Powered By Blogger

Juni 16, 2010

Pembahasan tentang diri saya pribadi

Bila menurut seorang sahabat saya di MP ini : bahwa ia tidak bertanggung jawab terhadap isi kepala ( pikiran ) orang lain – yang ia tuliskan dengan sangat baik hingga saya mengerti dan memahami itu menjadi pilihannya dalam bersikap - bagi saya sekarang itu ada sekali benarnya. Dalam artian saya bisa saja memberlakukan itu pada situasi yang saya anggap mempersulit pikiran saya. Ini berkaitan dengan kadar melankolic saya yang terlampau besar, sehingga saya sangat terganggu sekali pada pandang orang lain tentang saya maupun sikap orang lain ( sahabat ) pada diri saya.

Sekedar contoh : Saya sensitive sekali bila mengetahui seseorang atau banyak orang memandang atau memberlakukan saya dengan sikap marah, lantas saya tak mengetahui apa kesalahan yang saya perbuat atau saya merasa tak termaafkan oleh sesuatu hal dari diri saya, entah apakah itu sikap, ucap, keputusan, ataupun posisi saya.

Ini menjadi siksa bagi saya pribadi. Karena pada dasarnya saya adalah seorang yang dengan mudah menyerap sikap – sikap, ide – ide, atopun feedback dari individu – individu lain di luar saya. Sehingga kesepahaman atau paling tidak kemakluman pada individu adalah semacam pengharapan pula dari saya terhadap individu lain. Semacam umpan balik yang rata. Bila jalinan antara saya dan individu lain retak, maka akan ada semacam ketidakseimbangan di diri saya pribadi, entah dengan individu lain yang terikat jalinan ( sahabat, keluarga, sosial lainnya – baik dunia nyata maupun dunia maya ) tersebut dengan saya, saya sungguh tak tahu.

Inilah analisa saya terhadap diri pribadi dari apa yang saya coba saya pahami.
Terlalu narsis ya ?
…hehehe

Yaps, saya hanya mencoba menalar dari awal persepsi yang terbentuk sedemikian rupa, judgement yang saya tanamkan dalam jiwa, dan sikap yang seringkali saya lakukan setelah proses di dalam diri sendiri.

Nah, kembali pada persoalan di atas – bahwa saya bisa saja memberlakukan kalimat itu dalam pikiran saya. Semacam doktrin yang coba saya tancapkan pada otak saya, meskipun saya mengetahui persis kadang pikiran tak bisa mengajak hati dan tubuh berjalan secara beriringan.
Saya bisa egois dengan mengatakan bahwa : Loe mo marah, loe mo benci, loe mo sedih, itu masalah loe….
Tapi nyatanya hati saya lantas menggugat : tidakkah kau ingin lebih tau dia marah karena apa ? benci karena apa ?
atau tidakkah kau ingin ia menceritakan kenapa ia bersedih ?

Gumpalan bentuk tanda tanya yang bukan saja karena keinginan tahu, tapi semacam tuntutan jiwa sebagai bagian dari instropeksi diri bila itu berkaitan dengan diri sendiri, dan bila tidak, maka akan muncul semacam rasa keinginan untuk memproyeksikan diri sebagai seorang sahabat, seorang keluarga, seorang individu yang baik dalam tatanan sosial dengan berusaha masuk dalam usaha mengerti dan usaha find of solution.

Sehingga muncul sikap yang entah apakah saya akan menjadi egois dengan menurutkan pikiran yang terdoktrin seperti yang saya jelaskan di atas, atau sikap yang muncul karena terbawa dari sebuah hati ? Tergantung dari proses dari dalam diri saya pribadi sebenarnya, dan sayapun kadang tak menyadari hingga keputusan ( sikap ) tersebut terlaksanakan. Hingga muncul rasa puas, berhasil atau menyesal nantinya….

Wah, ini terlalu rumit ya ?
Semoga saja tidak, karena dari sini saya akan juga mencoba menjelaskan bahwa kadang retorika itu sama sekali tak benar atau jatuh karena tak berdasar. Dalam artian persepsi ( saya senang menggunakan kata ‘ sensitive ‘ sebagai ganti ) saya, berproses pada judgement saya dalam alam bawah sadar, yang kemudian membentuk sebuah sikap itu sama sekali tak menemukan muaranya. Maksud saya ini berkaitan dengan individu lain yang berada di luar diri. Jadi kadang bentuk proses di dalam diri ini ternyata tak mendapat kesepahaman oleh orang lain.

Analoginya adalah :
Pada suatu saat saya menemukan sebuah tanda ( isyarat ) dari individu lain yang lantas persepsi ( sensitive ) saya menjelaskan ‘ ia marah ‘ pada saya. Judgement saya bisa memilih keegoisan diri atau hati saya akan memenangkan perang bathin – tentu saja dengan berbagai analisa – analisa cepat tentang kemungkinan – kemungkinan alasan yang melatarbelakangi, dan bila ini benar maka sikap saya lantas muncul sebagai bentuk minta maaf.
Saya konfirmasi dalam bentuk pesan, dalam bentuk ucap langsung face to face, dan langkah lainnya.

Nyatanya ?
Individu lain tersebut lantas memunculkan feedback : Lho, saya marah apa ? Lho, saya tidak marah kok. Siapa yang marah ?
Atau : Iya, saya marah karena…..sesuatu hal yang luput dari analisa saya, apakah karena sesuatu yang lain dari saya, atau karena sesuatu dari individu lain maupun lingkungan orang tersebut.

Nah lo ?

Hehehehe, begitulah. Intinya saya makhluk yang cukup rumit. Bisa dikatakan a someone who predictable but he can't doing prediction with other
; semoga gak salah bahasa enlizzzzznya

Inilah saya yang pribadinya mempunyai masalah, dan tepat berada pada sinkronisasi antara jiwa saya dengan ‘ orang lain terhadap saya ‘. Semoga dengan begini ada yang cukup mengerti siapa saya.
Berharap….

Cukup. Hingga di sini dulu. Nanti saja saya lanjut lagi pembahasan tentang diri, karena saya juga tertarik untuk membahas orang lain dalam sudut pandang psikologi seorang saya, meskipun nanti akan terlihat subjective, karena ini menjadi penting saya tuliskan sebagai bentuk pengenalan diri saya kepada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar