Powered By Blogger

Desember 03, 2010

Tidak sekadar Manyar Jantan

.

Pertama

Wanita akan jatuh cinta dan bergelora dengan pria yang sedikit nakal, namun akan berusaha menikah dan mencoba bahagia dengan pria baik-baik.

Bila melihat asal muasal ( darimana saya mendapatkan ) kalimat ini, maka bisa saya katakan ini adalah bicara tentang seorang Setadewa ( Teto ), tentang Larasati, dan seorang Janakatamsi.
Pergulatan cinta, kehidupan yang sangat panjang.
Bagi seorang Teto dan Atik, Janakatamsi ?, dialah pemenangnya dari alur cinta. Kesimpulan beliau yang saya baca dan saya jadikan referensi dalam memandang Roman Burung – Burung Manyar.

Tapi satu hal yang beliau pun terlalu ‘ kejam ‘ terhadap Teto menurut saya, bagaimanapun psikologis eksistensialis saya sangat merasakan beratnya seorang Teto yang menerima kenyataan dari hidup masa lalu dan masa yang ia hadapi saat kembali ke Tanah Leluhurnya, Indonesia. Teto bukan pecundang, meskipun ia bukanlah pula seorang pemenang. Dalam tahap ini saya kira Mangunwijaya berhasil meminggirkan tokoh central ( Teto ) dari alur cerita dalam Roman ini. Setidaknya saat saya mulai membaca episode 11. Medan perang Teto ( kembali dimulai – setelah keputusannya mengambil langkah bertemu Mayor Verbruggen ) dimana ia mulai memutuskan menjadi Ayah asuh bagi ketiga anak Atik dan Janakatamsi, dan kita tak pernah mendapatkan hasilnya bukan ?
Novel sudah berakhir.

Ah, sepertinya saya harus merevisi kata sepakat saya untuk tulisan beliau tersebut. Ini dikarenakan ada beberapa hal yang saya merasa berbeda kata – akhirnya, setelah memisahkan diri dari rutinitas kantor, saya mendapati diri yang lebih got a viewpoint. Paling tidak dalam kesimpulan beliau dalam menilai seorang Setadewa.

Kedua,

' Kau tentu tidak berpikir aku akan jatuh cinta pada seorang laki – laki yang diam di sudut perpustakaan dengan buku dan delik matanya yang terus memandang kepada diriku kan ? '
…….selanjutnya :
' Hahahaha, laki – laki itu memang perlu sedikit nakal untuk bisa menaklukkanku, tidak seperti Manyar Jantan ( seorang pecinta Novel Burung – Burung Manyar juga ) yang berpikir dengan bangun sarang indah akan ada seorang cewek yang bersedia datang begitu saja padanya. Nonsense, aku tidak bisa seperti itu….Ia ( laki – laki itu maksudnya ) perlu berjuang lagi….'

Akhirnya,
Sedikit diskusi dengan melibatkan banyak pertanyaan. Berakhir dengan ketidakmampuan saya menggenalisir apa yang berhasil saya simpulkan dalam beberapa cakap seperti yang terurai di atas. Termasuk saat saya melemparkan kalimat yang saya ingat dari serial Lupus di masa kecil.
“ Kejarlah daku, kau kan ku tangkap “,
lagi – lagi tentang pemikiran perempuan. Benarkah ?
Dan tak terjawab sempurna untuk dijadikan evaluasi pembelajaran.

Lantas dengan sedikit keberanian, hal ini saya lempar ke Multiply di catatan saya sendiri.

Banyak tanggapan yang diantaranya adalah tentang masing – masing sudut pandang , tentang pengakuan diri, dan beberapa statement bahwa hal yang menyangkut cinta; Jatuh cinta, harapan, maupun ending yang saya maksudkan dengan – berusaha – bahagia adalah tidak ada relevansinya dengan status gender. Tapi lebih bersifat manusiawi yang di dalamnya tentu ada laki – laki dan perempuan.

Sebelum saya mulai menguraikan kesimpulan saya terhadap apa yang kemaren kita diskusikan, saya hanya ingin sekali garis bawahi bahwa ini hanya bahan saya untuk mencoba menyelaraskan pemahaman tentang sudut pandang ( saya yang berstatus laki – laki ) terhadap kehumanismean profil seorang perempuan.

Baiklah, sederhananya :
katakan saat ini saya mengenal seorang perempuan yang sudah siap untuk berkeluarga, dan saya mengetahui persis bahwa ia merindukan sosok pendamping hidup, apakah ia harus mengatakan “ Iya, saya…of course, saya akan mengiyakan seorang laki – laki yang menurut saya mampu mengimami saya “
atau “ Hm,saya tak tahu bagaimana saya bisa merelatekan cinta saya pada laki – laki yang siap bertanggung jawab pada saya bila ia tidak sedikitpun menyentuh hati saya “
Menyentuh hati perempuan, dan seorang laki – laki tidak mesti menjadi seorang flattere untuk itu bukan ?
Seorang perempuan memiliki responsive ( bila ini berkaitan dengan hati ) yang masing – masing berbeda terhadap lawan jenis, termasuk responsive terhadap laki – laki yang passive.
Oh, ya. Dalam beberapa komunikasi, sayapun bisa menyimpulkan bahwa seorang perempuan memang memiliki kesadaran akan imamnya seorang lelaki terhadap dirinya.

Intinya manusia tanpa ter-split gender akan berada pada sebuah garis simpulan yang sama di antara beberapa yang lainnya : ingin bahagia.
Termasuk saat laki – laki dan perempuan memutuskan menikah, meskipun skala prioritas ‘ ingin bahagia ‘ tentu berbeda satu dan yang lainnya.

Nah, yang jadi sisi yang menarik untuk di argumenkan pada diri sendiri adalah : bagaimana kita mampu menjadi seorang yang bisa mengajak lawan jenis kita dalam sebuah bingkai indah bernama rumah tangga. Menuju bahagia.

Bila ditanya pada saya, mungkin saya masih bisa menganalogikan seorang Manyar jantan yang dengan kesungguhannya membangun sarang yang indah sehingga akan ada seorang betina tertarik dan bersedia hidup bersamanya kala musim kawin tiba, tapi sekaligus berani untuk mengakui bahwa kehidupan berumah tangga adalah proses daya tarik menarik yang terhijab pada satu niat yang sama, bila niat itu sudah terpatri di hati, maka lakukanlah…..
( ucapkanlah kehendak itu )

Ah, itu juga kalau ada yang bertanya pada saya


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar