Powered By Blogger

April 25, 2011

Sigh

.


Saya tidak pernah menceritakan dengan baik pada istri saya tentang siapa saya di kantor. Saya hanya mengatakan saya hanya seorang employee yang biasa sekali. Tidak ada sesuatu yang penting atau sesuatu yang pantas diomong besarkan. Malah seringkali hanya membahasakan bagai seorang pesuruh saja. Di minta mengerjakan ini, hayuk. Diperintahkan itu, ya laksanakan. Ujung – ujungnya seringkali kata buruh kebun terlontar sebagai kesimpulan yang saya buat sendiri.

Dan istri selalu diam. Entah dia lantas berpikir bahwa itu kenyataannya, saya tidak peduli. Apakah dia berpikir suaminya yang terlalu merendah, bahkan dihadapan ia yang istri sekalipun, ah saya pun tak peduli. Yang pasti ia tahu gaji saya berapa, tunjangan saya berapa, Pph 21 saya berapa ataupun potongan asuransi dan pulsa maupun flash saya berapa.....

Saya sengaja membahasakan seperti itu, meskipun di sisi lainnya saya selalu mendeskripsikan dengan baik posisi dan jenis pekerjaan teman – teman lain yang saya memperkenalkan padanya, atau menceritakan padanya beberapa staff yang sesekali bertegur sapa di lapangan, saat jalan bersama akhir pekan dengannya.

Dari sini saya mencoba menerka : bagaimana ya tanggapan pembaca tulisan ini dengan sikap saya......

Terus, setiap kali ada acara kantor atau beberapa kawan, saya hampir selalu datang sendirian. Tanpa istri. Bila ini saya tentu tak ingin disalahkan sendiri, karena istri saya pun ikut andil kenapa saya hampir selalu begitu. Ia tidak mau ikut. Sederhana sekali.....

Lalu, istri sayapun tiap kali yasinan selalu menyakinkan saya bahwa ia bukan siapa – siapa di kumpulan Ibu – Ibu itu, meskipun sebagai alumni pesantren di Martapura yang selalu membawa kitab wirid Guru Sekumpul itu ia selalu terlihat paling anggun. Jangan marah, ini adalah hak saya mengatakan seperti itu, karena yang saya bicarakan ini adalah istri saya sendiri, dan yang penting lagi ini adalah tulisan saya.....

Saya seorang buruh saja dan istri saya pun hanya istri seorang buruh. Cukup indah sekali bukan ?

Sekarang suasana di kantor cukup menegangkan. Karena para karyawan hampir memutuskan untuk mogok kerja karena penyesuaian basic salary dengan UMK KuKar kok rada gak terlalu menyenangkan untuk diterima. Rame mereka mengembalikan SK penyesuaian grade dan basic yang sebelumnya dibagikan. Hingga deadline satu minggu ingin ada keputusan, jadi macam ancaman untuk harus ada yang dilakukan. Bukan saya, tapi orang yang jauh di atas saya, lha wong saya cuman buruh saja kok, tapi sejumlah telepon, sms, cukup mengganggu. Benar – benar mengganggu, dan kita harus selalu berbaik – baik kata untuk memberi penjelasan yang mendinginkan suasana. Belum lagi beberapa yang hadir bertatap muka dengan tampang yang begitu ingin cari perkara saja. Sementara pihak HR Department seperti orang bisu yang di ajak bicara, mengatakan kebijaksanaan ini sudah diputuskan hingga tingkatan BoD, menyedihkan.

Bingung. Ingin benar berbicara seperti pada istri, bahwa salah alamat untuk menghubungi saya, meminta penjelasan sama saya juga gak bakal ada jalan keluar. Lha wong saya bukan siapa – siapa juga. Terlebih setelah mempelajari kehidupan di sini, maka saya hanya bisa mengajak diri untuk diam, karena sepatah dua patah kata akan jadi issue yang mudah dikembangbiakkan hingga beranak pinak dan gak bisa dipertanggung jawabkan, jadi ya sudah…diam lebih baik, meskipun di depan saya, berbagai macam ekspresi wajah menanti.

Malam tadi sebenarnya sudah sedikit curhat sama istri, tapi dasarnya saya bukan siapa – siapa dan istri saya juga mengerti saya bukan siapa, dia cuman bilang : ' biarkan mereka yang di atas itu memikirkan Bang….'

Ah De, seandainya kau tahu, pagi ini beberapa orang yang di atas itu malah ramai membicarakan bonus tahunan yang konon katanya juga gak sesuai ama kerja mereka……

.

April 06, 2011

( Arisan Kata 14 ) Ibu dan Adiknya

.


Sebuah puisi ia tulis ketika seorang perempuan menyapa padanya dan sebuah boneka kayu yang terdekap. Mengajaknya beranjak membuka pintu – pintu malam. Di etalase dan rumah – rumah yang tertutup rapat. Musim jatuh salju, dan mereka kedinginan. Di sudut kota mereka membeli api unggun dari para lelaki tua yang bersemedi mengajak api bercerita tentang panas, tentang hangat.

Senandung langkah kaki hewan penarik kereta seperti lirih desir angin yang menyapa beludru di mantel sisa – sisa masa lalu. Mereka terus beranjak susuri utara. Meninggalkan ringkihan kecil bernada sumbang dari derap makhluk berponi nan tua itu. Menarik tuannya.

Di sebuah monument sang perempuan tiba – tiba berhenti. Ia mendekat pada sebuah patung seorang anak kecil dan seorang perempuan tua yang mendekapnya. Di dalam sangkar, seperti sebuah pertahanan dari erosi jaman. Perempuan itu lalu mengulurkan tangan kecilnya, mencoba menerobos antara jeruji, sehingga terlihat pucat tangan terulurnya. Menyentuh, menelusuri relief dari jemari, dan perempuan itu menggenggamnya. Ia hanya takjub, menancapkan sebuah terka, perempuan itu berdiri menggenggam rindu.

Dan anak itu, perempuan itu menghadiahi senyum, karena sosok itu tidak seperti boneka kayu yang masih didekapnya, meskipun kaku. Lama perempuan itu mengabadikan beku, ketika tiba – tiba ia berpaling menatapnya. Sembari mengacungkan boneka kayu padanya……


Sebuah puisi ia tulis ketika seorang perempuan menyapa padanya. Mengajak menemui : Ibu dan adiknya…..

......................................

Mencoba mengikuti ( lagi ) arisan kata yang di adakan oleh rekan di sini.

.

April 02, 2011

Saya menulis ini bukan karena saya mengeluh lho ya :D

.


Saya harus menulis apa ?

Bingung.

Satu hal yang lepas dari segala kemungkinan yang sempat saya prediksi setelah memutuskan berkeluarga adalah saya banyak hilang waktu - yang bahkan sedikit jeda untuk berhadapan dengan Microsoft word yang blank, mengetikkan segala sesuatu yang tiba – tiba terlintas dalam benak.

Saya bukan penulis dan dari awalpun saya tidak memposisikan diri sebagai manusia yang cakap bila berurusan dengan kata – kata. Tapi benar seperti yang beberapa rekan katakan, menulis bisa jadi adalah sebuah kebutuhan untuk mengalihkan dunia nyata ke dalam situasi yang agak lebih…..apa ya ? mungkin bisa dikatakan akan menjadi beda. Aneh memang, terlebih bila beban pekerjaan dirasa akan membuat konslet otak, maka pilihan untuk bermain – main di postingan temen ato di wall FB temen jadi hiburan tersendiri.

Hm, lagi mikir apa juga ini…..

Oh, saya tertarik dengan satu note kawan, dia bilang begini :
Suka gimanaaa gitu kalo liat temen yang suka ngeluh di fb. Sebel iya, kasian iya. Sepertinya, bebannya berat banget ---> "Ya Allah, kenapa ini.. Ya Allah, kenapa itu. Ya Allah, semoga di balik semua cobaan ini.. Ya Allah, aku ingin mengakhiri hidupku saja.." Dst.. Dan sehari bisa berkali2. Berpikiran positif, bersyukur, melihat ke bawah ke orang2 yang kehidupannya lebih susah, mungkin bisa jadi tips untuk mengurangi keluhan2 kita..

Terus direplynya saya juga nglihat kalimatnya :
Saya ga suka itu, karena hampir tiap statusnya berisi keluhan. Tidak ada semangat positif

Contohnya:
Ya Allah, kenapa aku gendut?
Ya Allah, betapa berat ujian yang kau berikan
Ya Allah, aku tidak sanggup lagi hidup
Ya Allah, tolong cabut saja nyawaku


Tiba – tiba jadi ingat sebuah kalimat dulu yang sempat membuat saya merah padam menahan marah : ' Maaf Pak, saya gak bisa melayani keluhan Bapak '
Ingin rasanya menghajarnya. Sosok tengil yang dengan soknya ucap kalimat macam itu. Tapi apa ? Saya tersudut ejek sendiri. Untung ini adalah pembicaraan empat mata di ruangan yang luas.

Serta merta saya memotong ucapan saya pada dia, ucap keluhan.
Kemudian saya berbalik kembali ke meja kerja saya.
Ia seorang karyawan seperti saya, seorang rekan, seorang sahabat, seorang yang meskipun berada di bawah structure tapi mempunyai ketegasan terhadap pasal 1.
“ Bapak bisa jadi atasan saya, tapi melayani keluhan bukan bagian pekerjaan saya “, mungkin seperti itu….

Ahk, keluhan ini ternyata membutuhkan pelayanan untuk di dengar, untuk diperhatikan ya.

Kemudian jadi merelate dengan konyolnya seorang kawan ; aku mengeluh, oleh karena itu aku ada….

Nah lho ?

Ada sebuah kalimat pendapat di masa kini : manusia memang memiliki kecenderungan untuk mengeluh….


Stop, tentu ini adalah sebuah kesimpulan yang tidak berdasar bukan ?
Saya lebih senang mengartikan adalah manusia akan terbentuk dari apa yang telah terlewati olehnya, yang diajarkan ataupun yang terajarkan, yang terekam ataupun yang memaksa untuk menjadi bagian dari kesadaran diri.

Dari sini saya akan bisa mengatakan, bila seorang yang suka mengeluh, - cenderung intense mengeluh, skeptic, apatis dan ke-negative-an dirinya, maka tentu boleh kita pelajari kenyataan seperti apa yang berada di masa lalunya.

Sebenarnya kesimpulan ini hanya bersifat external analysis, karena sebenarnya pun manusia memiliki sebuah kepribadian yang mampu membentuk kejiwaannya. Dan bila sudah begini, kemampuannya untuk mengolah factor eksternal justru akan menjadi dasar akan menjadi apa dirinya, boleh jadi ia memiliki 'imun' yang kuat sehingga kenyataan yang pahit sekalipun justru membuat ia menjadi pribadi yang tangguh di masa mendatang….

Seperti beberapa sahabat yang saya kenal dan beberapa kenyataan yang sayapun melihat mereka melewati semua itu.

Jadi, saya menulis ini bukan karena saya mengeluh lho ya, hanya ingin berbagi saja.

Salam dan terima kasih untuk Mba Andiah yang saya copy notenya

.