Powered By Blogger

November 16, 2009

Menjadi perempuan, menjadi istri, dan seorang Ibu

Bila seorang Simone de Beauvoir, sastrawan Prancis yang lahir di awal abad 20 pernah mengeluarkan statement untuk penghargaan dan kebanggaannya sebagai kaum Ibu di bumi ini.....
: "On ne naƮt pas femme, on le devient."

maka sahabat saya juga punya statement yang tak kalah membanggakan :

“ …karena saya adalah perempuan….. “.Begitu lugas. Seorang rekan kerja perempuan yang di awal 2007 kemaren memutuskan resign dan menjalankan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga.

Bahagiakah ? ‘….ha..ha…ha…aku lagi menimang si bayi nih…’ ucapnya pada suatu kesempatan terhubung di telepon. Dan setelah itu mengalirlah cerita haru biru berselubung pada nada bahagia dirinya mengurus sang bayi. Hal yang sangat sulit saya percaya bila melihat design hidup yang pernah ia lakoni adalah seorang wanita karier dengan workholic yang akut. Entahlah, semacam antiklimaks untuk saya dengan mendengar ceritanya beberapa waktu lalu.

.......................

Seorang kawan bergumam kecil : ” Aku takut penjelasan yang ia tangkap tidak memuaskan...”

Hi, kenapa ?

Sang kawan bercerita, anaknya yang baru menginjak usia Taman Kanak – Kanak mempertanyakan perihal kenapa Sang Ayah ditempatkan posisi keempat, sementara Sang Mama berada di no 1,2, dan 3. Setidaknya itu yang ditangkap oleh sang anak dari ilmu yang di dapat dalam TPA yang diikutinya suatu sore.

Istrinya berdarah Batak, sementara ia sendiri adalah Banjar – Sunda. Sang Anak lebih mendekat pada dirinya untuk hal – hal yang bersifat sosial, sementara sang Mama lebih mendisiplinkan diri sang anak dengan ketegasan dan keteraturan ritme dalam rumah tangga.
Bagaimana kau menjawabnya ?

” Entahlah, aku hanya mengatakan karena Mama adalah pelita untuk Ayah, ia, dan mungkin saudara ia nantinya. Itu saja. Aku tidak seperti kau yang bisa menjelaskan sesuai psikologi anak mungkin, secara agama mungkin. Akh, sudahlah......Aku cuman takut saja.....”

Ada yang salah dari kawan saya tersebut, ia tidak bisa serta merta mengabsenkan sang istri untuk menjawab perihal ini. Bagaimanapun saya sepakat sang anak tidak bisa di dogmatis dengan hal – hal yang kaku tanpa adanya reason yang bisa ia terima sesuai nalar akalnya dan sejauh mana kemampuan pemahamannya. Tapi satu hal yang sangat saya hormati dari sang kawan adalah :
” Aku takut.... takut saja jawabanku tak mampu memuaskan ia. Kau tau tentu, kita laki – laki ini tak perlu berbilang urut itu, bila ia tak mampu menghormati Mamanya nanti, itu adalah kegagalan aku sebagai Sang Ayah ”

........................

Ada beberapa orang yang bercakap di suatu kantin tempat saya menghabiskan malam untuk sekedar membuang rasa lapar setelah Isya.

” ....aku pengen cari istri yang seperti Siti Aisyah.....”

Kalimat yang membuat saya harus meneguk bulat – bulat makanan yang baru saja saya haluskan di geraham saya. Mereka masih anak bau kencur, masih anak sekolah lanjutan. Seserius itukah ?, hingga satu diantara mereka berencana mencari Siti Aisyah dalam sosok istrinya kelak ? Terbayang saja tingkat kesholehan yang harus mereka miliki.....

” ....aku ingin seperti Khadijah....”

Nah...........??????????

.......................

Hm, apa ya ? Sejatinya saya tidak bisa menggambarkan suasana pikir macam apa yang tertuang di benak hingga saya bisa mengetik tulisan ini. Di sela – sela kesibukan medio November yang hujan. Akhir tahun yang penuh dengan kegiatan rancang anggaran tahun depan. Sungguh, saya terkesima saja. Terkesima oleh apa yang pernah saya dengar, yang saya lewati, dan oleh apa yang saya rasakan sendiri saat ini. Pikiran akan penghormatan saya yang sebesar – besarnya akan kaum Hawa. Pengharapan terhadap sosok – sosok calon Ibu buat generasi. Dan keinginan untuk menjaga eksistensi dan kehormatan mereka sebagai bakal seorang istri untuk Suami.

Perempuan, Istri, dan Ibu.

Maka kembali menyimak apa yang terucap dari mulut Simone de Beauvoir : Orang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan...

Menjadi perempuan, menjadi seorang istri, dan menjadi seorang Ibu.

Tapi kesampingkan saja pemikiran Simone de Beauvior - seorang yang mempengaruhi pergerakan feminisme modern abad ini, tapi karena ada seorang Agung yang sudah menempatkan seorang wanita shalihah sebagai sebaik – baiknya perhiasan dunia. Dan ia adalah Muhammad SAW. Dan beliau pula yang berkata pada seorang Fathimah anaknya saat sang Anak begitu inginnya Sang Ayah membujuk sang Suami menyediakan jariah di sisinya: ” ....jika Allah SWT menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat. Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung ( mengerjakan urusan rumah tangga ) untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat ”

Dan terakhir,

hanya sekedar sapa dari saya melalui tulisan ini dan semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar