Powered By Blogger

Mei 31, 2011

( Arisan Kata 15 ) seorang karib kecil dulu yang lupa

.

Aku bertanya dengan sumringah bahagia,
dan ia menjawab antipati tanpa rasa

Aku kemudian terdiam di sudut ironi,
( di balik tirai hati )
Ia justru mengejekku, yang selalu sepi

Aku beringsut menyudut mencari mimpi
( mengenang ia yang dulu )
Ia justru menari ( lagi ), menamparku kembali dengan dunia yang aneh.
Suara langgam berharmoni inggil menabur merdu di kelopak – kelopak bunga....
bersama kupu – kupu, simpul simbiosis sederhana, tanpa rupa bahwa ia dulu belum mekar dan aku masih sebentuk larva.

Lengkap nian asa,
saat ingat serupa bedinde kami bercanda dan bekerja, memungut kata bersama di rumah seorang tua,
yang perapiannya membara membakar malam
lantas hal itu menjadi kisah asing saat kemudian ia bertanya : ‘ kamu siapa ? ‘


........................

Memeriahkan arisan kata edisi ke 15 di sini

.

Mei 24, 2011

Corat - coret sore ( Catatan ngawur )

.



Benturan kepentingan seringkali terjadi dalam koordinasi. Bila sudah begini maka akan ada kebuntuan, hingga teman yang sering bercanda tawa dengan kita pun kadang menjadi ’ musuh ‘ kepentingan dalam forum hanya karena ia berada dalam Department berbeda....dan bila makin panas, maka suasana di luar forum menjadi aneh.

Pekerjaan tidak terlaksanakan, dan orang – orang yang di bawah semakin mengalami kebingungan....

Jadi ingat dulu mereka pernah berteriak : beri kami keputusan, kami ingin menjadi kamikaze yang mati tanpa penyesalan.......

Tapi orang di atas hanya sibuk, sibuk memikirkan akan konsekuensi yang terjadi. Dan ketakutan untuk menjadi seorang yang bertanggung jawab. Pekerjaan paling mudah tentu adalah melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Tapi siapa sebenarnya yang memiliki tanggung jawab itupun sendiri tak ada yang tahu. Semacam curahan hujan dari langit. Semua terguyur basah, tapi tak ada seorang pun bersedia beranjak menyelamatkan seeokor anak kucing yang hampir mati di genangan air. Hanya seekor anak kucing, yang sebenarnya lolongannya pun tak juga ia tujukan kepada salah seorang, hanya ’ Ayo cepat tolong aku....' Itu saja. Dan semua diam, karena ....

’ itu bukan pekerjaan saya ’
’ Saya tidak punya urusan di sana ’
’ lho, kok kami…. ? ’

Sementara bagi orang – orang bawahan, inisiatif adalah sesuatu yang berbahaya. Bahkan bila pekerjaan itu terlaksanakan dengan baik, karena terlaksananya pekerjaan itu justru menjadi catatan bahwa pekerjaan itu ke depannya akan menjadi tanggung jawabnya. Maka jangan salah, atasan yang merasa terlangkahi akan cemberut hati menghadapi tingkah laku anak buahnya yang berprestasi, rajin dan mempunyai inisiatif tinggi. Membahayakan, karena akan banyak pekerjaan baru nantinya yang ditimpakan. Jadi diaturlah sang anak buah agar berada dalam sebuah ruang yang penuh pengawasan. Sebuah ruang yang ia meringkuk tanpa ada kesempatan ekplorasi diri. Menunjukkan kualitas, kemampuan dan dedikasi.
Bila sudah begini, maka anak kucing itu akan mati….Oh, mungkin bukan hanya anak kucing saja nanti. Tapi juga mungkin belalang, kuda, kerbau, sapi, burung, buaya, atau apapun, atau siapapun nantinya juga akan mati.

Dan orang – orang di atas akan kembali masuk forum bersama Bos besarnya yang marah, karena anak kucingnya mati, kerbaunya mati, buayanya tenggelam, dan semua investasinya yang tak berujung pada angka profit, karena ketidakbecusan orang – orang di hadapannya yang saat begitupun masing – masing masih bisa bergumam dalam hati : “ si Anu yang salah Pak, karena itu tugasnya….. “

Entah siapa yang masing – masing mereka sebutkan.

.

Mei 17, 2011

Ketika nenek bercerita.....

.




Dari cerita mama saya, bahwa nenek yang baru saja memiliki Hp menelepon beliau. Nenek minta dibelikan Hp sama salah seorang anaknya ( Paman saya, adik mama ) dan langsung minta diajarkan cara menggunakan gadget baru itu. Ramai nian mama bercerita sampai nenek dengan polosnya mengabarkan Hj. Bintang dan Hj. Ramlah sudah meninggal, hampir bersamaan di rumah sakit berbeda. Rekanan beliau dari masa tahun 50-an, masa kanak – kanak beliau hingga kini di usia renta. Nenek juga bilang beliau kini sendirian yang tua di kampung. Yang lain sudah pergi. Istilah pergi bagi nenek semacam isyarat bagi diri ya, mungkin....karena mama hampir menangis menceritakan ini sama saya.

Tapi bila mau berkata – kata tentang pergi pun saya juga ingin berbagi kisah seorang rekan yang mengingatkan saya tentang Bowo, pemuda desa yang dibanggakan kedua orang tuanya, karena bisa bersekolah di tempat yang favorit di kota kami.

Saat di sekolah, Bowo sudah terkenal akan kepolosannya, tapi memiliki normalitas di atas rata – rata. Maksud saya, dulu ia sempat kedapatan oleh beberapa teman sangat – sangat menyukai seorang teman perempuan, maka ia yang sangat polos atau sudah terbutakan oleh perasaan yang puber, dihasut untuk memberikan pernyataan cinta di depan khalayak ramai. Ia melakukannya, dengan bunga dan puisi. Sang perempuan lari, malu, tapi Bowo tidak, ia bangga.

Terus berlanjut, keluguannya dan kepolosannya dimanfaatkan oleh siswa - siswa yang menganggap ini lelucon garing masa itu, menurut saya.

Hingga di awal tahun 2007 ( kalau gak salah ) saya bertemu dengan seorang teman masa sekolah, kami berbagi kisah saat melewati waktu yang kami berseragam putih dan abu –abu itu. Hingga nama Bowo ada diceritanya. Bowo kembali ke kampung halamannya, tidak kuliah, meneruskan Bapaknya menjadi petani yang memiliki gudang beras dan mesin gilingan. Kadang – kadang di musim tunggu ia mengojek. Saya tersenyum, mungkin memang nasibnya untuk kembali ke desa. Tapi teman saya menutupnya dengan kalimat yang pergi : Bowo meninggal setahun yang lalu, karena sakit....

Tak terjelaskan sakit apa, dan juga tak menghayati lagi kata – kata teman saya, karena bayang – bayang seorang Bowo yang justru tersenyum saat diarak oleh teman ketika ia berhasil meyelesaikan adegan ’ katakan cinta‘ - nya kembali menghiasi ingat saya tentang sosoknya yang masa lalu.

Mungkin nenek pun begitu, hingga mama hampir berair mata. Nenek menceritakan teman - temannya yang sudah pergi, seperti kanak – kanak yang ramai hati bercerita.

Mungkin pula suatu saat nantipun saya juga akan bercerita seperti nenek, hanya saya belum bisa menerka kepada siapa saya berbagi tentang mereka karib yang lebih dulu pergi, lantas menutup cerita itu seperti nenek : Nda sorangan haja lagi...... ( Aku sendirian saja lagi ).


.

Mei 12, 2011

Ruslan

.


Namanya Ruslan, seorang operator Tractor Equipment, ( konon ) berasal dari daerah terpencil di Sulawesi dan kini merantau di daerah terpencil juga di Kalimantan. Sama saja, tapi ia tak pernah kembali ke kampung halamannya. Ia ditempatkan di satu lokasi pembukaan areal baru yang bila saya bahasakan, bukanlah kita yang berteduh di bawah rindang pepohonan bahkan sawit pun, tapi mereka yang menjadi payung bagi tanaman ( bibit ) sawit yang baru ditanam itu. Lha wong areal baru dengan penanaman baru. Tugas utamanya adalah memobilisasi pekerja lahan sembari melangsir pokok – pokok bibit sawit dari nursery ke lahan, langsir pupuk dan kacangan.

Oh ya, unit yang ia bawa adalah unit peninggalan lama. Bontok, hancur, dan rentan terbatuk – batuk di tengah lahan.
Maaf, ini hanya bahasa saya untuk unit – unit yang menurut saya tak layak operasi, tapi masih bisa dipaksakan sampai Bos mencoba sendiri, dan itu tak mungkin. Jadi kesimpulannya semua unit macam yang dipakai Ruslan itu adalah layak pakai atau harus dipakai.

Massey Ferguson, saat ramai orang sudah menggunakan tipe 440, Ruslan kebagian versi lama, MF 390….tapi ya gak papalah, kan masih layak ( baca : harus ) dipakai dan Ruslan pun membutuhkan unit itu jalan untuk jalan juga kegiatan dapur pondokannya.

Konsekuensi dari penempatan di areal baru adalah kurangnya fasilitas. Boro – boro untuk mendapatkan fasilitas di luar rumah macam tempat istirahat atau taman emplacement, lha wong rumah mereka sendiri masih pondokan macam kaum pekerja ladang berpindah saja. Apa adanya dan mesti legowo nerimo.

Saat ada kesempatan ’ jalan – jalan ’ ke lokasi tersebut saya hampir nangis, bener – bener ingin menangis saya, bukan karena melihat pondokan yang tambal sulam itu, dengan bedeng – bedeng yang dari luarpun saya sekilas bisa melihat di dalam rumah isinya apa saja, tapi melihat anak – anak yang bermain – main di antara hal – hal yang seadanya itu, dan sebuah musholla yang ....

Allahu Akbar, meski seadanya dengan dinding yang tak teratur rapi karena bekas – bekas dari kayu olahan yang didapat dari sisa sawmill yang sudah mati suri di lokasi terpencil ini, mesjid itu benar berfungsi sebagai rumah Allah.......

Kembali ke Ruslan.
Ruslan adalah manusia biasa yang tentu juga mencoba mendapatkan perhatian dari Department tempat ia bernaung. Saya mengerti itu. Dan setiap kali ada bertemu orang macam saya, yang notabene satu Department dengannya dan ditempatkan di areal yang udah agak mapanan dari ia, Ruslan selalu menyempatkan diri untuk.....bersilaturrahmi.
Berbagi, bahasa sederhananya seperti itu. Tapi Ruslan lain....ia lebih sering menanyakan sesuatu perihal saya daripada saya yang menanyakan kabar dirinya. Entahlah, ia pandai mengolah situasi psikologi saya dengan baik sembari menceritakan ’kamp‘ nya itu. Di antara keprihatinan saya akan situasi dirinya, pemandangan akan mereka yang masih beratapkan daun itu, anak – anak kecil yang ada saja tertawa mereka ketika berkejar – kejaran di antara pondok, dan ketidakmampuan saya berkomunikasi dengan tata krama yang coba menghibur hati, ia justru memaksa saya menjawab pertanyaan dengan kalimat : " Alhamdulillah, baik."

Saya merasa menjadi jahat sekali. Dan langsung berubah marah setelah pertemuan itu. Marah pada diri sendiri. Saya merasa tak harus bertemu kenyataan macam itu, yang saya benar – benar tak bisa berbuat apa – apa untuk sesuatu yang seharusnya diperbaiki.

Sekembalinya saya ke kantor, satu kalimat yang membuat rekan – rekan lain agak bingung : ' Pastikan saya tak bertemu Ruslan untuk beberapa lama.... '

Tentu saya tak ingin mengatakan bahwa saya merasa seperti orang yang sangat jahat sekali saat berhadapan dengan manusia yang sebelum saya pergi sempat ia minta tolong untuk jatah berasnya dikirim duluan itu......

.

Mei 10, 2011

Mana Ibumu Dek ?


Mana ibumu Dek ?

Pertanyaan itu begitu tiba – tiba meluncur dari seorang muda di samping saya, pertanyaan yang ia ucap pada seorang anak kecil yang berjongkok di lantai, di antara manusia yang menunggu di peron sebuah terminal. Pakaiannya lusuh, menghitam minyak dan debu. Ia sibuk dengan dunianya, bermain dengan sebuah kayu yang hampir pasti bisa saya tebak itu adalah kerencengan ( alat musik yang sekenanya dari kayu dan kumpulan tutup botol ). Anak itu tak beranjak jawab atas pertanyaan tadi, sang pemuda melihat saya dan mengangkat bahu……ia mengakhiri keinginan tahuannya, juga saya yang mengambil kesempatan ingin mengetahui juga….

Tiba – tiba anak itu berdiri dalam hitungan detik, entah ia mendengar pertanyaan itu atau tidak, yang pasti ia menyempatkan menatap saya dan juga menatap pemuda di samping saya. Mata kami berada dalam garis lurus yang sama, menghunjam mata kecil itu yang kini terlihat angkuh dan sombong, sebelum akhirnya ia pergi berlari ke gerbang dan hilang di kerumunan calon penumpang yang datang…..

“ Mana Ibumu Dek ? “
Saya pikir anak itu sudah memiliki kesombongan manusia dewasa untuk mendapatkan pertanyaan ‘ miris ‘ macam ini….

Atau justru sirat mata itu adalah sebuah jawaban, “ Tak di mana, tak kemana. Ia tak peduli saya “

.....................

Saya mengingat kejadian ini karena mendengar sebuah lagu yang selalu saya ulang untuk di dengar : Ibuku - Rara




photo saya ambil dari sini, hanya sekadar ilustrasi wajah itu saja


.