Powered By Blogger

Januari 14, 2011

Rumah oh Rumah

.


Dulu, saat saya menolak fasilitas rumah baru oleh perusahaan yang sebenarnya adalah rumah standart untuk penempatan saya murni dikarenakan pertimbangan rasa sepi dan untuk kebaikan diri sendiri. Bagaimana tidak, rumah tersebut berada dalam satu lokasi tersendiri bersama beberapa rumah baru lainnya yang diperuntukkan kepada staff Central Office. Kantor tempat saya dan banyak staff lainnya biasa beraktifitas.
Namun justru oleh karena itu saya menolak. Saya tidak ingin sosialisasi saya begitu sempit. Sudah bertemu di kantor, lah bertemu lagi sebagai tetangga rumah.
Terlebih saya masih bujang saat itu, jadi perlu keramaian selain teman – teman kantor.

Di kantor sering kami bercanda : “ Eh, ketemu lagi “,
( Apa saya mesti bercanda seperti itu juga bila bertemu di samping rumah, gak lagi dach )

Kalimat yang biasa untuk kejenuhan sebenarnya. Dunia kamp hanya terdiri dari beratus – ratus wajah manusia yang tak pernah berganti dalam rentang bulan. Perubahan begitu lamban di sini, yang ada hanyalah wajah pekerja baru atau kelahiran baru. Dan minusnya adalah arus keluar karyawan.
Tidak seperti di kota yang setiap hari bila sedikit meluangkan waktu kita bisa berada dalam situasi yang melihat wajah – wajah berbeda. Nongkrong di pinggir jalan, nangkring di mall, dan hinggap di jendela…Eh, gak….maksud saya, di kota lebih banyak kesempatan bagi kita untuk refresh dengan melihat hal yang berbeda. Tentu saja kan….. ?

Selain itu, lokasi perumahan itu lokasi tersendiri dari perumahan karyawan yang sudah ada. Sedikit berada di balik bukit kecil, sehingga untuk benar – benar berada dalam keramaian kamp harus berjalan menyusuri jalan dan menuruni tanjakan untuk bertemu dengan perumahan karyawan lainnya. Semacam perbedaan dan saya tidak terlalu sreg meskipun dibilang tidak juga menggugat, karena hal seperti ini sudah biasa. Lihat saja perumahan karyawan dalam lingkungan PN. Timah seperti di film Laskar Pelanginya Andrea Hirata. Perumahan Pertamina di lokasi explore-nya. Atau bila melihat yang agak dekat, bisa kok dilihat dari perumahan tentara dalam sebuah resimen atau batalyon. Beda kan antara lokasi perumahan perwira menengah ( Pamen ) dengan Bintara atau tamtama ?
Lebih lagi bila melihat rumah komandan, wah…benar – benar menyendiri tuch

Biasa saja kok

Tapi jujur, saat menolak itu, maka pertimbangan saya memang sedikit kekanakan, sunyi. Terlebih di rumah ( barrack ) yang saya tempati sekarang saya merasa sudah mendapat kebaikan dari tetangga yang notabene sudah berumah tangga. Paling tidak ada sajalah hantaran lauk atau bantuan mengangkat jemuran bila hujan tiba – tiba, sementara saya masih di kantor.

Itu saat saya sendiri lho, dan sekarang ketika ada istripun tetap sama. Gak berubah. Eh, maksud saya, saya gak menyesali memutuskan menolak itu. Lha wong istri saya makhfum kok ketika saya jelaskan perihal ini. Bercerita saja saya bahwa dulu Abang ( Hehehehehehe, bahasa Abang itu lho ) dapet rumah yang bagus sebenarnya. Sempat juga saya ajak ia ke lokasi menyendiri itu sambil bersilaturrahmi ke beberapa rekan kerja. Dan senangnya, ia sependapat kok dengan saya…..

Saat ini kami meninggali sebuah long house dengan 4 pintu yang masing – masingnya hanya tersekat oleh dinding. Dengan status saya saat ini bisa dikatakan semua 4 pintu itu sudah terisi dengan karyawan yang berkeluarga. Di pintu 1 ada seorang yang saya panggil Ka Muhadi, berasal dari Makassar dengan istri yang berasal dari Palu. Bekerja sebagai Mandor panen di lahan Divisi 03, pintu kedua saya dan istri, satu –satunya staff dan bekerja di kantor Central, di kiri saya atau pintu ketiga ada Alfian dan istri serta 2 orang anak mereka. Operator Grader dan Ibu Rumah tangga. Kolaborasi Kutai dan Dayak Tunjung menjadikan istri saya merasa terkawani karena mereka cukup mengerti sekali dengan bahasa banjar yang dilafalkan oleh istri. Dan terakhir adalah Ramto, seorang Jawa Tengah dengan 1 istri dan 1 anak dengan kerja sebagai Krani Panen.

Alhasil dalam rentang waktu hampir dua bulan ini saya mampu menempatkan istri saya dalam sosialisasi yang menurut saya baik baginya. Tidak berada dalam lingkungan yang bisa jadi membuat ia tidak betah karena sunyi, terbatas atau apapun. Di long house ini komunikasi begitu berwarna, karena latar belakang kerja yang berbeda, sehingga pengenalan istri saya dengan Ibu – Ibu lainpun lebih berkembang. Buktinya saat ini istri saya dengan riang gembiranya ikut Yasinan, berjalan kaki menapaki rumah – rumah karyawan yang berbeda di saban rabu malam tiap minggunya.

Tapi ada sedikit pikiran juga. Tahun ini saya sengaja memasukkan anggaran pemenuhan furniture complete untuk saya. Approved, Alhamdulillah senangnya dan langsung pusing tiba – tiba ketika istri saya bertanya barang macam mana saja, sadarlah saya bahwa tempat tinggal ini tak cukup lagi menampung segala macam atribut mulai dari tempat tidur, lemari, kulkas hingga kebutuhan alat dapur itu. Terlebih listrik gak bakalan nahan bila ditambahin AC….

Manyun, ditambah kenyataan minggu kemaren Ka Muhadi diperintahkan pindah rumah oleh Assistantnya.

Ah, Bingung akhirnya. Rumah oh Rumah

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar