Powered By Blogger

Juni 08, 2009

Kuncupmu bertahan di rapuhmu


Kuncupmu layu ketika ku mendekat dengan serbuk tulusku

Dan kau tetap bertahan dirapuhmu


Saya sangat mengerti bila luka itu tertoreh sangat perih dalam diri seorang sahabat saya. Dari sekian lama pencariannya akan seseorang. Seseorang yang sekiranya dia niatkan untuk melengkapi setengah diennya. Seseorang yang dia harapkan dapat lebih membuatnya survive dalam menjalani kehidupan.
“ Aku butuh seseorang perempuan untuk menjadi sahabat, aku akan memperistrinya “
telah gagal.

Saya sangat menghormati akan prisipnya, yang ( terkadang ) masih saja saya tidak sanggup untuk menurutkannya. Hijabnya dengan lawan jenis sangat terjaga sempurna. Meskipun kadang saya jumpai dia lebih menyerupai seorang sufi daripada seorang sahabat. Sendirinya lebih banyak waktu, ketimbang sosialisasi dengan kami – kami ini. Termasuk dalam sujud panjang, tilawah, dan kajian buku – bukunya.

Saya tidak terlalu mengenal perempuan itu. Karena ia yang terlalu ‘ jauh ‘ di lingkungan kami. Kecuali penilaian mengenai jilbabnya yang terjaga dengan keterbatasan terlihat sangat.

Saya tidak selalu memperhatikan ia, juga niat sahabat saya awalnya. Interaksi kami dengan ia hanyalah salam tertunduk saat aktivitas pagi dimulai dan terkadang adalah serah terima beberapa bungkus nasi dari jual beli akan dagangannya di depan gerbang rumah kontrakan bersama kami. Selebihnya adalah sekedar kilasan dari langkah kecilnya sembari membawa bakul besar atau tarikan sepeda pancalnya di iringi teriakan menawarkan dagangan dari seorang laki - laki kecil yang ia bonceng beberapa waktu.

“ Aku siap mengkhitbahnya “ ucap sahabat saya suatu saat. Dan atas pengetahuan yang masih jauh dari sempurna akan langkah syariat, kami menyarankan dia untuk mencari info lebih. Mengenal ia terlebih dahulu akan sangat bijaksana sebelum membahagiakan hati. Lantas proses tanya pun dimulai oleh kami – kami yang bertopeng pada bagian dari kegiatan kuliah.

Ia hanyalah lulusan sekolah lanjutan pertama. Keterbatasan ekonomi mengalahkannya dengan pertimbangan gender dan 2 adik laki – lakinya yang harapan. Bakti anak terasa sangat setelah sang Ayah meninggal dunia 3 tahun setelah lulusnya ia. Sang adik yang besar masih melanjutkan di jejak pendidikan terakhir yang sempat ia lakoni, sudah kelas 3. Dan si kecil berumur 5 tahun dan belum juga menyentuh Taman Kanak – Kanak. Sang Ibu ? penjual nasi di hamparan depan komplek sebelah yang kini menjelma menjadi pasar kecil.

Tidak ada yang sempurna memang bila melihat kemiskinan mereka. Dan sahabat saya sosok seorang ksatria di mata saya.

Istikharah yang dilakoninya selalu memantapkan, dan itu seringkali dia nyatakan pada saya.
“ Dukungan kalian sangat aku minta…”
Maka, beberapa hari setelah anggukan, senyum dan kata – kata untuknya agar pemusatan hati yang bertanya di sepertiga malam lebih dikuatkan dengan permintaan saran – saran pembimbing kerohisan kampus, dia pun menculik saya dari ruang aktivitas saya. Dengan alasan hanya saya yang bisa membahasakan kata – kata.

Dengan Bismillah saya awali pertemuan itu, setelah bersopan ria dengan keadaan yang seadanya. Selanjutnya semua saya serahkan kepada sahabat saya untuk mengutarakan isi hati dan berbentuk pada kata : “ ……saya bermaksud melamar anak ibu untuk menjadi istri saya….melengkapi dien saya ”

Keterkejutan, keterpanaan,…pemandangan yang menyeruak di sosok ibu ia. Sementara ia ?... setelah menghidangkan air putih dan rebusan singkong di meja kecil. Hanyalah pandangan tertunduk yang ia sampaikan, meskipun dari sana nampak jelas dewasa hidupnya. Terlebih saat kata – kata sahabat saya, terucap zikir kecil di mulutnya.

Kami pulang. Ungkap jawab belum terdapatkan. Permintaan waktu dari ia jelas membuat kami harus mengembalikan diri dengan kesabaran hingga beberapa hari dalam satu minggu.

Dan berselang 3 hari setelah khitbah sahabat saya, seorang anak laki – laki kecil yang saya kenal adalah adik laki – laki pertama ia meminta ijin untuk bertemu sahabat saya. Dan bocah itu menyerahkan sepucuk surat. Atas ijin dia, maka surat itu terbaca sempurna oleh kami.


Assalamualaikum Wr. Wb

Buat Kakak Didik yang saya hormati,
Seharusnya dengan segera saya bisa memekarkan kuncup bunga hati, bila saya tidak mengingat betapa rapuhnya tangkai hidup saya. Khitbah kakak sangat saya hargai dengan segala ketidakpercayaan saya akan adanya niat tulus bagi fitrahnya saya……


Dia menolak. Dengan alasan kondisi keluarga kecilnya yang masih membutuhkan sosok ia untuk membantu pemulihan kehidupan keluarga. Meninggalnya sang Bapak yang sempat menjalani perawatan lama karena sakitnya, menyisakan setumpuk utang – piutang atas nama Ibunya. Dan dengan pertimbangan demi Almarhumah Bapak, Ibu dan juga prinsip yang kuat, ia memutuskan menahan dirinya untuk lebih menikmati bahagia.


………..Saya tidak mungkin bisa meninggalkan Ibu seorang, dan saya juga masih tidak sanggup untuk menurutkan Kakak dalam lingkaran permasalahan kehidupan kami…



Kalimat demi kalimat yang dewasa dari kertas buku tulis mirrage itu – lembar demi lembar - kami lahap dengan sedikit pandangan nanar pada sosok sahabat saya. Dia tetap berdiri mematung, meskipun terkadang kegusaran tertoreh dalam di wajahnya yang menunduk.

Saya sangat mengerti sekali bila sahabat saya terluka. Optimisnya berubah menjadi pergumulan pertanyaan yang kerap dia suarakan pada kami – kami sahabatnya. Meskipun terkadang kami ungkap dengan keyakinan itu semua adalah Kehendak-Nya. Surat dari ia tentu sudah argumentasi yang cerdas untuk kami mengerti, pun dengan sahabat saya.
Hanya karena bagaimanapun, dia bukanlah seorang Bilal Bin Rabah saat mempersiapkan diri melamar seorang gadis bernama Hind. Dia tidak bisa sesempurna itu. Kami sangat memaklumi patah hati dia.

Keberadaan yang masih mahasiswa dengan kerja sampingan sebagai penjual jasa design graphic masih belum bisa memaksakan diri masuk ke lingkaran hidup ia, dan hal ini sangat tersadari oleh sahabat saya. Dia lebih menyalahkan ke dirinya sendiri.

Akhirnya, setelah mendekati satu tahun berjalan…sahabat saya menemukan jodohnya dalam sosok seorang akhwat kampus di fakultasnya sendiri. Adik angkatan.
Dan dia mulai berpisah dengan kontrakan kami.

....................................


Untukmu Dik Aisyah,

Seharusnya bisa ku maknai lebih, betapa kuncupmu itu sangatlah kuat di batangnya yang bertahan rapuh.
Seharusnya aku siap untuk menerimamu
…………beserta keroposnya ranting, dedaun, dan dahan hidupmu.
Atau,
Seharusnya tak ku datang dengan segala harapan akan kemekaran bunga dirimu.


Selayaknya engkau adalah mawar yang sangat indah, yang ingin kumesra mulai dari kuncupmu.
Dan sedewasa hati,…
Selayaknya tak kusingkap rasa ini, sebelum seribu sayap kumbang kumiliki.

Selayaknya engkau,
Yah…..selayaknya engkaulah bunga hati itu.

Seandainya aku mampu meraihmu
kembali


Maret 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar