Ada seorang pemuda yang berjalan menuju di keasingan sebuah Mesjid. Waktu petang mengakrabi tubuhnya dengan riang canda berpasang muda – mudi menanti saat berbuka. Ia menyusur waktu dengan tilawah, zikir, dan do’a – do’a di sudut tiang penyangga Rumah Tuhannya. Gelak keramaian masih terdengar merayu di depan gerbang, maka saat takbiratul ihram maghrib.....ia mendapati diri yang hanya berdiri di shaft pertama dan terakhir jama’ah yang pasrah. Kemana mereka yang berbaju koko dan paduan jilbab mahal tadi pergi ?
Hakikat berpuasa adalah pembersihan diri.
Dan Idul Fitri adalah momentum kemenangan bagi jiwa yang sudah bersih dan suci.
Tapi mengapa suci jiwa dan hati adalah sesuatu yang tergolek lemah
dalam bantalan berbagi yang penuh tawa,
kesombongan,
kemunafikan.
Kita mengakrabkan diri dengan petuah – petuah gratisan
dari ruang – ruang belanja meriah di seluruh penjuru kota,
bahkan seruan seorang muadzin hanyalah penebas sesak
di kepadatan dunia malam selepas berbuka.
Barisan makmum tarawih kian terparkir hingga menyentuh sejadah sang Imam.
Kita berlomba untuk mencari apa ?
Gaung kemenangan adalah baju – baju baru,
Celana padanan, jilbab yang sempit,
dan penampilan baru.
Kemenangan cukup hanya sekedar ucap kata maaf, selamat,
dan pesta yang pora.
Selebihnya adalah senyum yang menghiasi dinding keimanan yang menipis
karena ketertinggalan, ketertinggalan akan berartinya waktu
untuk berdo’a,
bertobat,
beribadah kepada-Nya.
Kemenangan adalah segala sesuatu yang berlabel harga
untuk dunia. Dan kita ramai hati membelinya.
Maka saat ada seorang pemuda menghadirkan kekosongan jiwa
di setiap waktu panggilan-Nya,
ia tahu
betapa celaka diri bila Ramadhan tak juga membuat Tuhan mengampuni khilafnya,
ridho akan laku ibadahnya.
Dan di sebuah malam, ketika sebuah diri mendapati isya dan bilangan tarawih hanya
dengan beberapa manusia, ia lantas membayangkan bendera kemenangan
Ramadhan sudah banyak terjual di etalase toko dunia.
Bendera kemenangan dari Tuhan ?
.......hanya sedikit yang terbagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar