Powered By Blogger

Juni 05, 2009

Cerita puisi : yang tak semestinya - pemberontakan hati

Ia adalah yang pertama dari tiga anak yang dimiliki oleh pasangan ranum. Seorang laki – laki dan berdua adik srikandi. Kembar, Aisyah dan Shafiyyah. Keluarga yang biasa. Jauh dari sebuah kehebatan dinasti priyayi yang ia dapati di nama rekan – rekan satu fasenya.
Ayahnya terlalu teguh dan kuat memaksa diri untuk mencapai kesombongan seorang punggawa akan mimpi keturunannya untuk menjadi raja, maka ia mendapati lingkungan pendidikan yang mewah. Sementara sang ibu hanyalah seorang ibu, pendongeng tidur yang hanya bisa memberikan belaian penghibur. Sebuah ketulusan atas nama perhatian. Saat ia mendapati diri yang berbeda, saat ia mendapati diri yang tercambuk remeh. Ibunya selalu dan selalu memberi senyum pengertian, dan kata lembut untuk ucap
: ” Buktikanlah...”
Lambat laun benteng kokoh harapan tergerus akan jaman yang membutuhkan lebih untuk sebuah predikat. Satu persatu perkakas dari pondok cinta mereka hilang mengubah diri menjadi biaya. Keluarga dipaksa membuat pilihan. Pun dengan ia, ia yang akan menerima takhta keluarga kelak. Ia yang di ’ paksa ’ untuk mempertahan tiang – tiang pondasi pondok masa kecilnya.
Waktu terus melingkari hari. Tanggalan kian mencabut diri untuk mempersilahkan angka – angka selanjutnya. Bulan berputar dan berganti nama, Ya hanya sekedar nama dari proses rotasinya yang harmoni. Ia mendapatkan diri menjadi lemah. Ia kini tak lagi menciptakan hari bersama keluarga. Karena mahkota memerlukan laku kembara. Dan Sang Ayah tak ingin ia menjadi raja tanpa tanda. Hingga ia terlempar pada cadas terjal pendakian. Saat itu ia memasrahkan jiwa akan amanat sebagai harap.

Dari proses waktu. Demi ia, berdua srikandi keluarga itu berhenti menimba ilmu dan mempersembahkan diri untuk menjadi pasangan hidup dari ksatria – ksatria pengolah lahan pangan.
” Atas nama pengabdian dan harapan Bang, kami sepakat cinta kami adalah dimensi waktu yang memang harus lakoni. Paralel kehidupan untuk Abang. Kami bahagia untuk ucap kata itu. Ketahuilah Bang, sungguh kami membina hati yang mengabdi untuk dua satria yang kini menjadi pelindung kami dan mengambil tanggung jawab akan kami. Oleh karenanya, tolong kembali jaga Emak.......”

Surat dari si sulung kembar, Aisyah. Surat yang terbaca saat ia menggenapkan absen ke empat kalinya akan penghormatan meninggalnya sang Ayah. Ia terima beberapa hari lalu.
Sang Bapak meninggal, saat ia masih dalam pendakian. Pendakian demi utuh sebuah mimpi sang Almarhum, meski tanpa lagi ada topangan. Hanya restu, kiranya mimpi itu adalah nyata. Ia mencoba berkelit dari sisa jejak legenda malin. Bahwa ia dirajam mimpi untuk kembali, tapi bukankah ( saat ini ) kembali ia adalah kekalahan ?

Petir mengeliyat di panorama langit, memuntahkan serapah untuk bumi.
Dan sang bumi merona merah bahagia, akan air yang membasuh mesra rindu akar – akar pepohonan.
: ” untuk keturunan adam wahai langit, ku maknai cinta setiap kilatmu ”

- Bulan penuh guyuran air langit dari sewindu jejak langkah mendaki.

Perjalanan yang tak sempurna, tapi ia bukanlah seekor ulat cengeng yang hanya bisa bersemedi di ranting rapuh. Hampir separuh pendakiannya adalah tetesan keringat, ia selalu berpeluh saat memulai langkah. Loper koran, buruh, pengamen, dan pekerja murah di sebuah warung makan pinggir jalan. Seringkali ia tanpa arah, tapi pertahanan mimpi dan niat yang tersambung ke nadi adalah semburan darah yang menggelora untuk terus berjuang.
Hingga ia menyadari ufuk langit memang tidak pernah ada. Mahkota yang tanpa wujud, ia ( mungkin ) bermimpi....dan ialah pencipta mimpi Ayahnya dulu.

Ya, ia sang putera. Satu – satunya yang di emban kata harap, kini mendapati diri yang kalah. Cadas bumi terlalu landai untuk ia menciptakan sedikit pondasi. Ia lapuk berlumut, selayak ulat yang terus mencerna kata bahwa ia adalah kupu – kupu.

Ia ingin kembali. Dan mengabdi.
Lantas kertas yang dulu pernah ia maknai sebagai kerinduan dan coba ia ingkari, kembali mengenggam dalam tangan. Kertas lusuh sisa dari kehidupan kampus.

“ Ma, ijinkan anaknda kembali “
Kertas itu ( akhirnya ) ia kirimkan......


catatan rentang waktu.
......dalam ingat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar