintaspun dapat terekam terus. Panah iblis itu begitu kuat menancap di hati kita. Barangkali kau khilaf. Apalagi saling pandang menatapi satu sama lain ?



*Tiba – tiba saya ingin membagi ini pada seorang sahabat


.

September 09, 2010

Met Idul Fitri 1431 H

.




Selamat Hari Raya Idul Fitri
1431 H

Taqabballahu Minnaa Waminkum
Shiyamanaa Washiyamakum
Kullu ‘Amin Wa Antum Bikhairin

Mohon maaf lahir dan bathin
atas kesalahan - kesalahan, hal - hal yang tidak berkenan
dan alfa saya selama interaksi di dunia maya ini
......

Semoga masih ada jodoh usia untuk kita bertemu kembali Ramadhan tahun depan
InsyaAllah, aamiin

Salam hangat dan ukhuwah :

Haitami & Keluarga


.

September 08, 2010

Ramadhan - Episode 7 ( Sunyi )

.


Seperti yang telah diprediksi, kamp menjadi sunyi. Lebih sunyi daripada hari – hari biasa yang memang sunyi. Suasana kepulangan terlihat begitu jelas di mata saya. Pulang. Bagi mereka yang masih menanamkan kata itu di kehidupan perantauan mereka masing – masing.
Seperti yang seharusnya saya prediksi pula tentang hati sendiri. Bahwa saya mulai mengalami kesepian. Meskipun di kamp sebenarnya masih ada komunitas pekerja muslim yang tidak juga pulang. Entah apakah mereka sudah melupakan kata pulang itu atau karena beberapa ketiadaan di ujung pertimbangan alasan, mengapa tak juga pulang. Pulang ke kampung halaman.

Ini adalah perkara hati yang memaknai episode. Di saat keramaian rencana, keramaian bahagia saat berpamitan, dan kursi serta meja – meja kerja yang kosong. Tersapu oleh pandang saya. Hari ini Edi sudah pulang, kemaren Lusi yang menyampaikan pamit sesaat, dan beberapa yang hari yang lalu Yudi dan Ahmad sudah lebih dulu melangkah. Kenyataan mereka hilang sesaat kini cukup membuat saya jadi cengeng.

Ahk, payah kali saya.

Saya merasa sunyi sekali dua hari ini


.

September 06, 2010

STMJ

.


Perempuan itu duduk di depan saya, dengan anggun tersisa menuntaskan dahaga terakhir, menyeruput teh dingin yang tersaji hingga tandas dan menyisakan batu es di dasarnya. Tapi ia tak begitu peduli. Dengan pakaian blues putih berpadu padan rok hitam yang sudah sedikit terlihat kumal itu ia memang terlihat cantik, meskipun kesan lelah di wajahnya bisa saya dapati dari keringat yang kadang terseka dengan ala kadarnya.
Seraya memainkan Hp Blackberry.
Update status ? Ahk, saya tentu tak tahu

Sementara di sampingnya ada seorang remaja tanggung laki – laki. Dengan baju kaos oblong dan celana pendek yang biasa. Masih tampak culun dan terlihat seperti anak sekolahan saja. Satu tangannya memegang gelas dan satu tangannya lagi memegang sebuah buku. Komik yang saya tak tahu judulnya apa. Sepertinya ia baru saja dari Ruko seberang, tempat penyewaan berbagai macam buku baca dan komik seperti anak di hadapan saya. Ia begitu menikmati bacaannya. Sambil sesekali menenggak minuman di gelas yang tergenggam itu ke dalam mulutnya.

10 Menit saya bersama mereka, dan mereka menjalani laku kehidupan tanpa kepedulian satu sama lain. Sementara saya diam mengikuti sunyi polah mereka berdua. Dunia mereka terbatas pada apa yang di tangan dan hadapan. Minuman, Hp, buku, dan keheningan malam ba’da Tarawih. Hingga sang perempuan beranjak, membayar minumannya. Keluar dari warung , dan mendapatkan sebuah taksi yang bersedia mengantarnya entah kemana. Sementara sang anak remaja masih berada di tengah halaman buku komiknya.

Saya sempat terpaku, lantas kembali pada niatan awal. Menkmati sajian STMJ tradisional dari warung ini. Sebelum pulang kembali ke kamar hotel……



*Sebuah malam Ramadhan di Samarinda


.