Powered By Blogger

Agustus 31, 2009

Euforia gelisah

Berita Bagus ?
atau berita buruk ?

Itu adalah headline di kepala saya sekarang. Baru saja mengeluarkan diri dari ruangan berukuran 4 x 6 dan ber-AC split 2 PK, saya justru mendapati diri yang ' resah dan gelisah ', takut, tak percaya, bahagia, dan bahagia ? - ah, saya lupa kapan terakhir kali saya mengucapkan kata bahagia, seriuuuuus.

Tamiiiiiiiiiiiiiii, jangan berbelit - belit bro ! to the point lah, loe tau kan......menunggu bikin laper ni perut.....?!

: tenang bro,...tenang...colling down dululah, ini juga ude mo bagi kabar bro...

he..he...he...
Saya, secara lisan udah dipromosikan naik jabatan, satu tingkat lah dari sekarang saya punya grade. Alhasil, saya mengkhayal gaji yang plus dari bassis sekarang, tunjangan, and blablablabla.....

Payah, payah bro......lisan kok di percaya, black on white donk !?

: Hups, iya nih....saya sudah terlalu euforia, katanya sih nunggu approval oleh si Mr. Geetha, meskipun confirm lisannya udah kedenger.....

Yach, bener......gak harus begini lah, thanks bro....
Sudahlah,.....lupakan saja cerita bagus ato berita buruk ini sore !?
Saya mo lanjut kerja lagi,

Arrrrrrrrrrrrrrrgggggggggggghhhhhhhhhhh, saya tak suka sangat kondisi macam ni.....
saya terganggu oleh yang tidak pasti.......



Selepas dari ruang EA - dan sindiran Mba Dewi

Agustus 30, 2009

,...kalau puasa kan gak boleh marah ya Pa.... ?

"…kalau puasa kan gak boleh marah ya Pa……? "

Seandainya kalimat itu keluar dari mulut seorang anak kecil, seperti dalam sebuah iklan sebuah produk di Ramadhan tahun – tahun lalu, mungkin semua di dalam ruangan akan terenyuh. Dan, masing – masing akan instropeksi diri.

Hanya saja, sangat disayangkan - kalimat itu justru keluar dari mulut kawan saya. Dan kawan saya tersebut jelas tidak punya tampang kekanakan. Setidaknya tampang untuk orang bisa terenyuh. Yang ada malah kekurang ajarannya terlihat sangat.

Saya tidak berani menatap atasan saya saat di dalam ruangan itu. Yang saya mengerti sekali, beliau sempat memuntahkan sumpah – serapahnya kepada saya sebelum ia memutuskan juga menghadapkan seorang kawan saya di ruang kerjanya. Jadilah kami berdua seperti pesakitan yang menunggu vonis di pengadilan. Hingga kalimat itu keluar begitu saja dari kawan saya, yang membuat saya meringis.....akan ada pertumpahan darah dalam beberapa detik ke depan dari sekarang.

Seorang Ali bin Abi Thalib mengurungkan niatnya untuk membunuh seorang musuh yang sudah tak berdaya di hadapannya hanya karena menyadari bahwa tindakannya adalah penurutan akan hawa nafsu sesaat ketika wajahnya terludahi oleh sang musuh. Sayangnya atasan saya bukan seorang Ali. Dan saya juga yakin atasan saya tidak teringat dengan Ali saat ia mulai meminta saya keluar dari dia punya ruang, dan terlihat ia sudah mulai menempatkan posisi di chair Tiger T704 yang ia tempati.
Kawan saya ? ia sepertinya sudah menyadari bahwa angin kesejukan tidak berada di ruangan itu, dan ia sudah mulai salah tingkah.

Saya beringsut keluar, dan menanti.
2 Menit,
meledaklah bom ’ high explosive ’ dalam ruang itu. Caci – maki, sumpah serapah, dan bentakan yang memberantakkan. Di mana kawan saya ? sepertinya ia sudah ’ tewas ’ mengenaskan.

15 Menit
Pertempuran mulai mereda, mungkin sang jagoan sudah kehabisan amunisi ? atau sudah terlalu capai karena benar kata orang ’ puasa mah tidak boleh marah ? ’,
dan ’ orang ’ tersebut adalah teman saya sendiri.

16 Menit lewat sekian detik,
Benar saja, kawan saya keluar dengan ’ terluka parah ’.....

10:31 WITA
Yach, saya tak tau mesti menuliskan apa lagi atas kejadian ini pagi...he..he..he...

Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar

" Seandainya aku berhak untuk mengangkat seorang menjadi khalifah, pastilah Qasim bin Muhammad yang kuangkat " ( Umar bin Abdul'aziz )

Ayahnya seorang putera khalifah pertama. Ibunya seorang puteri Kisra Persia terakhir. Dan, ia dilahirkan di salah satu kota yang diberkati, Madinah Al Munawwarah, menjelang akhir khalifah ' Utsman bin 'Affan ra

Saat sang Ayah ( Muhammad bin Abu Bakar yang menjabat Gubernur Mesir ) meninggal dalam huru - hara politik di pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, ia dan saudara perempuannya di asuh oleh Ummul Mukminin Aisyah yang tak lain adalah bibinya sendiri.
Menjelang remaja ia kemudian diserahkan kepada pamannya, Abdurrahman bin Abu Bakar. Dalam pengasuhan paman dan bibinya inilah Qasim menjadi seorang terpelajar. Ia menjadi seorang rajul ( seorang laki - laki yang mendalami sunnah ), seorang imam, dan seorang mujtahid. Ia disejajarkan dengan dengan Sa'id bin Musayyib, 'Urwah bin Zubeir, Abu Bakar bin Abdurrahman al-Makhzumiy, Kharijah bin Zaid, Sulaiman bin Yasar, dan 'Ubaidullah bin Abdullah bin 'Utbah. Ia dan ke-enam orang ini yang dikenal dengan fuqaha 'ul-madinah as-sab'ah ( tujuh ahli fiqh madinah ).

Ia berperan besar dalam pemugaran Masjid Nabawi pada masa pemerintahan Gubernur 'Umar bin Abdul'aziz, yang diprakarsai oleh khalifah Walid bin Abdulmalik.

Allah mengkaruniakan umur panjang kepada Qasim bin Muhammad. Lebih dari 72 tahun. Namun, di hari tuanya, Allah mengujinya dengan mencabut terlebih dahulu indera penglihatannya. Dalam perjalanannya ke Baitullah al-Haram, Qasim merasakan ajalnya hampir tiba. Ia berpesan kepada puteranya, " jika aku mati nanti, kafanilah aku dengan kain yang biasa kupakai untuk sholat; gamisku kain sarungku; dan rida'ku. Seperti itu juga kakekmu, Abu Bakar, dikafani. Lalu, ratakan kuburku dan bersegeralah pulang. Janganlah kalian berdiri di sisi kuburku sambil mengatakan ' Beliau dulu begini, beliau dulu begitu '. Sebab aku bukan siapa - siapa...."

Agustus 28, 2009

Selamat pagi

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan." (Q.S.AL Munaafiquun ayat 11)

….Kadang mengaharapkan waktu berhenti untuk memberikan saya kesempatan mempelajari semua yang telah lewat di sisi saya, tanpa berarti itu adalah kematian jasad untuk saya.

Hanya saja pengetahuan yang terbatas ini menyadari itu adalah kemustahilan.

Dan juga menyadari bahwa berjalannya waktu juga berarti timbunan hidup yang ( mungkin ) penuh lupa, dan ujian baru.
Saya sadar sekali bila diri ini harus berjalan beriringan, karena takdir hanya Dia yang Maha Mengetahui.
Sedapat mugkin saya – seharusnya – bisa, satu persatu menyelesaikannya. Sebelum waktu ( benar – benar ) berhenti untuk saya.
Karenanya kedewasaan sangat saya maknai dalam perjuangan ini.

Terima kasih banyak sahabat. Berharap yang terbaik untukmu dan buat saya. Selamat pagi di hari yang baru terbit ini.

Selamat pagi

Agustus 26, 2009

catatan malam - pergi

Ini adalah hari kesepuluhku menggumam hari, mencerca waktu dengan kekesalan, kemarahan. Rupa wajahku menjadi hitam jelaga. Dengan coreng yang menghangat bening mata.
Ku beranjak pergi, menengok jejak dalam lipatan masa.
Sementara langkahmu terhenti di pintu rumahku,

kau tau ?
Aku tak lagi berada di situ.........

Agustus 22, 2009

Islam - Simbol, Sejarah, Dan Dakwah

Sejarah islam dalam perkembangan awal mulanya berada di tengah – tengah budaya Arab yang jahiliyah. Jahiliyah di sini tidak berkonotasi kebodohan secara budaya, mengingat dari perolehan penelusuran sejarah, masyarakat quraisy saat itu justru sudah berada dalam tatanan masyarakat yang mempunyai tingkat sosial yang termanage dengan baik. Jahiliyah di sini lebih pada penafsiran penyimpangan – penyimpangan dalam hubungan antara makhluk dan Sang Pencipta. Menarik saat saya menelusuri mengenai hal ini. Hakekatnya islam datang sebagai penyempurna sistem kehidupan daripada yang telah di turunkan sebelumnya. Dan ini jelas termaktub dalam Al Qur’an.

Tak dipungkiri, simbolisasi islam lebih terasa dominant pada melekatnya budaya tanah arab yang notabene sebagai tempat kelahiran dari agama nan suci ini. Yang menjadi pokok permasalahan atau kemuka kasus dalam tulisan ini adalah :

apa yang terjadi bila simbol – simbol ke- Arab- an dituding menjadi biang keladi dari tak terterimanya risalah islam dengan legowo oleh beberapa lapisan masyarakat Indonesia karena benturan – benturan budaya ?

Sehingga simbol – simbol keislaman yang melekat dalam ajarannya terasa menjadi momok yang menakutkan. Erosi budaya lokal tak terhindarkan, karena latar belakang pemahaman adat sendiri bertolak - belakang. Terlebih ada sudut pandang yang menganggap bahwa simbol – simbol islam yang ke-Arab-an adalah simbol – simbol sosial yang bersifat ’ pendatang ’ yang telah memberangus sistem kemasyarakatan yang sudah turun temurun. Simbol –simbol Arab yang sudah identik dengan simbol – simbol islam menjadi sesuatu yang harus di reformasi atau sama sekali dipisahkan dari nilai islam, baik secara hystory maupun sifatnya yang parsial terlebih dahulu bila ingin bisa eksis dalam syiarnya menurut pendapat seorang bahkan sebahagian kawan.

Bagaimanapun kita perlu memahami esensi dari ajaran ini, akan terlalu naif bila kita hanya memandang substansi yang hanya terbentuk pada penempatan simbol – simbol keislaman, dan tentu saja bila kita bertindak seperti ini maka – seperti yang saya katakan sebelumnya – kita akan melihat dominasi ikon/ tanda ke – Arab – an di sana.
Lantas sebuah kesalahan kah ini ?
Tidak pula sepenuhnya. Kehadiran islam di tengah dunia arab memang telah membentuk ruh islam yang melapisi segenap kontruksi sosial ( budaya ) masyarakat Arab saat itu. Dalam beberapa tahapannya terjadi reformasi/ perubahan/ pergeseran nilai – nilai budaya yang bersifat periodik. Dan perlu kita cermati, bahwa disana juga terjadi perubahan nilai – nilai dalam kultur masyarakat arab setelah dakwah islam berhasil merangkul mereka.

Dalam tulisannya berjudul : Agama dan Simbol, Prof. Dr. Mudjahirin Thohir MA mengatakan bahwa simbol-simbol keagamaan itu menjadi perantara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luarnya. Sebagai perantara, simbol-simbol keagamaan itu diperlukan dan diperlakukan sebagai “ model dari ” ( model of ) dan “ model untuk ” ( model for ). Sebagai “model dari”, simbol-simbol itu berisi nilai-nilai yang menyelimuti perasaan-perasaan emotif, kognitif, dan evaluatif manusia sehingga mereka menerima kenyataan. Berdasarkan pada pengetahuan dan keyakinan keagamaan seperti itu, maka agama lantas menjadi “model untuk” manusia mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Apa yang diekspresikan dan bagaimana mengekspresikan, adalah melalui suatu proses sembolik.

Nah, disinilah letak pemahaman yang semestinya terkonstruksi oleh kita – kita dalam berpikir perihal tatanan islam yang dinamis, bahwa saat islam datang dengan nilai – nilainya, maka sejauh yang telah kita ketahui bersama – kita seharusnya tak melihat itu sebagai sebuah budaya sosial, tapi lebih kepada pemahaman yang datang dari langit - bersifat given – sebagai sistem yang mengatur keseluruhan aspek kehidupan. Termasuk dalam hal ini adalah pengaturan terhadap nilai – nilai yang bersinggungan budaya sosiality.
Tak elok bila kita menyudutkan islam telah ’ di tumpangi ’ oleh suatu adat yang bersifat simbolik. Tapi justru sebaliknya, islam datang dengan sistem yang siap untuk memperbaharui, siap mereformasi tatanan masyarakat yang telah menyimpang dan jauh dari hubungan dengan Sang Pencipta.

Dan bila itu diartikan bahwa islam justru merusak budaya – budaya lokal masyarakat dalam management kemasyarakatan hanya karena identifikasi islam telah dimulai di suatu kawasan yang memiliki nilai – nilai budaya yang telah di simbolisasikan sebagai islam, maka saya kira kita takkan pernah mendengar cerita keberhasilan dakwah islam di tanah Jawa oleh Walisongo, cerita dakwah islam yang dibawa oleh para pedagang Gujarat India ke semenanjung melayu, Cerita penyebaran islam di benua Afrika, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, kita tentu akan membenarkan penilaian dari seorang Ibnu Khaldun bahwa agama dapat memperkuat solidaritas sosial atau ashabiyyah. Yang juga diamini oleh seorang Emile Durkheim ( Bapak Sosiologi Modern ) dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life. Lain kata, agama dapat membentuk sebuah peradaban dari nilai – nilai dasar yang dibawanya. Dan proses sinerginya tentu akan melibatkan budaya – budaya lokal dimana syiar itu membumi, dan apakah nantinya akan ter-erosi/ ter-degradasi sebagai nilai – nilai budaya keislaman, itu semua akan terproses sesuai pemahaman kepada islam sendiri sebagai sebuah sistem hidup.

Tentu perlu sebuah sikap bijaksana dalam memahami ini. Sejauh yang saya mengerti, ini adalah sesuatu yang tak lepas dari seruan amar ma’ruf nahi mungkar yang telah diserukan oleh Allah SWT. Konfliksitas dalam ranah Dakwah islam.
Maka – sekali lagi – saya perlu penegasan bagi sahabat – sahabat yang berjuang di jalan dakwah, ada perlu strategi jitu untuk syiar islam di tengah masyarakat yang kultural. Dan, kata tadarruj ( bertahap ) adalah sesuatu yang bijak menurut saya. Sikap konfrontir yang frontal justru menyudutkan sikap pandang sebahagian masyarakat menjadi sebuah pola pikir adanya pemaksaan dan keterpaksaan.
Berharap islam dipahami secara menyeluruh dan menjadi kabar gembira bagi seluruh umat,

(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS 3:138)


: sekedar sudut pandang yang berbeda dari tulisan seorang sahabat.

Agustus 19, 2009

Mimpi

Untuk sebuah esok hari.
Aku terkesima,
.............mimpi ini harus di akhiri.

Agustus 15, 2009

Catatan siang - bahan catatan untuk menjalani pernikahan

Saya mendapatkan tulisan ringan ini dalam sebuah milis, mungkin bisa bermanfaat buat saya, dan kawan - kawan yang belum menikah - terutama untuk kaum laki - laki :


  1. KETIKA AKAN MENIKAH Janganlah mencari isteri, tp carilah ibu bg anak-anak kita Janganlah mencari suami, tp carilah ayah bg anak-anak kita
  2. KETIKA MELAMAR Anda bukan sedang meminta kepada orang tua/wali si gadis, tetapi meminta kepada Allah melalui orang tua/wali si gadis.
  3. KETIKA AKAD NIKAH Anda berdua bukan menikah di hadapan penghulu, tetapi menikah di hadapan Allah
  4. KETIKA RESEPSI PERNIKAHAN Catat dan hitung semua tamu yang datang untuk mendoa’kan anda, karena anda harus berfikir untuk mengundang mereka semua dan meminta maaf apabila anda berfikir untuk BERCERAI karena menyia-nyiakan do’a mereka.
  5. SEJAK MALAM PERTAMA Bersyukur dan bersabarlah. Anda adalah sepasang anak manusia dan bukan sepasang malaikat.
  6. SELAMA MENEMPUH HIDUP BERKELUARGA Sadarilah bahwa jalan yang akan dilalui tidak melalui jalan bertabur bunga, tp jg semak belukar yg penuh onak dan duri.
  7. KETIKA BIDUK RUMAH TANGGA OLENG Jangan saling berlepas tangan, tapi sebaliknya justru semakin erat berpegang tangan
  8. KETIKA BELUM MEMILIKI ANAK Cintailah isteri atau suami anda 100%
  9. KETIKA TELAH MEMIKI ANAK Jangan bagi cinta anda kepada (suami) isteri dan anak anda, tetapi cintailah isteri atau suami anda 100% dan cintai anak-anak anda masing-masing 100%.
  10. KETIKA EKONOMI KELUARGA BELUM MEMBAIK Yakinlah bahwa pintu rizki akan terbuka lebar berbanding lurus dengan tingkat ketaatan suami dan isteri
  11. KETIKA EKONOMI MEMBAIK Jangan lupa akan jasa pasangan hidup yang setia mendampingi kita semasa menderita
  12. KETIKA MENDIDIK ANAK Jangan pernah berpikir bahwa orang a akan jasa pasangan hidup yang setia mendampingi kita semasa menderita
  13. KETIKA ANDA ADALAH SUAMI Boleh bermanja-manja kepada isteri tetapi jangan lupa untuk bangkit secara bertanggung jawab apabila isteri membutuhkan pertolongan Anda.
  14. KETIKA ANDA ADALAH ISTERI Tetaplah berjalan dengan gemulai dan lemah lembut, tetapi selalu berhasil menyelesaikan semua pekerjaan. tua yang baik adalah orang tua yang tidak pernah marah kepada anak, karena orang tua yang baik adalah orang tua yang jujur kepada anak ..
  15. KETIKA ANAK BERMASALAH Yakinilah bahwa tidak ada seorang anakpun yang tidak mau bekerjasama dengan orangtua, yang ada adalah anak yang merasa tidak didengar oleh orang tuanya.
  16. KETIKA ADA PIL Jangan diminum, cukuplah suami sebagai obat.
  17. KETIKA ADA WIL Jangan dituruti, cukuplah isteri sebagai pelabuhan hati.
  18. KETIKA MEMILIH POTRET KELUARGA Pilihlah potret keluarga sekolah yang berada dalam proses pertumbuhan menuju potret keluarga bahagia.
  19. KETIKA INGIN LANGGENG DAN HARMONIS Gunakanlah formula 7 K :
  • Ketaqwaan
  • Kasih sayang
  • Kesetiaan
  • Komunikasi dialogis
  • Keterbukaan
  • Kejujuran
  • Kesabaran
Semoga…… … — Semoga diriku & dirimu termasuk hamba yang disayang oleh-Nya

InsyaAllah. Amin

Agustus 14, 2009

Ingin diberikan maaf dan ketulusan

.


Memaafkan adalah sebentuk cinta. Proses menghargai sesal dari sebuah kesalahan. Awal untuk penyembuhan luka, sebuah hati yang kecewa dan pikir yang cidera.

Lantas mengapa maaf itu menjadi kata yang begitu mudah terucap, mengalir tanpa ketulusan serta hembusan angin keikhlasan ? Sedang hati begitu mudahnya mengingat kembali perihal itu sebagai cela. Hingga lambat laun menjadi sandung untuk rajutan kembali ukhuwah sebagai seorang saudara, sahabat, kawan, rekan, atau apapun pertalian kita.

Ada yang belum selesai dibayar selain sebuah kata. Dan itu adalah eja pendewasaan diri. Keikhlasan maaf, ketulusan sikap, dan pamrih yang hanya untuk ridho dari Allah SWT.

Bila melihat segala yang di belakang, tersadari ada berbilangan sisi hati yang mencipta titik dendam, titik marah, titik isyarat akan dengki. Mendesah sesak.

Maka saat lembaran sajadah itu menghampar dengan penuh kerinduan akan pengampunan, sedikit rasa takut menyeruak perlahan menghampiri diri yang mengeja do’a. Ketakutan karena bersih diri dan suci hati menjadi aral yang sulit terlewati di dalam pergaulan.
Dan sungguh, maaf dan memaafkan seperti air dingin yang menggugurkan segenap debu - debu dan jelaga yang mengendap di dasar hati.

Tuhan,
betapa hati ini sering menyapamu dalam kepasrahan seorang yang hina.
Betapa jasad ini ingin Kau menyentuhnya dan mengembunkan segenap tapak diri dalam jiwa.

..........


Saya hanya ingin meminta maaf pada seluruh manusia – manusia yang saya berada di dekat mereka, entah itu mereka yang nyata berada di dekat saya atau mereka yang berada dalam lingkaran ’ mendewasakan hati ’ yang saya punya.
Ramadhan,
itu alasan saya menuliskan segenap rasa ini.
Saya ingin Ramadhan saya, saya bisa merengkuh denyut – denyut keikhlasan, ketulusan, dan maaf. Hingga saya bisa mengukir Ramadhan ini menjadi moment ’ kemenangan ’ untuk saya setelah saya melewatinya nanti.
Insya Allah, amin

Kau menyapaku, dan aku merindukanmu


Kau berjalan pergi menuju ufuk langit yang memerah. Sementara aku melangkah memulai hari. Ada senyum embun menyambutku, dan kau bercerita tentang indahnya purnama.
Kau berada di langit yang berbeda. Aku pun berada di langit yang berbeda. Mengertilah, langit kita adalah lukisan yang sama.
Kau bercerita tentang bulan dan berjuta bintang. Aku bercerita betapa matahari pagi adalah senandung merdu sebuah mimpi.




Kau menyapaku,
Aku merindukanmu.

Agustus 13, 2009

Untuk terakhir kalinya

“ Kau masih saja memimpikan kilau harapmu di ujung pelangi itu, sementara ufuk langit pun tak jua kau sentuh jejaknya “

perempuan itu meninggalkan saya yang masih tergugu akan pandangan kalut tentang masa depan. Ia yang belakangan ini menemani hari – hari sunyi saya, yang mengartikan kebersamaan dalam sepi saya……melangkah menjauh.

: Saya salah,….kau tidak mungkin bisa menopang segala yang ingin saya turutkan di bahumu.



Dan selambaian senyum dan sedikit air mata ia berikan untuk saya.
Untuk terakhir kalinya

Agustus 12, 2009

Early morning blue


.

….bahwa jalan yang sebaik – baiknya, supaya diri berbahagia, sambil memperbagus hidup orang lain ialah jika kita ikhtiarkan memaklumi segala sesuatunya. Lebih banyak kita maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita, semakin adil pertimbangan kita dan semakin kokoh dasar rasa kasih sayang….

Sepenggal potongkan kalimat dalam buku : Habis Gelap Terbitlah Terang


Saat saya bermain kata – kata saat ini adalah saat – saat kesendirian saya. Di balik rutinitas kerja, yang hanya karena pandangan tadi pagi….tidak sedikit pun saya tertarik pada lembar – lembar kerja di hadapan saya. Pun dengan data – data yang baru saja diterima email saya pagi ini.

Early morning blue !?
Tiba – tiba saya dihampiri kejengahan yang entah. Tanpa alasan, saya sedih……

Pagi yang agak kabut sebenarnya tadi. Hanya saja saat saya keluar dan menyempatkan duduk di beranda dalam suasana kaku karena dingin, ternyata saya mendapati kehidupan yang sempat menjadi hari – hari saya dulu. Kebiasaan membuat segelas teh hangat dan menghabiskan sepanjang pagi dengan melihat suasana kamp. Suasana konsolidasi para pekerja.



Fasilitas tempat tinggal saya berada di sisi yang lebih tinggi, kalau boleh bisa di bilang ( lereng ) bukit. Dan berada tepat di atas alun – alun. Tempat di mana setiap pagi para pekerja berkumpul sebelum di mobilisasi ke lahan. Mereka di atur untuk penempatan dan pekerjaan macam apa nantinya. Mungkin dalam istilah umumnya adalah briefing oleh para assistant kebun.

Ramai.
Setelahnya saya juga mendapati anak – anak sekolah yang berkumpul di alun – alun ( he..he…he…intinya segala kegiatan kayanya memang di alun – alun, kecuali saya. Saya mah di kantor…Ehm. ). Mereka menunggu mobil jemputan.

Yaps, benar….
Early morning blue sempat menghampiri jiwa saya pagi ini. Mungkin karena rutinitas kehidupan yang hanya membolehkan kami menimbun mimpi untuk sekedar kata ‘ hiburan ‘.

“ Kapan nih turun gunung ? ”
pesan seorang teman yang saya dapati beberapa malam lalu itu kembali mempertanyakan diri saya : ‘ kapan kau menghibur dirimu sendiri ? '
Pertanyaan yang tidak saya jawab untuk dimanjakan, yang – berusaha – tidak saya hiraukan. Terlebih bahwa pagi ini saya mendapati sekumpulan manusia yang seyakinnya saya : mereka tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan hal itu. Sempat bermimpi pun mungkin adalah kemahalan bila setiap sore adalah wajah kelelahan yang mereka tampakkan. Tidur yang nyenyak adalah anugerah, bila dibandingkan kesempatan waktu untuk mengkhayal surga yang tak terjamah nyata.

Akhirnya saya membuka kembali lembaran note saya. Mendapati tulisan ( keluh – kesah ) saya di awal – awal saya kerja dulu dan menjadi puluhan kalimat yang saya kirimkan ke kampung halaman.
“ Kehidupan kamp adalah kehidupan kerja. Sosialisasi masyarakatnya ya adalah tempat kerja dan dunia yang sempit. Di sini, kehidupan adalah kerja itu sendiri…….”

: Merindukan rumah dan kota kelahiran

Agustus 09, 2009

Seseorang menunggu hujan



Seseorang yang menunggu hujan
untuk sebuah basah
,....dan keinginan

Seseorang menunggu hujan,
dalam senarai rintik embun pagi

Seseorang menanti hujan.
dalam lembayung senjahati

seseorang,
hujan,
jiwa,
dan hati

Agustus 03, 2009

Catatan pagi - Jangan menyerah

Tak ada manusia, yang terlahir sempurna. Jangan kau sesali, segala yang telah terjadi. Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat. Seakan hidup ini, tak ada artinya lagi.
Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik.
Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasanya bagi mereka yang sabar dan tak kenal putus asa*


* Bait - bait lirik : Jangan Menyerah by D'Masiv

Saat kesibukan datang menyerupai bentuk sosok Gajendramuka, memukulkan gada kebesarannya ke muka saya, maka saya menerawang panjang pada sisi lain dari kehidupan yang bersebelahan dengan saya.
Saya masih harus banyak belajar bersyukur. Ada banyak kehidupan yang jauh lebih berat daripada saya. Saya hanya mampu mengeluh, lalu bagaimana dengan mereka ?


Hidup itu sendirian bro….yang bikin gue bertahan yang mau gue makan apa hari ini kalau nggak kerja. Trus kalau u bisa bertahan 2 - 3 tahun otomatis u punya pengalaman n gampang nyari kerja……
Ibnu, seorang sahabat saya dulu......

Masa – masa sulit dalam kerja pasti ada…..biasa terjadi. Aku aja baru masuk dunia kerja udah sering dapat tekanan dari atasan, teman + jobku sendiri….kemaren bahkan aku nangis,
TAPI AKU MESTI KUAT. HARUS !!! BEGINI TERUS GAK GUNA KAN ???
De Ana - Bontang Kalimantan Timur, seorang yang tak pernah saya berkunjung padanya.

Yah beginilah cak, orang tua seperti saya ini sudah bisa diterima kerja serabutan seperti ini juga ya Alhamdulillah....gak neko - neko, mbo ya memang dunia gak suka neko - neko tho ?
Seorang tua, general worker di perusahaan ini.
Dengan sedikit menyisihkan waktu untuk menulis ini, saya berharap saya bisa sedikit lebih baik.
Di antara deadline report dan lembar - lembar kerja

Agustus 02, 2009

Dilematis seorang ikhwan ( mengenai nikah ) - menurut saya



“Saya Bilal dan ini saudaraku. Kami adalah dua orang budak dari Habasyah. Kami dahulu sesat lalu Allah memberi kami hidayah. Kami pun dahulu budak, lalu Allah bebaskan kami. Jika anda berkenan menikahkan kami, maka Alhamdulillah dan jika anda menolak kami, maka Allahu Akbar.”
Ucapan di atas adalah ucap salah satu Sahabat Rasulullah SAW, Bilal Bin Rabbah. Dalam kesempatan ia dan seorang sahabatnya melamar anak seorang sahabat.

Betapa sederhananya ucap itu dari seorang yang sederhana pula. Dan di lain hikmah ada pula seorang Ali Bin Abi Thalib RA.
"Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang semulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa.", ucap seorang Ali kepada sahabatnya Abu Bakar Ash Shiddiq. Sebelum Sang Sahabat berhasil menyakinkan ia untuk melamar Sitti Fattimah, putri Rasulullah SAW. Hingga kita mengetahui bersama dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW hanya menginginkan sebuah baju besi yang dimiliki Ali RA.

Dunia pernikahan konon adalah dunia yang indah setelah belantara ’ perjuangan ’ berhasil di atasi, terutama untuk seorang ikhwan. Seorang ikhwan yang sudah mulai siap untuk tanggung jawab sebuah amanah tersempurnanya dien ini.

Tak dipungkiri, pergerakan zaman dari waktu ke waktu membuat pergeseran nilai – nilai yang terjadi di tengah masyarakat. Termasuk dalam pernikahan. Meskipun secara syariat, pergeseran nilai masih belum menyentuh pada aspek tersebut.

Menarik saat beberapa waktu di belakang ini saya sebagai seorang ikhwan mendapati ’ nasehat dan sanjungan ’ secara langsung oleh beberapa sahabat dalam beberapa tulisan mereka. Bolehkah saya berkata seperti itu ?
Dan sungguh, saya menyikapi ini sebagai phenomena yang menyejukkan kepada kami, bahwa ada yang perlu kami perbaiki di diri kami para ikhwan. Terima kasih sangat untuk semua itu.

Saya hanya ingin menuliskan beberapa kasus yang juga sering mengena di kalangan ikhwan. Ini bersifat kasuistik, tapi tak di elak sekali bahwa kasus ini mungkin pernah terjadi di sekitar kita.

Pertama,
Seorang kawan dengan kesederhanaannya bermaksud melamar seorang akhwat yang masih menempuh semester akhirnya di perguruan tinggi negeri ini. Ikhwan tersebut memberanikan diri, meskipun ia mengetahui bahwa tingkat pendidikannya hanyalah seorang yang lulusan SMEA. Ia sudah bekerja. Mapan sederhana. Dan siap bertanggung jawab dengan pengetahuan agama yang instens ia pelajari di berbagai kegiatan pengajian. Lantas apa jawab sang akhwat ? belum bersedia, karena masih mau menyelesaikan pendidikannya.
Sang Ikhwan tak patah arang, ia menunggu sang akhwat tersebut menyelesaikan kuliah. Setahun berlalu, lamaran kedua di ucapkan. Sang akhwat tak bergeming. Hingga tahulah sang ikhwan bahwa ada di dirinya yang tak memenuhi syarat seorang suami di mata akhwat tersebut. Tingkat pendidikan ?

Kedua,
Seorang ikhwan. Seorang pemuda dari desa yang berhasil menamatkan kuliah dan bergelar Sarjana Teknik Sipil. Diterima kerja di sebuah perusahaan General Contractor. Dua tahun berselang, ia melamar seorang akhwat atas rekomendasi dari seorang sahabat. Akhwat dengan titel S.psi. Keluarga berada. Maksud kepada akhwat diteruskan untuk menghadap orang tuanya secara langsung. ’ Berdatang ’ pun di laksanakan pada suatu malam, di temani seorang kawan yang lebih mengerti pada santunnya bahasa khitbah, niat itu akhirnya di ikrarkan kepada orang tua si akhwat. Beberapa pertanyaan terlontar. Siapa orang tua si ikhwan ? Kerja apa mereka ? Berapa saudaranya ?
Saat jawab bahwa ia adalah keluarga sederhana, di besarkan dari orang tua petani di desa kecil di sebuah kecamatan yang tak terkenal, dan sulung dari beberapa saudara. Maka setelah beberapa waktu yang diminta untuk rembug keluarga, semuanya menjadi seperti sulit. Ada beberapa ganjalan yang mengemuka terlontar kepada si ikhwan oleh orang tua si akhwat. Akhirnya si ikhwan memutuskan mundur diri dengan perasaan masgul. Salah apa orang tua saya bila mereka hanyalah seorang biasa yang sederhana ?

Ketiga,
Ada seorang ikhwan yang mapan dan siap berkeluarga. Saat maksud hati ia utarakan kepada seorang sahabat yang juga sebagai ketua kerohisan sebuah kampus, ia dianjurkan pada sebuah nama akhwat. Proses mencari tahu ia mulai, dan istikhorah yang khusyu’ menetapkan hati untuk melangkah pada khitbah. Proses berlangsung lancar, hanya saja ia mendapati diri untuk menyediakan mahar dan pagelaran adat pernikahan yang luar biasa hebatnya. Terkejut. Ia memiliki kemapanan dan tabungan untuk masa depan, tapi haruskah itu digadaikan hanya untuk sebuah acara dan mahar yang terlalu mewah dari mapannya ia ?
Ia dilematis, bahkan saat upaya untuk memberi penjelasan sudut pandang syari’at kepada calon mertua ( bersama sang akhwat tentu saja ) terpental oleh arus besar di kalangan keluarga yang masih berpegang teguh pada adat dan ( gengsi ) nama dari sang calon mertua yang merupakan trah ternama di daerahnya. Kawan tersebut akhirnya harus mengatur ulang cash flow ‘ kemapanan ’ materi yang dimilikinya.

Ini hanya sekedar penyampaian kasus yang seperti saya sebutkan di atas, mungkin ada beberapa kawan yang mendapati kenyataan seperti ini di sekitarnya. Atau bahkan terjadi pada diri sendiri ( ikhwan ) ?. Kasus yang sering membuat kami para ikhwan seringkali mengelus dada dan berusaha meningkatkan prasangka baik kami serta mengelola niat kembali keinginan untuk menikah.

Begitupun dengan kami, tentu banyak cerita di kalangan akhwat mengenai betapa kami ‘ sering mempermainkan perasaan ‘ kaum akhwat. Dan saya kira kita bisa mendewasakan diri, bersikap bijak untuk melihat ini sebagai pokok permasalahan yang terjadi secara individual tanpa memarginalkan ini sebagai subjektivitas secara umum. Dan tentu kita sepakat pula bahwa ini adalah Pekerjaan Rumah ( PR ) buat kita untuk segera membenahi ’ sikap – sikap ’ seperti ini bukan ?

Mapan. Saya pernah membaca bahwa kata ini menempati urutan tertinggi kedua setelah kesholehan dalam persentasi voting kepada kaum akhwat saat ditanya tentang apa yang harus dimiliki seorang ikhwan untuk bisa menjadi suaminya ( baca mereka ) – urutan ketiganya adalah kriteria fisik. Dan hal inilah yang terbaca oleh kami di jagad pergaulan sosial kami sendiri. Ini sudah menjadi semacam kesepakatan umum. Ada tuntutan yang perlu kami penuhi selain kesholehan diri.
Mapan. Dan itu adalah berwujud materi. Siapa yang membantah ? Meskipun ini akan berada pada tolak ukur yang relative. Pun sama halnya dengan fisik. Bukankah begitu ?
Pekerjaan tetap atau tetap bekerja, mandiri tempat tinggal ( kontrak atau akan lebih baik bila sudah milik sendiri ), dan tabungan – meskipun sedikit tak apalah – adalah rangkaian kata yang berhulu pada keberadaan atau kesiapan wujud materi nantinya.

Ini adalah uraian untuk menyederhanakan sudut pandang yang dimiliki oleh beberapa sahabat. Bahwa dalam sekian pencariannya akan bagian hati, rusuk yang terbelah, pasangan jiwa, seorang ikhwan juga kerap menghadapi dilema sikap dan pikir akibat dari pihak akhwat sendiri, ditambah lingkungan di sekitar akhwat yang notabene tidak bisa dikesampingkan sebagai dominant dalam keputusan ‘ demi kebaikan ‘ si akhwat yang di lamar.
Kadang benturan itu tidak kami dapati dalam diri akhwat, tapi lebih kepada arus besar di keluarga yang bersangkutan. Dan tentu saja dalam sisi ini kami mengharapkan peran kaum akhwat dalam memberi penjelasan kepada keluarganya. Lagi – lagi ada peran akhwat di sini.
Retorika – retorika tanpa dasar. Bila kita melihat dari sudut pandang syar’i tentu saja ini adalah alasan yang tak terterima. Bagaimanapun islam mempunyai aturan luhur untuk memudahkan proses pernikahan ini. Dari berbagai syarat, betapa tingkat kesholehan seseorang itu berada dalam posisi tertinggi sebagai kriteria calon pendamping hidup, tidak itu seorang suami ataupun istri. Dan mengenai mahar, bukankah baginda Rasulullah SAW sendiri sudah memberikan statement yang jelas :
“salah satu tanda keberkahan wanita ialah cepat perkawinannya, cepat pula mengandungnya dan ringan maharnya.”(Riwayat Ahmad dan Baihaqi).

Ini kembali berkenaan dengan diri akhwat, dan sungguh realita kini yang terjadi justru membentur niat kami, sehingga tolak ukur kemapanan diri harus disiapkan terlebih dahulu. Sikap konfrontir terhadap ’ adat sosial ’ malah akan terlihat tidak bijaksana, disaat kami ingin mendapatkan restu dari segenap keluarga dan menghindari pembicaraan yang tidak baik untuk mereka.

Sekali lagi, saat seorang ikhwan terlihat berkalkulasi akan kemapanan dirinya sebelum ia mengajukan ’ ajakan ’ nikah, maka percayalah – bahwa ada sebagian di diri kami yang ingin dipandang sebagai sosok yang bisa membawa calon istri kami dalam kehidupan yang mandiri.

Selebihnya, kami tetapkan niat. Bahwa kami mencintai seseorang karena Allah SAW semata dan ingin menggenapkan setengah dien kami. Membangun keluarga yang Sakinah, Mawaddah, wa Rohmah. Insya Allah.