Powered By Blogger

Oktober 24, 2010

Mature....? Yah, perkenalkan pacar saya ^_^

.





Ketika mengenal cinta tak perlu menunggu dewasa ?
Hm, sepertinya saya salah ya bila sekarang menganggap anak – anak SD dan SLTP masih seorang yang immature.

Adik saya menceritakan seorang anak perempuan yang duduk dibangku SLTP sudah dengan percaya dirinya memperkenalkan pacarnya kepada sang Bapak,

“ Ini Bah, pacar ulun “
  • Ini yah, pacar saya
' Pacarrrrr Bang, anak kelas 2 SLTP udah berani bawa pacar ke rumah, pakai acara maen kenal – kenalan sama Bapak lagi '

( Saya tersenyum geli ) Lha, terus Bapaknya sendiri kayagimana ?

' Hahahahahaha, itulah Bang, mo gimana….
Paksa’ai sidin merangut haja, cagat bulu ketiak sidin melihat pacar anaknya. Ditakuni ha pulang ‘ Bah, kaya apa habar pian bah ? ‘ '
  • Cemberut beliau, tegak rambut badan beliau melihat pacar anaknya. Eh, malah ditanyain sama itu calon menantu, ‘ Gimana kabar bapak ?

' Abah Bang, Untung kada jantungan si Abah… hahahahaha '

Saya tertawa sekali bila mengingat bagaimana adik saya menceritakan ini. Dengan lagaknya yang kadang sesekali menurutkan mimik muka sang Abah. Pembicaraan sore dan suasana rumah yang hangat di kota kelahiran saya.

............................

Dewasa tak berbatas umur, kita sepakat soal itu. Psikologis kedewasaan ditunjukkan oleh mulainya seorang anak merasakan sesuatu yang aneh di dirinya.

Dan bila merunut dari phenomena yang ada, betapa sebenarnya perkembangan jaman menjadi salah satu factor stimulant yang aktif dalam merangsang ‘ perubahan ‘ dalam diri anak – anak sekarang.
Banyak hal yang berbeda dari apa yang pernah kita jalani di masa anak – anak dengan apa yang kita lihat dan apa yang dijalani sekarang oleh anak – anak di usia yang sama dengan kita dulunya.

Lantas positif kah ini ?
Hm, bagaimanapun istilah mature secara psikologis lebih menunjukkan pada sebuah kondisi fisik, usia, dan cara berpikir yang berada dalam sinkronisasi stabil. Bila saya boleh membahasakannya, maka saya ingin menggambarkan sebuah pola kemampuan input dan output yang balance. Di saat ini saya mendapati banyak anak – anak yang sudah menerima input yang sangat besar dari eksternal dirinya. Sementara output yang dihasilkan oleh anak – anak tersebut seringkali terbentur pada sudut lain di dirinya sendiri, semacam ada sebuah penjara laku bagi dirinya untuk explore yakni keluarga, lingkungan sosial yang pada dasarnya masih care pada anak tersebut.



Eksistensi.

Kecendrungan untuk mengactualisasikan sebuah diri bagi seorang anak. Di saat jiwanya semakin menekan untuk ia menunjukkan eksistensinya, ada arus besar di sosialnya yang ( masih ) tak berkenan ia melakukan itu.
Saya di sini ingin berkesimpulan bahwa factor keluarga bisa jadi awal mula terjadinya ketidakseimbangan jiwa dalam diri sang anak, karena saya sudah berada dalam titik menyetujui bahwa perkembangan jaman, perubahan budaya di masa sekarang adalah sesuatu hal yang tak begitu mudah untuk dikontrol dalam proses input pada diri sang anak.

Lalu bagaimanakah ?
Klise tentu saya katakan bahwa keluarga mempunyai peran penting di sini bukan ? Seperti saya simpulkan di atas, bahwa keluarga bisa menjadi awal mula terjadinya ketidakseimbangan jiwa seorang anak.
Tapi memang itulah kiranya sebuah konsekuensi tatanan sosial yang secara hierarki berada dalam satu line direct dan mempunyai structure responsibility . Sebagai orang tua, sebagai seorang Abang bagi adik, sebagai paman bagi keponakan, dan lainnya, kita tentu tidak bisa mengesampingkan tanggung jawab hanya karena ‘ kalah ‘ dalam berperang terhadap globalisasi. Juga tentu tidak bisa begitu saja mencari pembenaran – pembenaran atas ketidakmampuan kita ‘ menolong ‘ sang anak agar bisa memfilter dan mengolah input secara baik sesuai kondisional kemampuan outputnya.

Oleh karenanya saya ( dan saya kira sama halnya bagi kebanyakan orang tua dan sahabat ) tentu berharap bahwa kita semakin mampu membentuk diri kita sendiri sebagai seorang teladan, sebagai seorang pengajar yang bisa menunjukkan betapa input yang diterima sang anak adalah juga input yang masuk ke diri kita dan kita mampu menunjukkan bagaimana proses olah input itu menjadi sebuah output yang baik dan mudah dicontoh oleh sang anak. Bisa jadi itu adalah sebuah sikap, pola pikir, dan kesimpulan.

Itu saja sih, saya tak terlalu bisa menteorikan lebih karena pada dasarnya bekal praktek yang menuntut saya menjadi orang tua pun belum saya lakoni. Tapi lepas dari kalian bersepakat kata atau tidak, saya hanya ingin menuliskan statement adik saya ketika kemaren sempat beberapa hari bertemu dalam suasana long weekend di kampung halaman :

“ Menjadi orang tua sekarang memang susah Bang, tapi kalau ingat do’a anak sholeh menjadi amal yang tak akan pernah putus bila kita meninggal dunia nanti, ulun kira kita harus bekerja keras untuk itu…..”

Haitami

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar