Powered By Blogger

Januari 04, 2010

‘ Siapa sih saya ? ‘ - Pelajaran dari Seorang Luna Maya

' Siapa sih saya,
Saya tak berkompeten untuk menilai mereka salah, mereka.....'

Itulah suatu narasi yang keluar dari seorang Luna Maya. Sudah sangat lama dan saya lupa kapan ia bersuara seperti itu. Dalam sebuah infotainment pula, statement yang menjadi paradoks dengan apa yang terjadi pada dirinya beberapa waktu lalu. Ia tersandung UU ITE yang dilaporkan oleh kalangan yang justru merekam dan memperdengarkan kalimat siapa sih saya nya itu.

Berbeda dengan Luna, Prita nasibnya lebih aduhai, bahasa kemayu ini harus saya keluarkan karena UU ITE juga awalnya adalah sesosok gadis anggun yang keluar dari moncong pemerintah berkuasa dengan kelembutan. Bahasa kemayu ini juga saya keluarkan untuk sebuah email yang beliau tulis sekedar menumpahkan curahan hati, bukankah setiap blogger membuat blog sebagai tempat curahan hati ?
Meskipun secara ada yang membahasakannya dengan lain kalimat : hasil pemikiran.

Apa berbeda dari Prita dan Luna Maya ?
Berbeda, tentu saja. Luna Maya adalah kebablasan berekspresi yang tak terkontrol - bagi si korban. Dan Prita adalah korban dari terperkosanya kebebasan berekspresi, tapi di sisi lain - si penuntut ( meskipun dalam beberapa kesempatan, statement mereka jelas mengatakan merekalah korban dan prita adalah pihak yang merugikan ????? ) justru mengatakan yang sama dengan korban pada kasus Luna. Mereka korban dari kebebasan berekspresi – sesuatu statement yang sama oleh korban Luna Maya, sekaligus sebagai salah satu ‘ rekan ‘ pendukung bagi Prita ????

Tapi begitulah, Prita sudah divonis bebas ( Alhamdulillah ). Luna Maya dan Infotainment sudah ‘ berdamai ‘ sepertinya ?

Saya tak ingin masuk lebih dalam pada personal ataupun kelompok. Saya hanya ingin menanggapi tentang kebebasan berekspresi. Ada satu sudut yang seringkali kita lupakan dalam menulis, yakni adab turun – temurun yang sudah digaungkan oleh leluhur kita, dan itu adalah sopan – santun, tenggang rasa.

Saya ingat sekali dulu sewaktu masih mendapatkan PMP ( Pendidikan Moral Pancasila ) dan tak berapa lama bermetamorfosis menjadi PPKn ( Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ) dalam bidang study pembelajaran sekolah lanjutan saya, ada bunyi kalimat : Setiap manusia mempunyai hak – hak yang dibatasi oleh hak orang lain.

Artinya kebebasan berekspresi kita memang tidak terbatas selama itu tidak menyentuh pada hak orang lain.
Ada batasan normatif sebenarnya yang menyapa kita dalam berekspresi, dan itu ada di luar diri kita. Bersifat tidak mengikat secara duniawi, yang bisa kita acuhkan dia, bisa kita campakkan dia dalam nurani. Egoisme humanis.

Batasan yang tidak mampu dibahasakan oleh UU maupun produk hukum lainnya. Dan itu ( sekali lagi ) benar – benar berada di luar diri kita. Bisa jadi ada pada diri orang lain, lingkungan sosial yang secara langsung ataupun tidak langsung terhubung pada ekspresi kita.

Inilah yang seringkali menjadi perdebatan. Sangat sulit untuk menemukan titik temu dalam satu sudut pandang yang sama – bila selama itu kita melihat pada tatanan kemanusiaan kita dalam hal kebebasan berekspresi.

Begitulah, hidup di tengah masyarakat yang multikultural menuntut kita agar lebih cerdas memahami dan menyadari kehadiran sosial lain yang bisa jadi ‘ berbeda dalam penyampaian dan penerimaan suatu pendapat ( baca : ekspresi ) ‘ dengan diri kita. Sebagai penyesuaian atau adaptasi kehidupan. Bukan berarti mengalah, tapi pada lebih kemampuan untuk berstrategi. Tidak terkecuali dalam hal ekspresi di dunia maya, dunia tulis – menulis dan lainnya.

Maka, saat ini – lepas dari apa yang telah diungkapkan oleh seorang Luna Maya di account twitternya – saya sangat mengharapkan kepada diri saya sendiri mengatakan hal yang sama seperti kalimat yang telah ia ucapkan dulu : ‘ Siapa sih saya ? ‘ dalam kegiatan mengekspresikan diri lewat tulisan.
Sekedar teropong diri - yang seorang manusia biasa dan ada kemungkinan memasuki areal yang membuat pribadi lain tersakiti dan tanpa tersadari oleh saya, sebagai bagian dari pengakuan ketidaksempurnaan saya yang ingin setiap ekspresi diri ada sebuah koreksi.

Sangat bijak seorang kawan yang dalam sebuah tulisannya ditutup dengan seuntai kalimat yang sangat indah,

Kemanusiaanku membuatku menulis, dan nuraniku meminta maaf bila ada yang tersakiti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar