Powered By Blogger

Mei 12, 2011

Ruslan

.


Namanya Ruslan, seorang operator Tractor Equipment, ( konon ) berasal dari daerah terpencil di Sulawesi dan kini merantau di daerah terpencil juga di Kalimantan. Sama saja, tapi ia tak pernah kembali ke kampung halamannya. Ia ditempatkan di satu lokasi pembukaan areal baru yang bila saya bahasakan, bukanlah kita yang berteduh di bawah rindang pepohonan bahkan sawit pun, tapi mereka yang menjadi payung bagi tanaman ( bibit ) sawit yang baru ditanam itu. Lha wong areal baru dengan penanaman baru. Tugas utamanya adalah memobilisasi pekerja lahan sembari melangsir pokok – pokok bibit sawit dari nursery ke lahan, langsir pupuk dan kacangan.

Oh ya, unit yang ia bawa adalah unit peninggalan lama. Bontok, hancur, dan rentan terbatuk – batuk di tengah lahan.
Maaf, ini hanya bahasa saya untuk unit – unit yang menurut saya tak layak operasi, tapi masih bisa dipaksakan sampai Bos mencoba sendiri, dan itu tak mungkin. Jadi kesimpulannya semua unit macam yang dipakai Ruslan itu adalah layak pakai atau harus dipakai.

Massey Ferguson, saat ramai orang sudah menggunakan tipe 440, Ruslan kebagian versi lama, MF 390….tapi ya gak papalah, kan masih layak ( baca : harus ) dipakai dan Ruslan pun membutuhkan unit itu jalan untuk jalan juga kegiatan dapur pondokannya.

Konsekuensi dari penempatan di areal baru adalah kurangnya fasilitas. Boro – boro untuk mendapatkan fasilitas di luar rumah macam tempat istirahat atau taman emplacement, lha wong rumah mereka sendiri masih pondokan macam kaum pekerja ladang berpindah saja. Apa adanya dan mesti legowo nerimo.

Saat ada kesempatan ’ jalan – jalan ’ ke lokasi tersebut saya hampir nangis, bener – bener ingin menangis saya, bukan karena melihat pondokan yang tambal sulam itu, dengan bedeng – bedeng yang dari luarpun saya sekilas bisa melihat di dalam rumah isinya apa saja, tapi melihat anak – anak yang bermain – main di antara hal – hal yang seadanya itu, dan sebuah musholla yang ....

Allahu Akbar, meski seadanya dengan dinding yang tak teratur rapi karena bekas – bekas dari kayu olahan yang didapat dari sisa sawmill yang sudah mati suri di lokasi terpencil ini, mesjid itu benar berfungsi sebagai rumah Allah.......

Kembali ke Ruslan.
Ruslan adalah manusia biasa yang tentu juga mencoba mendapatkan perhatian dari Department tempat ia bernaung. Saya mengerti itu. Dan setiap kali ada bertemu orang macam saya, yang notabene satu Department dengannya dan ditempatkan di areal yang udah agak mapanan dari ia, Ruslan selalu menyempatkan diri untuk.....bersilaturrahmi.
Berbagi, bahasa sederhananya seperti itu. Tapi Ruslan lain....ia lebih sering menanyakan sesuatu perihal saya daripada saya yang menanyakan kabar dirinya. Entahlah, ia pandai mengolah situasi psikologi saya dengan baik sembari menceritakan ’kamp‘ nya itu. Di antara keprihatinan saya akan situasi dirinya, pemandangan akan mereka yang masih beratapkan daun itu, anak – anak kecil yang ada saja tertawa mereka ketika berkejar – kejaran di antara pondok, dan ketidakmampuan saya berkomunikasi dengan tata krama yang coba menghibur hati, ia justru memaksa saya menjawab pertanyaan dengan kalimat : " Alhamdulillah, baik."

Saya merasa menjadi jahat sekali. Dan langsung berubah marah setelah pertemuan itu. Marah pada diri sendiri. Saya merasa tak harus bertemu kenyataan macam itu, yang saya benar – benar tak bisa berbuat apa – apa untuk sesuatu yang seharusnya diperbaiki.

Sekembalinya saya ke kantor, satu kalimat yang membuat rekan – rekan lain agak bingung : ' Pastikan saya tak bertemu Ruslan untuk beberapa lama.... '

Tentu saya tak ingin mengatakan bahwa saya merasa seperti orang yang sangat jahat sekali saat berhadapan dengan manusia yang sebelum saya pergi sempat ia minta tolong untuk jatah berasnya dikirim duluan itu......

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar