Powered By Blogger

Februari 17, 2011

Rinjani. Dipuncaknya, Renjana hatimu akan.....

.



Ia, seorang perempuan yang paruh baya :
“ Kau tahu Rinjani ? Dipuncaknya, renjana hatimu akan menggebu – gebu menggapai cinta ? Di sana ada Dewi….. “

Aku tak tahu…
Sekejap saja hati mengesampingkan ide betapa akan lebih indah bila kulalui senja berparas biru bersiluet jingga, yang jatuh di ufuk dan hamburan warnanya menyentuh lembut relief – relief Batara Siwa, reruntuhan istana yang konon dulu sempat berkumpulnya harapan seorang ksatria, Bondowoso sang pecinta.
Ahk, terlalu melankolis. Bagaimana bila Bondowoso yang terlupa……?
Terasa manis terdengar, seperti tembang langgam jawa pengantar tidur untuk sebuah dongeng anak Kalimantan macam aku.
Ya, macam aku…..

Bingung mengandung mengartikan ironi, tiba – tiba seekor kuda Sumbawa berpelana raja menghampiriku, mengajakku menembus batas imajinasi. Tanah timur. Melesat menyusul matahari yang merangkak perlahan di arca - arca keabadian….
Ringkihnya merdu, seperti dayu gamelan, gemulai membentuk nada – nada harmoni yang inggil, atau seperti alunan seruling sunda yang memantul di lereng – lereng bukit. Lantas kemudian menyeretku pada suara chordophone senar sasando yang dipetik oleh perempuan – perempuan tua penenun pucuk – pucuk padi, kala para lelaki secara sepihak memutuskan berpesta tua di altar pura. Bergetar dawai, bergetar pula hatiku.

Sembrani dari tanah timur melesat kian jauh, menikung di angkasa, membelah stratus. Lantas olehnya dipertemukannya aku pada seorang yang lama, Ibu ?

Oh, ia bukan Ibu, tapi ia mengulurkan tangan untuk menyentuh, seperti Ibu
: Anaknda, dongeng tanah ini adalah rindu. Kau mungkin akan berjumpa bidadari yang ia tersenyum tapi tidak pernah kau tahu untuk siapa ?

Mengapa mungkin ?
Tidakkah akan ada probabilitas bahwa perjalanan ini menjadi sia – sia Ibu ?

“ Di sana ada Dewi, tapi kau mungkin tidak akan menemuinya, maaf, membuatmu sudah berimajinasi…..”,
Aku menjadi benci diri, aku berusaha mengadili kata mungkin, dengan penjabaran sekenanya tentang batas hingga, mimpi dan hasil kata yang sebaliknya….
Dalam hati. Aku tak punya kata – kata, mulutku kelu, nafasku sesak menderu di antara udara yang setipis sutera negeri melayu, karena ada hasutan lembut di batas – batas kabut kumulus untuk aku segera menelusuri sisa – sisa jejak bidadari di negeri itu, tanah sasak.
Mereka adalah kaum yang bekerja keras untuk menumbuhkan cinta pada hati, pada hati yang datang - ( meskipun tak kan sempat kau temui bidadari itu ), kemudian pergi

Kulihat mereka menggelar pesta, di antara tubuh para lelaki yang terajam penjalin, berdarah –darah dan para wanita anggun yang kadang masih menyunggi sesajen dengan sekelopak kamboja di telinga kanan, mencandai anak – anak dan senyum. Aku berlalu….

Kuda Sumbawa meringkih, menukik tajam hingga ia tenang berbalut angin. Derapnya terus mencanda angin pantai Senggigi, melewati deburan yang merayu putih hamparan pantai, dan kembali menuju pusaran keindahan.

Rinjani ?
Benar Rinjani, bisikan halus mengkabut seperti ratapan mantra Ibu mengawali dongeng. Di antara debu – debu kaldera, ku rasa hembusan bayu yang datang dari kolam para makhluk gaib yang konon memiliki hati seperti manusia. Segara Anak. Menciptakan leluhur, leluhur bagi tanah ini.

Tapi Rinjani, Seorang Dewi yang bertahta tak juga menerima tamunya.

Atau mungkin karena Renjana akan cintaku masih tertaut di tanah sendiri. Hingga aku bukan seorang yang pantas diperlihatkan olehnya, wajah seorang puteri yang tak direstui dan memilih tapa sebagai cerita abadi…..?

Sembraniku melesat.

“ Kau tahu Rinjani ? Dipuncaknya, renjana hatimu akan menggebu – gebu menggapai cinta ? Di sana ada Dewi….. “,

………yang tak ku temui

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar