Powered By Blogger

Desember 23, 2009

Saya Marah, saya menulis, dan.......

Saya tidak melihat ada yang salah dengan diri saya saat saya dimarah besar oleh seorang Direksi dalam kesempatan meeting Koordinasi Budget 2010 pagi ini. Terlebih tema kemarahan beliau yang tak relevan dengan apa yang dibahas. Kesalahan saya mungkin adalah saya tidak berada dalam situasi yang baik, beliau lagi stress – mungkin ? beliau lagi ada masalah keluarga, sehingga perlu membenamkan amarahnya pada orang lain dan kebetulan saya orang yang paling available untuk itu – mungkin ? Atau beliau lagi kehilangan uang sepuluh ribu rupiah dan kebetulan hanya uang itu yang beliau miliki di bulan tua ini ? Akh, terakhir inipun mungkin saja, meskipun persentasinya adalah mendekati nol persen.
Siluet kemungkinan – kemungkinan itu saya hadirkan untuk sekedar membela diri. Bahwa saya dimarah dan saya tidak salah.

Saya berada dalam situasi yang...., entah saja – apakah saya berhasil menciptakan peluang dan kesempatan beliau marah besar pada saya ? Kesempatan untuk beliau menumpahkan segala bentuk macam ketidakberdayaan diri, keluhan, ketidakmampuan menerima sesuatu yang menimpa beliau, atau....akh, saya tentu tak tahu.

Mungkin bisa pula itu benar, saya pun kerap kali melakukan hal yang sama, MARAH. Hanya saja saya tidak terlalu lihai mengaplikasikannya dalam bahasa verbal. Saya tuliskan saja, dan tidak saya apa – apakan setelah itu. Sudah terlampau banyak uraian pendek di catatan sampah saya, yang saya simpan rapi dalam notebook dan kadang bila saatnya untuk membuka kembali, saya – ya, sejujurnya mendapati diri yang lemah.

Bila benar apa yang saya duga pada Bos Besar saya, maka betapa setiap kita sebenarnya memerlukan tempat untuk mengekpresikan emosi. Dan setiap kita tentu mempunyai pilihan untuk semua itu, Bos saya dan mungkin sebagian orang memilih untuk langsung menguapkannya dalam bentuk kata – kata yang bertegangan tinggi, meluncur seperti kilat dan memuntahkan berkeping – keping larva panas dari sebuah mulut - lepas apakah dengan begitu mereka akan bisa lapang akhirnya, sikap yang justru berbeda yang saya tunjukkan yakni dengan menulis.

Mengapa saya menulis ?
Saya tentu menyadari keberadaan manusiawi saya yang memiliki emosi diri yang salah satunya bernama marah. Dan kemanusiaan saya juga menyadari bahwa saya mengalami kesulitan untuk membahasakannya dalam bentuk ucap. Mudah bagi saya dengan menulis, dan memang itulah pilihan saya. Bersikap saya terhadap jiwa yang marah.

‘ Marah ? marah itu baik kok, kita bisa jujur di sana. Emosi yang kerap merubah kita ( tiba – tiba ) menjadi manusia yang berterus terang akan ketidaksukaan, kejengkelan. Situasi untuk kita bisa bertahan dari aniaya diri sendiri.....’
Bagian dari email seorang kawan, saat berdiskusi panjang soal emosi jiwa.

Lalu seberapa efektifkah bila marah itu kita ekspresikan dengan menulis ?
Sangatlah berat. Bila situasinya adalah suatu permasalahan yang melibatkan satu atau banyak individu lainnya, maka pilihan untuk melampiaskannya dalam bentuk keluh buku diary tentu bukan cara yang cerdas bila tidak ditindaklanjuti penyelesaian secara riil.

Bagaimanapun ini adalah habluminnanas kita sebagai seorang manusia, tak elok bila kita menyimpannya terus menerus, dan sudah menganggap semuanya berakhir dalam sekian kalimat keluh, ketidakpuasan, atau apapun ragam bahasa yang kita torehkan dalam lembar atau sekian halaman file di komputer.

Tapi entah mengapa dengan menulis, saya merasa....sepertinya tiap kali jemari saya menjelajahi nuts keyboard setiap itu pula saya merasa ada luruh rasa untuk saya bertenang diri. Saya merasa bebas. Dan lebih manjur, saat pergi membasuh muka dan berkesempatan membacakan catatan – yang karena menciptakan dengan konsent dan penjiwaan, saya lantas hapal sekian kalimat itu – kepada Tuhan di bagian laku ibadah saya. Tuhan tentu Maha Mengetahui, oleh karenanya saya sering hanya berucap : Kau Maha mengetahui apa yang di jiwa hamba – Mu ini, oleh karenanya hamba bermohon ridha-Mu untuk saya bisa mengakhirinya dengan kebaikan bagi jiwa ini.

Setelah itu ?
Saya kembali menjalani aktivitas saya dengan kesadaran bahwa saya baru saja membungkam salah satu emosi saya, dan bertemu dunia nyata dengan sikap yang mudah untuk dimengerti oleh mereka yang sempat ‘ konfrontasi ‘ dengan saya :
‘ Baik, saya baru saja membuang marah saya ditempat yang benar. Kalian juga tentu begitu setelah beberapa saat ini kan ?
Sekarang, mari...kita harus bercakap tentang apa lagi ‘

Tidak ada komentar:

Posting Komentar