Powered By Blogger

Agustus 22, 2009

Islam - Simbol, Sejarah, Dan Dakwah

Sejarah islam dalam perkembangan awal mulanya berada di tengah – tengah budaya Arab yang jahiliyah. Jahiliyah di sini tidak berkonotasi kebodohan secara budaya, mengingat dari perolehan penelusuran sejarah, masyarakat quraisy saat itu justru sudah berada dalam tatanan masyarakat yang mempunyai tingkat sosial yang termanage dengan baik. Jahiliyah di sini lebih pada penafsiran penyimpangan – penyimpangan dalam hubungan antara makhluk dan Sang Pencipta. Menarik saat saya menelusuri mengenai hal ini. Hakekatnya islam datang sebagai penyempurna sistem kehidupan daripada yang telah di turunkan sebelumnya. Dan ini jelas termaktub dalam Al Qur’an.

Tak dipungkiri, simbolisasi islam lebih terasa dominant pada melekatnya budaya tanah arab yang notabene sebagai tempat kelahiran dari agama nan suci ini. Yang menjadi pokok permasalahan atau kemuka kasus dalam tulisan ini adalah :

apa yang terjadi bila simbol – simbol ke- Arab- an dituding menjadi biang keladi dari tak terterimanya risalah islam dengan legowo oleh beberapa lapisan masyarakat Indonesia karena benturan – benturan budaya ?

Sehingga simbol – simbol keislaman yang melekat dalam ajarannya terasa menjadi momok yang menakutkan. Erosi budaya lokal tak terhindarkan, karena latar belakang pemahaman adat sendiri bertolak - belakang. Terlebih ada sudut pandang yang menganggap bahwa simbol – simbol islam yang ke-Arab-an adalah simbol – simbol sosial yang bersifat ’ pendatang ’ yang telah memberangus sistem kemasyarakatan yang sudah turun temurun. Simbol –simbol Arab yang sudah identik dengan simbol – simbol islam menjadi sesuatu yang harus di reformasi atau sama sekali dipisahkan dari nilai islam, baik secara hystory maupun sifatnya yang parsial terlebih dahulu bila ingin bisa eksis dalam syiarnya menurut pendapat seorang bahkan sebahagian kawan.

Bagaimanapun kita perlu memahami esensi dari ajaran ini, akan terlalu naif bila kita hanya memandang substansi yang hanya terbentuk pada penempatan simbol – simbol keislaman, dan tentu saja bila kita bertindak seperti ini maka – seperti yang saya katakan sebelumnya – kita akan melihat dominasi ikon/ tanda ke – Arab – an di sana.
Lantas sebuah kesalahan kah ini ?
Tidak pula sepenuhnya. Kehadiran islam di tengah dunia arab memang telah membentuk ruh islam yang melapisi segenap kontruksi sosial ( budaya ) masyarakat Arab saat itu. Dalam beberapa tahapannya terjadi reformasi/ perubahan/ pergeseran nilai – nilai budaya yang bersifat periodik. Dan perlu kita cermati, bahwa disana juga terjadi perubahan nilai – nilai dalam kultur masyarakat arab setelah dakwah islam berhasil merangkul mereka.

Dalam tulisannya berjudul : Agama dan Simbol, Prof. Dr. Mudjahirin Thohir MA mengatakan bahwa simbol-simbol keagamaan itu menjadi perantara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luarnya. Sebagai perantara, simbol-simbol keagamaan itu diperlukan dan diperlakukan sebagai “ model dari ” ( model of ) dan “ model untuk ” ( model for ). Sebagai “model dari”, simbol-simbol itu berisi nilai-nilai yang menyelimuti perasaan-perasaan emotif, kognitif, dan evaluatif manusia sehingga mereka menerima kenyataan. Berdasarkan pada pengetahuan dan keyakinan keagamaan seperti itu, maka agama lantas menjadi “model untuk” manusia mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Apa yang diekspresikan dan bagaimana mengekspresikan, adalah melalui suatu proses sembolik.

Nah, disinilah letak pemahaman yang semestinya terkonstruksi oleh kita – kita dalam berpikir perihal tatanan islam yang dinamis, bahwa saat islam datang dengan nilai – nilainya, maka sejauh yang telah kita ketahui bersama – kita seharusnya tak melihat itu sebagai sebuah budaya sosial, tapi lebih kepada pemahaman yang datang dari langit - bersifat given – sebagai sistem yang mengatur keseluruhan aspek kehidupan. Termasuk dalam hal ini adalah pengaturan terhadap nilai – nilai yang bersinggungan budaya sosiality.
Tak elok bila kita menyudutkan islam telah ’ di tumpangi ’ oleh suatu adat yang bersifat simbolik. Tapi justru sebaliknya, islam datang dengan sistem yang siap untuk memperbaharui, siap mereformasi tatanan masyarakat yang telah menyimpang dan jauh dari hubungan dengan Sang Pencipta.

Dan bila itu diartikan bahwa islam justru merusak budaya – budaya lokal masyarakat dalam management kemasyarakatan hanya karena identifikasi islam telah dimulai di suatu kawasan yang memiliki nilai – nilai budaya yang telah di simbolisasikan sebagai islam, maka saya kira kita takkan pernah mendengar cerita keberhasilan dakwah islam di tanah Jawa oleh Walisongo, cerita dakwah islam yang dibawa oleh para pedagang Gujarat India ke semenanjung melayu, Cerita penyebaran islam di benua Afrika, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, kita tentu akan membenarkan penilaian dari seorang Ibnu Khaldun bahwa agama dapat memperkuat solidaritas sosial atau ashabiyyah. Yang juga diamini oleh seorang Emile Durkheim ( Bapak Sosiologi Modern ) dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life. Lain kata, agama dapat membentuk sebuah peradaban dari nilai – nilai dasar yang dibawanya. Dan proses sinerginya tentu akan melibatkan budaya – budaya lokal dimana syiar itu membumi, dan apakah nantinya akan ter-erosi/ ter-degradasi sebagai nilai – nilai budaya keislaman, itu semua akan terproses sesuai pemahaman kepada islam sendiri sebagai sebuah sistem hidup.

Tentu perlu sebuah sikap bijaksana dalam memahami ini. Sejauh yang saya mengerti, ini adalah sesuatu yang tak lepas dari seruan amar ma’ruf nahi mungkar yang telah diserukan oleh Allah SWT. Konfliksitas dalam ranah Dakwah islam.
Maka – sekali lagi – saya perlu penegasan bagi sahabat – sahabat yang berjuang di jalan dakwah, ada perlu strategi jitu untuk syiar islam di tengah masyarakat yang kultural. Dan, kata tadarruj ( bertahap ) adalah sesuatu yang bijak menurut saya. Sikap konfrontir yang frontal justru menyudutkan sikap pandang sebahagian masyarakat menjadi sebuah pola pikir adanya pemaksaan dan keterpaksaan.
Berharap islam dipahami secara menyeluruh dan menjadi kabar gembira bagi seluruh umat,

(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS 3:138)


: sekedar sudut pandang yang berbeda dari tulisan seorang sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar