Powered By Blogger

Januari 19, 2011

sakit

.


Istri saya sakit. Badannya panas, sangat panas sehingga ia berair mata menahan demam itu. Selimut tebal dan kegelisahan. Sementara sepanjang hari hujan gerimis. Ia begitu menggigil kedinginan…..

Langkah terbaik adalah membawa ke klinik, jam 4 sore. Di sela – sela gerutuan Dokter yang menyayangkan keterlambatan saya mengajak ‘ yang tercinta ‘ ke dia, masih saya harapkan advice yang baik bagi istri saya. Istirahat, perbanyak minum, dan minum obat. Tawaran untuk disuntik ditolak halus oleh ‘ yang tersayang ‘, dan saya tahu persis jawaban ini karena Ibu Mertua sempat menempatkan ini sebagai salah satu kebiasaan atau bisa dikatakan sesuatu yang ‘ susah ‘ dengan istri saya. Ya begitulah, sangat takut disuntik dan sangat tidak menyukai minum obat, kolaborasi yang cukup hebat untuk prihatin.
' Bagaimana mo cepat sembuh wahai kekasihku ? ', ucap hati yang dalam.

Dan malam ini, ba’da maghrib saya memintanya tetap berbaring sembari saya mengucapkan niat ingin memanaskan lauk yang ada. Sayur bening, kornet, dan telor ceplok. Ia ingin bangun segera, tapi saya pertahankan agar ia tetap berbaring. Tak boleh memaksakan diri, karena saya tahu persis itu tidak mungkin….
Matanya masih ber-air karena demam.

Saya mencintai istri saya.

Setelah selesai menyiapkan segala sesuatu, saya ‘ memaksa ‘ ( Hm, atau lebih baik saya katakan saya merayu ) untuk ia ikut makan. Menolak, tapi saya berkeras. Saya ingin ditemani dan sepertinya kalimat ini berhasil baginya untuk bersedia dihidangkan sedikit nasi, sayur bening yang cukup hangat dengan labu dan kacang panjang serta timun yang menjadi semaraknya. Telor ceplok, Kornet, dan ikan asin. Alhamdulillah, meskipun hanya beberapa sendok tapi itu sangat baik untuk saya lihat setelah mengetahui ia hanya makan satu kali di pagi hari tadi.

Saya menyayangi istri saya.

Tantangan terakhir adalah minum obat, cukup ada usaha penolakan halus dari tubuh yang berselimut jaket di hadapan saya, tapi saya tetap memandangnya, mencoba mengatakan ini akan menjadi baik baginya. Akhirnya, gelas teh itu terangkat dengan hati – hati dan 3 kapsul obat perlahan ia teguk satu persatu.

Saya mencintai dan menyayangi istri saya.

Ia yang tersayang kini sakit, dan saya berjanji untuk menemaninya. Hingga akhir pekan sekaligus membatalkan rencana perjalanan ke Samarinda dan Balikpapan.

' Gak papa Dik, masih ada kesempatan depan buat kita berakhir pekan di Kota. Kesembuhanmu adalah hal terbaik dalam rentang kebersamaan yang muda ini. Semoga sehat kembali seperti sedia kala…. '

Kamp yang berkabut dan dingin


.

Januari 14, 2011

Rumah oh Rumah

.


Dulu, saat saya menolak fasilitas rumah baru oleh perusahaan yang sebenarnya adalah rumah standart untuk penempatan saya murni dikarenakan pertimbangan rasa sepi dan untuk kebaikan diri sendiri. Bagaimana tidak, rumah tersebut berada dalam satu lokasi tersendiri bersama beberapa rumah baru lainnya yang diperuntukkan kepada staff Central Office. Kantor tempat saya dan banyak staff lainnya biasa beraktifitas.
Namun justru oleh karena itu saya menolak. Saya tidak ingin sosialisasi saya begitu sempit. Sudah bertemu di kantor, lah bertemu lagi sebagai tetangga rumah.
Terlebih saya masih bujang saat itu, jadi perlu keramaian selain teman – teman kantor.

Di kantor sering kami bercanda : “ Eh, ketemu lagi “,
( Apa saya mesti bercanda seperti itu juga bila bertemu di samping rumah, gak lagi dach )

Kalimat yang biasa untuk kejenuhan sebenarnya. Dunia kamp hanya terdiri dari beratus – ratus wajah manusia yang tak pernah berganti dalam rentang bulan. Perubahan begitu lamban di sini, yang ada hanyalah wajah pekerja baru atau kelahiran baru. Dan minusnya adalah arus keluar karyawan.
Tidak seperti di kota yang setiap hari bila sedikit meluangkan waktu kita bisa berada dalam situasi yang melihat wajah – wajah berbeda. Nongkrong di pinggir jalan, nangkring di mall, dan hinggap di jendela…Eh, gak….maksud saya, di kota lebih banyak kesempatan bagi kita untuk refresh dengan melihat hal yang berbeda. Tentu saja kan….. ?

Selain itu, lokasi perumahan itu lokasi tersendiri dari perumahan karyawan yang sudah ada. Sedikit berada di balik bukit kecil, sehingga untuk benar – benar berada dalam keramaian kamp harus berjalan menyusuri jalan dan menuruni tanjakan untuk bertemu dengan perumahan karyawan lainnya. Semacam perbedaan dan saya tidak terlalu sreg meskipun dibilang tidak juga menggugat, karena hal seperti ini sudah biasa. Lihat saja perumahan karyawan dalam lingkungan PN. Timah seperti di film Laskar Pelanginya Andrea Hirata. Perumahan Pertamina di lokasi explore-nya. Atau bila melihat yang agak dekat, bisa kok dilihat dari perumahan tentara dalam sebuah resimen atau batalyon. Beda kan antara lokasi perumahan perwira menengah ( Pamen ) dengan Bintara atau tamtama ?
Lebih lagi bila melihat rumah komandan, wah…benar – benar menyendiri tuch

Biasa saja kok

Tapi jujur, saat menolak itu, maka pertimbangan saya memang sedikit kekanakan, sunyi. Terlebih di rumah ( barrack ) yang saya tempati sekarang saya merasa sudah mendapat kebaikan dari tetangga yang notabene sudah berumah tangga. Paling tidak ada sajalah hantaran lauk atau bantuan mengangkat jemuran bila hujan tiba – tiba, sementara saya masih di kantor.

Itu saat saya sendiri lho, dan sekarang ketika ada istripun tetap sama. Gak berubah. Eh, maksud saya, saya gak menyesali memutuskan menolak itu. Lha wong istri saya makhfum kok ketika saya jelaskan perihal ini. Bercerita saja saya bahwa dulu Abang ( Hehehehehehe, bahasa Abang itu lho ) dapet rumah yang bagus sebenarnya. Sempat juga saya ajak ia ke lokasi menyendiri itu sambil bersilaturrahmi ke beberapa rekan kerja. Dan senangnya, ia sependapat kok dengan saya…..

Saat ini kami meninggali sebuah long house dengan 4 pintu yang masing – masingnya hanya tersekat oleh dinding. Dengan status saya saat ini bisa dikatakan semua 4 pintu itu sudah terisi dengan karyawan yang berkeluarga. Di pintu 1 ada seorang yang saya panggil Ka Muhadi, berasal dari Makassar dengan istri yang berasal dari Palu. Bekerja sebagai Mandor panen di lahan Divisi 03, pintu kedua saya dan istri, satu –satunya staff dan bekerja di kantor Central, di kiri saya atau pintu ketiga ada Alfian dan istri serta 2 orang anak mereka. Operator Grader dan Ibu Rumah tangga. Kolaborasi Kutai dan Dayak Tunjung menjadikan istri saya merasa terkawani karena mereka cukup mengerti sekali dengan bahasa banjar yang dilafalkan oleh istri. Dan terakhir adalah Ramto, seorang Jawa Tengah dengan 1 istri dan 1 anak dengan kerja sebagai Krani Panen.

Alhasil dalam rentang waktu hampir dua bulan ini saya mampu menempatkan istri saya dalam sosialisasi yang menurut saya baik baginya. Tidak berada dalam lingkungan yang bisa jadi membuat ia tidak betah karena sunyi, terbatas atau apapun. Di long house ini komunikasi begitu berwarna, karena latar belakang kerja yang berbeda, sehingga pengenalan istri saya dengan Ibu – Ibu lainpun lebih berkembang. Buktinya saat ini istri saya dengan riang gembiranya ikut Yasinan, berjalan kaki menapaki rumah – rumah karyawan yang berbeda di saban rabu malam tiap minggunya.

Tapi ada sedikit pikiran juga. Tahun ini saya sengaja memasukkan anggaran pemenuhan furniture complete untuk saya. Approved, Alhamdulillah senangnya dan langsung pusing tiba – tiba ketika istri saya bertanya barang macam mana saja, sadarlah saya bahwa tempat tinggal ini tak cukup lagi menampung segala macam atribut mulai dari tempat tidur, lemari, kulkas hingga kebutuhan alat dapur itu. Terlebih listrik gak bakalan nahan bila ditambahin AC….

Manyun, ditambah kenyataan minggu kemaren Ka Muhadi diperintahkan pindah rumah oleh Assistantnya.

Ah, Bingung akhirnya. Rumah oh Rumah

.

( Cerpen ) Sani Amalia Zahra

.



Orang bilang waktu akan menyembuhkan luka, tapi baginya akan membutuhkan tidak hanya sekedar masa untuk melupakan, tapi kehadiran seseorang yang menyembuhkan dan membuatnya kuat……..
Termasuk untuk membahagiakan anak perempuan yang masih berumur 4 tahun. Si kecil Nayla.
Dan ia memang bukan seorang perempuan biasa. Meskipun tidak juga terlampau hebat. Setidaknya itu saya nilai bila melihat ia menangis di bahu kakak saya. Dulu. Saat pertama ia bergulat dalam kehidupan yang asing baginya. Sepertinya…..

Saya mengenalnya tidak secara langsung. Apa yang terjadi dan pernah ia jalani adalah sebuah cerita dari seorang Kakak yang menemani saya dalam obrolan hangat. Berkumpul dalam kebersamaan ruang makan maupun saat santai di ruang tamu. Bukan hanya saya, dan cerita inipun bukan untuk saya. Tapi lebih ditunjukkan kepada Mas Iwan, suaminya. Sementara saya hanyalah pendengar yang baik, kadang turut dalam obrolan dan di lain waktu hanya sebagai pendengar di meja makan sembari membuka notebook dan ramai dengan dunia maya.

Sani Amalia Zahra. Perempuan muda yang terlahir dalam lingkungan keluarga broken home. Keluarga yang sebenarnya sangat mampu. Tapi bukankah rumah tangga tak melulu bisa rekat karena harta, terlebih bila itu adalah penyatuan egoisme yang kuat di antara keluarga kaya raya.

Dan Lia adalah salah satu korbannya. Bersama dua orang Abangnya, mereka menjadi hancur ketika mendapati keretakan yang tak tersembuhkan dalam sebuah rumah tangga. Perceraian. Hingga membuatnya menjadi sosok pemalu, minder, dan hal lain yang mempengaruhi psikologisnya.

Dunia luar membuat mereka mulai mengenal glamour. Narkoba menjadi bagian sensasi hidup.

Satu saudaranya yang tertua tewas dalam penggerebekan di sebuah lokasi judi dan maksiat, kumpulan sindikat dan perlawanan yang dilakukan cukup bagi polisi untuk menghabisi sang Abang di tempat kejadian dengan satu timah panas di dada, sementara yang kedua masih bernaung dalam proses penyembuhan di sebuah rumah sakit jiwa karena kecanduan yang akut dan cenderung gila.

Lia sendiri, ia hamil dari pergaulan bebas kumpulan sosial kampusnya. Anak baru yang teracuni oleh gemerlap dunia kampus yang mewah. Obat – obatan dan Narkoba sesuatu yang biasa.

Lantas Lia yang hancur karena ketidakpedulian dari keluarga dan lambat laun kian diasingkan oleh sosial sendiri karena masih berusaha kuat untuk tetap bertahan pada kehamilannya semakin tersudut dalam kehidupan yang membuatnya seringkali menyendiri sepi. Mempertahankan bayinya, meskipun tanpa tuntutan akan sebuah tanggung jawab dari seorang laki – laki yang menurutnya,dialah yang menjadi bagian dari tercipta benih di rahimnya…

“ Ia tersadar akan sesuatu saat merasa ada kehidupan dalam perutnya Mas, tapi saat itu juga merasa lelah untuk meminta pertanggung jawaban…. “, kalimat kakak suatu ketika.

Lia bertemu Kakak di sebuah mesjid saat Kakak dan beberapa Ibu berkumpul dalam rapat sebuah acara pengajian. Memohon pertolongan dengan kondisi yang lemah dan memprihatinkan. Saat itulah Kakak berhubungan sangat intenst dengan Lia. Sebuah rumah petak tersewa dan sedikit sumbangsih dari rekan – rekan sejawat Kakak, upaya penyembuhan berlangsung, hingga pada proses mediasi mengembalikan Lia kepada keluarga gagal karena feedback dari keluarga yang dirasa tak baik bagi Lia nantinya membuat ia tetap dipertahankan dalam asuhan bersama.

Si kecil Nayla yang lahir sehat kian beranjak bertambah usia dan Lia yang sudah berjilbab lebar kini menjadi bagian dari proyek kumpulan pengajian yang membuat Unit kerja rumah tangga, semacam usaha kecil yang mewadahi hasil kreatifitas Ibu - ibu. Lia bekerja sebagai marketing dalam hal ini, dipercayakan oleh mereka sebagai orang yang memanage usaha kecil bersama ini. Prospek yang cerah karena Lia sendiri mampu menjalankannya hingga beberapa kali mengikuti pameran dan omzet penjualan yang meningkat dari bulan ke bulan….

“ Jujur, saya kagum dengannya Mas, ia sangat berubah. Kepercayaan kami ia bayar dengan amanah yang tinggi. Meskipun sebenarnya saya dan Ibu Retno terkadang mendapati ia menangis sendiri…..”

“ Maksud Ummi ? “, Abang ipar saya mengeryit alis dan benar – benar menghentikan aktifitas notebooknya.

“ Iya, ia sering menangis. Saat bermain – main bersama Nayla, juga saat ia dalam kesendirian. Saya dan Ibu Retno pernah mengejar tanya ini dengannya…ia hanya bilang mohon untuk dimengerti…. “, Kakak saya duduk di hadapan suaminya sembari menuangkan teh hangat. Saat itu meja makan terasa lapang dalam suasana sore akhir pekan. Saya berada di ujung meja dengan notebook dan dunia maya yang menemani.

“ Lalu ? “, Mas Iwan semakin mendalami

“ Hm, mungkin karena penyesalan Mas. Nayla sedang lucu – lucunya, tapi justru itulah, yang hidup dari masa lalu dan mampu kembali mengingatkan.….. “, Kakak berucap dengan mimik sungguh – sungguh. “ Saya dan Bu Retno kadang merasa ini tak baik baginya, lantas berpikir apakah baik bagi kami mencarikan seseorang yang bisa menjadi imam dan lebih membantunya untuk berjuang melupakan masa lalu…. “

Mas Iwan terdiam, dan merubah posisi sedikit ke arah saya sembari mengisyaratkan sesuatu kepada istrinya….

“ Fajar, bagaimana ? “, tiba – tiba Kakak mengajukan tanya yang tentu saja saya mengerti maksudnya apa….

“ Eh, lah…kok tiba – tiba ke saya itu lho Kak “, saya defensive dan berusaha berkilah arah. Mas Iwan tertawa di iringi senyum Kakak saya sendiri…

“ Takutkah kau Jar ?! “, lagi. Dan saya tak tahu ini bersifat tanya ataukah tantangan yang tak perlu dijawab kata - kata. Saya memilih pergi, menjauh dari ruang tengah dan meja makan itu. Meninggalkan Kakak dan Abang Ipar yang tersenyum penuh kemenangan karena kembali berhasil mengingatkan soal capaian separuh dien saya.

Pergi ke kamar, kemudian melanjutkan cerita ini. Tentang Sani Amalia Zahra. Seorang perempuan berdarah Aceh dan Sunda. 28 tahun. Dan anaknya, Nayla yang kini sangat cantik, berumur 4 tahun dan sudah mampu sedikit bernyanyi.

Hm, ya…… mungkin memang akan membutuhkan tidak hanya sekedar masa untuk melupakan, tapi kehadiran seseorang yang menyembuhkan dan membuatnya kuat……..

Ia dan anaknya


.