Powered By Blogger

Juni 22, 2009

Cerita dalam rangkai waktu

Ia masih terlihat seperti yang dulu, yang membedakannya hanya mungkin dari cara penampilannya yang kini terlihat seperti Bapak - Bapak. Celana kain panjang hitam dan kemeja lengan panjang tebal keluaran Imagine warna biru. Bentuk badan besarnya juga sama. Gendut, tapi tertutupi tinggi badan. Seperti 7 tahun lalu, saat saya mengenalnya terakhir kali yang saya tau. Saya mendekatinya yang sudah lebih dulu menempatkan posisi di Bantaran sungai depan kantor Gubernuran. Akhirnya kami berhasil menepati janji untuk bertemu setelah sekian lama. Dan itu terjadi malam ini, di sini.

Saya mendekatinya. Ia menoleh dan lantas kembali menatap sungai yang menghampar.

” Kau telah berubah....”, ucap itu datar saja. Sedatar ekspresi mukanya. Saya hanya tersenyum kecut. Mendebat hati. Saya merasa panas atas predikat ’ saya berubah ’ yang ia sematkan. Saya merasa lebih baik dari ia.

” Bagaimana kabar perantauanmu ? ”, ia berucap sesaat setelah kepulan asap rokoknya ia keluarkan dengan irama. Ia tersenyum sembari mengadahkan pocari sweat ke muka saya ” Kau terlihat dewasa kawan....”

” Ya, begitulah Nu,.....”, saya memberi ia senyum seraya menyulut rokok. Dan kami terjebak pada pemandangan yang elok di hamparan sungai.

Angin di bantaran Sungai Martapura yang membelah Kota Banjarmasin malam ini sedikit berhembus kencang. Malam yang pertama kalinya kami kembali membangun cerita bahwa dulu kami sempat ’ berjuang ’ di kota ini setelah sekian lama kami meninggalkannya. Kami sama – sama menyandar pegangan di siring beton, menikmati riak – riak sungai. Deru suara kelotok bersahutan di tengah sungai yang gelap. Hanya bayang lampu sorot dari kapal – kapal itu yang kelap – kelip. Memantulkan riak sungai seperti pecahan kaca yang berserak di atas air.

Ia adalah karib saya. Perawakannya yang tinggi besar ditambah berat badannya yang plus dan saya yang seorang nekat membuat kami 2 manusia yang tak terbantah di sekolah dulu. Tanpa berkelahipun ia menjadi seorang jagoan, dan saya lebih menempatkan diri sebagai sahabat seorang jagoan. Sekolah lanjutan pertama dan akhir kami lalui bersama.

Kami bukan dari keluarga yang sangat mampu, maka lakon usai sekolah kami adalah berkumpul di suatu wilayah parkir yang kebetulan dikelola oleh paman saya sendiri. Kami mencari tambahan belanja dari sana. Ia dan saya. Kami cukup berkeringat di Kota ini. Dan saat kebersamaan itu yang membangun komitment persahabatan dalam kata erat. Tapi itu adalah dulu.....

Setelah lulus, ia memutuskan kuliah di Bandung. Desain Grafis ia pegang. Ada tanah waris yang disediakan Alm. Sang Ayah untuk biaya ilmunya. Entah dengan alasan apa saat itu. Yang pasti intensitas hubungan kami seolah menguap begitu saja. Saat berbagi kabar hanyalah saat mendekati Idul Fitri atau saat ia kacau dan mengirim keluh, dan itupun hampir tidak pernah saya temui sosoknya di Kota kelahiran.

Sementara, sejak saat itu, saya memutuskan bertualang ke segenap Kabupaten di tanah Kalimantan yang Selatan ini. Saya cukup merasakan mencangkul parit, penjaga toko kecil, pekerja serabutan dari proyek jalan Trans Kalimantan, dan macam kerja lainnya.

Hampir 7 tahun ia menamatkan kuliahnya, dan hampir panjang keluh kesah yang terkirim. Ia sempat mengatakan kegamangannya akan Tuhan, itu saat saya terpuruk sebagai pekerja pembangunan mesjid di ujung Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Ia berhasil menggugurkan kandungan pacarnya yang hamil muda, dan saat itu saya ingat sekali saya tidak punya apa – apa untuk saya kirim ke Ibu saya di Kota. Ia berkelahi dengan anak – anak motor di Dago dan jahitan yang 12 iris di sikunya, saya saat itu ada di Sungai Danau mencoba melamar kerja di Perusahaan Batu bara.

Dan sekarang, sosok sahabat ini berdiri di samping saya. Bersama kami menghadap sungai Martapura. Sungai elok, yang hamparannya tersaji indah dengan kehidupan sungai masyarakat Pasar terapung. Seperti arusnya yang mengalir seolah menyanyikan cerita tentang siapa kami dulu, tentang bagaimana kami dulu Kami tidak ingin menipu pada masing – masing kami. Bahwa ia dan saya sekarang pada jarak kehidupan yang semakin menjauh. Ia ’ bertobat ’ - setidaknya itulah kata yang pantas dari saya – dan bulan depan ia akan menikah dengan seorang kawan yang dulunya juga adalah kawan SMU kami. Seorang alumni FKIP Lambung Mangkurat dan berhasil meloloskan diri dari lubang kunci ujian penerimaan PNS beberapa waktu lalu. Dan mulai bulan depan pula, ia kembali meninggalkan Banjarmasin. Ke Kabupaten paling utara dari Kalimantan Selatan ( Tabalong ), tempat sang calon istri ditempatkan dinas.
” Kerja apa kau di sana ? ”

” mungkin bertani,
berladang,
berkebun,
atau apapun yang bisa aku lakukan buat bisa bersama dia ”
Saya disapa kagum, karena ucap ia yang terlihat bodoh.

Berbatang rokok terhisap dan kaleng pocari sweat di genggaman. Ia masih setia akan pandangan malam.


” Kapan kau balik ? ”
” Besok Nu, tanggal 27 mesti ada di kebun ”
” Lalu kapan kau pulang lagi ke sini ? ”
” Pulang ? Aku tidak punya rumah di sini....gak taulah.....”, saya mengambang jawab.

Untuk apa ? Bahkan sampai dengan saat ini saya masih belum bisa memaknai gerak pergi – pulang saya, kembali dan berangkat saya. Saya sudah punya tempat saya berisitirahat nun jauh di sana, dan itu bukan di Kota Banjarmasin. Bila ia mengatakan saya berubah, itu mungkin saja. Kehidupan memaksa saya untuk berubah, berubah untuk hidup. Pun bila saat ini saya berada di Banjarmasin, itu adalah karena saudara yang ingin saya melihat anaknya. Keponakan saya. Pun bila saat ini saya mempunyai waktu untuk bertemu ia, itu adalah karena ia pun punya waktu untuk itu.
Pun bila saat ini saya sedikit marah kepadanya, masih terlihat muak kepadanya, itu karena ia tak pernah melihat saya sebagai sahabat lagi. Entahlah, perasaaan saya terganjal rasa iri masa lalu akan kehidupan pendidikan yang sempat ia lakoni dan saya sangat murka ia hanya melewatinya dengan kebodohan sikapnya. Sementara saya berpeluh dalam memaknai kehidupan saya.

” Yah, sukseslah untuk kamu ”, ia menepuk pundak saya sembari mengajak bersalaman. ” Aku harus pulang, kau bagaimana ? ”

Jam 9 malam.
Saya tersenyum, ” Kau pulanglah duluan kawan, aku masih ingin di sini ”
Ia tersenyum. Pocari sweat yang ia genggam terlempar ke sungai, ” Keep contact ! Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi ”. Tiger yang ia tunggangi meraung mesin dan menjauh berkelebat cepat.
Sungai Martapura, Jembatan Merdeka, Gubernuran, Pantai Jodoh, Pasar lama, Sabilal Muhtadin....
Besok saya pulang, mungkin ?
besok saya kembali…..
Saya mencoba menyakini ini adalah kalimat salah.
Yang pasti, besok saya akan melangkah pergi dari sini.



Banjarmasin, 23 Mei 2009
Sungai Martapura, Bantaran....dan jiwa yang mengayuh kata untuk sebuah persahabatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar