Powered By Blogger

Agustus 02, 2009

Dilematis seorang ikhwan ( mengenai nikah ) - menurut saya



“Saya Bilal dan ini saudaraku. Kami adalah dua orang budak dari Habasyah. Kami dahulu sesat lalu Allah memberi kami hidayah. Kami pun dahulu budak, lalu Allah bebaskan kami. Jika anda berkenan menikahkan kami, maka Alhamdulillah dan jika anda menolak kami, maka Allahu Akbar.”
Ucapan di atas adalah ucap salah satu Sahabat Rasulullah SAW, Bilal Bin Rabbah. Dalam kesempatan ia dan seorang sahabatnya melamar anak seorang sahabat.

Betapa sederhananya ucap itu dari seorang yang sederhana pula. Dan di lain hikmah ada pula seorang Ali Bin Abi Thalib RA.
"Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang semulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa.", ucap seorang Ali kepada sahabatnya Abu Bakar Ash Shiddiq. Sebelum Sang Sahabat berhasil menyakinkan ia untuk melamar Sitti Fattimah, putri Rasulullah SAW. Hingga kita mengetahui bersama dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW hanya menginginkan sebuah baju besi yang dimiliki Ali RA.

Dunia pernikahan konon adalah dunia yang indah setelah belantara ’ perjuangan ’ berhasil di atasi, terutama untuk seorang ikhwan. Seorang ikhwan yang sudah mulai siap untuk tanggung jawab sebuah amanah tersempurnanya dien ini.

Tak dipungkiri, pergerakan zaman dari waktu ke waktu membuat pergeseran nilai – nilai yang terjadi di tengah masyarakat. Termasuk dalam pernikahan. Meskipun secara syariat, pergeseran nilai masih belum menyentuh pada aspek tersebut.

Menarik saat beberapa waktu di belakang ini saya sebagai seorang ikhwan mendapati ’ nasehat dan sanjungan ’ secara langsung oleh beberapa sahabat dalam beberapa tulisan mereka. Bolehkah saya berkata seperti itu ?
Dan sungguh, saya menyikapi ini sebagai phenomena yang menyejukkan kepada kami, bahwa ada yang perlu kami perbaiki di diri kami para ikhwan. Terima kasih sangat untuk semua itu.

Saya hanya ingin menuliskan beberapa kasus yang juga sering mengena di kalangan ikhwan. Ini bersifat kasuistik, tapi tak di elak sekali bahwa kasus ini mungkin pernah terjadi di sekitar kita.

Pertama,
Seorang kawan dengan kesederhanaannya bermaksud melamar seorang akhwat yang masih menempuh semester akhirnya di perguruan tinggi negeri ini. Ikhwan tersebut memberanikan diri, meskipun ia mengetahui bahwa tingkat pendidikannya hanyalah seorang yang lulusan SMEA. Ia sudah bekerja. Mapan sederhana. Dan siap bertanggung jawab dengan pengetahuan agama yang instens ia pelajari di berbagai kegiatan pengajian. Lantas apa jawab sang akhwat ? belum bersedia, karena masih mau menyelesaikan pendidikannya.
Sang Ikhwan tak patah arang, ia menunggu sang akhwat tersebut menyelesaikan kuliah. Setahun berlalu, lamaran kedua di ucapkan. Sang akhwat tak bergeming. Hingga tahulah sang ikhwan bahwa ada di dirinya yang tak memenuhi syarat seorang suami di mata akhwat tersebut. Tingkat pendidikan ?

Kedua,
Seorang ikhwan. Seorang pemuda dari desa yang berhasil menamatkan kuliah dan bergelar Sarjana Teknik Sipil. Diterima kerja di sebuah perusahaan General Contractor. Dua tahun berselang, ia melamar seorang akhwat atas rekomendasi dari seorang sahabat. Akhwat dengan titel S.psi. Keluarga berada. Maksud kepada akhwat diteruskan untuk menghadap orang tuanya secara langsung. ’ Berdatang ’ pun di laksanakan pada suatu malam, di temani seorang kawan yang lebih mengerti pada santunnya bahasa khitbah, niat itu akhirnya di ikrarkan kepada orang tua si akhwat. Beberapa pertanyaan terlontar. Siapa orang tua si ikhwan ? Kerja apa mereka ? Berapa saudaranya ?
Saat jawab bahwa ia adalah keluarga sederhana, di besarkan dari orang tua petani di desa kecil di sebuah kecamatan yang tak terkenal, dan sulung dari beberapa saudara. Maka setelah beberapa waktu yang diminta untuk rembug keluarga, semuanya menjadi seperti sulit. Ada beberapa ganjalan yang mengemuka terlontar kepada si ikhwan oleh orang tua si akhwat. Akhirnya si ikhwan memutuskan mundur diri dengan perasaan masgul. Salah apa orang tua saya bila mereka hanyalah seorang biasa yang sederhana ?

Ketiga,
Ada seorang ikhwan yang mapan dan siap berkeluarga. Saat maksud hati ia utarakan kepada seorang sahabat yang juga sebagai ketua kerohisan sebuah kampus, ia dianjurkan pada sebuah nama akhwat. Proses mencari tahu ia mulai, dan istikhorah yang khusyu’ menetapkan hati untuk melangkah pada khitbah. Proses berlangsung lancar, hanya saja ia mendapati diri untuk menyediakan mahar dan pagelaran adat pernikahan yang luar biasa hebatnya. Terkejut. Ia memiliki kemapanan dan tabungan untuk masa depan, tapi haruskah itu digadaikan hanya untuk sebuah acara dan mahar yang terlalu mewah dari mapannya ia ?
Ia dilematis, bahkan saat upaya untuk memberi penjelasan sudut pandang syari’at kepada calon mertua ( bersama sang akhwat tentu saja ) terpental oleh arus besar di kalangan keluarga yang masih berpegang teguh pada adat dan ( gengsi ) nama dari sang calon mertua yang merupakan trah ternama di daerahnya. Kawan tersebut akhirnya harus mengatur ulang cash flow ‘ kemapanan ’ materi yang dimilikinya.

Ini hanya sekedar penyampaian kasus yang seperti saya sebutkan di atas, mungkin ada beberapa kawan yang mendapati kenyataan seperti ini di sekitarnya. Atau bahkan terjadi pada diri sendiri ( ikhwan ) ?. Kasus yang sering membuat kami para ikhwan seringkali mengelus dada dan berusaha meningkatkan prasangka baik kami serta mengelola niat kembali keinginan untuk menikah.

Begitupun dengan kami, tentu banyak cerita di kalangan akhwat mengenai betapa kami ‘ sering mempermainkan perasaan ‘ kaum akhwat. Dan saya kira kita bisa mendewasakan diri, bersikap bijak untuk melihat ini sebagai pokok permasalahan yang terjadi secara individual tanpa memarginalkan ini sebagai subjektivitas secara umum. Dan tentu kita sepakat pula bahwa ini adalah Pekerjaan Rumah ( PR ) buat kita untuk segera membenahi ’ sikap – sikap ’ seperti ini bukan ?

Mapan. Saya pernah membaca bahwa kata ini menempati urutan tertinggi kedua setelah kesholehan dalam persentasi voting kepada kaum akhwat saat ditanya tentang apa yang harus dimiliki seorang ikhwan untuk bisa menjadi suaminya ( baca mereka ) – urutan ketiganya adalah kriteria fisik. Dan hal inilah yang terbaca oleh kami di jagad pergaulan sosial kami sendiri. Ini sudah menjadi semacam kesepakatan umum. Ada tuntutan yang perlu kami penuhi selain kesholehan diri.
Mapan. Dan itu adalah berwujud materi. Siapa yang membantah ? Meskipun ini akan berada pada tolak ukur yang relative. Pun sama halnya dengan fisik. Bukankah begitu ?
Pekerjaan tetap atau tetap bekerja, mandiri tempat tinggal ( kontrak atau akan lebih baik bila sudah milik sendiri ), dan tabungan – meskipun sedikit tak apalah – adalah rangkaian kata yang berhulu pada keberadaan atau kesiapan wujud materi nantinya.

Ini adalah uraian untuk menyederhanakan sudut pandang yang dimiliki oleh beberapa sahabat. Bahwa dalam sekian pencariannya akan bagian hati, rusuk yang terbelah, pasangan jiwa, seorang ikhwan juga kerap menghadapi dilema sikap dan pikir akibat dari pihak akhwat sendiri, ditambah lingkungan di sekitar akhwat yang notabene tidak bisa dikesampingkan sebagai dominant dalam keputusan ‘ demi kebaikan ‘ si akhwat yang di lamar.
Kadang benturan itu tidak kami dapati dalam diri akhwat, tapi lebih kepada arus besar di keluarga yang bersangkutan. Dan tentu saja dalam sisi ini kami mengharapkan peran kaum akhwat dalam memberi penjelasan kepada keluarganya. Lagi – lagi ada peran akhwat di sini.
Retorika – retorika tanpa dasar. Bila kita melihat dari sudut pandang syar’i tentu saja ini adalah alasan yang tak terterima. Bagaimanapun islam mempunyai aturan luhur untuk memudahkan proses pernikahan ini. Dari berbagai syarat, betapa tingkat kesholehan seseorang itu berada dalam posisi tertinggi sebagai kriteria calon pendamping hidup, tidak itu seorang suami ataupun istri. Dan mengenai mahar, bukankah baginda Rasulullah SAW sendiri sudah memberikan statement yang jelas :
“salah satu tanda keberkahan wanita ialah cepat perkawinannya, cepat pula mengandungnya dan ringan maharnya.”(Riwayat Ahmad dan Baihaqi).

Ini kembali berkenaan dengan diri akhwat, dan sungguh realita kini yang terjadi justru membentur niat kami, sehingga tolak ukur kemapanan diri harus disiapkan terlebih dahulu. Sikap konfrontir terhadap ’ adat sosial ’ malah akan terlihat tidak bijaksana, disaat kami ingin mendapatkan restu dari segenap keluarga dan menghindari pembicaraan yang tidak baik untuk mereka.

Sekali lagi, saat seorang ikhwan terlihat berkalkulasi akan kemapanan dirinya sebelum ia mengajukan ’ ajakan ’ nikah, maka percayalah – bahwa ada sebagian di diri kami yang ingin dipandang sebagai sosok yang bisa membawa calon istri kami dalam kehidupan yang mandiri.

Selebihnya, kami tetapkan niat. Bahwa kami mencintai seseorang karena Allah SAW semata dan ingin menggenapkan setengah dien kami. Membangun keluarga yang Sakinah, Mawaddah, wa Rohmah. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar