Memaafkan adalah sebentuk cinta. Proses menghargai sesal dari sebuah kesalahan. Awal untuk penyembuhan luka, sebuah hati yang kecewa dan pikir yang cidera.
Lantas mengapa maaf itu menjadi kata yang begitu mudah terucap, mengalir tanpa ketulusan serta hembusan angin keikhlasan ? Sedang hati begitu mudahnya mengingat kembali perihal itu sebagai cela. Hingga lambat laun menjadi sandung untuk rajutan kembali ukhuwah sebagai seorang saudara, sahabat, kawan, rekan, atau apapun pertalian kita.
Ada yang belum selesai dibayar selain sebuah kata. Dan itu adalah eja pendewasaan diri. Keikhlasan maaf, ketulusan sikap, dan pamrih yang hanya untuk ridho dari Allah SWT.
Bila melihat segala yang di belakang, tersadari ada berbilangan sisi hati yang mencipta titik dendam, titik marah, titik isyarat akan dengki. Mendesah sesak.
Maka saat lembaran sajadah itu menghampar dengan penuh kerinduan akan pengampunan, sedikit rasa takut menyeruak perlahan menghampiri diri yang mengeja do’a. Ketakutan karena bersih diri dan suci hati menjadi aral yang sulit terlewati di dalam pergaulan.
Dan sungguh, maaf dan memaafkan seperti air dingin yang menggugurkan segenap debu - debu dan jelaga yang mengendap di dasar hati.
Tuhan,
betapa hati ini sering menyapamu dalam kepasrahan seorang yang hina.
Betapa jasad ini ingin Kau menyentuhnya dan mengembunkan segenap tapak diri dalam jiwa.
..........
Ramadhan,
itu alasan saya menuliskan segenap rasa ini.
Saya ingin Ramadhan saya, saya bisa merengkuh denyut – denyut keikhlasan, ketulusan, dan maaf. Hingga saya bisa mengukir Ramadhan ini menjadi moment ’ kemenangan ’ untuk saya setelah saya melewatinya nanti.
Insya Allah, amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar