Powered By Blogger

Juni 12, 2009

Jejak kesombongan saya

Saya tidak siap, benar – benar tidak siap. Saya seperti di lecehkan. Perempuan yang kini masih duduk menyeruput juice sirsaknya masih mendelik ke tatap saya tanpa dosa. Ia berbinar, entah karena berhasil ungkap kata yang menurutnya ia pendam dalam hitungan bulan setelah kenal kami, atau karena berhasil membuat saya gagap akan rasa yang saya pikir saya sudah bisa memanagenya dengan baik, ya entahlah. Saya menyesal memenuhi panggilannya untuk berdiskusi seperti beberapa kali terlewati lalu.
Perempuan di depan ini baru saja mengatakan cinta kepada saya, mengatakan bahwa ia ingin saya menjadi pacarnya, menjadi teman suka dukanya, hingga pertautannya akan kekal. Akan kekal ?
Heran, logika saya tak mengenal estetika keindahan romansa yang berhasil di bentuk anak gadis yang baru saja melangkah kaki di jenjang kampus ini. Sebegitu hebatnya kah jaman hingga lambat laun kata cinta semakin menelusur pada usia yang semakin muda ? Payah, saya diam. Dia pun diam. Kami benar – benar tidak berbicara. Seolah – olah puisi yang baru saja ia nyanyikan adalah dialog terakhir dalam naskah, tapi kami tidak bisa meninggalkan panggung. Ended time masih panjang, lampu panggung masih bernyala, tirai belum cukup waktu untuk menggeser diri ke dalam bilik tenang, bahkan untuk sekedar instropeksi diri, edit narasi atau masquarade dari protagonis lakon saya, dan penonton jelas menunggu hasil drama ini. Karena kami bukan dalam scene sinetron, bukan serial, tapi drama yang semestinya punya ending. Bangku – bangku di taman kampus tua ini mulai terisi, wajah sore pelataran pendidikan terlihat sibuk berdandan dengan gelak tawa remaja yang berbaur di aneka jenisnya.
Saya sedikit asing, perempuan di depan saya tiba – tiba berubah menjadi seorang aktris profesional, penghayatan emansipisasi yang ia miliki benar – benar hebat.
” Bagaimana Mas ? ”, ia mengucap kata tanya. ' Hi, hilangkah kesabarannya ?. Ayolah, bukankah waktu untuk mempermainkan emosi masih lama ? Lihat saja penonton, tak sedikitpun mereka beranjak dari peraduan mereka.'
Saya ambil gelas juice saya yang sebenar sudah tandas, masih ada cairan dari batu es yang masih saya bisa hirup. Lekas saya nyalakan sebatang rokok, saya hisap habis. Sebatang lagi, habis. Dan sebatang lagi........

” Cukup Mas, saya mau pulang...”, akhirnya. “ Lupakan saja....”, Bergegas keras ia berdiri dan meninggalkan saya, yang termangu dan manggut – manggut. Beginikah cerita yang diinginkan oleh Sutradara, entahlah ? Yang pasti saya sangat tidak menyukai situasi yang saya hadapi beberapa saat tadi.
' Baiklah, mari kita pulang ', ucap saya pada diri sendiri. Mungkin besok saya bisa mendapat bayaran yang pantas, apakah itu nilai minus atas kebodohan saya, atau teriakan kemenangan dari iman yang hanya sekerat ini.
Saya lupa mengatakan pada Dewani, perempuan itu. Ia salah memaknai kelaki – lakian saya. Karena emansipasi dan keberadaan perempuan seperti ia bukanlah lawan tanding dari kesombongan saya. Ia yang kuat terlihat lemah di mata saya. Prototipe perempuan masa kini yang tidak menarik hati. Ia bukan seorang perempuan yang pantas untuk menjadi ibu dari anak – anak saya nanti.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar