Powered By Blogger

Februari 24, 2010

( Cerita ) Episode Pulang 1

Hari ini adalah tepat 13 tahun ia bertutur selamat tinggal pada masa lalunya. Bukan, ia tak sempat mengucapkan apapun saat itu. Hanya isyarat kepasrahan yang ia tinggalkan pada keramaian peron. Celoteh riang anak – anak kecil, teriak lantang pedagang asongan, barang – barang bawaan, kursi tunggu, manusia bergegas, dan sejumlah pemandangan yang ia kesampingkan sebagai bagian dari perpisahan. Karena sejumput rasa seorang anak manusia masih mencamkan kata kembali pada detik – detik keberangkatan. Dulu

Dan sekarang, pluit kereta membangunkan sadarnya untuk sebuah suasana. Suasana 13 tahun lalu. Suasana yang lambat laun untuk beberapa waktu terakhir telah menumbuhkan rasa rindu tak terperi. Mulai dari peron ini. Dan sedikit kehampaan ia rasakan. Sesak, mengisyaratkan rasa melankolis. Bersedih.

Tepukan pelan pada pundaknya mengisyaratkan untuk segera beranjak. Seorang laki – laki separo baya yang menjadi teman seperjalanan.

” Silahkan...”, laki – laki itu tersenyum memberi jalan ” Saya masih harus menempuh 3 jam lagi untuk membasuh rindu pada kampung halaman ”, ucap datar yang mengena. Tentang sebuah kampung halaman untuk para perantau. Ia tersenyum berterima kasih. Seraya menenteng tas ransel di pundak, dan meninggalkan sikap jabat erat tangan sebagai perpisahan.

Peron adalah titik perpisahan baginya, sebelum kereta api membawanya pergi. Dan sekarang peron menjadi titik ia kembali setelah berlama waktu benda yang sama membawanya ke titik yang sama.

Ramai, tapi bukan untuk dirinya. Tak ada jemputan, tak ada bahagia untuk sebuah kedatangan seperti sebuah keluarga besar di sampingnya, menangis, tertawa, kecupan untuk seorang anak manis yang terpangku lelap, dan pelukan.

Rasa iri menyelinap diam – diam dalam kerawanan hati. Pias wajah yang hadir ingin menggugurkan air mata. Namun, cepat ia enyahkan.
Aku tak menangis saat pergi, ucapnya dalam hati. Kenapa sekarang harus menangis ?

Ia tak mengabarkan kepada siapapun mengenai kepulangannya, dan ia tak benar – benar tahu apa yang terjadi terhadap mereka – mereka, rumah, pos ronda tempat berkumpul yang ia tinggalkan begitu saja. Ia hanya memiliki rasa rindu, selebihnya adalah komunikasi yang terhantar lewat – lewat do’a – do’a di setiap hatur sujud ibadahnya. Tuhan menjadi perantara yang baik untuk ucap khabar yang rindu. Dan ia tahu Tuhan sangat berbaik hati untuk menjaga mereka yang di rindu itu agar ia bisa bertemu kembali.

Suasana peron ia tinggalkan dengan langkah pelan, menuju gerbang keluar dan bersua pada suasana yang asing. Terasa asing untuk sebuah kota yang melahirkannya berpuluh – puluh tahun lalu. Berubah ? Seperti dirinya yang kini juga berubah.

Masih berbilangan angka kilometer jaraknya pada kerinduan, dan ia ingin menyusuri dengan kecepatan angin yang bertiup mulai kencang. Mendung kota menggelayut, menciptakan kemacetan untuk manusia yang tergesa – gesa. Dan ia pun juga. Memutuskan naik angkot, meniti jalan, berhenti pada sebuah perempatan. Pemandangan aneh untuk bilboard, berpuluh ruko, dan etalase toko. Gadis – gadis cantik, anak – anak sekolah yang bolos, dan banyak manusia.

Masih tergesa, dan transportasi terakhir adalah seorang ojek muda yang menawarkan harga relatif mahal untuk jarak tersisa.

” Pasar Kuripan di mana Mas ? ”, helm disodorkan untuk pengaman.

” Saya mampir di depan Pasar itu saja, rumah saya di belakang gudang bahan makanan milik Haji Yasin ”

” Gudang Haji Yasin ? ”, tiba – tiba pemuda itu berhenti melajukan motornya yang baru berjalan.

” Iya, kenapa de ? ”

” Oh, tidak apa – apa Mas, akan saya antarkan.....”

Motor menderu membelah jalan menuju pinggiran kota yang mendewasa kini. Dan ia menikmati tiap detiknya.

Pasar Kuripan menyapanya dengan bentuk yang berbeda, bangunan beton kokoh berlantai dua. Tidak seperti saat ditinggalkannya, yang hanya hamparan bedeng, kios – kios, dan lapak – lapak pedagang satu ruang.

Tapi satu yang tidak menyapanya. Menyelipkan perasaan yang tak terjawab.

” Rumah Mas di mana ? ”, ojek muda itu bertanya sembari mengambil helm kembali.

” Entahlah de, seharusnya ada di..... Gudang Haji Yasin ? Gang damai ? ”, ia menoleh pada pemuda itu kembali mengisyaratkan tanya.

” Eeeeeee, setau saya dulu ada kebakaran besar di sini Mas, Rumah, Gudang, dan banyak lagi. 5 tahun yang lalu."

” Dan......”, tenggorokannya tercekat

” Habis, yang ada sekarang ini rata – rata pemukim baru semua. Hanya beberapa saja yang masih tinggal sepertinya. Mungkin Mas bisa mencari informasi lebih pada penjaga toko itu.... ”, seraya menunjuk pada beberapa orang yang bercakap di depan sebuah toko emas.

Tiba – tiba ia menyadari, rindu itu mengisyaratkan sesuatu yang memaksa untuk ia segera kembali. Dan ia tau, langkahnya adalah perjuangan terhadap ampunan dari seseorang.

” Mungkin Ibu Saedah dan keluarga masih di tempat relokasi dulu Mas, di bilangan jalan Anten....”

Data terakhir yang didapatkan setelah beberapa kali mengikuti mata rantai informasi di segenap pelosok Pasar. Sekarang langkahnya adalah menuju bilangan Jalan Anten. Dan itu berarti ada sekitar 12 Km dari tempatnya berdiri. Wilayah perbatasan kota.

Terus melangkah, terus bergerak, tak terasa ia sering melafazhkan ucap untuk sebuah nama. Nama seseorang yang menerbitkan rasa rindu semenjak beberapa tahun terakhir.

Ibu

Saya kembali

Ucap yang sebenarnya ia siapkan saat pertemuan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar