Powered By Blogger

Januari 14, 2011

( Cerpen ) Sani Amalia Zahra

.



Orang bilang waktu akan menyembuhkan luka, tapi baginya akan membutuhkan tidak hanya sekedar masa untuk melupakan, tapi kehadiran seseorang yang menyembuhkan dan membuatnya kuat……..
Termasuk untuk membahagiakan anak perempuan yang masih berumur 4 tahun. Si kecil Nayla.
Dan ia memang bukan seorang perempuan biasa. Meskipun tidak juga terlampau hebat. Setidaknya itu saya nilai bila melihat ia menangis di bahu kakak saya. Dulu. Saat pertama ia bergulat dalam kehidupan yang asing baginya. Sepertinya…..

Saya mengenalnya tidak secara langsung. Apa yang terjadi dan pernah ia jalani adalah sebuah cerita dari seorang Kakak yang menemani saya dalam obrolan hangat. Berkumpul dalam kebersamaan ruang makan maupun saat santai di ruang tamu. Bukan hanya saya, dan cerita inipun bukan untuk saya. Tapi lebih ditunjukkan kepada Mas Iwan, suaminya. Sementara saya hanyalah pendengar yang baik, kadang turut dalam obrolan dan di lain waktu hanya sebagai pendengar di meja makan sembari membuka notebook dan ramai dengan dunia maya.

Sani Amalia Zahra. Perempuan muda yang terlahir dalam lingkungan keluarga broken home. Keluarga yang sebenarnya sangat mampu. Tapi bukankah rumah tangga tak melulu bisa rekat karena harta, terlebih bila itu adalah penyatuan egoisme yang kuat di antara keluarga kaya raya.

Dan Lia adalah salah satu korbannya. Bersama dua orang Abangnya, mereka menjadi hancur ketika mendapati keretakan yang tak tersembuhkan dalam sebuah rumah tangga. Perceraian. Hingga membuatnya menjadi sosok pemalu, minder, dan hal lain yang mempengaruhi psikologisnya.

Dunia luar membuat mereka mulai mengenal glamour. Narkoba menjadi bagian sensasi hidup.

Satu saudaranya yang tertua tewas dalam penggerebekan di sebuah lokasi judi dan maksiat, kumpulan sindikat dan perlawanan yang dilakukan cukup bagi polisi untuk menghabisi sang Abang di tempat kejadian dengan satu timah panas di dada, sementara yang kedua masih bernaung dalam proses penyembuhan di sebuah rumah sakit jiwa karena kecanduan yang akut dan cenderung gila.

Lia sendiri, ia hamil dari pergaulan bebas kumpulan sosial kampusnya. Anak baru yang teracuni oleh gemerlap dunia kampus yang mewah. Obat – obatan dan Narkoba sesuatu yang biasa.

Lantas Lia yang hancur karena ketidakpedulian dari keluarga dan lambat laun kian diasingkan oleh sosial sendiri karena masih berusaha kuat untuk tetap bertahan pada kehamilannya semakin tersudut dalam kehidupan yang membuatnya seringkali menyendiri sepi. Mempertahankan bayinya, meskipun tanpa tuntutan akan sebuah tanggung jawab dari seorang laki – laki yang menurutnya,dialah yang menjadi bagian dari tercipta benih di rahimnya…

“ Ia tersadar akan sesuatu saat merasa ada kehidupan dalam perutnya Mas, tapi saat itu juga merasa lelah untuk meminta pertanggung jawaban…. “, kalimat kakak suatu ketika.

Lia bertemu Kakak di sebuah mesjid saat Kakak dan beberapa Ibu berkumpul dalam rapat sebuah acara pengajian. Memohon pertolongan dengan kondisi yang lemah dan memprihatinkan. Saat itulah Kakak berhubungan sangat intenst dengan Lia. Sebuah rumah petak tersewa dan sedikit sumbangsih dari rekan – rekan sejawat Kakak, upaya penyembuhan berlangsung, hingga pada proses mediasi mengembalikan Lia kepada keluarga gagal karena feedback dari keluarga yang dirasa tak baik bagi Lia nantinya membuat ia tetap dipertahankan dalam asuhan bersama.

Si kecil Nayla yang lahir sehat kian beranjak bertambah usia dan Lia yang sudah berjilbab lebar kini menjadi bagian dari proyek kumpulan pengajian yang membuat Unit kerja rumah tangga, semacam usaha kecil yang mewadahi hasil kreatifitas Ibu - ibu. Lia bekerja sebagai marketing dalam hal ini, dipercayakan oleh mereka sebagai orang yang memanage usaha kecil bersama ini. Prospek yang cerah karena Lia sendiri mampu menjalankannya hingga beberapa kali mengikuti pameran dan omzet penjualan yang meningkat dari bulan ke bulan….

“ Jujur, saya kagum dengannya Mas, ia sangat berubah. Kepercayaan kami ia bayar dengan amanah yang tinggi. Meskipun sebenarnya saya dan Ibu Retno terkadang mendapati ia menangis sendiri…..”

“ Maksud Ummi ? “, Abang ipar saya mengeryit alis dan benar – benar menghentikan aktifitas notebooknya.

“ Iya, ia sering menangis. Saat bermain – main bersama Nayla, juga saat ia dalam kesendirian. Saya dan Ibu Retno pernah mengejar tanya ini dengannya…ia hanya bilang mohon untuk dimengerti…. “, Kakak saya duduk di hadapan suaminya sembari menuangkan teh hangat. Saat itu meja makan terasa lapang dalam suasana sore akhir pekan. Saya berada di ujung meja dengan notebook dan dunia maya yang menemani.

“ Lalu ? “, Mas Iwan semakin mendalami

“ Hm, mungkin karena penyesalan Mas. Nayla sedang lucu – lucunya, tapi justru itulah, yang hidup dari masa lalu dan mampu kembali mengingatkan.….. “, Kakak berucap dengan mimik sungguh – sungguh. “ Saya dan Bu Retno kadang merasa ini tak baik baginya, lantas berpikir apakah baik bagi kami mencarikan seseorang yang bisa menjadi imam dan lebih membantunya untuk berjuang melupakan masa lalu…. “

Mas Iwan terdiam, dan merubah posisi sedikit ke arah saya sembari mengisyaratkan sesuatu kepada istrinya….

“ Fajar, bagaimana ? “, tiba – tiba Kakak mengajukan tanya yang tentu saja saya mengerti maksudnya apa….

“ Eh, lah…kok tiba – tiba ke saya itu lho Kak “, saya defensive dan berusaha berkilah arah. Mas Iwan tertawa di iringi senyum Kakak saya sendiri…

“ Takutkah kau Jar ?! “, lagi. Dan saya tak tahu ini bersifat tanya ataukah tantangan yang tak perlu dijawab kata - kata. Saya memilih pergi, menjauh dari ruang tengah dan meja makan itu. Meninggalkan Kakak dan Abang Ipar yang tersenyum penuh kemenangan karena kembali berhasil mengingatkan soal capaian separuh dien saya.

Pergi ke kamar, kemudian melanjutkan cerita ini. Tentang Sani Amalia Zahra. Seorang perempuan berdarah Aceh dan Sunda. 28 tahun. Dan anaknya, Nayla yang kini sangat cantik, berumur 4 tahun dan sudah mampu sedikit bernyanyi.

Hm, ya…… mungkin memang akan membutuhkan tidak hanya sekedar masa untuk melupakan, tapi kehadiran seseorang yang menyembuhkan dan membuatnya kuat……..

Ia dan anaknya


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar