Powered By Blogger

Maret 19, 2009

Sketsa hidup yang usang

Dalam titian rindu yang meranah pijak akan kegoyahan, berulang kali semangat itu ia topang dengan kegetiran. Ia kerap menangis di belakang tawanya. Ia sering tesenyum pahit di sela kumandang syukur alunan semesta. Ia yang belakangan hari merasa hampa.

Apa yang termakna dalam pikir ia ?

Debu kota malam adalah kegelisahan kehidupan dari ratusan manusia yang terlupa. Adit kecil yang tersungkur di emper bangunan tua seorang Madame Tia, berkawan dengan sebotol kosong anggur dan – beberapa - potongan cerutu ganja yang terhisap pula ampasnya. Atau kehadiran penjual mie ayam yang penuh harap mencari manusia lapar di hamparan malam. Pak Bendu yang tertidur di kuda roda tiganya. Penumpangnya masih setia melayani ‘ sang tamu ‘ di kamar surga.

Akh, ia semakin sering menggigit bibir mungilnya. Bahwa hidup itu adalah takdir bagi yang terpinggirkan.
Bila hidup itu adalah jalinan mimpi dan ribuan harap selayak bintang, maka hidup bukan untuk ia.

“ Maka berbicaralah kita akan cinta “, khayalnya membentuk jalinan rumit akan mimpi seorang srikandi. Beribu Arjuna telah ia suguhkan tarian pengabdian, selayak Drupadi yang menari, tertelanjangi keangkuhan dasartha.

ia tak lagi merasa cinta,

Dirinya lah seorang cinta kepada anaknya yang kini mulai mengeja Iqra di samping Ibunya yang kian renta.
Dirinya lah seorang cinta akan seorang laki – laki yang menjauh di saat kritis teriaknya di ambenan bidan desa.
Dirinya lah cinta yang berpeluh itu.

Hingga kota menawarkan takdir untuk ia.
Bahwa hidup adalah pertahanan.
Bahwa hidup adalah panggung sandiwara,
maka ia lakoni sandiwara itu – kini.

Dan seperti malam yang telah berlalu, malam yang sama sejak tiga tahun yang mengenang derita. Seorang arjuna datang.
Menawar cintanya,…
Menggamit lengannya,
membawanya pergi…..

Membawanya ke sepucuk cinta yang – coba - ikhlas ia persembahan untuk Anak dan Ibu nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar