Powered By Blogger

Januari 15, 2012

Ayem :)

.

Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti workshop perancangan Enterprise Resource Planning ( ERP ) perusahaan tempat saya bekerja. Hanya 3 hari di sebuah Hotel Samarinda. Pembentukan data awal untuk modul – modul report yang nantinya akan diujicobakan ke beberapa vendor yang mengikuti tender.

Saat itu ruangan ball room Hotel tersebut juga di isi oleh beberapa kegiatan. Pada hari senin saya bertemu dengan beberapa PNS yang mengikuti…ehm, entahlah….sekilas saya mendengar seperti seminar tentang permberdayaan…ah, benar – benar lupa saya.

Pada saat break bertemulah saya dengan beberapa PNS yang juga ikut menikmati hidangan mereka di luar ruangan.
Pada dasarnya perusahaan saya yang mungkin terlalu sering berurusan dengan pemerintahan sehingga ada seorang ( saya sebut saja beliau ) yang menyapa kami, lalu menanyakan kabar perusahaan secara umum. Sosok setengah baya.

Pembicaraan yang biasa memang, hingga menjurus pada pembahasan sosial masyarakat. Gambaran masyarakat lokal yang justru kadang terpinggirkan ketika masuknya investasi ke dalam wilayah sosial mereka. Dan yang lebih parah lagi adalah perampasan hak – hak mereka yang sudah membumi pada tanah leluhur mereka.

Panjang lebar masukan yang beliau berikan, dari kritik hingga saran pada beberapa orang yang juga ikut berkumpul.
Dari masalah kealfaan pengambilan keputusan dalam pemerintah untuk masuk ke dalam sisi masyarakat, meriset dan menjadikan bagian dari pengambilan sebuah keputusan untuk menerbitkan sebuah ijin eksplorasi `tanah negara‘ pada sebuah daerah hingga tingkah laku perusahaan ( manifestasi dari investasi oleh pemilik modal ) dalam menghadapi budaya masyarakat lokal. Ini lepas dari apakah proses pemberian ijin ( tambang, perkebunan dll ) itu melewati proses KKN atau tidak ya

Comdev ataupun CSR seperti structure yang hanya menumpang pada flow Management perusahaan, karena berhasil tidaknya kinerja Department ini justru ditentukan pada itikad dari Management perusahaan itu sendiri. Dalam hal ini pemilik modal jelas berperan dalam menetapkan business plan investasinya.

Tapi satu hal yang menarik dari beliau adalah ketika beliau mencoba menjelaskan tentang masyarakat ( beliau mengisyaratkan para orang tua ) yang masih betah berladang ataupun masih mengolah sawah untuk bertani.....
’’ Dari sekian banyak literature yang mempelajari sosial kultur masyarakat ( sosiologi ), saya sendiri belum bisa mencerna apa yang menjadikan alasan orang tua saya di jawa sana yang masih bertahan untuk menggarap sawah. Padahal hanya beberapa petak saja sawah mereka yang tersisa. Kami sudah berusaha merayu mereka untuk menikmati masa tua mereka dengan sokongan dari kami yang anak – anak ini atau ikut salah satu dari kami. Tapi nyatanya tidak...
Mas tau ( ia mengisyaratkan pada saya ) apa yang Bapak bilang pada saya, ......bertani itu membuat hati ayem.
Ayem ?, padahal beberapa petak sawah hanya bisa memproduksi beberapa karung gabah kering. Nyatanya beliau berkeras mengolah, menanam dan menunggu padi itu hingga menguning....
Ayem, ini yang kadang masih tak bisa dipahami oleh beberapa manusia muda seperti kita dalam memahami jiwa – jiwa yang sudah mengikat pada sebuah dedikasi kerja. Untuk siapa ? untuk hati, milik Bapak sendiri...“

Ayem...
Saya jadi teringat pada seorang tua yang mengabadikan kamp inilah kampung halamannya bersama istri dan anak - anaknya ketika dulu saya mempertanyakan rencana kepulangannya pada lebaran beberapa waktu lalu.
Padahal dulu saya miris hati menyimpulkan bahwa beliau tidak memiliki apapun lagi di dunia luar sana, dan kampung halaman mungkin hanya sebuah cerita tempat dulu dilahirkan.

Ayem, untuk kedamaian hati bagi Bapak yang PNS itu
Ayem, untuk sebuah kenyataan bagi Bapak yang puluhan tahun di tanah para pekerja ini


Note : photo saya pinjam dari sini :)

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar