Powered By Blogger

September 11, 2010

Sepagi itu aku berpaling : Ibnu Tosanov

.



“ Dalam bermuamalah ada kelonggaran tersendiri….”, perkataannya terputus olehku.
“ Dengan bisa saling pandang seperti ini ? Tak harus ghoddul bashor seperti yang kau ucapkan ? “ tembakku bertubi – tubi.
“ Iyaaaa…, tapi…,” lagi – lagi belum usai ia bicara telah ku potong.
“ Ana tau pola pikir antum. Bahwa menurutmu ketika seorang ikhwan dan akhwat sedang mengobrol tak mesti gaddul bashor. Karena tak sedikit yang ghaddul bashor pun tetap memberikan ruang di hatinya untuk mengingat lawan bicaranya tadi. Sekalipun Ana percaya, antum bisa menjaga hati ! “ Aku begitu berapi – api. Meskipun dulu aku sempat luluh ketika ia mengilustrasikannya dengan kondisi Siti Aisyah kala bersosialisasi dengan Abu Hurairoh, Ibnu Umar atau para sahabat lelaki lain ketika akan meriwayatkan hadist.
“ Tentu antum paham betul. Bila si fulan mendapatkan hadist dari Abu Hurairoh, kemudian beliau misalkan mendapatinya dari penuturan Aisyah. Nah, adakah kemungkinan jika Aisyah tak menundukkan pandangan ketika menyampaikan kepada sahabat yang selalu membawa – bawa kucing di pundaknya itu ? “ Penjelasan panjang lebar ini dulu membuatku tak berkutik. Diam seribu bahasa. Tapi, itukan dulu. Saat ini hatiku berontak tak sependapat.
“ Afwan, atas kelancangan ana barusan “, hanya sedikit rasa penyesalan terlintas di wajahnya, “ Tapi sekali lagi ana tegaskan, ana tetap mempertahankannya. Islam itu mudah, fleksibel dan luwes. Kalau boleh saran……, “ terhenti sejenak menanti kepastian dariku.
“ Silahkan, “ ijinku spontan.
“ Jangan hanya gunakan ini dan ini, “ berturut – turut ia menunjuk kepala dan dadanya, “ Tapi padukan pula keduanya dengan pertimbangan syari’at, “ lanjutnya bijak.
“ Maksud teh….? “, selang Nani ( sepupuku yang menemani ia ) yang sedari tadi diam memperhatikan sebelum didahuluiku.
“ Jangan hanya gunakan rasio atau perasaan dalam menilai baik dan tidaknya suatu masalah. Lantaran ukuran benar dan tidaknya bukan atas dasar keduanya. Namun, gabungkan di antaranya dan selaraskan dengan syari’at yang berlaku,” dengan kalem ia melanjutkan penjelasannya.

.........................

Dialog di atas adalah penggalan cerpen lama berjudul Sepagi itu aku berpaling dari : Ibnu Tosanov ( sepertinya nama pena ). Ilustrasi yang terbangun oleh pertentangan sudut pandang menyikapi interaksi. sosialita kita secara umum yang tentu tidak bisa mengesampingkan ato memarginkan : ini khusus ikhwan dan ini khusus akhwat.
Menarik untuk saya membaca alur dari cerpen tersebut. Ada semacam argumentatif yang bisa teraba dan juga ketakutan akan rasa yang mungkin tak bisa dimanage dengan baik, dan inipun sangat terasa kuat mengingat kita manusia adalah tempat salah dan khilaf.

.........................

Ah, Lala. Kalaulah kau tahu isi hatiku, betapa hati manusia tak bisa di bohongi. Memang aku akui bagimu tak masalah, kau sanggup menjaganya agar tak ternoda. Tetapi, La, jangankan bertatap muka langsung, pandangan selintaspun dapat terekam terus. Panah iblis itu begitu kuat menancap di hati kita. Barangkali kau khilaf. Apalagi saling pandang menatapi satu sama lain ?



*Tiba – tiba saya ingin membagi ini pada seorang sahabat


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar