Powered By Blogger

Desember 25, 2010

Family Day itu adalah Netbook yang baru

.

" Door prize terakhir, satu buah Lenovo, udah yang terakhir nih, jadi yang belon dapet pada do’a ya, kalo gak tinggal ngambil hadiah hiburan saja no, kaos …"


Pak Catur yang IRO di HR Department itu mengumumkan hadiah terakhir untuk session terakhir pula.
Pembagian hadiah dalam acara Family Day perusahaan di weekend kemaren hari. Saya macam orang yang menyanyikan lagu pupus dari Dewa ketika itu. Tak punya harapan untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dibawa pulang kecuali kaos. Baju kaos yang oleh Mba Dewi – Secretary VPD katakan : " dipilih, dipilih, dipilih….."

Masih berkutat diam, beberapa staff yang juga tidak mengantongi slip pengambilan hadiah pun sama diam. Menunggu dan menunggu…..

“ Ok, saya buka…perlahan, perlahaaaaan, dan perlahaaan “
, tak juga merubah ketegangan wajah dari beberapa kawan. Saya terdiam, ada harapan, pun juga realistis, masih puluhan bahkan mendekat ratusan rekan yang juga belum mendapatkan doorprize, ditambah lagi saya tidak merasa seorang yang punya peruntungan baik untuk urusan macam ini….

“ Dari Central Office “
, terpana, kemungkinan untuk berharap lebih kembali ada. Rekan – rekan yang dari site lain membuang nafas pasrah. Kaos sudah menjadi kepastian untuk dibawa pulang. Sementara yang dari Central Office juga meneguk ludah. Banyak. Central Office adalah kumpulan para staff yang banyak tersisa di akhir ini. Saya diam, diam untuk kembali memaksa pikiran kembali ke realita. Masih kecil kemungkinan…..

“ Namanya A di depan, daaaaaan……………terakhir adalah hurup I “, perlahan - lahan menjadi jelas suara itu. Tiba – tiba semua mata menuju pada saya. Salah tingkah, mencoba mengabsensi rekan – rekan kerja yang satu kantor dan berinisial tersebut, apakah hanya saya ?

Belum selesai “ dua kata “, tepuk tangan sudah membahana, sorak sorai menyebut nama saya, meskipun sang pembawa acara masih menyimpan suaranya. Seorang rekan sudah mengasih selamat pada saya dan seorang yang lain sudah mencoba menuntun saya ke ruang tengah.

“ Achmad Haitami “, tepuk tangan bergemuruh, dan saya yang menggumam ' Alhamdulillah '. Sedikit limbung karena ketegangan, salah tingkah. Sempat di ejek karena absennya sang istri dan celetukan bahwa ini adalah berkah dari penganten baru.

Ah, akhirnya saya memposting juga tulisan ini….hehehehehehehe




hadiah itu




pesta





Goyang seorang puteri India dari Malaysia


.

Desember 24, 2010

Bandung Bondowoso : Cinta tanpa paksa

.

.


Saat itu langit senja tiba – tiba berubah pekat, seorang raja terbunuh dan panji – panji Padjajaran berjatuhan dalam kekalahan.

Seorang ksatria datang menghampiri seorang puteri, perempuan yang tertawan karena perang, hingga ksatria itu menawarkan keinginan untuk mencintai….

“ Seandainya aku meminta 1000 candi padamu, adakah kekuatan gelora cintamu mengalahkan terbitnya fajar besok, hingga aku akan terbangun dalam penglihatan ribuan arca dan kolam wangi di tanah ini….”

“ lantas engkau akan mencintaiku “,
‘ Tanpa paksa ‘, karena seorang ksatria masih punya hati untuk mengartikan cinta. Ia yang berhasil mengalahkan kerajaan Baka, membunuh sang Raja kini berhadapan dengan perempuan yang masih memegang panji – panji sisa kekalahan sebuah kerajaan di depannya.

Nyatanya, Loro Jonggrang tetap menyimpan niscaya. Ia yang takjub akan perlakuan seorang ksatria atas dirinya yang tersisa dari kekalahan dan ia yang ketakutan, dalam kemarahan, dan putus asa masih menatap ksatria itu.

“ Hingga suara sentak Ayam pertama kali terdengar esok wahai ksatria “
Langkah anggun itu berpaling, mengisyaratkan sebuah kemustahilan yang akan dilalui oleh seorang laki – laki….

Syahdan, Bandung Bondowoso dalam keriangan saat ratusan batu – batu itu mulai tersusun dengan keindahan dan relief bak susunan prasasti kata – kata cinta, hingga mendekati akhir. Lewat dari tengah malam. Usap keringat dini hari menghadirkan keterkejutan. Ayam berkokok, alu bertalu, dan pagi.
Ksatria itu gagal. Kemustahilan yang hampir terlewati oleh ribuan Jin dan bayang – bayang abdinya masih berbentuk sebuah harapan. Bagaimanapun upaya berbatas syarat.

Sekelebat bayang Loro Jonggrang hadir dalam kesia – siaan sang Ksatria, dibalik kemarahannya, ia masih terajarkan : bahwa cinta bukan penaklukan, bukan pula ujian dalam melewati kemustahilan, tapi cinta adalah sebuah penerimaan bagi seorang Loro Jonggrang untuk dirinya.

Dan kesombongan akan membentur sesuatu yang tak mungkin; “ Aku mungkin gentar, tapi aku akan melakukannya….. “

“ Untuk apa ? “
Untuk apa tuan memberlakukan diri ini layaknya seorang yang merdeka, bukankah kekalahan Ayahanda adalah sebuah penaklukan, termasuk cinta ?
Untuk apa tuan menyanggupi kemustahilan itu ?

Bandung Bondowoso tak menjawab.

Ia mencintai seseorang yang tak menerimanya cintanya, meskipun tanpa paksa.

terinspirasi dari sini

.

Desember 21, 2010

PNS

.



Kadang saya selalu berpikir, apa yang melatarbelakangi seseorang untuk ikut test penerimaan CPNS ?

Tiba – tiba pikiran seperti ini kembali menyeruak saat saya membaca postingan seorang rekan di sini. Setelah lama hilang dan saya mengambil sikap untuk tak peduli terhadap pilihan orang. Saya sebenarnya tidak tertarik atas si A berhasil, terus si B belum beruntung, si C belajar giat hingga ikut try out untuk bisa berkompetesi dalam test tersebut, si D yang stress karena tertipu setelah usaha sogoknya lebih rendah dari kompetitor lain, ato beberapa institusi yang menciptakan soal – soal gak berkualitas macam judul lagu ( ato berapa album ? ) yang diciptakan Presiden negeri ini di soal testnya.

Ah, saya tentu tak ingin menciptakan penilaian ke-iri-an dalam tulisan ini.

Bagi saya, Pegawai Negeri Sipil adalah sebuah pekerjaan yang mengabdi yang sangat luas. Sebagai aparatur negara tentu tidak dipungkiri bahwa pengeluaran negara salah satunya adalah untuk membayar gaji dan tunjangan bagi para aparaturnya ini. Sementara di satu sisi penerimaan yang dipegang dan masih dalam proyeksi yang terbesar oleh negeri adalah pungutan pajak terhadap para pelaku usaha, rakyat kecil, dan banyak sumber – sumber penerimaan pajak lainnya.

Dari ini, tentu boleh saya katakan bahwa pegawai negeri adalah aparatur negara yang melayani, baik secara administrative maupun operational, baik yang fungsional maupun yang structural, dan mempunyai tanggung jawab secara tidak langsung pada rakyat.

Oleh karena itu, bila kita hanya mempunyai reason saat mengikuti test penerimaan CPNS dengan memimpikan jaminan hidup hari tua, kerja yang santai, dan hal lain yang membuat kita merasa tak akan terbebani, maka seandainya tidak lolos, mungkin itu teguran dari Tuhan untuk kalian memperbarui niat. Dan pun bila Tuhan memberi ‘ keberuntungan ‘ dengan orang tersebut, saya harap Tuhan memberi pelajaran bahwa reason yang mereka jadikan latar belakang untuk ikhtiar itu adalah penopang konsep pikir yang keliru, karena bila tidak, seperti yang sering didengungkan oleh iklan Pajak : Apa kata dunia ?

Negeri ini perlahan akan hancur sendiri untuk menerima kapabilitas dari orang – orang tersebut yang sudah bermimpi sebelum tidurnya……..

Tapi bila niat sudah benar, ingin mengabdi, ingin membangun negeri ini, dan masih juga belum beruntung dalam test penerimaan CPNS, maka saya cuman ingin memberi semangat, mungkin belum saatnya, mungkin justru CPNS bukan yang terbaik sebagai ladang amal ibadah dan ada sebuah post yang direncanakan olehNya, siapa tahu ? Konsep positive thinking sangat baik untuk dikembangkan dalam menghadapi sebuah hasil yang tak menggembirakan bukan ?.

So, selamat bagi yang lulus test CPNS dan tetap semangat bagi yang belum lolos




.

Desember 20, 2010

Pagi setelah meeting

.

.



“ Kadang Bapak berpikir, apa ibadah Bapak ini akan sanggup nutupin beban dosa Bapak sendiri…. “ matanya sedikit menerawang dan isapan rokok. “ Padahal dosa dari mata ini saja sudah terlalu banyak… “, beliau sambil mendelik dan menunjukkan mata beliau pada saya…..

Seorang Manager Estate. Puluhan tahun malang – melintang di perusahaan perkebunan. Baru saja pulang dari ibadah Haji bersama istri yang beliau sudah dikaruniakan anak – anak yang masih berada dalam bangku kuliah dan SMU. Istri beliau dulu seorang Assistant Penelitian PTPN di tanah Jawa sana. Memutuskan berhenti dan ikut beliau bertualang ke Sumatera dan Kalimantan. Puluhan tahun lalu. Hingga sekarang beliau mampu berangkat Haji bersama – sama.

“ Bapak berdo’a buat Alm. Bapak sama Ibu Nak Tami, di Arafah. Robbighfirlii wali waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo. Alhamdulillah, akhirnya niat Bapak terkabulkan, …..

Tapi di sana juga Bapak jadi terbersit harapan, anak – anak Bapak akan mengucapkan do’a itu juga nanti di Baitullah…. “

Beliau tersenyum. Sembari membuang rokok, beliau mengisyaratkan langkah untuk beranjak. Suasana di luar Central Office Area setelah meeting pagi ini sedikit memberi saya pelajaran, dari sekian banyak cerita dan gambaran yang beliau paparkan tentang kehidupan, ini yang terpatri di pikiran saya.

“ Pamit ya Nak Tami. Assalamualaikum.... “

“ Hm, iya. Terima kasih Pak. Wa'alaikumsalam..... “

Ford Ranger itu berlalu, dan saya yang kemudian memutuskan menulis ini


.

Desember 18, 2010

Akhir pekan 18 Desember 2010

.

Tadi sore memutuskan jalan – jalan. Bersama istri saya mencoba mencerahkan suasana dengan melihat lingkungan luar kamp.

“ Kemana Bang ? “


Pertanyaan istri saya membuat saya tertegun. ‘ Kemana ? ‘. Tanah terpencil ini bukanlah sebuah kota yang kita bisa menghabiskan sore dalam keramaian taman – taman kota, tempat belanja yang mewah, lalu – lintas yang macet di akhir pekan. Di tanah ini hanyalah tanah yang terdiri dari hijau – hijau savana, pohon – pohon sawit, dan ilalang serta belukar yang belum terbuka.

“ Gak tau Dik, tapi cobalah…yang penting Abang ingin mengenalkan kau lebih dengan luar rumah ini… “
Ia manut, minta ijin untuk berpakaian. Saat saya memanaskan mesin motorpun saya terus berpikir akan saya ajak kemana istri saya. Hingga akhirnya saya menghibur diri, mungkin keramaian tidak akan saya dapatkan, tapi paling tidak saya akan melihatkan padanya tentang sudut – sudut tanah ini.Jadilah saya berboncengan dengan orang tercinta saya. Langkah pertama saya mengajaknya ke Dermaga Pulau Pinang, saya mengenalkannya pada kesibukan pekerja dari kontraktor yang kami terikat kerjasama dalam pembuatan concrete slip way di Dermaga tersebut. Kesibukan Ferry penyeberangan yang menghubungkan wilayah North dan South perusahaan ini. Sedikit mengambil moment dalam photo – photo.






Selanjutnya memutuskan pulang. Melewati jalur Plasma. Lokasi penanaman baru. Tanah masyarakat yang diberdayakan oleh perusahaan untuk ditanami sawit hingga nanti akhirnya berbuah. Kerjasama yang sedang digalakkan belakangan ini.
Jalan yang kering dan berdebu membuat kami harus betah dalam rongrongan pasir – pasir yang beterbangan. Meskipun begitu, ia sangat – sangat menikmati pemandangan yang saya perlihatkan. Suasana yang tentu sangat asing untuk seorang istri yang berasal dari sebuah kota, meskipun kota kecil di Kalimantan Selatan.







Itu saja, perjalanan akhir pekan dari sebuah rumah tangga baru di tanah yang terpencil. ( Sekali lagi ) saya mencoba menghibur diri bahwa istri mampu menikmati pekan ini, meskipun tidak ia dapati keramaian. Hingga setelah isya ini ia datang dengan segelas es teh dan senyum di dekat saya.
“ Bang terima kasih untuk jalan – jalannya “, ia agak sedikit canggung mengucapkan itu. Tapi sungguh, entah mengapa itu menjadi kalimat yang membuat saya luruh dalam kebahagiaan.

Senyum dan tawa kami bersama.

.

Desember 07, 2010

Puzing

.


Mengapa ?

Hanya itu yang bisa saya ungkapkan pagi dan menjelang siang ini. Saya tak yakin segala halnya ini hari akan selesai seiring waktu. Awal hari setelah pekan yang letih menjadi klimaks dalam kejenuhan dan kerja keras yang tak terhargai. Suasana riuh amarah dan pemberontakan. Saya sangat kacau, atasan murka dan rekan – rekan yang tak kalah kusut.
Suasana kerja lantas menjadi kesenyapan, berputar – putar. Menciptakan kubur bagi pikir masing – masing.
Saya ? saya tak lebih dingin dengan diam memandang ratusan data – data ( bahkan ribuan entry ) yang harus diperiksa lagi.

Baiklah, ini adalah sebuah keluhan. Dan saya sebenarnya tidak suka dengan situasinya. Saya mengeluh dan saya menemukan diri yang kepayahan.
Dan, semuanya berjalan. Menunggu penyelesaian. Deadline dan kata – kata brief terasa membosankan. Ini sebuah kesalahan. Kesalahan karena keinginan yang tak adil dari orang lain.

Payah sekali.

Ingin rasanya menekan tombol forward seperti yang biasa saya lakukan setiap kali melihat film DVD or semacamnya. Ingin lebih tahu ending....what’s happen ? happiness or sorrow.

Saya ingat, dulu ada cerita pendek yang mengisahkan tentang seorang anak yang menemukan bola pintalan benang dengan salah satu ujung benang tersebut keluar dari bola itu. Dia tertarik. Dia bermain – main. Hingga dia penasaran dengan ujung benang yang masih tersembul sedikit di balik bundarnya benang. Kenapa tak terurai ?, setelah bola benang itu berulang kali dia gelindingkan dan terlempar – lempar olehnya.

Tanda tanya yang menggema di kepala mengarahkan jari – jarinya memegang ujung tali itu. Saat ujung benang terdapatkan, ia merasa ada kekuatan yang sangat berat untuk menahannya. Ia tak habis pikir setelah berulang kali hal itu ia lakukan. Seraya putus asa, - berharap ia mampu menarik ujung benang itu walaupun hanya sedikit saja, tiba – tiba ia menemukan tangannya yang dengan mudahnya menarik ujung benang tersebut, dan sepersekian detik ia sudah berada dalam situasi yang berbeda, ia berada di kamarnya.

Kejadian tersebut berulang – ulang. Akhirnya sang anak mengetahui, dengan menarik benang ia bisa melewatkan waktu dan berkesimpulan benda itu adalah pintalan benang waktu, baginya. Yang ia bisa saja melewatkan hal – hal yang ingin ia lewatkan.

Hidup berjalan, dan sang anak terus menarik benangnya. Banyak moment dari hidupnya yang melesat begitu saja, tanpa pernah ia rasakan. Hanya karena ketakutan, kebosanan, dan rasa ingin tahu ending atas peristiwa.

Hingga sang anak tersebut menjadi orang yang sangat tua. Terlalu banyak waktu yang ia lewatkan dalam kehidupan. Dari bagaimana ia bisa menikahi istrinya yang memang ia puja sejak masa kecil, terlewatkan begitu saja hanya karena ia ingin mengetahui dengan siapa ia berjodoh, melewatkan tumbuh kembang anak – anaknya, dan banyak hal.

Menyesal.
Itulah yang dirasakan anak kecil yang bermain – main dengan bola pintalan benang waktu. Ia merasa tak banyak mendapatkan pengajaran apapun dari hidup yang ia jalani. Hingga ia seperti seorang gagap dalam bertindak, seorang tua yang tak terlihat bijaksana. Masih labil.

Ini hanya review dari sebuah cerita yang pernah saya baca. Tentang hidup yang berombak bagi manusia. Naik – turun, bergulung – gulung ke pantai dan berakhir menjadi riak buih – buih kecil.

” Seorang pelaut ulung tidak terlahir dari laut yang tenang, karena gemuruh badai lautlah yang mengabadikannya menjadi seorang pelaut, pelaut yang menaklukkan badainya dan gelombangnya... ”

Mungkin saya harus benar menghadapi badai demi sebutan pelaut itu


.

Desember 03, 2010

Tidak sekadar Manyar Jantan

.

Pertama

Wanita akan jatuh cinta dan bergelora dengan pria yang sedikit nakal, namun akan berusaha menikah dan mencoba bahagia dengan pria baik-baik.

Bila melihat asal muasal ( darimana saya mendapatkan ) kalimat ini, maka bisa saya katakan ini adalah bicara tentang seorang Setadewa ( Teto ), tentang Larasati, dan seorang Janakatamsi.
Pergulatan cinta, kehidupan yang sangat panjang.
Bagi seorang Teto dan Atik, Janakatamsi ?, dialah pemenangnya dari alur cinta. Kesimpulan beliau yang saya baca dan saya jadikan referensi dalam memandang Roman Burung – Burung Manyar.

Tapi satu hal yang beliau pun terlalu ‘ kejam ‘ terhadap Teto menurut saya, bagaimanapun psikologis eksistensialis saya sangat merasakan beratnya seorang Teto yang menerima kenyataan dari hidup masa lalu dan masa yang ia hadapi saat kembali ke Tanah Leluhurnya, Indonesia. Teto bukan pecundang, meskipun ia bukanlah pula seorang pemenang. Dalam tahap ini saya kira Mangunwijaya berhasil meminggirkan tokoh central ( Teto ) dari alur cerita dalam Roman ini. Setidaknya saat saya mulai membaca episode 11. Medan perang Teto ( kembali dimulai – setelah keputusannya mengambil langkah bertemu Mayor Verbruggen ) dimana ia mulai memutuskan menjadi Ayah asuh bagi ketiga anak Atik dan Janakatamsi, dan kita tak pernah mendapatkan hasilnya bukan ?
Novel sudah berakhir.

Ah, sepertinya saya harus merevisi kata sepakat saya untuk tulisan beliau tersebut. Ini dikarenakan ada beberapa hal yang saya merasa berbeda kata – akhirnya, setelah memisahkan diri dari rutinitas kantor, saya mendapati diri yang lebih got a viewpoint. Paling tidak dalam kesimpulan beliau dalam menilai seorang Setadewa.

Kedua,

' Kau tentu tidak berpikir aku akan jatuh cinta pada seorang laki – laki yang diam di sudut perpustakaan dengan buku dan delik matanya yang terus memandang kepada diriku kan ? '
…….selanjutnya :
' Hahahaha, laki – laki itu memang perlu sedikit nakal untuk bisa menaklukkanku, tidak seperti Manyar Jantan ( seorang pecinta Novel Burung – Burung Manyar juga ) yang berpikir dengan bangun sarang indah akan ada seorang cewek yang bersedia datang begitu saja padanya. Nonsense, aku tidak bisa seperti itu….Ia ( laki – laki itu maksudnya ) perlu berjuang lagi….'

Akhirnya,
Sedikit diskusi dengan melibatkan banyak pertanyaan. Berakhir dengan ketidakmampuan saya menggenalisir apa yang berhasil saya simpulkan dalam beberapa cakap seperti yang terurai di atas. Termasuk saat saya melemparkan kalimat yang saya ingat dari serial Lupus di masa kecil.
“ Kejarlah daku, kau kan ku tangkap “,
lagi – lagi tentang pemikiran perempuan. Benarkah ?
Dan tak terjawab sempurna untuk dijadikan evaluasi pembelajaran.

Lantas dengan sedikit keberanian, hal ini saya lempar ke Multiply di catatan saya sendiri.

Banyak tanggapan yang diantaranya adalah tentang masing – masing sudut pandang , tentang pengakuan diri, dan beberapa statement bahwa hal yang menyangkut cinta; Jatuh cinta, harapan, maupun ending yang saya maksudkan dengan – berusaha – bahagia adalah tidak ada relevansinya dengan status gender. Tapi lebih bersifat manusiawi yang di dalamnya tentu ada laki – laki dan perempuan.

Sebelum saya mulai menguraikan kesimpulan saya terhadap apa yang kemaren kita diskusikan, saya hanya ingin sekali garis bawahi bahwa ini hanya bahan saya untuk mencoba menyelaraskan pemahaman tentang sudut pandang ( saya yang berstatus laki – laki ) terhadap kehumanismean profil seorang perempuan.

Baiklah, sederhananya :
katakan saat ini saya mengenal seorang perempuan yang sudah siap untuk berkeluarga, dan saya mengetahui persis bahwa ia merindukan sosok pendamping hidup, apakah ia harus mengatakan “ Iya, saya…of course, saya akan mengiyakan seorang laki – laki yang menurut saya mampu mengimami saya “
atau “ Hm,saya tak tahu bagaimana saya bisa merelatekan cinta saya pada laki – laki yang siap bertanggung jawab pada saya bila ia tidak sedikitpun menyentuh hati saya “
Menyentuh hati perempuan, dan seorang laki – laki tidak mesti menjadi seorang flattere untuk itu bukan ?
Seorang perempuan memiliki responsive ( bila ini berkaitan dengan hati ) yang masing – masing berbeda terhadap lawan jenis, termasuk responsive terhadap laki – laki yang passive.
Oh, ya. Dalam beberapa komunikasi, sayapun bisa menyimpulkan bahwa seorang perempuan memang memiliki kesadaran akan imamnya seorang lelaki terhadap dirinya.

Intinya manusia tanpa ter-split gender akan berada pada sebuah garis simpulan yang sama di antara beberapa yang lainnya : ingin bahagia.
Termasuk saat laki – laki dan perempuan memutuskan menikah, meskipun skala prioritas ‘ ingin bahagia ‘ tentu berbeda satu dan yang lainnya.

Nah, yang jadi sisi yang menarik untuk di argumenkan pada diri sendiri adalah : bagaimana kita mampu menjadi seorang yang bisa mengajak lawan jenis kita dalam sebuah bingkai indah bernama rumah tangga. Menuju bahagia.

Bila ditanya pada saya, mungkin saya masih bisa menganalogikan seorang Manyar jantan yang dengan kesungguhannya membangun sarang yang indah sehingga akan ada seorang betina tertarik dan bersedia hidup bersamanya kala musim kawin tiba, tapi sekaligus berani untuk mengakui bahwa kehidupan berumah tangga adalah proses daya tarik menarik yang terhijab pada satu niat yang sama, bila niat itu sudah terpatri di hati, maka lakukanlah…..
( ucapkanlah kehendak itu )

Ah, itu juga kalau ada yang bertanya pada saya


.

Desember 01, 2010

Catatan Ara - Laa Tahzan

.

Belajar membuat cerita


Biarkan mengalir saja….

Ucap itu membekas di hati keras saya. Meskipun ini terasa hambar di telinga, namun tetesan air mata mampu menyediakan sebuah ruang hati untuk pahatan kata itu. Di beberapa episode berlalu ia memang semakin layu, dan entah kenapa siang ini ia ingin berbagi cerita....

“ Aku perempuan An, tentu sangat merasakan sakitnya ini “,
ia memainkan jemari seolah – olah mengurai kembali kekusutan apa yang ia pikirkan. Sementara Anti ( rekan saya ) tersenyum simpati dan meraih satu tangan itu….
menggenggamnya.

Ia bercerita….
Panjang
Ada air mata di sana
Ada penyesalan
Dan ada kesadaran atas diri yang mungkin juga salah

Hingga beberapa lembar tissue menyisakan akhir. Cukup untuk seka. Kesedihan mungkin belum selesai, tapi curahan beban itu mengalir.

Mengalir seperti kalimatnya : ‘ Aku masih kuat, An, Ra…aku masih kuat ‘.
Ucap ‘ masih kuat ‘ itu menekan kegetiran yang ia bentuk sendiri di wajahnya. Hingga ia berhenti…..

Ia menghaturkan terima kasih dan langkah kaki yang beranjak pergi. Meninggalkan saya dan Anti di meja baca sebuah taman.

Biarkan mengalir saja, ia ( perempuan ) itu lupa akan bukunya yang tadi sempat ia bawa : Laa Tahzan…….

.