Powered By Blogger

Mei 18, 2009

...............Lintang, Saya, dan Puzzle Kehidupan.......

Ini adalah cerita tentang Lintang, Saya, dan Puzzle dari kehidupan yang rumit.
Lintang, seorang sosok yang jenius ( menurut saya ) di dalam novel Laskar Pelangi dan terlihat hidup sebagai nyata dalam filmnya, besutan Riri Reza. Dan saya ? Seorang miskin bodoh yang dulu sempat mencaci maki dunia yang berperan dalam ketidakadilan hidup yang menimpa saya seorang. Lalu ( ada apa ) dengan puzzle ? Puzzle tidak lebih dari sekedar permainan menyusun bagian – bagian atau kepingan - kepingan hingga menampakkan sebuah sketsa yang sempurna.
Berjuta Lintang mungkin masih bisa kita temui di bumi Indonesia ini. Seorang Lintang mungkin menyatu dalam ( beberapa dan mungkin ; kebanyakan dari ) sosok anak – anak di jalan yang tergerus oleh kehidupan yang lupa bahwa mereka juga pemain di atas panggungnya. Berjuta Lintang ada di sekitar kita. Lintang yang miskin dan Lintang yang cerdas. Saya lantas teringat dengan nyanyian legenda hidup, Bang Iwan fals :

Si Budi kecil kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan. Di simpang jalan tugu pancoran. Tunggu pembeli jajakan koran.
Menjelang maghrib hujan tak reda, Si Budi murung menghitung laba. Surat kabar sore dijual malam. Selepas isya melangkah pulang.

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu. Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu. Dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal.

Ya, Lintang di dalam Novel itu berhasil menghancurkan karang. Karang yang dia pilih untuk dapat dia bertahan.

“ Jangan sedih ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak menjadi nelayan “

Benar, Lintang kecil telah berhasil membuat pilihan di dalam ketiadaan pilihan. Setidaknya ia bisa membanggakan, tentang kemampuan memenuhi harapan ayahnya. Sebuah ironi akan kecerdasan kaum marginal. Kaum pinggir yang ( sengaja ? ) tercipta di sebuah daerah kaya bernama Belitong.

Bukankah hidup mempunyai jalan yang terencanakan ? Dan mengutip cerita seorang kawan : Bukankah nasib memilih pada yang berhak ?
Lintang seorang yang hebat, Lintang adalah manifestasi sebuah relita dari kenyataan yang ( mungkin ) akhirnya kita mengetahuinya atau diingatkan kembali setelah diungkap oleh Andrea Hirata. Dulu ada seorang anak bernama Lintang dan sekarangpun masih ada berjuta Lintang.

Saya. Saya yang seorang. Setelah melewati hidup yang melelahkan akan teriak caci maki dan pemberontakan, akhirnya saya menyadari benang merah hubungan saya dengan Sang Pencipta. Saya di uji, saya masih terus di uji. Karena saya masih terlalu manja ( sepertinya ) atau karena saya terlalu bebal untuk mengakui kekerdilan saya dan ke-Maha-an Sang Kuasa.

Saya seorang pemalas akut yang bermimpi menjadi seorang Sulaeman. Siapa sih saya ? Lintang boleh jadi miskin, tapi dia cerdas. Sementara saya adalah sosok miskin yang bodoh pula. - Cukup, - saya terlalu berlebihan dalam menghakimi diri saya. Tuhan pasti takkan suka karena saya adalah bagian kuasa yang Dia punya rencana. Saya bukan Lintang. Dan saya tidak seperti Lintang. Pilihan hidup saya memang tak lebih rumit dari Lintang, tapi cukup membuat saya jungkir balik mengkoyak – koyak tabir di antara saya dan nasib. Sama seperti Lintang, saya juga berhasil membuat pilihan. Saya adalah seorang manusia yang berhasil berkerja dan mapan sebagai employee di sebuah perusahaan perkebunan.

Bila rangkaian itu tersusun sempurna, Puzzle itu akan menciptakan sketsa yang sempurna pula. Puzzle membentuk diri dari bagian – bagian yang saling membangun dan mempunyai tempat masing – masing. Bagian – bagian yang tidak persis sama satu sama lain. Lintang, ia memiliki rangkaian yang berserak di atas langit separuh cerah yang berpelangi. ( Saya suka menggunakan kalimat ini ) karena Lintang bagian Laskar Pelangi.
Dia memilih hidup, karena hanya hidup itu yang bisa dia pilih. Dia menyusun puzzlenya dari bagian yang sangat sulit hingga yang paling sulit. Puzzlenya tak sempurna. Sketsanya tak tergambar jelas. Tapi Puzzle Lintang tersusun. Dalam rekam cerita yang mengharukan. Dan dia bertahan dalam ceritanya. ( Mungkin ) hingga sekarang.

Tidak seperti Lintang. Saya sempat memain – mainkan kepingan puzzle saya dengan kemanjaan. Dulu, saat masih ada manisnya kata yang bernama keluarga. Setelah umur yang 20, saya menemukan bahwa puzzle saya terdampar sendiri dalam prahara. Akan lusuh bila tak juga tersempurnakan. Saya menjadi kalap karena saya langkah yang sendiri. Dalam beberapa pemberontakan, saya mengacak – acak bagian puzzle yang terlihat tak layak. Kepingan itu tak seharusnya ada. Bagian itu semestinya tidak berada di lingkaran kehidupan saya.
……lantas saya kesadaran itu menegur saya menyerupai bisik bidadari dalam suara parau seorang Ibu. Kepingan itu seperti menjelma menjadi ungkap halus, Saya memungutnya satu – persatu. Yang berserak, dan yang terpencar di penjuru tualang saya. Saya pun mulai merangkainya kembali dengan susah payah. Saya usap lusuh, dan saya sentuh kenangan saya. Saya memulai langkah dengan irama penyesalan. Saya menapakinya dengan lagu keharmonisan hati yang tak sepenuhnya utuh. Hingga sekarang.

Bagaimanapun Lintang dan saya adalah dua manusia ( dari beratus juta bilangan ) yang memainkan peranan dalam tiap bagian puzzle yang sangat luas. Saya tidak mengenal Lintang, dan saya tidak perlu menggugat kebenaran adakah dia seorang lintang benar adanya ( ? ) Tidak. Ini hanya bagian kecil dari perjalanan hidup yang terangkum dalam masing – masing kala waktu. Saling menyentuh dalam rajutan nasib.
Saya memimpikan seorang Lintang yang mempunyai pilihan, di dalam diri anak saya kelak. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar