Powered By Blogger

Desember 11, 2009

Catatan perjalanan : ziarah

Seandainya waktu berputar lebih lama untuk ia meyusun kembali kepingan – kepingan kehidupannya yang lalu, maka dengan secepat kilat akan ia langkahi selasar kota tua yang kini ia sudah berada di gerbangnya. Tapi sayang, waktu untuk memperbaiki kembali sudah berakhir. Sudah lama, sejak bilangan tahun yang lalu. Saat terakhir ia datang ke kota ini dan berharap bertemu bagian terakhir dari puzzle hidup yang ingin ia lengkapi.
Dan saat ini ia sudah berada kembali di kota ini. Tidak untuk apapun, kecuali mendapati diri yang merindu untuk sebuah rasa. Rasa yang entah. Selalu menggema dalam selaput sadarnya di ujung – ujung malam, di kesendirian.
Langkah kakinya adalah jejak tanya. Fase kehidupan yang tak sempat disembuhkan. Meskipun ia telah coba untuk berdamai, dan hingga saat ini apakah ia berhasil untuk itu. Ia tidak pernah tahu.

Sekian panjang langkah, semakin riak berdentum dalam diri. Semakin menghunjam perih. Masih ada hitam bekas jelaga. Masih membekas ingat yang terluka.
Hingga matahari siang mengantarkannya pada sendiri sebuah Mesjid. Ia hampir saja tak mengenali bangunan indah ini bila ia tak melihat pohon mangga yang tersudut di tepi luar pagar, sedikit mengena pada taman kecil untuk sekedar para penjual kaki lima bernaung dalam usaha. Mesjid yang dulu ia bertempa ilmu dalam Taman Pendidikan Baca Al Qur’an.
’ ....dulu tidak semewah ini ’, gumamnya mengiringi langkah pergi setelah sempat menghabiskan waktu Ashar bersama jama’ah yang lain.

Ini adalah tempat ia biasa bermain – main dulu. Seharusnya ada bangunan pondok kecil Mang Ujang di ujung jalan itu, hanya beberapa meter dari simpang jalan Masjid ini. Sekarang tak ada lagi. Kemana ?
Sebuah hotel berdiri di ujung barat, dan pondokan Mang Ujang penjual arang sepertinya sudah bermetamorfosis menjadi hamparan taman sekaligus tempat parkir untuk hiruk pikuk kota yang semakin manja ini.

Kota ini menjadi asing, membuat langkah kakinya tersekat – sekat waktu untuk sekedar mengenal lagi. Ia terus berjalan, sudut – sudut kota dan pada sudut gang – gang sempit di antara ruko – ruko. Tempat ia berkawan saat masih kecil. Sementara di sisi lain ia bertatap mata Gedung tinggi berdinding kaca, bilboard besar membelah jalan. Akh, betapa ia ingat di sana dulu adalah tanah lapang yang ia sering bermain bola. Akh, betapa ia sangat ingat bagaimana layang – layangnya dulu adalah yang selalu terindah. Kini tentu akan sangat sulit baginya membawa layang – layangnya di langit, karena langit sudah berubah sejak terakhir ia menerbangkan layang – layangnya.

Sejenak inginnya ia memasuki jalan sempit itu. Sayang ia tak punya keberanian. Di belakang ruko – ruko ini masih tercecer kenangan masa lalu, tapi ia merasa malu. Rumah petak, kontrakan berhijab papan tipis, dan pos ronda ala kadarnya.

Kemana Kaédi, Anang, Riansyah, si Manis Ipah, Wajah berlesung pipit ; Fitri ?
Kemana Mang Udi, Paman Jenggo, Bibi Wasna, dan lain – lainnya ?

Jawabnya mungkin ada di rumah – rumah itu, perkampungan yang kini lusuh terpinggirkan dan dipaksa berbagi tempat di naungan ruko – ruko besar dan gedung – gedung.
Ia terus melangkah, perjalanannya masih memakan waktu untuk tiba di tempat tujuan. Ia masih harus melangkahi kota ini hingga ke ujung utara, di sana ada pemakaman umum kecil.
Tempat bagian puzzle terakhirnya bersemayam. Bagian puzzle yang harusnya ia lengkapi dalam baktinya sebagai seorang anak.

Dengan bergetar ia mulai memasuki pekarangan dari ratusan pusara – pusara yang kesunyian.
” Abah, Assalamualaikum..... ”

Ia menangis untuk pertama kali setelah sekian lama tak kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar