Powered By Blogger

Desember 10, 2011

Phrase ( kaum perantau di daerah terpencil ) :D

.

Dasar bekicot kau ini


Apa ? Kau tidak terima ?

Buktikan !!!


Terasa kasar bukan ?
Manusia yang sedang baru saja berlelah payah itu disebut bekicot. Makhluk lamban. Seandainya yang mengucapkan tahu betapa tetes keringat yang membuat basah baju itu berguguran ke tanah terasa asin ?
Ahk, tentu saja orang itu tau…..

Ini adalah bagian dari dunia yang kejam – setidaknya itulah gambaran saya untuk pertama kali menjejakkan langkah di bumi terkucil ini, pertama kali saya berjumpa dengan sumpah serapah yang membuat ciut nyali. Yang membuat saya dendam berkali – kali, karena memang tak berani menyanggah.

Lambat laun saya berubah pandang dengan ragam kalimat yang ada. Saya tidak bisa menerapkan tata krama inggil jowo halus, tata krama banjar yang berulun wan pian sebagai kata ganti orang ( personal pronoun ). Saya terbiasa pada adat kesopanan yang biasa diajarkan orang tua. Sehingga penghormatan pada seseorang yang seusia dan pada orang yang lebih tua lebih mudah terlihat. Tapi itu semua ( tata krama ) justru sesuatu hal yang agak asing di sini. Atau boleh saya katakan akan aneh untuk diri sendiri. Sesuatu kalimat yang bila menggunakan bahasa melayu dari beberapa ekspat Malaysia – cakap buang masa.

Benar, phrase batak dan timur indonesia lebih mengena di sini, tapi tidak melulu. To the point, keras, …..
Bisa dikatakan komunikasi secara nyata di sosial saya tak terdengar penghormatan bila sudah bercakap dengan rekan kerja dan karyawan – karyawan lain yang berada di bawah structure.

Nah, sekarang bagaimana dengan pencapaian penerimaan seseorang terhadap komunikasi macam ini ?
Adaptasi. Itu jawabannya. Kau tentu tak bisa bersakit – sakit hati untuk omong kasar, omong tegas dan kaya akan emosi marah bila itu adalah sebagai bagian dari yang biasa di sebuah lingkungan. Bila tidak, percayalah hatimu akan teriris – iris setiap hari. Menanggung perih karena perasaan yang tak bisa menerima ucap atau komunikasi dari orang lain.

Masalah penerimaan saja saya kira. Memang agak sedikit aneh bila kita memaksa diri memaklumi setiap omongan yang bahkan orang tua kitapun tak pernah mengucapkan macam itu di kanak – kanak kita. Tapi apa mau dikata, biasa dan tanpa ada etika tertulis, ini bukan sesuatu yang mesti ditanggapi dengan kemarahan.

Saya mencoba mengerti, bila merunut apa yang terlewati di daerah terpencil ini mungkin bisa dimaklumi. Dulu di daerah hulu Mahakam ini penuh dengan para pendatang yang berusaha mengadu nasib, jauh dari sanak keluarga, jauh dari kampong halaman untuk mencari uang yang sering orang kata “ sesuap nasi “ itu. Sumatera, Flores, Halmahera, Bima, Bugis, Makasar, Keli dll. Saat masih jayanya perusahaan kayu. Untuk kerja yang mesti masuk ke dalam hutan bersama tim, bawa chain saw plus bahan makanan dan tinggal beberapa malam di pondok yang dibuat ala kadarnya dari batang – batang pohon dan penerangan seadanya dari petromaks, serta situasi kehidupan keras lainnya turut membentuk phrase kalimat dalam komunikasi. Ini hanya berdasar kesimpulan saya sendiri saja lho ya

Karena bila mengingat dulu, ucap Bodok…Bodok….Manusia kota tak berguna...dan lain – lainnya itu hampir saja membuat saya lari. Lari dari kenyataan yang sekarang justru membesarkan saya. Saya pikir sekarang saya bisa dikatakan sempurna bertahan di daerah terpencil ini

Kecuali hal lain, kenyataan bahwa saya merindukan anak dan istri saya, membuat saya agak kacau rasa belakangan ini.


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar