Powered By Blogger

Juni 28, 2010

Saya bukan seniman, tapi employee

.

Saya kira para seniman adalah manusia – manusia yang hebat dalam memainkan perasaan orang lain dan juga perasaannya sendiri. No offense. Ini hanya semacam pendapat. Karena bila tidak saya tidak akan seperti ini.
Kerja berantakan,
dan deadline besok pagi harus dipresentasikan.
Slide yang ( kembali ) kosong. Dan analisa data yang lebur. Tanpa arah.

Sayang saya bukan seniman, karena seandainya saya seniman, saya tentu akan menuliskan sesuatu yang lebih baik lagi. Saya hanya seorang biasa yang ingin belajar banyak hal…..
Banyak hal di luar saya, banyak hal di segala yang saya bisa melihat mereka. Dan banyak hal untuk mengenal diri sendiri……

Hm, ya. Saya bukan seniman,tapi employee. Yang kadang harus membutuhkan waktu lama……lamaaaaaaaaa sekali untuk menuliskan bila itu menyangkut rasa, kreasi, karya bahkan sebuah omong kosong sekalipun. Saya employee yang berada di titik pasti. Data itu ratusan bahkan ribuan. Dan setiap entry berarti kepastian dari entry berikutnya. Bergumul dalam bilangan yang tak hidup itu justru membuat saya seperti mayat. Memang, mungkin saya adalah seorang mayat.
Kecuali sesuatu hal yang terpikirkan sekarang ini. Saya menyadari dengan ketidakmampuan saya memanage rasa seperti ini yang membuktikan saya seorang manusia, masih manusia.
Tapi, seharusnya tidak hari ini, tidak juga dalam minggu ini. Saya tidak ingin hidup secara nyata. Biarkan saya nikmati dunia bodoh saya.

Saya bukan seniman,
Saya adalah seorang employee.
Meskipun saya dan dia adalah sama – sama manusia.

Tulisan tak jelas, meskipun saya berusaha tak mempostingkan ini. Tapi, akhirnya saya realistis bahwa seorang saya memerlukan ucap ( actualisasi ) macam ni untuk saya bisa….membuang segala sampah saya. Seperti melakukan proses cleaning terhadap file – file registry, cookies, temporary files, memory dumps, dan lain sebagainya. Setelah ini akan saya defrag segala posisi file – file dalam kepala saya. Menatanya, berharap saya bekerja dengan baik setelahnya. Menyelesaikan ‘ kewajiban ‘ seorang employee yang ' masih ingin ' bekerja di perusahaan ini………


.

Juni 24, 2010

' Tak kenal, maka tak sayang ' : Episode Paman Has

Saya tidak terlalu bisa mengenal setiap orang secara personal dengan baik.
Saya hanya seorang yang senang menganalisa kepribadian orang lain dari output yang keluar darinya. Dan inilah yang saya yakini sebagai batas kesanggupan saya. Selayaknya sebuah kendi, saya tak mengetahui apapun isi di dalamnya bila saya tak melihat isinya tertuang. Terasa tak adil memang, karena kadang manusia adalah tempat salah dan khilaf, dan penghakiman ( baik itu sikap positive maupun negative ) atas apa yang tersaji tak juga bisa dianggap tepat. Karena saya adalah manusia, karena kamu, dia, dan ia adalah juga seorang manusia.

Bagaimana sebuah persepsi terbentuk, bagaimana sebuah attitude tersetting sedemikian rupa dari pembelajaran maupun pengalaman hidup, bagaimana proses terbentuknya sebuah kesimpulan ( analisa ) dari dalam diri terhadap seseorang benar – benar takkan pernah lepas dari posisi humanisme kita.

Jadi bila saya harus menulis sesuatu bertemakan ‘ tak kenal, maka tak sayang ‘, sungguh saya jadi sulit.
Jadi ingat pula tentang masa lalu, yang dengan pengalaman itu saya bisa saja merubah idiom ‘ tak kenal, maka tak sayang ‘ menjadi tak kenal, maka akan saya sayang.

Bingung kan ?

Tapi ya itu adalah bagian masa lalu dan benar – benar tak ada relevansinya dengan thema tulisan yang diminta. Mungkin nanti akan saya coba buat tersendiri bagian ini seperti yang pernah saya utarakan bahwa saya tertarik untuk menuliskan pengenalan diri terhadap orang lain berdasarkan subjectivitas seorang saya. InsyaAllah.

Jadi saya harus bagaimanakah ?
Hm, selain ada keinginan yang kuat untuk ikut penulisan bertema ‘ tak kenal, maka tak sayang ‘ saya juga merasa perlu membagi apa yang saya pikirkan ini.
Karenanya saya sedikit bercerita saja, kisah yang saya kira cukup untuk masuk sebagai bagian kecukupan syarat, yakni cerita ( pengalaman ) yang bisa disimpulkan bahwa ‘ ( saya ) tak kenal, maka ( saya ) tak sayang ‘.

…………………

Saya punya seorang paman, adik dari Alm. Abah saya. Ia adalah keluarga ( mamarina dalam bahasa banjar ) yang paling jauh posisinya bila melihat pengenalan kami akan saudara – saudara dari pihak Bapak. Bahkan pengenalan kami terhadap saudara tiri Alm. Abah jauh lebih baik dari beliau yang notabene adalah saudara kandung. Saya awalnya tak mengerti dengan sikap tersebut. Kekanakan kami menganggap itu bukan sesuatu yang masalah, atau apa sih repotnya ?

Berbeda saat saya kini, kakak, dan adik saya - tiga anak kecil dulu yang oleh Alm. Abah sempat diajak ke rumah paman saya tersebut hanya untuk sekadar menjenguknya. Begitu singkatnya dan frekuensi yang kurang menyebabkan kami hampir saja lost memory – beranjak dewasa.

Terlebih saat ada problem internal keluarga menyangkut proses pemakaman Alm. Nenek yang menyebabkan konfrontasi hebat ketika itu antara beliau dan seorang sudara Alm. Abah pula. Setidaknya di antara kami bersaudara, kakak sayalah yang menyaksikan peristiwa itu dan membagi cerita pada saya dari kejauhan. Bahkan hingga kini. Saya sempat tertegun, begitukah ?

Oh ya, mungkin perlu saya perkenalkan bagaimana seorang saya mengenal beliau dulu, paman, adik dari Alm. Abah saya.
“ Kau harus banyak belajar dari Paman Has “,
itu ucapan dari Alm. Abah. Kembali hadir di antara slide – slide yang mengisahkan masa lalu di otak saya. Benar, beliau sering kami sebut dengan Paman Has. Di kedewasaan yang saya miliki kini, saya menilai Paman Has adalah seorang yang teguh pendirian, keras kepala, dan pekerja keras, Bahkan saya sempat terdiam haru, kagum, sekaligus hormat pada saat Alm. Abah menceritakan tentang adiknya itu.

Paman Has terlahir dengan kasih sayang yang minim, karena Abah adalah tujuh bersaudara, sementara Alm. Kakek juga memiliki banyak anak dari istri mudanya yang janda dan memiliki anak pula sebelumnya.

Paman Has sudah mandiri di usia anak – anak, berumur tujuh tahunan ia sudah tidak lagi ikut hidup di rumah keluarga besar. Beliau menghabiskan banyak waktu di jalan. Ikut dengan seorang sopir truck dan menjadi keneknya. Kehidupan yang keras, sekaligus penempaan diri yang luar biasa untuk seorang anak seusianya saat itu. Dari sana beliau diajar oleh orang – orang dewasa semacam buruh terminal, para sopir, preman, dan aparat, hingga mungkin di sinilah letak terbentuk sosok seorang Has yang dulu tak pernah saya jumpai tersenyum. Seorang Paman yang selalu marah pada anak – anak yang mendekat padanya, kecuali pada kami bersaudara. Mengingat Alm. Abah yang juga seorang pejuang kehidupan di ekonomi sulit saat itu memang terasa sekali membuat Paman Has respect pada sosok Abangnya, Abah saya.

Intinya adalah saya yang dari awal hingga semenjak konfrontasi internal keluarga begitu tak mengenal siapa Paman Has sesungguhnya, selain hanya mengetahui hal – hal luar yang beliau perlihatkan pada kami di masa kecil dan cerita beberapa keluarga yang berdasar pada subjectivitas masing – masing. Hingga di medio tahun 2004 saya berkunjung ke rumah beliau. Memberanikan diri karena ada suatu urusan yang saya harus terhubung dengannya. Saya datang dengan pengenalan yang masih melekat pada beliau, tentang sosok yang suka marah, sosok yang tanpa senyum, sosok yang tampak egois, sosok yang masih dibenci oleh beberapa saudaranya sendiri.

Begitulah, saat pintu rumah terketuk, ucap salam dan hormat saya perdengarkan pada istri beliau, dan maksud saya yang ingin bertemu dengan Paman Has.
Bertemu dengan beliau setelah sekian lama tak sua dan lebih lama lagi tidak berkomunikasi. Saat itu beliau sedang rebahan nonton bersama dua orang anaknya. Saya membelakanginya, dan saya yang tadi diminta langsung saja mempertemukan diri oleh istri beliau ke ruang tengah keluarga agak sedikit menemukan sebuah gambaran kemanusiaan yang berbeda dari apa yang saya simpulkan selama ini di alam sadar saya.
Yaps, benar. Paman Has terlihat bercanda dengan anak – anaknya, terdengar gelak tawanya, bahkan hanya karena sebuah remote TV membuat beliau harus berputar – putar di lantai karena dikeroyok oleh dua orang anak kecil berusia puluh tahunan. Beliau berkelit dan terus berguling, sementara anak – anaknya terus saja menyerang beliau dengan usaha merebut remote TV di tangannya. Hingga sekejap beliau menyadari kehadiran saya. Beliau terlihat begitu kaku, karena saya baru saja melihat yang berbeda dari apa yang selama ini beliau ‘ proklamirkan ‘ terhadap orang lain, termasuk juga saya.

Entahlah, apakah ini karena memang keinginan beliau, atau beliau memang tak begitu peduli dengan persepsi orang – orang. Hingga lingkungan luar rumah adalah dunia yang tak perlu dan tak boleh memahami siapa diri ia sebenarnya ? Saya tak tahu.
Remote berpindah tangan tanpa perlawanan, acara TV program Tinju Internasional di hari minggu itu begitu cepat berganti dengan keramaian kartun anak – anak. Sejak saat itu pengenalan saya terhadap paman Has jadi berbeda, lebih terlihat sebagai subjectivitas langsung. Tanpa input dari pihak kedua.

Seorang Has adalah seorang yang fleksibel. Saya tidak ingin lebih jauh mengungkapkan penilaian saya terhadap beliau, dan sayapun tidak ingin menceritakan lebih apa yang terjadi di Internal Keluarga saya sehingga ada sedikit kesulitan bagi saya mengenal sosok saudara dari Alm. Abah saya ini. Yang pasti hari itu saya dengan mudahnya berbagi tawa dengan beliau dan berbagi cerita.

Saya tak bisa mengklasifikasikan ini adalah tak kenal maka tak sayang. Paman Has sudah saya kenal sejak kecil, dan beliau adalah keluarga yang saya tidak bisa mengatakan saya tidak menyayangi beliau bilamana saya tak mengenal beliau yang sebenarnya. Tidak.
Dengan cerita ini saya hanya menggambarkan bagaimana kemampuan pengenalan kita terhadap seseorang akan mempengaruhi rasa kita. Maksud saya, saat peristiwa tontonan yang berbeda di rumah itu saya menjadi memeriksa dan menganalisa kembali kesimpulan – kesimpulan yang sudah terpatri dalam ‘ kotak hitam ‘ di diri saya terhadap sosok seorang Has. Inilah yang tekan menjadi bagian dari idiom di atas, ‘ saya mengenal ‘ Paman saya akhirnya.

Saya menjadi merasa menjadi tambah ‘ sayang ‘ pada beliau, menjadi tambah respect pada beliau, menjadi tambah ramai dengan beliau.

Dan lebih daripada itu,
Saat saya mendapati beliau bercanda dengan anaknya di rumahnya saat itu, saya seperti melihat Alm. Abah dan kami bersaudara di sana, di masa lalu.
Paman Has sangat mirip dengan Abah saya.

Has adalah……apapun yang terdeskripsi dalam pikiran saya, dia adalah paman saya.


Juni 23, 2010

' Tak kenal, maka tak sayang ' : Catatan awal


Hallo

Hallo, PT. xxxxx di sini. Selamat pagi....

Ya, selamat pagi. Saya mo bicara sama Ibu Dina. Bisa disambungkan ke beliau.

Maaf Pak, ini dari mana dan dengan siapa ?

Ini dari Kantor xxxxxx, tolong sambungkan saya ke Dina ya. Agak penting untuk saya....

Baik Pak, ini dengan Bapak siapa ?

Oh, perkenalkan ! Nama saya haitami...ini dengan Mba siapa ?

Baik Pak, nama saya Anita. Akan saya sambungkan sece....

Hi, tunggu Mba Anita. Mba gak mo nyambut uluran tangan saya ?

Tiba – tiba saja nada sambung menyumbat ucap saya......

Mudah untuk saya memperkenalkan diri. Sebut saja nama saya dan orang akan mengenal saya dengan identifikasi sebuah nama. Lebih daripada itu, akan banyak waktu. Mulai dari yang bersifat identity hingga personality.

Akan banyak kebersamaan, duduk bersama menikmati kopi atau dalam waktu yang entah. Hingga kita merasa mengetahui siapa dia oleh saya, atau siapa saya oleh dia. Mudah. Interaksi kebersamaan yang berkesinambungan menancapkan sekian titik kesimpulan terhadap orang lain.

Berkaitan dengan ' tak kenal, maka tak sayang ' :
Apakah dengan dialog di atas saya bisa mengatakan bahwa orang tersebut akan menyayangi saya ataukah sebaliknya, saya yakin masih belum bisa ada kesimpulan dari seorang Anita untuk menganalisa bagaimana saya. Masih banyak hal yang harus saya komunikasikan, masih banyak hal yang harus saya perlihatkan pada seorang Anita sebagai bagian dari proses sosial.

Jadi ?
Pada dasarnya proses pengenalan individu terhadap individu lain menurut saya akan terpengaruh pada jarak, intensitas waktu, qualitas interaksi antar dua individu tersebut.

Saya sendiri menempatkan jarak sebagai factor yang mempengaruhi kemampuan kita terhadap seseorang adalah dikarenakan jarak menciptakan ruang antar personal, betapapun tingginya intensitas komunikasi dan besarnya qualitas interaksi, masih memungkinkan terciptanya bias kesimpulan. Bagaimana tidak, jarak memungkinkan setiap manusia menggunakan masquerade dalam interaksinya.
Berkaitan dengan kemanusiaan kita masing – masing akhirnya ya ?

Intensitas waktu bagi saya adalah factor yang memberikan setiap manusia kesempatan semakin memperdalam analisa data terhadap input yang masuk kepadanya, semakin tinggi intensitas waktu interaksi akan menciptakan titik – titik kesimpulan yang banyak dalam ‘ kotak hitam ‘ di diri kita, sehingga memungkinkan kita lebih terlihat realistis dalam memutuskan sebuah reaksi terhadap seseorang.

Dan terakhir adalah qualitas interaksi. Begitu mendalamnya kesan kita terhadap seseorang lebih sering dikarenakan qualitas interaksi yang sangat baik. Sehingga saya menempatkan qualitas interaksi ini sebagai factor yang cukup memberikan pengaruh pada kemampuan kita mengenal individu lain di luar kita.

Baiklah. Saya tidak akan membahas ini menjadi panjang, karena saya hanya ingin focus pada idiom ' tak kenal, maka tak sayang '.
‘ Tak sayang ‘ atau menyayangi – akhirnya - sendiri merupakan pilihan yang muncul sebagai reaksi terhadap proses pengenalan kita. Dan ini pun memiliki tingkatan yang berdasar pada reaksi seorang individu. Kemampuan ia menganalisa data dari sebuah diri dan mengakibatkan ia menciptakan banyak kesimpulan terhadap manusia – manusia lain di luarnya.

Tentu saja mengenal seseorang tidak terlalu memerlukan sebuah keahlian, karena ( lagi ) menurut saya pribadi - ini semacam naluri seorang manusia yang ia mencoba beradaptasi pada sebuah output dari luar. Terhadap segala bentuk informasi. Tak terkecuali kehadiran individu baru dalam adaptasi di suatu lingkungan.

Di suatu lingkungan social yang mempunyai tatanan, sadar atau tidak kita akan menciptakan area – area di dalam diri. Hal ini yang oleh Joseph Luth dan Harrington dikenalkan sebagai konsep Johari Windows. Terbagi dalam dua ruang yang di mana masing – masingnya memiliki sekat – sekat yang sebagai berikut :

1. Ranah terbuka ( diketahui oleh orang lain )
  • - Publik area
  • - Blind area
2. Ranah tertutup ( tidak ketahui oleh orang lain )
  • - Hidden Area
  • - Unsconscious Area

Mohon maaf, pembahasan ini akan menjadi rumit. Saya hanya mengkhususkan pembahasan pada area terbuka, sebagai manifestasi dari kemampuan seseorang mengenal orang lain. Di sini saya memperlihatkan betapa setiap individu mempunyai area terbuka yang di sana kita bisa mengambil data dan menganalisanya hingga masuk menjadi sebuah kesimpulan terhadap pengenalan kita kepada orang tersebut. Besar kecilnya setiap area akan mempengaruhi output yang keluar dari masing – masing individu.

Lantas apa hubungannya dengan bahasan ' tak kenal, maka tak sayang ' ?
Bisa dibilang satu korelasinya adalah besar - kecil area yang terbuka maupun tertutup di sebuah diri akan memberikan kita kesempatan mengenal seseorang. Akan semakin besar maupun kecil pula kemampuan kita menciptakan sebuah rasa ( kesimpulan lantas reaksi ). Sayang, benci, dan rasa lainnya. Bahkan sebuah cinta.

Pada dasarnya, ' tak kenal maka tak sayang ' lebih bersifat sebagai hubungan timbal – balik dalam interaksi.
Saya tak bisa mengatakan saya mengenal seseorang dan lantas menyatakan saya sayang atau apapun padanya bilamana orang tersebut tidak memberikan ruang yang sesuai kemampuan saya mengenalnya, dan memberikan saya satu ‘ kesepakatan ‘ bahwa ia menghadirkan sosok yang pantas disayangi dan saya ‘ mendewasa diri ‘ menyambutnya sebagai respect, ia memang seorang yang harus saya sayang.

Hingga akhirnya, idiom ‘ tak kenal, maka tak sayang ‘ merubah bentuk menjadi
: ‘ mari kita saling mengenal, karena dengan begitu kita akan saling menyayangi ‘.


.

Juni 16, 2010

Pembahasan tentang diri saya pribadi

Bila menurut seorang sahabat saya di MP ini : bahwa ia tidak bertanggung jawab terhadap isi kepala ( pikiran ) orang lain – yang ia tuliskan dengan sangat baik hingga saya mengerti dan memahami itu menjadi pilihannya dalam bersikap - bagi saya sekarang itu ada sekali benarnya. Dalam artian saya bisa saja memberlakukan itu pada situasi yang saya anggap mempersulit pikiran saya. Ini berkaitan dengan kadar melankolic saya yang terlampau besar, sehingga saya sangat terganggu sekali pada pandang orang lain tentang saya maupun sikap orang lain ( sahabat ) pada diri saya.

Sekedar contoh : Saya sensitive sekali bila mengetahui seseorang atau banyak orang memandang atau memberlakukan saya dengan sikap marah, lantas saya tak mengetahui apa kesalahan yang saya perbuat atau saya merasa tak termaafkan oleh sesuatu hal dari diri saya, entah apakah itu sikap, ucap, keputusan, ataupun posisi saya.

Ini menjadi siksa bagi saya pribadi. Karena pada dasarnya saya adalah seorang yang dengan mudah menyerap sikap – sikap, ide – ide, atopun feedback dari individu – individu lain di luar saya. Sehingga kesepahaman atau paling tidak kemakluman pada individu adalah semacam pengharapan pula dari saya terhadap individu lain. Semacam umpan balik yang rata. Bila jalinan antara saya dan individu lain retak, maka akan ada semacam ketidakseimbangan di diri saya pribadi, entah dengan individu lain yang terikat jalinan ( sahabat, keluarga, sosial lainnya – baik dunia nyata maupun dunia maya ) tersebut dengan saya, saya sungguh tak tahu.

Inilah analisa saya terhadap diri pribadi dari apa yang saya coba saya pahami.
Terlalu narsis ya ?
…hehehe

Yaps, saya hanya mencoba menalar dari awal persepsi yang terbentuk sedemikian rupa, judgement yang saya tanamkan dalam jiwa, dan sikap yang seringkali saya lakukan setelah proses di dalam diri sendiri.

Nah, kembali pada persoalan di atas – bahwa saya bisa saja memberlakukan kalimat itu dalam pikiran saya. Semacam doktrin yang coba saya tancapkan pada otak saya, meskipun saya mengetahui persis kadang pikiran tak bisa mengajak hati dan tubuh berjalan secara beriringan.
Saya bisa egois dengan mengatakan bahwa : Loe mo marah, loe mo benci, loe mo sedih, itu masalah loe….
Tapi nyatanya hati saya lantas menggugat : tidakkah kau ingin lebih tau dia marah karena apa ? benci karena apa ?
atau tidakkah kau ingin ia menceritakan kenapa ia bersedih ?

Gumpalan bentuk tanda tanya yang bukan saja karena keinginan tahu, tapi semacam tuntutan jiwa sebagai bagian dari instropeksi diri bila itu berkaitan dengan diri sendiri, dan bila tidak, maka akan muncul semacam rasa keinginan untuk memproyeksikan diri sebagai seorang sahabat, seorang keluarga, seorang individu yang baik dalam tatanan sosial dengan berusaha masuk dalam usaha mengerti dan usaha find of solution.

Sehingga muncul sikap yang entah apakah saya akan menjadi egois dengan menurutkan pikiran yang terdoktrin seperti yang saya jelaskan di atas, atau sikap yang muncul karena terbawa dari sebuah hati ? Tergantung dari proses dari dalam diri saya pribadi sebenarnya, dan sayapun kadang tak menyadari hingga keputusan ( sikap ) tersebut terlaksanakan. Hingga muncul rasa puas, berhasil atau menyesal nantinya….

Wah, ini terlalu rumit ya ?
Semoga saja tidak, karena dari sini saya akan juga mencoba menjelaskan bahwa kadang retorika itu sama sekali tak benar atau jatuh karena tak berdasar. Dalam artian persepsi ( saya senang menggunakan kata ‘ sensitive ‘ sebagai ganti ) saya, berproses pada judgement saya dalam alam bawah sadar, yang kemudian membentuk sebuah sikap itu sama sekali tak menemukan muaranya. Maksud saya ini berkaitan dengan individu lain yang berada di luar diri. Jadi kadang bentuk proses di dalam diri ini ternyata tak mendapat kesepahaman oleh orang lain.

Analoginya adalah :
Pada suatu saat saya menemukan sebuah tanda ( isyarat ) dari individu lain yang lantas persepsi ( sensitive ) saya menjelaskan ‘ ia marah ‘ pada saya. Judgement saya bisa memilih keegoisan diri atau hati saya akan memenangkan perang bathin – tentu saja dengan berbagai analisa – analisa cepat tentang kemungkinan – kemungkinan alasan yang melatarbelakangi, dan bila ini benar maka sikap saya lantas muncul sebagai bentuk minta maaf.
Saya konfirmasi dalam bentuk pesan, dalam bentuk ucap langsung face to face, dan langkah lainnya.

Nyatanya ?
Individu lain tersebut lantas memunculkan feedback : Lho, saya marah apa ? Lho, saya tidak marah kok. Siapa yang marah ?
Atau : Iya, saya marah karena…..sesuatu hal yang luput dari analisa saya, apakah karena sesuatu yang lain dari saya, atau karena sesuatu dari individu lain maupun lingkungan orang tersebut.

Nah lo ?

Hehehehe, begitulah. Intinya saya makhluk yang cukup rumit. Bisa dikatakan a someone who predictable but he can't doing prediction with other
; semoga gak salah bahasa enlizzzzznya

Inilah saya yang pribadinya mempunyai masalah, dan tepat berada pada sinkronisasi antara jiwa saya dengan ‘ orang lain terhadap saya ‘. Semoga dengan begini ada yang cukup mengerti siapa saya.
Berharap….

Cukup. Hingga di sini dulu. Nanti saja saya lanjut lagi pembahasan tentang diri, karena saya juga tertarik untuk membahas orang lain dalam sudut pandang psikologi seorang saya, meskipun nanti akan terlihat subjective, karena ini menjadi penting saya tuliskan sebagai bentuk pengenalan diri saya kepada orang lain.

Juni 13, 2010

Pulang untuk harapan itu......



Saat ini saya berada di sebuah kamp di daerah Kalimantan Timur. Masih belum ada access Darat yang mencapai langsung ke lokasi saya. Dan perjalanan transportasi air pun jalan terdekat adalah hingga Dermaga perusahaan yang akan menempuh 30 menit ke kamp saya.
Ah, dekat saja ?
Hm, iya dekat….tapi bagaimana pencapaian ke Dermaga tersebut, maka jangan terkejut bila saya katakan kalian harus menempuh 3 jam bila menggunakan Speed Boat dari sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kertanegara ( Kotabangun ) atau akan menempuh 1 hari penuh bila fasilitas yang anda gunakan adalah perahu bermotor ( kapal motor yang biasa digunakan oleh Nelayan kita ).
Lalu Kotabangun itu apa ? Kotabangun adalah sebuah kecamatan di Kutai Kertanegara yang bila menggunakan kalkulasi waktu akan mencapai 3 jam perjalanan dari Tenggarong ( relative ).
Nah, bagaimana bila perahu bermotor anda – dari yang saya tau, dulu transportasi menggunakan kapal bermotor selalu ramai digunakan di sini karena Kalimantan Timur sangat lamban dalam hal pembangunan infrastructure jalan, terutama yang menuju ke jalur daerah hulu sungai Mahakam dan anak sungainya – berangkat dari Samarinda ?
Niscaya kalian akan menemukan diri + 24 jam di atas kapal. Dan itu sama halnya dengan naik Bis dari Samarinda ke Banjarmasin Kal – Sel.



Cukup. Ini saja dulu gambaran tanah para pekerja, yang oleh Saudara ( adik ) saya katakan bahwa ini adalah ' Nusakambangan '.

Mengapa saya menuliskan :
where is my work,
where is my live for a while…..or forever ? I don’t know

Saya besok akan ( kembali ) ke Banjarmasin. Cukup aneh setelah apa yang saya tuliskan tentang ‘ Pulang, Rumah, dan Kampung halaman ? '
Yang pasti - InsyaAllah, bila memang langkah ini adalah bagian dari takdir kebaikan bagi saya, maka perjalanan besok adalah sebuah perjuangan terhadap asa yang saya simpan dia dalam redup do’a saya. Agak malu sebenarnya menyapa Tuhan hanya dengan keinginan tentang harapan itu.

Dan mengapa saya menjelaskan lokasi terpencil saya ?
……karena cerita keterpencilan inilah yang saya maklumatkan pada sebuah ikhtiar oleh keluarga, bahwa perkenan saya ingin : siapa saya, dimana saya dan bagaimana kehidupan saya haruslah diperjelas pada ‘ia’. Selain saya juga ingin pakaian hijab yang tersempurnakan.



Bila ada beberapa yang mengerti akan tulisan ini saya ucapkan terima kasih. Secara nyata takkan saya ungkapkan karena saya masih menapak pada langkah pertama sebagai bagian langkah sesuai syariat yang saya ambil.
Saya pulang, saya bertemu untuk pertama kali, dan saya kembali lagi ke kamp saya - tempat kehidupan saya yang InsyaAllah sudah saya siapkan pula untuk seseorang yang bersedia berkawan, bersedia berjuang, bersedia bersama – sama membangun masa depan.

Ini sebenarnya tulisan sederhana, tentang harapan. Dan tanpa bermaksud mendahului dari apa yang - InsyaAllah ditakdirkan, saya berharap ini adalah yang terbaik bagi seorang saya. Setidaknya langkah ini adalah ikhtiar saya - lagi - untuk harapan itu, dan saya ingin menjadikan ini sebagai cerita ( prasasti ) yang saya tuliskan di halaman ini.

Juni 12, 2010

wilted flower



Kemaren hari bunga itu sedikit layu, dan kemaren hari itu pula saya kasih air dia.
Pagi tadi bunga itu masih layu, dan saya bertanya kenapa padanya ?

Lantas bunga itu bercerita tentang sebuah taman, tempat ia bersemai dengan beberapa kawan. Ia bertutur keluh dan ia bertutur asa yang putus.

Saya tak mengerti,
Tapi tiba – tiba bunga itu mengisyaratkan gerak lambai. Ada seekor kumbang melintas. Bunga itu terus bergerak, isyarat lemah sebuah niscaya. Kumbang itu berlalu tanpa pandang yang tertinggal pada sang bunga.

Kemana kumbang itu ?
Bunga itu semakin layu, dan bertutur lagi tentang sebuah taman tempat ia dan beberapa kawan bersemai.

Dulu

Dan kini kelopaknya jatuh satu - persatu

Skeptis dan Pesimistis

Saya tak pernah peduli pada apa yang telah orang ceritakan tentang saya.
Sebenarnya saya bukan orang yang penuh perhatian, sebenarnya pula saya bukan orang yang dewasa sekali.

Saya tidak punya apapun yang bisa saya banggakan. Saya belajar untuk tidak punya harapan. Saya belajar untuk tidak terlalu berharap mengenai apapun…..


Apakah dengan begini saya bisa disebut seorang ' skeptic and pessimistic ' ?

Juni 08, 2010

Konsep Perspektif Psikologi

Psikologi mempunyai beberapa perspektif yang di antaranya adalah perspektif Kognitif, yang berdasarkan filosofi rasionalistik, percaya bahwa akal dapat menciptakan pengetahuan. Sekalipun konsep awalnya berasal dari pengalaman, tetapi seringkali ia berbeda dari tanggapan semula. Artinya, ada proses mental dimana konsep yang abstrak dikonstruksikan. Laiknya sebuah komputer, maka lingkungan menyuplai input, yang kemudian ditransformasikan (menjadi konsep/ kategori), disimpan, dan selanjutnya diretrivasi menggunakan beragam program mental hingga keluar respon sebagai ouput-nya.
Dalam kajian kotemporer, aliran ini memandang bahwa cara orang berfikir dan konsep-konsep yang mereka pegangi tentang keadaan takut atau senang, memainkan peran substansial dalam pembentukan emosi.
Hal yang justru berbeda sudut pandang dengan perspektif yang dikembangkan oleh John Watson ( perspektif behavioris ) yang percaya bahwa jiwa memiliki kebebasan untuk berfikir dan memilih, sementara tubuh dikuasai oleh hukum-hukum alam.


Nah lo ?

Hehehehehe....silahkan mempelajari tentang konsep ini di sini ya

Juni 07, 2010

absurdities perempuan

Pada saat perempuan mengatakan ia masih ingin sendiri dan tidak ingin ( /akan ) menikah, maka saya menyakini ada absurdities yang coba diruntuhkan sendiri oleh perempuan tersebut di dalam ke-humanisme-annya sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi ini. Dan saya sendiri tak mengetahui mengapa ?, - mungkin – sama halnya saat Bandung Bondowoso ditantang seribu candi oleh Loro Jonggrang, toch ia bisa memilih…..pergi atau ‘ membantu ‘ Loro Jonggrang kembali pada fitrahnya dengan melaksanakan kemustahilan dibangunnya seribu candi dalam satu malam……..

Meskipun sang ksatria akhirnya gagal juga….dan Dewi Loro abadi dalam keputusan.
Bandung Bondowoso tak menemukan jawab dalam kesombongannya : mengapa ?


Hehehehe...gak jelas kan ? :D

Juni 06, 2010

Sekadar tanya - tentang rindu, pulang.....atau kesadaran akan waktu yang entah

Apa yang memanggilmu merindu
Sekadar kepulangan yang mungkin
Di detik waktu berjalan
Bilangan minus
Ataukah hati lupa ini, akan hakikat masing – masing diri berada ‘ di sini ‘ ?