Powered By Blogger

Juli 10, 2009

Menyesal Ulat

Menyesal.
Menyesal untuk yang dilewati. Oleh sebuah kesalahan, oleh sebuah janji yang tak tertepati, oleh segala khilaf…..
Menyesal. Dalam lantunan kesedihan, kemarahan, air mata, dan sumpah serapah.
Menyesal, untuk sebuah kemanusiawian. Memaklumi diri sebagai makhluk yang tersisip bodoh. Hingga diri tersungkur dalam mimpi buruk. Waktu yang menari – nari seraya membawa pedang terhunus, siap menebasmu. Esok, Lusa, atau iringan waktu cepat dalam putaran detik di jam dinding. Mengikatmu dalam hipnotis. Mencambukmu sekian kali. Hingga sekian kali pula dirimu menemui wujud pusara dari jasadmu sendiri.

Menyesal.
Menyesal atas apa yang telah terjadi. Tidak melihatnya sebagai ilmu dalam pendakian. Sekali kaki terpijak, maka kesalahan memulai langkah kedua adalah kesalahan pertama. Seterusnya. Menganeksasi hapalan jejak. Seolah diri menjadi ulat yang bisa perlahan mendaki ranting. Ranting yang terjulur panjang ke langit.

Tapi angin tak perlu cerita. Tak menjadi kawan hangat. Ia hanya menghembuskan diri di setiap kali tekanannya yang diam dan menyempit kecil dari tempatnya berlari. Menyentuh ranting, dan menggoyangkannya. Sang ulat terjatuh. Hingga bukan langkahnya yang salah, tapi pilihannya yang salah. Ia memulai kata dengan menyesal.

Menyesal. Menyesal untuk segalanya. Menyesal untuk hidup. Menyesal tanpa harus mati.


Sang ulat tertatih perlahan pergi. Menuju ranting yang lebih bisa ia mengaktualisasikan diri. Sebelum ia menjadi kupu – kupu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar