Powered By Blogger

Februari 06, 2011

27 - my reflection

.



Sebenarnya tak ada yang perlu di ucap selamati…...bila dalam langkah yang mencoba mensejajari waktu ini semakin ringkih. Memberanikan diri untuk sedikit mengenang, maka kita telah melewatkan banyak hal dari yang seharusnya. Merenung untuk instropeksi diri, meskipun dalam keterbatasan dewasa yang ranum.
Karena langkah kita sebenarnya adalah timbunan minus waktu yang tertutup pada kata pertambahan usia.

.......................

Saya bertambah usia, bilangan masehi saya menunjukkan angka 27 sejak dini hari tadi. Lebih dari seperempat abad saya bernafas, dan hampir mencapai setengah dari capaian rata – rata usia umat Muhammad SAW ( Junjungan dan Suri tauladan saya dalam menyakini iman ini ) yang berkisar di rentang 55 – 65 tahun untuk hidup, normal.

Tapi hidup siapa yang tahu. Jodoh, Rejeki, dan Maut tak mampu manusia menerka pasti. Dan saya bukan orang yang suka untuk diprediksi.
Saya yang manusia hanya mampu berikhtiar serta do’a, dan ketika capaian apapun nanti saya tak kuasa menolak sebuah hasil, maka pilihan syukur dan sabar seperti yang diajarkan semacam sebuah laku yang mesti dimaknai dengan khusyu.

Ada sebuah ruang di lingkaran pikir dan hati, untuk saya duduk sebentar mengingat apa yang pernah terlewati. Mencoba kembali bercermin. Mencoba kembali mengingat stasiun – stasiun persinggahan, dan landscape sisi – sisi rel selama kereta api saya bergerak kian maju. Tanpa jalan mundur., karena seperti seorang sahabat menuliskan : ( tentu saja ) karena waktu menolak untuk mundur, karena ia melesat tanpa peringatan. Ia terus bergerak maju, hari ini, saat ini, di detik ini semua akan bergerak menuju pertambahan angka – angka. Tanpa pernah mengetahui titik batas.

Menuju akhir….

Kadang saya akui slide – slide masa lalu kembali hadir dalam gambaran yang seringkali acak, seringkali tak utuh. Tapi saya mengetahui bahwa semuanya itu ada karena sebuah proses mengenang dan penolakan untuk diingat menjadi satu dalam benturan refleksi diri.

Kenyataan bahwa ada beberapa masa lalu yang membuat saya membenci diri sendiri, menyesal dan menyesal. Kenyataan bahwa saya menemukan banyak hal yang saya terlambat, dan serta saya, dengan kehidupan yang ada saat ini, betapa semestinya saya mengibarkan bendera ke-syukur-an atas masa sekarang bila mengenang masa yang terlewati.

Karena itu masa lalu….

Kini refleksi diri saya hadir dengan perencanaan yang membentuk ornament – ornament dalam sebuah dunia harapan, dunia padang ilalang yang dulu tak pernah terbayangkan, kecuali oleh cerita beberapa kawan, tentang tanah para pekerja yang mereka – mereka di sana banyak berasal dari pelangi. Seperti kumpulan manusia yang turun untuk berladang, meninggalkan tanah kelahiran untuk sekadar bertemu kehidupan baru. Hijrah…





Impian telah melemparkan saya pada tidur yang tak lagi lelap

Telah lama saya tinggalkan masa kanak di tanah kelahiran
yang kerap saya rindukan
rinai hujan jatuh di atap rumah kami
di mana pada halamannya dulu Bapak mengajarkanku
menghapal al-fatihah : ihdinasshiratal mustaqiim
lalu setelahnya, bunda akan bercerita
tentang bidadari dari negeri nun
yang membuat saya ingin memiliki sayap
kemudian terbang kepadanya

impian kadang membuat saya merasa bersalah menapakkan kaki
Saya ingat lagi nyanyian masa belia
Yang ditembangkan bocah – bocah gembala di padang ilalang
Jauh sebelum saya mengenal warna – warni dunia
Jauh sebelum akhirnya kaki ini menapak jua
Di padang yang tak pernah terjamah impian manusia*

*from Novel ' Tembang Ilalang ' – MD Aminudin

Benar, di sini kami seperti manusia yang berasal dari warna yang berbeda, seperti pelangi.

………………..


Aku mendapati diriku seperti kepompong yang tergantung lemah di ranting kecil pohon.
…..yang hampir semua daunnya luruh karena kering.
Aku tetap bertahan.
bahwa pasti ada yang berubah
bahwa di luar sana masih ada dunia
….dan sebentar lagi aku akan menjadi kupu – kupu.

Menjadi kupu – kupu dan kemudian mati.
Tak lama lagi…..

Kematian bagi saya semacam dunia yang asing. Jauh merasa lebih asing dibandingkan saat dulu saya dan adik berusaha menggambarkan daerah macam mana yang akan didatangi, ketika pertama kali berangkat dari sebuah terminal menuju daerah yang saat ini saya berada untuk mengejar rejekiNya.
Meskipun beratus hingga beribu literature yang bercerita, di sana tetap sebuah keasingan. Keasingan yang pasti, seperti kematian itu sendiri…..

Saya bahkan tak bisa - atau lebih mudah saya katakan saya tidak mampu untuk menimbang apa yang menjadi sangu saya. Bahkan untuk bisa meraba makhluk macam mana yang akan menemani saya di alam kubur nanti….

Nanti, ketika bilangan – bilangan usia ini bertemu pada muara takdirNya.
Ketika seluruh fungsi organ tak lagi bisa merumuskan sebuah benda diam yang masih menyimpan energi….
ketika seluruh nalar, akal, dan rasa sebagai benda berlabel hidup ( manusia ) ini bertemu pada titik expire-nya.

Saat itu adalah saat saya mati,
…….dan saya takut.

Sungguh saya takut.

“ Aku mau hidup seribu tahun lagi “, Chairil Anwar dalam puisinya - Aku

Maka ketika angka 27 ini akan saya katakan dalam tiap tanya tentang usia, saya tentu berharap ada yang lebih bisa saya hadirkan sebagai alasan mengapa saya hidup hingga kini,
….karena Allah SWT masih menyayangi manusia seperti saya
….karena saya masih banyak kesalahan dan saat ini masih diberi kesempatan untuk memperbaikinya.
….karena saya masih belum menyelesaikan beberapa atau banyak hal yang menjadi tanggung jawab saya, ( lagi ) saya masih berkesempatan.
Dan banyak hal….



Oleh karena itu,
Alhamdulillah, puji dan sujud syukur hamba padaMu ya Allah
Dan padamu wahai yang tercinta Rasulullah :
AT-TAHIYYAATU LILLAHI WAS SHOLAWATU WAT THAYYIBAAT, AS-SALAMU'ALAIKA AYYUHAN NABIY WA RAHMATULLAHI WA BARAKATUHU….

Terima kasih pada ( Alm ) Abah : ihdinasshiratal mustaqiim, semoga….aamiin
Pada Mama yang dalam versi lain juga pernah bercerita tentang bidadari dari negeri nun, yang membuat saya ingin memiliki sayap kemudian terbang kepadanya
Pada saudara ( kakak dan adik saya ) yang kecil dulu sempat akrab dalam satu ranjang berkanopi di pinggiran Tabalong.
Pada istri saya
Pada keluarga….
Sahabat, Mba Sofi yang sepertinya sangat mendalami siapa saya dari apa yang pernah saya prasastikan di dunia maya,
Bunda, Mba Rien, Teh Dewi, Antung, Mba April, Fathur, dan yang lain….terima kasih.


Bila waktu telah berakhir – Opick mengantarkan dunia harap saya.

Semoga besok akan saya jumpai matahari di hari baru bagi saya, InsyaAllah….aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar