Powered By Blogger

Juni 24, 2010

' Tak kenal, maka tak sayang ' : Episode Paman Has

Saya tidak terlalu bisa mengenal setiap orang secara personal dengan baik.
Saya hanya seorang yang senang menganalisa kepribadian orang lain dari output yang keluar darinya. Dan inilah yang saya yakini sebagai batas kesanggupan saya. Selayaknya sebuah kendi, saya tak mengetahui apapun isi di dalamnya bila saya tak melihat isinya tertuang. Terasa tak adil memang, karena kadang manusia adalah tempat salah dan khilaf, dan penghakiman ( baik itu sikap positive maupun negative ) atas apa yang tersaji tak juga bisa dianggap tepat. Karena saya adalah manusia, karena kamu, dia, dan ia adalah juga seorang manusia.

Bagaimana sebuah persepsi terbentuk, bagaimana sebuah attitude tersetting sedemikian rupa dari pembelajaran maupun pengalaman hidup, bagaimana proses terbentuknya sebuah kesimpulan ( analisa ) dari dalam diri terhadap seseorang benar – benar takkan pernah lepas dari posisi humanisme kita.

Jadi bila saya harus menulis sesuatu bertemakan ‘ tak kenal, maka tak sayang ‘, sungguh saya jadi sulit.
Jadi ingat pula tentang masa lalu, yang dengan pengalaman itu saya bisa saja merubah idiom ‘ tak kenal, maka tak sayang ‘ menjadi tak kenal, maka akan saya sayang.

Bingung kan ?

Tapi ya itu adalah bagian masa lalu dan benar – benar tak ada relevansinya dengan thema tulisan yang diminta. Mungkin nanti akan saya coba buat tersendiri bagian ini seperti yang pernah saya utarakan bahwa saya tertarik untuk menuliskan pengenalan diri terhadap orang lain berdasarkan subjectivitas seorang saya. InsyaAllah.

Jadi saya harus bagaimanakah ?
Hm, selain ada keinginan yang kuat untuk ikut penulisan bertema ‘ tak kenal, maka tak sayang ‘ saya juga merasa perlu membagi apa yang saya pikirkan ini.
Karenanya saya sedikit bercerita saja, kisah yang saya kira cukup untuk masuk sebagai bagian kecukupan syarat, yakni cerita ( pengalaman ) yang bisa disimpulkan bahwa ‘ ( saya ) tak kenal, maka ( saya ) tak sayang ‘.

…………………

Saya punya seorang paman, adik dari Alm. Abah saya. Ia adalah keluarga ( mamarina dalam bahasa banjar ) yang paling jauh posisinya bila melihat pengenalan kami akan saudara – saudara dari pihak Bapak. Bahkan pengenalan kami terhadap saudara tiri Alm. Abah jauh lebih baik dari beliau yang notabene adalah saudara kandung. Saya awalnya tak mengerti dengan sikap tersebut. Kekanakan kami menganggap itu bukan sesuatu yang masalah, atau apa sih repotnya ?

Berbeda saat saya kini, kakak, dan adik saya - tiga anak kecil dulu yang oleh Alm. Abah sempat diajak ke rumah paman saya tersebut hanya untuk sekadar menjenguknya. Begitu singkatnya dan frekuensi yang kurang menyebabkan kami hampir saja lost memory – beranjak dewasa.

Terlebih saat ada problem internal keluarga menyangkut proses pemakaman Alm. Nenek yang menyebabkan konfrontasi hebat ketika itu antara beliau dan seorang sudara Alm. Abah pula. Setidaknya di antara kami bersaudara, kakak sayalah yang menyaksikan peristiwa itu dan membagi cerita pada saya dari kejauhan. Bahkan hingga kini. Saya sempat tertegun, begitukah ?

Oh ya, mungkin perlu saya perkenalkan bagaimana seorang saya mengenal beliau dulu, paman, adik dari Alm. Abah saya.
“ Kau harus banyak belajar dari Paman Has “,
itu ucapan dari Alm. Abah. Kembali hadir di antara slide – slide yang mengisahkan masa lalu di otak saya. Benar, beliau sering kami sebut dengan Paman Has. Di kedewasaan yang saya miliki kini, saya menilai Paman Has adalah seorang yang teguh pendirian, keras kepala, dan pekerja keras, Bahkan saya sempat terdiam haru, kagum, sekaligus hormat pada saat Alm. Abah menceritakan tentang adiknya itu.

Paman Has terlahir dengan kasih sayang yang minim, karena Abah adalah tujuh bersaudara, sementara Alm. Kakek juga memiliki banyak anak dari istri mudanya yang janda dan memiliki anak pula sebelumnya.

Paman Has sudah mandiri di usia anak – anak, berumur tujuh tahunan ia sudah tidak lagi ikut hidup di rumah keluarga besar. Beliau menghabiskan banyak waktu di jalan. Ikut dengan seorang sopir truck dan menjadi keneknya. Kehidupan yang keras, sekaligus penempaan diri yang luar biasa untuk seorang anak seusianya saat itu. Dari sana beliau diajar oleh orang – orang dewasa semacam buruh terminal, para sopir, preman, dan aparat, hingga mungkin di sinilah letak terbentuk sosok seorang Has yang dulu tak pernah saya jumpai tersenyum. Seorang Paman yang selalu marah pada anak – anak yang mendekat padanya, kecuali pada kami bersaudara. Mengingat Alm. Abah yang juga seorang pejuang kehidupan di ekonomi sulit saat itu memang terasa sekali membuat Paman Has respect pada sosok Abangnya, Abah saya.

Intinya adalah saya yang dari awal hingga semenjak konfrontasi internal keluarga begitu tak mengenal siapa Paman Has sesungguhnya, selain hanya mengetahui hal – hal luar yang beliau perlihatkan pada kami di masa kecil dan cerita beberapa keluarga yang berdasar pada subjectivitas masing – masing. Hingga di medio tahun 2004 saya berkunjung ke rumah beliau. Memberanikan diri karena ada suatu urusan yang saya harus terhubung dengannya. Saya datang dengan pengenalan yang masih melekat pada beliau, tentang sosok yang suka marah, sosok yang tanpa senyum, sosok yang tampak egois, sosok yang masih dibenci oleh beberapa saudaranya sendiri.

Begitulah, saat pintu rumah terketuk, ucap salam dan hormat saya perdengarkan pada istri beliau, dan maksud saya yang ingin bertemu dengan Paman Has.
Bertemu dengan beliau setelah sekian lama tak sua dan lebih lama lagi tidak berkomunikasi. Saat itu beliau sedang rebahan nonton bersama dua orang anaknya. Saya membelakanginya, dan saya yang tadi diminta langsung saja mempertemukan diri oleh istri beliau ke ruang tengah keluarga agak sedikit menemukan sebuah gambaran kemanusiaan yang berbeda dari apa yang saya simpulkan selama ini di alam sadar saya.
Yaps, benar. Paman Has terlihat bercanda dengan anak – anaknya, terdengar gelak tawanya, bahkan hanya karena sebuah remote TV membuat beliau harus berputar – putar di lantai karena dikeroyok oleh dua orang anak kecil berusia puluh tahunan. Beliau berkelit dan terus berguling, sementara anak – anaknya terus saja menyerang beliau dengan usaha merebut remote TV di tangannya. Hingga sekejap beliau menyadari kehadiran saya. Beliau terlihat begitu kaku, karena saya baru saja melihat yang berbeda dari apa yang selama ini beliau ‘ proklamirkan ‘ terhadap orang lain, termasuk juga saya.

Entahlah, apakah ini karena memang keinginan beliau, atau beliau memang tak begitu peduli dengan persepsi orang – orang. Hingga lingkungan luar rumah adalah dunia yang tak perlu dan tak boleh memahami siapa diri ia sebenarnya ? Saya tak tahu.
Remote berpindah tangan tanpa perlawanan, acara TV program Tinju Internasional di hari minggu itu begitu cepat berganti dengan keramaian kartun anak – anak. Sejak saat itu pengenalan saya terhadap paman Has jadi berbeda, lebih terlihat sebagai subjectivitas langsung. Tanpa input dari pihak kedua.

Seorang Has adalah seorang yang fleksibel. Saya tidak ingin lebih jauh mengungkapkan penilaian saya terhadap beliau, dan sayapun tidak ingin menceritakan lebih apa yang terjadi di Internal Keluarga saya sehingga ada sedikit kesulitan bagi saya mengenal sosok saudara dari Alm. Abah saya ini. Yang pasti hari itu saya dengan mudahnya berbagi tawa dengan beliau dan berbagi cerita.

Saya tak bisa mengklasifikasikan ini adalah tak kenal maka tak sayang. Paman Has sudah saya kenal sejak kecil, dan beliau adalah keluarga yang saya tidak bisa mengatakan saya tidak menyayangi beliau bilamana saya tak mengenal beliau yang sebenarnya. Tidak.
Dengan cerita ini saya hanya menggambarkan bagaimana kemampuan pengenalan kita terhadap seseorang akan mempengaruhi rasa kita. Maksud saya, saat peristiwa tontonan yang berbeda di rumah itu saya menjadi memeriksa dan menganalisa kembali kesimpulan – kesimpulan yang sudah terpatri dalam ‘ kotak hitam ‘ di diri saya terhadap sosok seorang Has. Inilah yang tekan menjadi bagian dari idiom di atas, ‘ saya mengenal ‘ Paman saya akhirnya.

Saya menjadi merasa menjadi tambah ‘ sayang ‘ pada beliau, menjadi tambah respect pada beliau, menjadi tambah ramai dengan beliau.

Dan lebih daripada itu,
Saat saya mendapati beliau bercanda dengan anaknya di rumahnya saat itu, saya seperti melihat Alm. Abah dan kami bersaudara di sana, di masa lalu.
Paman Has sangat mirip dengan Abah saya.

Has adalah……apapun yang terdeskripsi dalam pikiran saya, dia adalah paman saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar