Powered By Blogger

September 24, 2009

Teman saya.....dan - rupa wajah yang lupa : ibunya.

” Tuhan, Ibuku harus Kau jaga baik – baik dia…..”

Ucap itu mengalir begitu saja dari seorang kawan. Tatapannya kosong. Ia masih menikmati isapan rokok mild-nya, seolah – olah ia tak mengucapkan apapun sedari tadi. Sementara saya sibuk memelintir sendok es teh yang tersaji. Ingin meleburkan gula – gula yang tersisa di dasar gelas menjadi lebur bersama sisa. Ah, saya benar – benar lupa tentang perkara larutan yang jenuh.

Bila kawan saya mengucap kalimat itu, mungkin karena apa yang menimpa ia. Pun meski ia tak sedih sangat akan perkara yang di hadapannya. Kehidupan yang sempat ia lakoni adalah kehidupan yang telah meremove segala bentuk kesedihan secara perlahan. Doktrinasi yang mengatakan dunia tak membutuhkan seorang yang cengeng, kau akan di habisi sebelum bisa bernafas kembali dengan normal.

Ibu.
Satu kata yang mewujudkan sosok yang melahirkan ia, kini kembali hadir dalam kembara pikir olehnya. Ia mengetahui sekali bila sosok ibu yang seharusnya ia banggakan dulu di masih kecil, yang ia bisa berlari dari kemarahan sang Ayah dulu - sudah hilang dalam pengenalannya akan orang – orang yang pernah bersama ia. Bagaimana tidak ? Ia sudah tak mengenal wanita yang disebut ibu itu sejak ia baru lepas dari ketergantungan susu. Berumur 2 tahun berlebih bilangan bulan. Rupa wajah yang ter-lupa oleh-nya. Bukan karena ia ? tapi karena wanita itu yang meninggalkan ia begitu saja.
Prahara rumah tangga yang memberangus hak – hak ia saat beberapa rekan sejawatnya justru membanggakan keberadaan surga di telapak kaki seorang Ibunda, itu ketika ia mulai mengeja pendidikan dasar. Cerita kecil yang meminggirkan ia sebagai penonton dalam suasana kelas yang riuh.
Ia pernah bercerita akan khayalannya tentang tokoh ibu, dan bermunculan wajah – wajah yang menaungi ramah. Tapi semakin mendewasa ia, kehidupan tak memberikan ia kesempatan melukiskan kembali mimpi - mimpinya. Dan lambat laun ia sudah tak mampu membentuk wajah itu.

Sedari kecil sang Ayah yang berada di sampingnya. Sedari kecil, hanya sang Ayah yang membelai kekakanakannya. Tamparan, caci maki, siksaan, dan sumpah serapah dari mulut yang berbau busuk karena alkohol. Benar, sedari kecil yang ia tahu sang Ayah-lah yang ’menyayanginya’. Tidak oleh seorang ibu, dan tidak pula oleh lonte – lonte yang saban minggu berganti rupa dalam bilik rumah tuanya dulu.

Kawan saya punya cerita, selayaknya kami yang juga punya sekian cerita tentang siapa kami dulu. Kawan saya tak pernah menangis, yang oleh saya – seharusnya ia menangis.

..........................

Ibu.
Ada kenangan perempuan tua yang mereyot lelah di panti jompo sebuah kota.

” Haitami, kau ingin tahu di mana ibuku ? ”

Saya mendelik padanya, itukah yang ia maksudkan dengan mengajak saya kesini di sela – sela perjalanan dinas kami.
Lantas ia menyeret saya ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan orang – orang tua yang sedang berbaring lelap. Mirip bangsal sebuah rumah sakit. Hanya saja di sini terlihat kesunyian manusia – manusia yang renta. Kami tak terhiraukan oleh tanya mereka.
Ada satu ranjang yang rapi dan masih memutih seprainya. Ia menghampiri ranjang itu, dan tersenyum...
” Beliau dulu di sini, di ranjang ini ”, seraya tangan itu menelusuri bantal dan hamparan kasur, ” dan ia meninggal seminggu yang lalu ”, ucapnya bergetar, tapi tak jua menangis.

” Bagaimana kau tahu ia ibumu ? ”, saya mengeryit tanya

” Heh, ya....” ia berpaling ( kembali ) memberi senyum pahit pada saya ” Aku ini anaknya..... ”, hanya itu yang mampu ia jelaskan, sembari menepuk dada saya.
” Oh ya, bila nanti kau mampus duluan, tolong tanyakan pada ibuku, apakah ia tau aku ini anaknya - yang selalu berkunjung pada dia ? karena bila aku yang lebih dulu, aku sendiri yang akan menghampirinya di sana......”

Ia pergi meninggalkan saya yang masih terpaku dalam ruang besar yang sudah mulai di tinggal tidur siang oleh penghuninya. Seolah hanya saya yang masih bernafas salah. Rangkaian episode kehidupan yang rumit telah membentuk ironi yang tak terpetakan.
Seharusnya kawan saya menangis, setidaknya ia harus menyisakan air matanya dulu untuk ini. Ahk, saya tak mengerti jalinan ini........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar