Powered By Blogger

November 24, 2010

Pilihan itu tetap ada

.



Pilihan itu tetap ada,

Hari ini, esok, dan seterusnya
Sepakat jika “ dalam hidup selalu ada pilihan….

Saya jumpai tulisan ini di dalam comment postingan saya. Sederhana sekali. Hidup selalu menyajikan pilihan untuk kita bersikap, banyak pilihan. Apakah kita akan memilih bahagia, tertawa, menangis, atau apapun yang kita perintahkan pada tubuh dan jiwa kita untuk bersikap.
Seperti hal kita menyadari bahwa sekian bagian kehidupan adalah semacam antibiotic yang mengajarkan kita untuk berproses bertahan hidup dan beradaptasi. Naluriah manusia.

Lalu bagaimana dengan menulis ?
Saya tidak menyakini menulis adalah bagian dari sebuah pilihan untuk bersikap. Menulis hanyalah sebuah ungkapan, bukan sebuah sikap. Bila boleh saya katakan, menulis adalah wadah ekspresi. Ekspresi dari sikap yang kita ambil, ekspresi dari ketidakmampuan kita untuk memilih, atau bahkan ekspresi dari menyerahnya kita dari hidup dan kita tidak memilih apapun.
Tapi ( sekali lagi ) bukanlah sebuah sikap. Ini menjadi sebuah beda. Bagi saya sikap adalah suatu laku. Diampun adalah suatu laku. Bila itu merupakan bagian dari pemilihan keputusan, diam atau bergerak. Teori relativitas terhadap diam adalah sebuah pandangan bahwa benda tersebut mempunyai suatu energi dalam diamnya.

Ada kalimat bijak yang tidak mendewasa yang juga saya temukan di banyak tulisan : …biarlah waktu menyembuhkan luka.
Terlalu naïf bila kita memaksa waktu untuk bisa menyembuhkan ( baca : menyelesaikan ) apa yang telah terjadi, apa yang menimpa pada diri dan jiwa bila kita tidak membuat pilihan terhadap sesuatu hal tersebut.

Waktu yang berjalan bukan subject, waktu hanya berada dalam fungsi menerangkan. Menerangkan subject dan object dalam hubungan manusia terhadap sesuatu yang ia berkorelasi. Manusia, benda, maupun sebuah lingkungan yang kompleks
Jadi, sederhananya adalah mari kita bersikap. Bila anda mengungkapkan sesuatu dalam pikiran anda, maka jadikanlah itu sebuah laku.
Yuks, mari menulis, semangat dan aplikasikan itu. Paling tidak dengan sebuah laku yang sederhana, senyum sapa kita dengan ucap : Selamat Pagi untuk sebuah hari


.

November 12, 2010

Jalan Imam Bonjol - Samarinda

.
Ketika malam ini saya melihat seorang rekan yang tersenyum melihat photo anaknya di layar Hp.

Awalnya tiba – tiba wajah itu memperlihatkan senyum, lantas tertawa kecil. Sementara sajian nasi goreng hangat yang baru tersaji tidak lagi menjadi sesuatu yang ditunggu. Padahal ia yang memaksa saya untuk secepatnya kami keluar rumah mencari makan.

" Coba lihat...", tiba – tiba ia memperlihatkan layar Nokia E72 nya ke muka saya. Ada photo anak kecil di sana. Anak kecil yang berusaha menggapai benda yang berhasil menciptakan photo itu. Anak kecil yang tertawa dengan gigi tampak terlihat baru tumbuh.
" Ia semakin gagah saja "

Dan wajah itu memang bahagia, sangat bahagia.

Kadang saat kerinduan itu bertemu pada pelipurnya, terjadi semacam ledakan energi yang menggerakkan semangat, menciptakan kesegaran pada wajah yang sumringah.

Tapi saya tahu, ia mungkin menyadari bahwa gapaian tangan itu semacam teguran pula untuknya berpikir agar segera pulang. Menyambut tangan kecil yang pernah ia katakan pada saya : “ Istri dan anak saya yang membuat saya semangat kerja Pak. Saya sangat mencintai mereka….”

Wajah itu semakin tersenyum di depan saya.

>>>>>> Jalan Imam Bonjol – Samarinda dan seorang rekan yang baru saja melihat upload photo istri dan anaknya.

.

November 02, 2010

( Fiksi ) .............Agar saya bisa menuntun tangan ini selamanya

: Belajar menulis cerita pendek

....................



Suara khas yang serak dan logat sedikit sunda membahana dalam ruangan mesjid di depan saya berdiri ini. Sangat santun, sederhana, simple dan menghunjam hati serta perasaan. Padahal saya sudah lama mengenal suara ini, tidak hanya dalam majelis tapi juga dalam hidup yang sehari – hari. Ini terasa sangat berbeda. Entahlah,…..

Saya tau Ustadz Irwan ( namanya ) jelas salah saat mengatakan bahwa surga di bawah telapak kaki seorang mama. Tapi nasehat mengapa saya harus berbakti pada kedua orangtua, sangat mengena pada saya - membuat saya sedih dan sesak bernafas.
Bukan karena surga itu, tapi karena sesuatu kenyataan yang menghayat di diri saya.

Mama, bapak, saudara adalah orang – orang yang tak pernah saya jumpai selama hidup ini.
Mereka ada di mana ? Adakah mereka masih hidup ?
Pertanyaan yang sering saya lontarkan pada Mbah Ijen pengurus Panti dulu - tak pernah terjawab. Saya ingat sekali, - bahkan sebelum saya memutuskan untuk hidup di jalan pun pertanyaan itu terlontarkan dengan segenap pemberontakan.

“ Saya ingin mencari Mama, mencari Bapak.... “
Semua berawal. Bukan salah saya untuk pergi, bukan pula saya salah untuk membuat Mbah Ijen menangis. Mereka yang salah, mereka yang tak bisa menceritakan kenapa saya tak mendapati seorang mama saat pengambilan raport, seperti anak – anak lainnya. Saya harus yang paling terakhir, menghadap Guru dengan selembar kertas lusuh tulisan Mbah Ijen yang mohon maaf karena tidak bisa meluangkan waktu untuk datang ke sekolah. Selalu begitu. Saya juga tak mendapati Bapak saat saya berhasil menjadi juara ketiga renang dalam lomba antar sekolah, saya melihat Andi, Dino – meskipun kalah, tapi masih dibanggakan oleh Ayah – Ayah mereka.
Sementara saya ?, menang dan mengalami kekalahan setelahnya.

Dan ustads Irwan tau persis itu. Dia bukan seorang kawan yang hanya beberapa bulan mengenal saya. Tapi semenjak saya menolongnya pada pertengahan suatu malam 6 tahun lalu saat ia hampir mati dihajar oleh gerombolan anak yang tiba – tiba muncul dari daerah pasar induk Telaga Arum. Benar, ia adalah sahabat saya selama 6 tahun ini.
Awalnya saya tak begitu suka dengan tempramennya yang berlagak alim - menurut saya, perkenalan saya untuk pertama kali saat ia bersusah payah mencari saya di seputaran perumahan ‘ elit ‘ pinggir sungai Kahuripan. Sungai yang sakit karena sudah begitu banyaknya noda – noda dalam tubuhnya. Perkampungan kumuh yang menghidupkan saya semenjak saya pergi meniggalkan Panti dan Mak Ijen, Mak Siti, Kakek Jaya, Pakde Juno.....
Saya tak kira masih hidup hingga sekarang ? Setelah perjuangan untuk bertahan hidup selama ini, entahlah....
Itu adalah masa lalu, saya yang seorang pemberontak.
Bukankah hidup terus memberontak untuk tetap bertahan ?

Tapi demi bagaimana ia tetap tak beranjak dari kejengkelan dan marah saya saat saya berusaha mengusirnya dan kembali ke dunia normalnya tak tergubris oleh laki – laki kurus, putih, dan...yach, perawakan dari seorang anak sebuah keluarga yang terawat sempurna. Hanya untuk ucap terima kasih di awal perkenalan kami.

Mesjid dan Irwan saya tinggalkan, ini adalah momentum hari Ibu buat mereka. Hingga tema tausyiah dari sahabat tersebut, yang berkaitan Ibu dalam islam mendapat tanggapan yang hangat dari para peserta majelis yang memang kebanyakan para remaja muda.

Biarlah, saya kira saya terjebak dalam situasi yang bukan untuk saya. Hari Ibu adalah hari yang dirayakan bagi mereka yang mempunyai orang tua. Tidak untuk saya. Saya tidak mempunyai hari penghormatan untuk seseorang, siapapun.
Irwan tau persis hal ini.

Melangkah, menuju gerbang mesjid, hiruk pikuk lalu lintas menyambut dan membuka mata saya pada manusia – manusia yang terus bergerak di jalanan. Ingin rasanya kembali dan berpaling, barang sejenak seperti yang Irwan inginkan pada saya, menunggunya hingga ia menyelesaikan apa yang ia sebut perkara dakwah.

Hanya beberapa meter tiba – tiba saya menemukan seorang Ibu yang ringkih dan mendekat pada saya
“ Nak, tolong bantu Ibu menyeberang ya Nak. Ibu takut. Ini jalan ramai sekali sore ini….”
Matanya teduh, memuat harapan sapa dari saya. Dan tersenyum, “ Boleh Nak…bantu… “
Sebuah lengan terangkat mengharap sambutan…..

Surga bukan di telapak kaki Ibu, tapi di tangan tua itu - yang entah mengapa saya begitu merasa berarti setelah memegangnya, dan menuntun pemilik tangan itu untuk bergerak. Keramaian mendadak asing dalam kedamaian rasa yang aneh


‘ Tuhan, semoga tak ada pinggiran jalan di seberang sana. Agar saya bisa menuntun tangan ini selamanya ‘



.