Powered By Blogger

Maret 10, 2009

yang tak semestinya - pemberontakan hati

Sungguh kuterjebak dalam pusaran mimpi, saat semuanya terasa asing malam ini.

Cermin jiwa,

Bayang hati,

Menyadari sekali bila diri ini mulai ikut memutih bersama tebaran buih laut.
Menyapa di antara riak, dan hancur...

Aku terperangkap di jalan yang tak seharusnya ada. Pada siapa ku lempar rasa salah ? pada siapa ku titip tanya mengapa ?

Lirik lagu rindu berpendar di selaput ari dan menusuk jauh dalam jaringan sel syaraf yang berpilin rumit. Aku terkesima, aku terjerembab dalam keraguan.

Sekelumit memori tua hinggap kembali seperti celoteh kecil kupu – kupu yang baru saja keluar dari chrysalisnya. Aku terperangah gundah. Masa lalu yang terbentuk dari mimpi – mimpi akan kemewahan kini menampakkan wujudnya. Menagih janji,…dan menyumpah serapah akan ketidakberdayaan pemiliknya.

Mereka meraung – raung selayak laron yang membumi di saat kelembapan jiwa terasa. Menghinggapi pikiranku yang panas.

Sekali – kali kukibas mereka, hingga beberapanya tersungkur kembali menemui nyata. Aku tergelisahkan, aku kini mulai menumbuhkan rasa takut yang sangat di sisi kesombongan hati. Laron itu semakin menjadi dan kumpulannya membentuk godam yang beberapa kali menghancurkan nalar akalku.

Ibu,
adakah kau beri niat anakmu ini kemiskinan sebelum lahirku ? Ataukah kubangan jelaga ini adalah memang pusaraku ? Tapi mengapa saat itu selalu kau tunjukkan sisi lain, dari rumah kecil kita.
Kau berbagi cerita tentang istana Aladin yang terbentuk hanya dari usapan halus di lampu tua. Kau nyanyikan cerita Ksatria yang menundukkan ribuan jin dan memaksanya mereka tersumpah dan terbudak pada candi cinta.

Dan kau wahai Bapak,
Di manakah cangkulmu saat ku berlari menyapanya ? Kau lebih memilih mengusirku ke tengah dunia buku – buku dan kumpulan bocah – bocah mama ? Kau mengantarkan padaku dunia gedung tua di kota yang baru menggeliyat muda, hingga lambat launku tak lagi mengenal lapuknya tiang pondok kita ? Kau yang membuatku tak lagi mengenali rumahku ?

Tapi apa katamu Ibu ?
selepas tubuh tua Bapak menghilang di balik sempitnya tanah pekarangan yang tersisa, kau hanya dan selalu menyeruput subuh dan senja dengan zikirmu.

Kau diam.
Dan tanganmu yang layu itu hanya menunjukkan baris – baris yang lama tak ku kenali lagi. Kau mengalunkannya merdu, seolah – olah kau ingin membunuh gelisahku dengan gerak bibirmu.

Ibu,…..

Nestapaku hanyalah penantian akan sumpahmu, sumpah yang bisa kau layangkan ke seluruh penjuru langit. Sumpah yang bisa membuatku terkungkung di aliran sungai tangis kesalahan. Aku yang tak berbudi, aku yang tak juga bisa berhasil mengarungi lautan harapanmu. Harapan Bapak.

Maafkan aku Ibu,

Maka ijinkan anaknda kembali,
Kan kupenggal bukit dan menciptakan kembali ladang untukmu.
Biarkan anaknda menciptakan hamparan langit yang setiap saat bisa kau kembarai di sela – sela tua mu…..

Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar