Powered By Blogger

September 14, 2010

Hintalu Batuk

.

Ini adalah tulisan yang tercipta setelah pembicaraan saya dengan seorang Bunda Nanda di awal – awal puasa Ramadhan lalu. Tak sempat saya publish, hanya diam di dalam catatan kecil saya sendiri.
Dan pagi ini, saat tadi ada sedikit komunikasi lagi dengan Bunda Nanda dan ada kata pasar dalam percakapan kami, saya jadi teringat dengan percakapan ini. Tentang Hintalu Batuk, sesuatu yang awalnya saya tak sempat mengerti itu apa ?

...........................

Pasar yang ramai dan hintalu batuk ( telor asin ) akan menjadi menu menarik untuk dihidangkan di suasana sahur di awal puasa ini. Ditambah dengan beraneka sayur dan lauk lain, setidaknya itulah yang tersampaikan pada saya oleh seorang Kakak. Kakak angkat. Bunda saya memanggilnya. Tentang Hintalu batuk sendiri adalah sesuatu hal yang sangat membuat saya tersenyum sekali mengenai penyebutan itu. Bagaimana tidak, hintalu atau telor seperti yang kita ketahui biasa dijaruk atau dibuatkan asin, sehingga lebih terasa berbeda dengan telor yang dihidangkan dalam bentuk lain, seperti goreng ceplok, dadar, dan sebagainya.

Lantas kenapa bisa ada penyebutan batuk di belakangnya ? Awalnya tentu saya tak tahu. Hingga Bunda menghadirkan kalimat berlabel atau berstempel di setiap telor asin yang dijumpai.
Mengapa ? Mungkin ini berhubungan dengan marketing, promosi. Ini lho telor asin buatan oleh kami ( sang pembuat ).
Dan pembahasan terus berkembang, mulai warna telor asin kok bisa terlihat biru ? ( tak ada jawaban logis untuk tanya ini, ada yang bisa bantu ? ).
Tapi kata berstempel sendiri tak juga bisa menghadirkan relasi mengapa ia disebut hintalu batuk, bukan ?
Jawabnya tentu saja ada, dengan catatan anda adalah urang banjar yang mehalabiu.
Nah lho ?
So, what’s the meaning of mehalabiu ?
Mehalabiu lebih berarti layaknya halabiu. Sedangkan Halabiu sendiri berasal dari kata dasar Alabiu, yakni suatu daerah di Kalimantan Selatan ( bagian Hulu Sungai di Utara – Amuntai ) yang mempunyai logat yang khas dalam penyebutan sebuah kata. Semacam lagu.
Jadi bisa saya jelaskan mengapa telor asin disebut hintalu batuk, adalah karena setiap telor asin yang dijumpai di pasaran selalu berstempel atau dalam bahasa lebih familiar di daerah Kalimantan, yakni bertok.
Lantas mulai dari kata bertok inilah yang terbaca oleh orang Banjar yang Mehalabiu ( meminjam istilah Bunda ) adalah bertuk, dan lambat laun berubah menjadi betuk, kemudian dikompromikan secara sosial menjadi hintalu batuk.
mungkin seperti ini ya Bunda ?

Hehehehehe, terlalu panjang kali penjelasan ini. Begitulah, akhirnya saya mendapatkan kosakata baru dalam penggunaan bahasa banjar saya. Lebih tepatnya plesetan untuk penyebutan sebuah benda dengan menggunakan literasi daerah sendiri.

...........................

Jadi ingat seorang kawan yang notabene orang jawa tapi lama tinggal di Samarinda secara spontan menanyakan identitas saya :
“ Hah, kam ini urang banjarkah ? Aku kira urang Sunda…..”

Hehehehe, percayalah. Saya bisa dikatakan hampir hilang identitas daerah saya di sini. Suatu tempat yang Indonesia kecil, tempat tanah para pekerja.

Note :
Mohon maaf bila sebagian teman tidak mengerti akan beberapa kosakata, karena itu adalah penyebutan dalam bentuk daerah banjar ( bahasa banjar ).
Dan buat Bunda, photonya saya curi buat diedit ( hancur dach itu sepertinya ) .


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar