Powered By Blogger

September 17, 2009

Catatan ngawur - di penghujung Ramadhan

Speed Boat terakhir sudah berangkat jam 09:00 WITA tadi pagi. Keberangkatan dari Tuana Tuha. Desa yang berjarak + 70 Km dari Kamp tempat saya bekerja. Ada 4 unit Speed Boat yang jalan melayani puluhan staff gelombang terakhir yang kembali ke daerah yang mereka sebut kampung halaman.

Hm, kampung halaman ?
Saya ingat kejadian sore di dua hari lalu....

Pulang ? Pulang kemana saya pak ?
Kalimat yang diberikan oleh seorang Bapak tua saat saya beramah tamah untuk sekedar bertanya di sela kesibukan beliau menerabas ilalang di depan long housenya. Jawaban yang kemudian ada sedikit cerita dari beliau untuk saya. Sekedar cerita tentang kampung halaman yang entah.....

Saya sudah tua Pak, anak – anak saya pun sudah ingin hidup normal. Saya tidak pulang, saya tidak kemana – mana, karena di sinilah kampung halaman saya dan anak – anak saya......

Beliau mengakhiri jelajah hidupnya yang membuat saya pias hati. Jelajah hidup yang pernah berkutat di lusuhnya hamparan bedeng - bedeng kardus rel kereta api - jembatan layang, kota Jakarta. Batam dengan kemiskinan yang mencekat. Terusir dari Surabaya. Dan terakhir Samarinda, hingga ada seorang kawan yang mengantarkan beliau dan keluarga ke kamp ini.
Karyawan panen perusahaan perkebunan yang saya juga bekerja.

Saya jadi teringat tentang sebuah tempat khayalan yang kembali semarak saat kematian superstar MJ.

Yaps, Neverland.
Suatu tempat yang bukan hanya karena kita tidak pernah dewasa, tapi lebih dari itu : Neverland adalah sebuah dunia dari masa lalu.
Dan apa yang teringat tentang Neverland saya, ada segerombolan bocah yang berjalan sambil bernyanyi tentang ' aku anak TPA ' - plesetan dari lagu aku anak sehat ( salah judul ya sepertinya ? ) sembari membawa jilidan iqra di ransel kecilnya yang berat. Maklum, mama sengaja memberikan sangu makanan plus botol aqua tanggung yang berisi susu penuh. Dan Ramadhan adalah saat membanggakan diri dengan absensi tarawih di buku kecil, saat mendapatkan tanda tangan sang Imam....

Ahk, saya akui saya rindu akan kehidupan yang dulu. Saya ingin kembali pada sebahagian mereka yang masih di sana. Rumah tua, cerita dongeng sebelum tidur, dan petromak gantung di sudut ruang dengan jelaganya.
Dan itu tak berarti saat Bapak tua itu dengan kegetiran mengatakan bahwa di kamp ini lah kampung halamannya.

Jujur saja, saat ini saya mengalami kesedihan. Payah, seorang laki - laki bersedih ?
Seperti yang saya pernah katakan bahwa air mata sebenarnya bukanlah perwujudan emosi...ia tercipta sebagai obat untuk menuluskan rasa. Itu saja mungkin.

Baiklah, ini adalah catatan kecil saya di penghujung Ramadhan ini. Langkah terakhir yang menanyakan kenapa saya tak ikut pulang adalah dari seorang rekan yang mungkin sekarang berada di taksi charteran yang membawanya ke sepinggan Balikpapan.

Kenapa saya tak pulang ?
....untuk saat ini - persis seperti jawaban Bapak tua : Pulang ? Pulang kemana saya ? Di sinilah rumah saya, kampung halaman saya, dan.....

Hm,
untuk kakak saya di suatu daerah yang mengikuti bakti seorang istri terhadap suami.
untuk adik saya yang memutuskan berlebaran di tempat istrinya.

Sepertinya rumah tua itu sudah tak berpenghuni ya ? kita sudah mempunyai kehidupan masing - masing ?

Dan,....
saya ingin bersedih dulu saja...
:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar