Powered By Blogger

Januari 06, 2010

Andai bulan mau sekedar turun barang sesaat,

Andai bulan mau sekedar turun barang sesaat, maka tidaklah seekor pungguk terus berkicau waktu malam. Tapi malam pun tak jua menghakimi awan kelam yang bergelayut menutupi rinai rupa bulan, karena kan bersambut jua pada rintik gerimis nantinya.

Dengan desir angin malam ini yang menggoyangkan dahan – dahan sawit dan bunga sepatu yang terulur mendekat celah pagar.

Seandainya bulan turun ? Seandainya pungguk tak merindukan bulan ? Seandainya malam tak berbulan ? Seandainya.....

Namun, apa jawab pungguk,
( pungguk berubah menjadi sesuatu yang halus berbentuk suara dalam subconciousness diri )

‘ kau berusaha menghancurkan puisiku. Tidakkah kau tau, Nyanyianku menjadi ilham dan bagian dari ribuan tulisan kemanusiaan kalian tentang cinta, tentang kerinduan. Tidakkah kau tau, bulan juga seorang pemeran perempuan yang anggun, yang tak begitu saja mudah tercumbu oleh puisi – puisi rayuku. Apakah kau ingin menghancurkan harmoni itu ? ‘

Pungguk mungkin hanya seorang perindu di balik lakon kehidupan lain yang ia miliki, dan bulan adalah sesosok anggun penerang malam yang tetap berada di batasannya. Kokoh di langit, mengambang. Pungguk dan Bulan tidak akan bertemu. Itu adalah sebuah keteraturan bahasa – bumi dan langit yang sering kita dengar dalam ilmu dasar tentang ragam susunan kalimat. Prasasti di hati kawan – kawan yang skeptis dan pesimistik bila berbicara tentang cinta.

Tapi menarik bila benar apa yang di ‘katakan ‘ oleh Pungguk. Ia justru merasa dirinya teraniaya bila tidak bernyanyi mengeluarkan lagu tentang rindu.
Ia akan menjadi salah, karena yang benar adalah : Pungguk selalu merindukan bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar